༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Pegunungan Putih]
.
.
.
PERNAH ada rumor yang mengatakan bahwa di bagian sebelah utara dunia ini terdapat pulau yang selalu bermusim dingin. Kondisi wilayahnya berupa dataran tinggi yang selalu tertutupi oleh salju. Matahari memang bersinar di sana, tapi salju-salju serta es-nya tak pernah mencair. Mereka menyebut pulau itu 'Pegunungan Putih'.
Namun, tidak sembarang orang yang bisa tinggal di sana. Lagi pula, tidak ada kerajaan yang memimpin di sana. Orang-orangnya mempercayakan seorang yang mereka panggil 'Tetua' untuk memimpin. Dan rumor mengatakan, bahwa mereka-lah para pemberontak; yang sudah terlepas dari 'cengkraman' kerajaan.
Tanpa perlu mendengar catatan buruk tentang mereka, kata 'pemberontak' itu sudah mampu memberikan cap negatif-nya sendiri. Harus dihindari, kalimat ini yang Mauve gaungkan dalam kepalanya.
Tetapi, wanita dengan tampilan berantakkan itu sama sekali tidak punya ide ketika perahu yang disewanya mengantarkannya pada sebuah pulau putih yang mengingatkan pada rumor itu.
Ia rasa rumor itu benar adanya.
Ini semua berawal dari terusirnya ia pada beberapa hari lalu. Dengan keadaan seadanya, Mauve menelusuri hutan belantara yang lebat sendirian. Seharusnya ia mati, begitu pikirnya. Sebab luka cakaran serigala di punggungnya cukup untuk membuatnya tewas di hari itu. Namun sepertinya para dewa-dewi senang sekali melihatnya menderita. Mauve selamat dengan sangat tersiksa dan hampir kehabisan darah.
Pun uang terakhirnya habis untuk menyewa perahu. Dan sekarang ia bimbang. Antara mencari pulau lain yang mungkin jaraknya masih sangat jauh, atau menepi di Pegunungan Putih. Mauve tak yakin. Akan tetapi hari mulai gelap, sepertinya ia akan menepi saja di pulau terdekat.
Perubahan suhu mulai dirasakan Mauve. Wanita itu mulai panik mengingat gaun yang digunakannya sudah koyak sana-sini, ia juga tidak memakai jubah sama sekali. Ditambah ketika Iris mulai merasa tak nyaman dan merengek kedinginan. Mauve mendekap anaknya, berusaha menghangatkan. Namun tetap saja ia kalah dengan keadaan saat ini.
Wanita itu hampir kewalahan sebab menggendong Iris sambil mendayung perahu di atas permukaan air yang berlapis es bukanlah hal yang mudah. Awalnya permukaan es memang tipis, tetapi semakin ia mendekati pulau, semakin tebal juga esnya.
Dengan penuh perjuangan, ia berhasil mendekati dermaga. Mauve hampir menangis kala menyadari kulit Iris memucat dan bibirnya membiru kedinginan. Dekapannya tak cukup untuk membuat bayinya merasa hangat.
Sementara itu, butiran salju pertama mulai turun diikuti butiran selanjutnya dan bertambah deras, menandakan malam akan segera tiba. Mauve sangat terdesak, tetapi ia tak tahu arah mana yang harus ditujunya.
Wanita itu memutuskan untuk terus berjalan. Barangkali ada pedesaan di dekat sini, pikiran optimisnya berkata. Namun hari yang menggelap, salju yang bertambah deras, dan tumpukannya yang menghambat langkah membuat kepercayaan Mauve perlahan terkikis. Ia hampir menyerah. Seluruh wajahnya dingin dan terselimut butiran salju. Napasnya beruap. Sesekali ia mengusap wajah Iris juga dan menutupinya dengan tangan.
Ah, kakinya juga mulai sulit diajak kompromi. Mauve bersimpuh. Betisnya yang bengkak betul-betul menyusahkan.
