[9] Hari Penobatan

[Bagian 9 | 2244 words]

HARI penobatan.

Aku sempat bimbang sebab hari ini sedang ada satu kelas saja, itu pun nanti siang. Sama halnya denganku, Kiara dan Adnan juga mempunyai satu kelas hari ini.

"Kalau begitu, terobos saja hari ini," kata Adnan yang gemas melihatku bimbang.

Kiara menyetujuinya. "Satu kali bolos lagi tidak akan membuatmu dikeluarkan dari kampus."

Aku berdecak kala ingat bagaimana tatapan kecewa para dosen padaku, dan hal itu membuatku mengerang frustasi. Sungguh, jadi murid kesayangan bukanlah hal mudah.

Adnan menggeleng. "Ya sudah, begini saja. Kamu lebih memilih bolos atau hakmu jatuh ke tangan orang lain?"

"Jangan mempersulitku," geramku sambil mendelik.

Adan menghela napas, cowok itu menyenderkan tubuh di sandaran sofa. "Ini mudah, Viona. Kamu yang mempersulitnya."

Kiara menoleh padaku, lantas raut iba muncul di wajahnya. "Kalau kamu tetap mau masuk kelas satu jam lagi, aku ikut denganmu."

"Ra!" Adnan tak setuju dengan pernyataan Kiara barusan. Namun gadis itu membalasnya dengan tatapan sengit dan gelengan. Adnan kembali diam.

Aku diam. Jika dipikir-pikir lagi ini mudah dan aku hanya perlu memilih. Bagus, Viona. Otak cemerlangmu ini kadang malah menyulitkanmu.

Masih diam, begitupun kedua temanku yang termangu dalam sepi, aku mengambil ponselku. Kukirim pesan pada salah satu dosen hari ini untuk meminta izin. Lalu datang balasan yang berisi bahwa aku permintaan izinku diterima.

Ini mudah, Viona. Kamu yang mempersulitnya.

Oke, oke. Adnan benar.

Aku bangkit, membuat kedua temanku menoleh. Adnan mengangkat alis, sementara Kiara memberikan tatapan bingung.

"Ayo," ajakku yang sudah berubah pikiran. "Kalian mau ke Mineverse tidak?"

Keduanya menghela napas. "Sungguh, Viona. Kukira kamu kukuh ingin ikut kelas," kata Kiara yang lega.

Aku tersenyum kecil. "Tapi sebelum pergi, kalian harus absen izin dahulu pada dosen. Aku sudah izin tadi."

Setelah mereka mendapat balasan perizinan yang diterima, baru kami masuk ke portal. Pergi ke Mineverse.

Sesampainya di kamar megah milik orang tuaku, suasana tak sehening biasanya. Tedengar suara terompet yang bersahutan, musik, dan keramaian. Kami bertiga saling bertatapan sebelum akhirnya panik dan buru-buru mengenakan kain tembus pandang yang sengaja kami tinggalkan di ruangan ini.

Kami keluar ruangan, dengan aku yang memimpin jalan kali ini, Kiara di tengah, dan Adnan di belakang. Kuprediksi bahwa keriuhan ini berasal dari aula. Dan kalau tidak salah, kemarin aku sempat melihat ruangan besar itu saat hendak ke perpustakaan.

Benar saja. Aula yang besar itu sudah ramai dengan orang-orang yang tak kukenal. Saat itu juga, mendadak keriuhan berhenti. Kami ikut diam. Tak lama kemudian justru terdengar bacaan-bacaan yang diperuntukkan untuk pelantikkan. Aku semakin panik.

"Oh, tidak. Ini tidak bagus," cicitku.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Suara Kiara ikut memelan.

Aku berpikir, mencari jalan terbaik untuk menghentikan tanpa membuat keributan. Namun semua ide itu buntu. Setelah kupikir lagi, semua ini bermuara pada satu ide yang tentu sangat beresiko.

"Hanya ada satu cara."

Adnan mendelik, seolah bisa mendengar rencana dalam kepalaku. "Kamu gila, Vi? Kamu serius?"

