༺ Ruang Kisah ༻
[Ruang Kisah - Raja dan Selirnya]
.
.
.
RUANG makan mewah yang berornamen coklat gelap itu tampak klasik sekaligus mewah. Retihan kayu bakar dari perapian membuat melodinya sendiri dan melatari suasana sunyi di meja makan saat ini. Lampu besar nan megah yang tergantung di langit-langit tinggi berkilau emas cantik.
Seharusnya suasana ruangan itu sehangat seperti apa yang terlihat. Namun, entah mengapa penghuninya yang tengah mengisi jam makan malam tidak bisa mendapat aura kehangatan dari benda-benda itu sendiri. Ada semacam perang dingin dan kekakuan yang sedang menetap di sana. Seolah mereka semua tidak menyukai lusinan hidangan malam yang sangat menggiurkan itu.
Di ujung meja panjang; di kursi paling besar, duduklah raja termashyur di negeri ini. Paling bijak, paling disegani oleh rakyatnya. Telah memimpin negeri ini selama bertahun-tahun lamanya. Wajahnya yang tegas dengan tatapan mata tajam tampak tenang menikmati hidangan malam yang tersaji. Usianya memang tak lagi muda, tetapi ia masih kuat dan cukup hebat untuk memimpin sebuah kerajaan.
Di kedua sisi meja makan yang panjang, duduklah kelima selirnya. Empat dari mereka tengah berbahagia sebab belum lama diangkat oleh raja menjadi permaisurinya lantaran telah melahirkan bayi laki-laki. Mereka berbahagia dan bangga, tetapi juga cemas di saat yang bersamaan. Diam-diam saling menyusun taktik bagaimana caranya agak anak mereka bisa menjadi putra mahkota.
Sementara itu, salah satu selir yang belum diangkat menjadi permaisuri (setidaknya begitulah menurutnya) melahirkan bayi perempuan. Bayi cantik yang mewariskan mata ungu terang seperti miliknya. Sangat jelita, tetapi sayangnya raja hanya mencari seorang penerus kerajaan.
Mauve tak pernah berkecil hati. Dengan sifatnya yang cukup periang, ia ingin sekali mengambil hati raja dan mau menoleh pada anaknya yang cantik itu. Baginya, itu sudah lebih dari cukup.
Sudah sekian menit berlalu semenjak acara makan malam dimulai, kini hidangan mulai berkurang dan perut-perut telah terisi penuh. Mauve terus memperhatikan Raja Carlton agar ia bisa mengambil kesempatan untuk memberikan perhatian kecil.
Mungkin saja, suatu saat nanti Raja Carlton bisa luluh padanya dan putri kecilnya.
Di saat semuanya sedang berusaha menghabiskan bagian masing-masing, Raja Carlton mendadak terbatuk. Dari penglihatan Mauve, ia tampak tersedak. Jadi dengan reflek kecilnya, ia segera menuangkan minum dan menyodorkan pada raja.
Semua orang yang yang ada di ruangan itu sontak menatapnya sedikit terkejut, tak terkecuali sang raja sendiri. Kedua irisnya yang berbeda warna membeliak. Wajahnya sulit Mauve tebak.
Mauve bermaksud baik, tapi sepertinya Raja Carlton salah mengartikannya. Raja merasa malu, lantas menepis gelas itu hingga terpental pada dinding dan pecah. Air membasahi gaunnya, pun gaun Afina-permaisuri pertama yang duduk tepat di sampingnya setelah raja.
Suasana ruangan itu sontak terasa mencekam. Beberapa pelayan langsung merapikan pecahan gelas itu, sisanya mematung dan menunduk, tak mau melihat kemurkaan sang raja. Permaisuri yang lain hanya terdiam dengan tangan menutupi mulutnya.
"Apa yang kau lakukan?!"
Mauve mendadak gemetar mendengar bentakkan itu. Ditambah, Afina menatap geram padanya dan melayangkan tatapan paling tajam yang pernah Mauve lihat. Perasaan tak enak merayapi punggungnya. Rasanya ia ingin menghilang sekarang juga.
"A-aku tidak bermaksud-"
"Kau memang tak berguna!" Raja menatapnya marah. "Sudah cukup kau membuat malu dan membawa sial! Bahkan untuk memberikanku pewaris saja tak bisa!"
Ah, masalah ini lagi.
Mauve merasakan kegetiran melanda hatinya. Matanya mulai terasa memanas, tenggorokkannya terasa sakit seolah ia disuruh menelan kerikil bulat-bulat. Tak sampai di situ, raja pun melangkah pergi setelahnya. Meninggalkan kubangan rasa tak enak dalam dada Mauve.
