Epilog

[Epilog | 1374 words]

SUDAH seminggu sejak kepulangan kami dari Tanah Gersang. Semuanya telah berakhir dan kembali seperti semula.

Jasad Kiara telah dimakamkan di halaman belakang khusus tempat prajurit terhormat. Walau masih belum terima dengan kepergiannya, aku tengah berusaha mengikhlaskannya perlahan.

Hampir dua bulan sejak kami mengenal Mineverse, dan belakangan kami belum juga kembali. Aku mulai merindukan kuliahku, namun kematian Kiara mengikatku lebih lama di sini. Banyak hal yang kupikirkan, salah satunya adalah bagaimana cara memberitahu kepada orang tua Kiara?

Agak sedikit tidak adil, tetapi pihak kerajaan akan membantuku untuk memanipulasi ingatan kedua orang tua Kiara.

Kini, aku tengah bersama dengan Elva. Sedikit mengejutkan gadis itu meminta izin untuk kembali pulang ke Pegunungan Putih setelah seminggu di sini. Padahal, kedatangannya disambut baik oleh kami semua.

"Menetaplah lebih lama," bujukku padanya.

Elva hanya tersenyum. "Maaf, Viona. Aku tidak bisa. Kuakui aku memang nyaman tinggal di sini, tapi aku tidak terbiasa."

"Apa karena masa lalu itu?"

Ia menggeleng. "Bukan. Tolong jangan mencegahku lagi, Kak."

Aku sedikit termenung mendengar panggilan yang digunakan oleh Elva padaku. Sebelum kemudian senyumku terbit. "Baiklah."

"Kalau begitu aku pergi," pamitnya sambil tersenyum lebar. "Sampai jumpa, Marcia!"

"Tunggu sebentar!" Mendadak saja aku teringat sesuatu. "Mengapa kau suka memanggilku dengan nama depan itu?"

Elva mengerjap bingung. "Kau tidak tahu apa arti namamu itu?"

"Memang apa artinya?"

Elva menepuk dahinya. "Sebaiknya kau cari saja sendiri dalam buku arti nama. Pasti di perpustakaan ada," katanya sambil menaiki kereta kuda. "Sampai jumpa, Marcia!"

Sebelum aku bertanya lebih jauh lagi, kereta kuda yang memang kusuruh untuk mengantar Elva bergerak dan mulai meninggalkan halaman kerajaan. Kulambaikan tangan balik saat ia mengeluarkan kepala dan melambai padaku.

Elva sudah berpamitan dengan semua orang, tetapi aku mengantarnya hingga peternakan kuda.

Di saat aku hendak kembali ke kerajaan, tiba-tiba telunjuk kananku terasa sangat sakit. Saat kulihat, benang emasnya melilit sangat kuat di sana. Aku meringis, berusaha menghilangkannya tetapi tidak bisa. Sementara, perlahan mulai terbentuk bekas lecet melingkar yang memerah di sana. Rasanya sangat perih.

Kutiup-tiup, namun perih itu tak kunjung hilang. Malah, benangnya semakin terlilit kuat di sana. Barulah kusadari bahwa benangnya tak lagi berpendar keemasan, tetapi berkelip-kelip pelan, seperti pertanda bahaya.

Tiba-tiba saja, terdengar suara ledakan yang sangat kencang. Aku yang terkejut bukan main hampir kehilangan keseimbangan untuk sejenak. Setelahnya, raut wajahku berubah panik. Perasaanku menjadi tak enak.

Dan benar saja. Tak lama kemudian, Lilan datang tergopoh-gopoh menghampiriku, air mukanya sangat panik.

"Putri Viona, Putri Viona."

Seolah menular, wajahku juga menjadi panik. "Bunyi apa itu tadi, Lilan?"

"Kamar mendiang Yang Mulia Raja dan Ratu meledak, Putri."

Aku yang tercengang segera keluar dari peternakan kuda. Rupanya, di luar angin bertiup sangat kencang. Langit tampak kelabu menyeramkan mengingatkanku pada peristiwa lalu. Dan aku baru menyadari sesuatu.

Benangnya tidak terhubung pada langit lagi.