"Memangnya kamu bisa berpikir rencana yang lebih baik?" ketusku.

Sementara itu di depan sana, Menteri mulai naik ke pualam yang lebih tinggi. Aku memang belum pernah melihatnya, tapi aku yakin itu dia yang berada di depan sana.

Pembaca mulai membaca ke arah yang lebih spesifik mengenai kerajaan dan janji-janji. Menteri menyetujui tanpa ragu. Bahkan aku bisa melihat ada seseorang yang sudah membawa mahkota dan hendak dipakaikan di kepala Mentri.

Cukup. Aku tidak tahan lagi.

Kusibakkan kain penutup kami. Kiara dan Adan memelotot, begitupun hadirin yang berada di bagian belakang. Aku langsung berlari. Persetan dengan semua resiko!

"Berhenti!"

Mentri yang baru saja hendak menunduk menegakkan kepalanya lagi, dan si pemberi mahkota ikut menoleh padaku. Tidak, tidak. Bukan hanya mereka. Tapi semua orang yang ada di sini.

Oh, aku benci menjadi pusat perhatian.

Keriuhan terjadi dalam sekejap. Orang-orang berseru dan bisik-bisik keras mempertanyakan siapa orang gila yang baru saja datang dan mengacaukan acara sakral ini.

Saat itu juga, aku bisa merasakan kedatangan Kiara dan Adnan di belakangku. Setidaknya aku jadi tidak dianggap gila sendirian. Namun, kedatangan kedua temanku malah membuat para pengawal mendekat dan mengacukan senjatanya ke arah kami.

Bagus, Viona. Kamu baru saja menyerahkan diri dalam kandang berisi puluhan singa.

"Siapa kalian?" suara Menteri terdengar bergema seperti memakai mic, dan ada nada tak suka serta kejengkelan dalam suaranya.

Keriuhan mereda. Kini tak hanya pengawal yang bersiaga. Melainkan semua hadirin yang ada di sini. Karena baru kusadari mereka berasal dari keluarga bangsawan lain, yang tentunya juga mahir menggunakan sihir.

Kukira Mentri Tumo yang dikatakan Jendral Ryno adalah seorang tua yang berbadan gempal dengan rambut putih di mana-mana. Tetapi aku salah. Nyatanya Mentri Tumo yang sebenarnya adalah seorang pria muda dengan wajah rupawan dan tubuh proposional. Kutaksir, umurnya hanya dua atau tiga tahun lebih tua dariku. Ia bagai pangeran-pangeran di film fantasi yang pernah kutonton. Bahkan, aku sempat mendengar Kiara berceletuk, "astaga, ganteng banget."

Kutatap manik hitamnya lurus-lurus, tanpa rasa gentar sedikitpun. Dari situ, timbul rasa benci dalam hatiku, karena saat kutatap matanya, tampak kebencian yang sama tertuju padaku, keambisiusan serta sesuatu yang jahat terpancar dari matanya.

Kudongakkan kepalaku, menantang. Tak peduli seruan hadirin dan pengawal yang sungguhan akan menusuk karena ketidaksopananku pada mentri.

Aku bersuara lantang, membalasnya dengan bahasa Mineverse. "Apa hak yang kau punya untuk menjadikan diri sebagai raja sementara anak dari Raja Orthopera dan Ratu Kalyptra saja ada di hadapanmu sekarang?"

Semua orang membelalakkan mata, terkejut dengan pernyataanku. Para pengawal juga terpaku, dan hampir menjatuhkan senjatanya. Tetapi mereka kembali gencar menodongkan senjata ketika mentri kembali bersuara.

"Jaga perkataanmu! Pemimpin kami sudah lama tiada dan mereka tak memiliki keturunan," geram Mentri Tumo dengan wajah yang memerah menahan marah. "Lagipula lihat matamu dan kedua orang idiot di belakangmu. Iris kalian berwarna coklat. Yang berarti kalian hanya rakyat jelata yang dengan kurang ajarnya mengacaukan acara ini! Tangkap mereka!"