Di masa-masa keputusasaan itu, ia tak tahu harus senang atau sedih sebab kembali menerima keajaiban dari para dewa-dewi. Ada seorang remaja tergopoh-gopoh ke arahnya. Setumpuk kayu terikat di punggungnya dan tangannya menggenggam lentera padam.
Sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, dadanya seketika merasa lega kala rupanya remaja cowok itu datang untuk membantunya. Usianya sekitar lima atau enam belas tahun jika Mauve tak salah menilai.
"Anda tak apa, Nyonya?" tanyanya sopan. Rasa khawatir tersorot di matanya.
Mauve menggeleng pelan. "Tolong ... bayiku kedinginan."
Remaja itu seperti baru menyadari karena tampak sangat terkejut. Alisnya menekuk prihatin. "Apa Anda mau mampir ke rumahku sebentar? Kurasa bayimu bisa hangat di sana."
Hati Mauve senang sekali. Refleks ia mengangguk cepat, wajahnya berseri dansenyum tulusnya terbit. Remaja laki-laki itu iba sekali melihatnya. Ia tak sempat menilik orang asing yang ditemuinya itu karena menurutnya kondisinya jauh lebih patut diperhatikan.
"Mari berdiri, Nyonya. Kubantu." Dengan sigap, ia membantu Mauve berdiri sebelum akhirnya menuntun wanita dan bayinya yang malang itu ke pondok miliknya.
***
"Silakan diminum. Teh herbal ini akan membuatmu hangat."
Baru beberapa menit setelah Mauve datang, ia merasa beruntung sekali karena disambut dengan sangat ramah. Remaja laki-laki yang bernama Raan tadi tinggal dengan neneknya yang bernama Fa di pondoknya yang kecil nan hangat.
Mauve menggenggam cawan mini itu dan segera meminum isinya. Entah apa yang digunakan Fa dalam minumannya, tetapi bahan-bahan itu sukses membuatnya merasa lebih baik dan bertenaga. Tanpa menunggu lama, Mauve menghabiskannya.
"Bayimu sudah kuurus. Ia ada di kamarku, nanti kau bisa menengoknya," kata beliau.
Mauve mengangguk takzim. Sesekali ia menggosokkan kedua tangannya dan merapatkan mantel yang tersampir di tubuhnya. "Terima kasih. Kalian baik sekali."
Nenek dan cucunya itu balas tersenyum. Raam pamit tak lama setelahnya, ia bilang ada yang perlu diurusnya. Kini ruang sempit itu hanya menyisakan Fa dan Mauve. Suasana hening diisi oleh retihan kayu bakar dalam perapian. Perlahan wanita beriris ungu itu mulai merasa letih dan terserang rasa kantuk.
"Kalau kau tak keberatan, apa kau bisa menceritakan siapa dirimu dan dari mana dirimu berasal?"
Mata Mauve yang hampir terpejam sontak terbuka lebar. Ditatapnya Fa yang memandang dirinya seraya tersenyum teduh, hal ini justru membuatnya merasa bersalah belum menceritakan apa pun.
Setelah terdiam cukup lama, dan mempertimbangkan beberapa alasan serta merasa Fa bisa dipercaya, barulah Mauve angkat suara. Tatapannya melayang ke arah perapian, bibirnya mulai bercerita.
Mauve hanya bercerita garis besarnya saja. Mulai dari bahwa ia adalah seorang selir, keterlibatan Iris, terusir, hingga ia bisa sampai di sini. Selama itu juga, Fa mendengarkan dengan seksama. Tatapan teduhnya selalu menatap Mauve lurus. Beliau tidak tersenyum, tetapi mempunyai garis bibir yang bisa membuatnya tampak tersenyum walau sebenarnya tidak.
Mauve menutup ceritanya dengan helaan napas dan senyum lelah. Fa tampak masih berusaha mencerna apa yang wanita muda itu katakan tadi, tampak jelas dari dirinya yang belum berkomentar apapun.