"Lihat itu, Putri!"

Aku segera menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Lilan. Jantungku langsung mencelus kala kamar kedua orang tuaku tampak dari sini. Atapnya hilang entah ke mana, pun perabotannya. Lalu kusadari semuanya tersedot dalam lubang berwarna hitam keemasan.

Mataku membeliak. Itu portal yang kugunakan untuk kembali.

Dan ke dalam sanalah, benang emasku berakhir sekarang.

"Astaga, lubang mengerikan apa itu, Putri?"

Tubuhku menegang kala portalnya semakin membesar. Anginnya semakin besar dan menyedot dengan ganas. Kulihat sebagian besar atap dan genting-genting kerajaan sudah masuk ke dalamnya. Bahkan sebagian besar dinding di lantai dua dilahapnya habis.

Orang-orang kerajaan berhamburan keluar, sambil memegangi kepala mereka dari benda melayang yang akan tersedot. Anginnya semakin kencang, kulihat Adnan berlari menghampiriku.

"Viona, bukankah itu portal kita?" tanyanya khawatir.

"Ya," balasku tak kalah khawatir. "Aku tidak tahu mengapa bisa begitu."

Semakin banyak benda yang masuk, semakin besar pula portal yang lebih tampak seperti black hole itu. Angin menyedot lebih kuat lagi. Di detik-detik ini, kurasakan sesuatu yang membuatku panik bukan main.

Perlahan, kakiku terangkat sesekali. Jantungku berdebar kencang, dan mataku membulat panik. Wajahku pias. Dan sepertinya bukan hanya aku, tapi Adnan juga merasakannya.

"Viona ...." Suara Adnan bergetar.

Sampai portal itu membesar sekali lagi, tubuhku dan Adnan sukses terangkat dan hendak tersedot. Pengawal kerajaan yang melihatku dan Adnan melayang seketika ikut membantu. Aku panik tak karuan. Kucengkram tangan Lilan kuat, dibantu beberapa pengawal lain, begitu pun Adnan.

"Lilan, tolong aku," lirihku. Aku benar-benar sangat takut.

Tiba-tiba saja kusadari sebuah hal aneh. Mengapa hanya aku dan Adnan yang hendak tersedot sementara yang lainnya masih bisa memijak tanah kuat-kuat?

Berpegangan pada pengawal pun tak ada gunanya lagi ketika portal semakin membesar. Tenaga sedotannya lebih kuat, bahkan kusaksikan pohon-pohon pun sanggup hingga tercabut dari akarnya. Penduduk menatap dengan ngeri, sementara aku mulai menangis ketakutan.

Aku tidak mampu bertahan lebih lama lagi, tanganku terasa sakit dan mulai kram. Hingga di titik terakhir, genggaman tangan Lilan terlepas dariku.

Hatiku mencelus.

"Viona!"

Tak mau kehilanganku, Adnan pun ikut melepaskan pegangan tangannya dari pengawal, dan berusaha meraihku. Mereka menatap kami ngeri sambil menangis, sementara aku dan Adnan tersedot dengan cepat.

Tepat ketika kami berdua sempurna masuk ke dalamnya, lubang itu menutup cepat. Ledakan terdengar memekakan telinga setelahnya. Disusul dengan cahaya putih yang membutakan mataku. Aku terpejam.

Samar, kudengar Kiara serta Ibu dan Ayah yang memanggilku.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Suara berdebum kencang disusul punggungku yang terasa sakit sebab membentur entah apa.

Aku mengaduh kesakitan dan beranjak duduk. Disusul suara Adnan yang juga mengaduhkan hal serupa. Sontak mataku membelalak. "Adnan?"

"Viona?" Ia tampak senang. "Kita selamat!"

Aku ikut bersorak senang sambil beranjak berdiri. Barulah kuperhatikan sekitar, dan merasa familier dengan ruangan ini.

"Kita ... pulang?"

Saat menoleh ke belakang, kudapati lemari kayu yang sangat kukenal. Namun kali ini, aku tidak berani membukanya.

Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki di luar. Aku dan Adnan pun saling bertukar pandang. Pintu kamar pun terbuka. Tubuhku mematung ketika melihat seorang wanita dan suaminya yang muncul dari sana. Bukan karena merek tampak membawa sapu dan mengarahkannya pada kami, tapi karena aku mengenal wajah itu. Bahkan Adnan juga ikut tidak bisa berkata-kata.

"Maling, maling!" teriak suaminya.

"Ibu? ... Ayah?"

Mataku berkaca-kaca, kudekati mereka dengan perlahan. "Ayah ... Ibu."

Si Istri tampak menjerit jijik. "Siapa kamu? Pergi sana! Dasar maling!"

"Ibu ... Ayah ..., ini Viona."

"Ngawur kamu! Viona kami masih kecil, baru lahir minggu kemarin!" Si Suaminya tampak galak. "Keluar kalian sebelum kami panggil satpam!"

"Ayah ... ayah nggak kenal sama Viona?"

"Pergi kamu!" Si Suami mendorongku kasar hingga aku terjerembap. Adnan langsung menghampiriku.

"Om, jangan salah paham! Kita bukan maling!"

"Kalau gitu dari mana kalian muncul kalau bukan masuk dari jendela?" kata Si Istri menuduh.

"Halah, mana ada maling mau ngaku!" Si Suami tampak sangat marah. "Keluar kalian sebelum saya panggil polisi!"

Sementara air mataku meleleh. Aku menangis untuk kesekian kalinya. Namun dari pada terkena amukan lebih kejam lagi, Adnan membantuku berdiri. "Ayo kita pergi, Viona. Mereka hanya mirip, bukan orang tuamu."

"Tapi mereka sungguhan mirip, Adnan!" Aku masih mengotot tak mau pergi. "Aku bahkan masih ingat cara mereka marah, dan itu sama persis!"

"Cepat keluar!"

Setelah itu, terdengar suara tangisan bayi. Mungkin terbangun karena terganggu. Si Istri langsung pergi menengoki bayinya itu.

Mau tak mau, kubiarkan Adnan menarikku untuk keluar. Si Suami tampak semakin galak, ia hampir memukulku dengan gagang sapu. Sebuah hal yang membuatku kecewa bukan main.

Ayah tidak pernah memukulku.

Ketika kami sampai di halaman, Si Suami memelotot galak. "Jangan coba-coba kalian maling di sini lagi!"

Lalu pintu tertutup kencang, disusul tirai yang turun dari dalam.

Aku sesenggukan. Sementara Adnan dengan sabar menuntunku. Berkali-kali ia menenangkanku dan mengusap-usap punggungku. Aku jadi merasa tak enak padanya.

"Viona, sejak kapan ada pohon mangga besar di halaman rumahmu?"

Mendengar itu, aku pun segera mendongak untuk melihat pohon mangga yang dimaksud Adnan. Dahiku mengernyit, merasa aneh.

"Seingatku, terakhir kali pohonnya ditebang ketika—"

Sebuah kesadaran menampar keras diriku. Aku tercengang.

"Kapan?" desak Adnan.

"Ketika aku berusia enam tahun."

Adnan sontak terdiam. Ia menatap pohon mangga itu penuh arti. Wajahnya mendatar.

Perasaanku tercampur aduk, tanganku terkepal. Banyak hal yang berseliweran dalam benakku, hingga rasanya kepalaku ingin meledak.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Kepalaku menduga-duga banyak hal. Tapi tak ada satupun yang berhasil kusimpulkan. Membuatku ingin kembali menangis saja melihat halaman rumahku yang tampak asing.

"Viona, kamu harus lihat ini."

Aku menoleh bingung ketika Adnan menyerahkan koran kepadaku. Tapi ia memintaku untuk melihatnya dari hal yang paling atas.

Awalnya aku hanya membaca headline koran itu dengan biasa saja. Namun, aku kembali tak bisa berkata ketika menyadari tanggal yang tertera di sana.

19 Februari 1998.


satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

nahloh, kenapa tuh??

kalian mulai ngeh nggak?

eh lanjut cuap-cuapnya di penutup ya, aku mau gegulingan di sana, oke? sekalian aku mau ngasih sedikit info.

thank you for supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top