Dan dari sini aku tahu. Dimensi ini menggunakan warna mata sebagai perbedaan kasta.

Aku berdecih, sementara Kiara dan Adnan kesal karena tak terima dibilang idiot. Ketika pengawal sigap menangkap kami, kukatakan sesuatu yang membuat mereka bimbang.

"Memangnya sudah berapa lama mereka tiada sehingga kalian melupakan apa warna mata dari ratu kalian sendiri?"

Mereka terdiam. Sebab baru teringat bahwa warna mata Ratu Kalyptra, alias ibuku adalah bewarna coklat.

Ketika aku mengatakan hal itu, aku baru menyadari sesuatu. Mungkinkah ayahku menikahi ibu yang juga berasal dari dimensiku?

Wajah Mentri Tumo menggelap. Ada kekalahan yang enggan ia ucap dan akui, dan ada setitik rasa takut pada matanya. Lalu wajahnya berubah marah. "Aku tidak peduli. Tangkap mereka! Kalian harus dihukum karena telah mengacaukan acara!"

Anehnya, hanya ada sebagian pengawal yang menodongkan senjata, bersiap menangap kami. Sebagian yang lain ragu-ragu, termakan ucapanku. Aku langsung dapat menyimpulkan apa yang terjadi.

Hadirin pun terbelah menjadi dua kubu. Ada yang tak suka dan ada yang meminta aku membuktikan ucapanku. Kejadian ini semakin memperkuat dugaanku tentang apa yang terjadi.

Aku tersenyum menghina dan bersedekap tangan. Pasti sekarang aku tampak seperti Adnan yang hendak mendebat Kiara. "Kenapa harus menangkapku? Kenapa tidak kita buktikan dulu ucapanku seperti apa yang dipinta orang-orang di sini? Atau ... kau takut akan lengser jika aku benar-benar Tuan Putri yang seharusnya berada di tempatmu berdiri saat ini?"

Mentri Tumo geram, tangannya mengepal menahan marah.

Aku puas, merasa lebih unggul darinya. Sebelum akhirnya senyumku luntur ketika aku merasakan hawa gelap dan membuat bulu kudukku meremang karena tampaknya Mentri Tumo akan menggunakan sihirnya. Aku menciut. Rasa takut datang perlahan kepadaku. Tangan Kiara meremas kuat bahuku.

Secara posisi, memang aku lebih kuat. Tapi Mentri Tumo lebih unggul dalam sihir karena aku baru belajar sedikit. Sepertinya aku salah langkah karena Mentri Tumo masih memiliki hak untuk membunuhku.

Di saat menegangkan itu, aku bisa melihat Jendral Ryno dan Rylo datang. Aku langsung menghela napas lega. Tapi, ke mana saja mereka tadi? Mungkin bila mereka berdua tak datang aku dan kedua teman di belakangku bisa mati sebelum aku membuktikan apa posisiku di sini.

Jendral Ryno dan Rylo hormat. Para pengawal tentu tak bisa menahan sebab posisi Jendral Ryno lebih tinggi dari mereka. Setelah itu, beliau angkat suara. "Saya ingin memberi usulan, Mentri. Bagaimana kalau sebaiknya kita buktikan kebenaran ucapan mereka dulu? Jika mereka benar, bukankah itu bagus sebab kau tidak peru mengemban posisi penting yang berat ini?"

Kutahan tawa geli dalam hati ketika mendengar kalimat terakhir. Orang awam yang mendengarnya mungkin biasa saja atau bahkan mendukung. Tapi tidak dengan orang-orang di kerajaan ini. Mereka bisa mendengarkan keinginan lengsernya Mentri Tumo dari Jendral Ryno yang dibalut dalam kalimat sesopan mungkin.

Mentri Tumo merasa tersinggung mendengar perkataan beliau. Wajahnya mengerut, menahan marah. "Atas dasar apa kau berani memberi usulan seperti itu?"

Ayah dan anknya itu membungkuk. Tetapi hanya Jendral Ryno yang bersuara. "Maaf, Mentri. Tapi sebagai tangan kanan kepercayaan raja aku pernah melihat Putri Viona sekali saat aku berkunjung ke dimensi asal ratu kita."