"Ah," seru Fa setelah beberapa saat, sepertinya baru paham. "Jadi sedari tadi aku bicara dengan calon permaisuri? Maafkan kelancangan saya."
Mauve tertegun. Seumur hidup, baru kali ini ada yang mengatakan statusnya dengan 'calon permaisuri' bukan 'selir' atau pun kata menyakitkan lainnya. Ia terdiam dengan hatinya yang terasa berdesir menenangkan. Sebelum akhirnya tersenyum tak enak saat melihat Fa hendak hormat padanya.
"T-tidak perlu, Nek." Mauve menahan wanita tua itu dari akan membungkuk padanya. "Tidak perlu se-formal itu padaku. Cukup panggil aku dengan namaku. Untuk sekarang, bisa jadi aku sudah tidak diakui oleh keluarga kerajaan."
Sebagai rasa hormat, Fa ganti menunduk dalam pada Mauve. Setelah mendengar ceritanya, raut wajah beliau sedikit berubah. Lebih serius dan tampak iba.
"Aku turut berduka atas apa yang menimpamu," kata Fa. "Tidak apa, jangan bersedih. Apa yang sudah seharusnya milikmu, akan datang padamu. Jangan khawatir."
Bibir Mauve tersenyum simpul. Mendengar Fa memberikannya motivasi dan kata bijak mengingatkannya pada mendiang kedua orang tuanya. Ia rindu kehangatan kala itu. Tapi siapa sangka kalau ia akan mendapatkannya lagi kali ini, hanya saja dari orang lain?
"Kau boleh tinggal di sini selama yang kau butuhkan, aku dan Raan sama sekali tidak keberatan. Mungkin tinggal di sini akan merubah cara pandangmu terhadap citra pulau ini."
Mauve mengernyit tak paham.
"Bukankah tersebar kabar—khususnya dari wilayah kerajaan kalau Pegunungan Putih bukanlah tempat yang baik?"
Ah, sepertinya Mauve mulai paham.
"Kuharap selama kau tinggal di sini kau memiliki pemahaman dan pandanganmu sendiri. Bukan menilai atas apa yang dikatakan orang-orang." Fa tersenyum simpul. "Oh, ya. Apa kau keberatan untuk melakukan sesuatu sebagai ganti bayaran tinggal di sini?"
"Apa?" Mendengarnya, membuat Mauve langsung panik. Bagaimana tidak? Saat ini ia sama sekali tak punya uang. Dan ketika ada orang yang mau menampungnya pun ia sangat merasa beruntung. "Tapi aku sama sekali tidak punya uang. Uangku habis karena —"
"Aku tidak meminta uangmu," sela Fa yang membuat Mauve terdiam. "Aku ingin kau melakukan sesuatu."
Tiba-tiba perasaan ragu menghampiri Mauve, tetapi ia langsung menepisnya. "Baiklah, jika kubisa akan kulakukan. Apa itu?"
"Aku ingin kau membersihkan kuil yang tak jauh dari sini setiap petang. Itu kuil tua dan sekarang sudah jarang dipakai karena ada kuil baru di sana. Kau bisa, bukan?"
Mauve mengangguk semangat. Itu pekerjaan mudah. "Tentu saja!"
"Dan juga, sekalian kau berdoa pada dewa-dewi di sana. Kapan terakhir kali kau melakukannya?"
Di saat itulah, untuk pertama kalinya, Mauve tertampar; tertohok oleh orang asing.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
besok, adalah chapter terakhir Mauve sebelum kita buka kisah lain, yey! semoga masih bisa diikutin.
oh iya. di bulan mei aku bakal ikutan ngemaso nulis sebuah cerita fiksi remaja sebagai partisipasi dalam event tahunan montase aksara! jadi stay tune, dan follow akunku biar dapet notifnya. pantengin akun montaks juga karena kayaknya mereka bakal buka event untuk umum, sepertinya. dan semoga ruang kisah bisa selesai sebelum itu.
oke, mari berjumpa di bagian selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top