Wanita itu menatap gaunnya yang basah sejenak. Ia mengeluh tertahan.
"Sudahlah, kau pergi saja, Mauve. Raja tak menyukaimu dan kau memang tak ada gunanya lagi berada di sini."
Flanna memandang Mauve dengan tatapan menghina, ada senyum mengejek di bibirnya. Permaisuri beriris merah itu tampak puas sekali menjatuhkannya.
"Kau mengotori gaun hadiah raja-ku ini dengan tangan sialanmu. Kau harus menggantinya dua kali lipat," kata Afina dingin.
Makin bertambah saja rasa sesak dalam hatinya. Mauve mengepalkan tangannya kuat. Ia melirik pada Haimi, tapi permaisuri beriris emas itu diam menyantap makananya seolah tak pernah terjadi apapun sebelumnya. Begitupun Yin, permaisuri beriris perak itu menatapnya sekilas tanpa minat dan mengalihkan pandang.
Mauve tersenyum miris. Apa yang ia harapkan? Sedari dulu memang tak pernah ada yang memihaknya di sini.
Merasa tak punya alasan untuk bertahan lebih lama, Mauve memutuskan untuk menyudahi makan malamnya. Ia pergi tanpa pamit pun tergesa-gesa.
Dan hal berikutnya yang terdengar dari dalam ruang makan adalah betapa orang-orang itu kurang ajar dengan mengolok-oloknya.
***
"Bayimu menyebalkan!"
Hati Mauve mencelus ketika salah satu pelayan hampir melempar bayinya saat hendak menyerahkannya. Anak semata wayangnya itu menangis keras. Wajahnya memerah dan sembap, entah sudah menangis berapa lama.
Hanya dalam sekali lihat saja, Mauve langsung mengerti kalau sebetulnya bayinya lapar. Lantas ia menatap pelayan kesal. "Apa kau tak paham kalau Iris merasa lapar?"
Pelayan itu balik menatap sinis. "Aku sudah memberinya umpan. Tetapi dengan kurang ajarnya dia mengencingiku seolah aku ini adalah alas ompolnya!" Ia betul-betul kesal. Tapi yang Mauve tak paham adalah mengapa ia harus semarah itu pada bayi kecil? "Beri makan saja anakmu sendiri. Aku tak sudi mengurusnya. Ia sama saja tak berguna dengan ibunya. Lebih baik aku mengurus bayi permaisuri Haimi yang sangat tampan itu."
Pelayan itu pergi, menyisakan Mauve yang terdiam dengan segumpal rasa marah serta umpatan yang tertahan. Dadanya terasa panas karena murka dan miris di saat yang bersamaan.
Dahulu ia sama berharganya dengan selir yang lain. Tetapi semenjak mereka melahirkan bayi laki-laki dan hanya dirinya yang melahirkan bayi perempuan, sejak saat itulah ia merasakan ada tembok pembatas besar nan tinggi yang bernama kasta.
Harga dirinya sudah tak ada lagi-seolah sudah dibuang jauh-jauh ke dalam jurang. Dan hal itu semakin jelas ketika raja mengungkit-ungkit, pun selir lain yang mulai diangkat menjadi permaisuri. Lalu entah bagaimana ceritanya para pelayan ikut 'menghina'-nya.
Mengingat semua itu membuat hawa panas memanjat hingga ubun-ubunnya. Mauve mengepalkan tangannya, refleks mendekap bayinya erat.
Tenang, Mauve. Tenang.
Ia alihkan pandangan kepada Iris, dalam sekejap yang bagaikan ayunan tongkat sihir, amarahnya pun berangsur mereda. Hanya dengan melihat wajah menggemaskan dan kedua mata Iris yang berlinangan karena lapar, mampu mengenyahkan segala perasaan negatif pada dirinya.
Mauve tertawa kecil. Ia menjawil pipi buah hatinya sejenak dan tersenyum lebar. Kini ia seolah lupa apa yang sudah terjadi padanya barusan.
"Iris lapar, ya?"
Seolah tahu apa yang ibunya bicarakan, bayi kecil itu menanggapi dengan rengekan kecil, hendak menangis lagi. Dan sebelum itu terjadi, Mauve lebih dulu beranjak ke kamarnya. Makanan malam Iris berada di nakasnya.
Biarpun semua orang membenciku, setidaknya aku punya sebuah alasan untuk tetap hidup.
Iris, ibu sayang sekali padamu.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
finally, aku update juga tentang ruang kisah😭
gimana-gimana? masih bisa diikutin kan ceritanya?
tebak-tebakkan yuk?
apa warna mata Afina?
yang teliti pasti paham🙆🏼♀️.
oke, sampai jumpa di ruang kisah berikutnya👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top