Seseorang lain mendekati Mentri Tumo, berbisik. Aku tidak tahu mengapa. Tapi kurasa itu adalah asisten mentri, alias tangan kanan Mentri Tumo yang sangat dipercaya pria itu.

Mentri Tumo megangguk-angguk, setelahnya asistennya mengundurkan diri. "Baik, aku paham sekarang," katanya tegas. "Jadi ketiga orang ini yang kemarin kau bebaskan, Jendral Ryno?"

Kugigit bagian dalam bibir. Tampaknya permasalahan ini akan bertambah panjang. Kudengar Kiara dan Adnan di belakangku mengeluhkan hal yang serupa.

Jendral Ryno membungkuk lagi. "Maaf, Mentri. Itu karena aku berusaha melindungi Tuan Putri."

Alih-alih menang, justru sebenarnya apa yang dilakukan Mentri Tumo malah mempertegas kekalahannya. Ia tampak marah. "Bagus. Aku jadi punya alasan untuk menghukummu. Pengawal, tangkap mereka dan eksekusi mati!"

Saat itu juga, beberapa hadirin berdiri, berseru tak terima. Suasana kembali ricuh. Beberapa pegawal harus menenangkan mereka.

"Kami tidak terima!" Beberapa terlihat bersorak begitu. Salah satu dari mereka yang duduk di paling depan berdiri. Seorang pria tua dengan mata coklat meminta didengarkan. Sepertinya ia tokoh penting masyrakat. Karena tidak mungkin ada rakyat biasa yang menghadiri ini.

"Maaf, Mentri. Bukankah seharusnya kita membuktikan kebenaran ucapannya lebih dulu?" tanyanya yang langsung dihadiahi banyak persetujuan yang lain.

Salah satu dari jajaran orang penting yang sedari tadi berdiri di pinggir maju, menghampiri. "Maaf, Menteri. Ada baiknya kita mengikuti perkataan mereka."

Menteri tampak kecewa dan kesal, namun hanya bisa ia tahan. "Begitukah menurutmu, Penasihat?"

Si Penasihat mengangguk. "Ya, Mentri."

Menteri Tumo tampak frustasi, hingga ia memilih untuk mengalah dan berkata, "baiklah. Kita buktikan kebenarannya."

Setelah ucapan itu, orang-orang menjadi lebih tenang. Para pengawal mundur ke tempatnya semula. Jendral Ryno dan Rylo tersenyum kecil sebelum kembali ke tempatnya. Yang mana hal itu membuatku menjadi gelisah dan canggung sendiri.

Dengan tangan yang dingin kugenggam tangan Kiara. "Apa yang akan mereka lakukan padaku?"

Kiara menggeleng, tidak tahu. Adnan membalas ucapanku. "Tenang saja, Viona. Dari yang kuamati, mereka bukan kanibal."

Alih-alih tenang, aku malah tambah gelisah dan jantungku mulai berdetak kacau. Tanganku mendingin, kakiku lemas. Astaga, Viona. Tenanglah sedikit.

Seorang pelayan kerajaan datang dengan membawa bantalan bewarna emas yang di atasnya ada peti kayu lebar namun berukuran kecil.

Sang Penasihat yang masih pada posisinya melihat pelayan yang datang membawa peti lantas berkata, "mari kita buktikan. Wahai kau yang katanya adalah keturunan pemimpin kami, jika itu benar, maka buktikanlah dengan membuka peti yang berisi tiara milik ratu ini. Belum pernah ada yang membukanya karena raja menyegelnya dengan mantra khusus."

Mendengar itu, aku semakin gelisah. Kakiku ketar-ketir. Bagaimana jika peti itu tak terbuka? Mau ditaruh mana wajah maluku seandainya itu terjadi? Tapi sungguh, mereka benar orangtuaku.

Aku menoleh ke belakang pada Kiara dan Adnan, meminta dukungan. Mereka tersenyum, lantas mengisyaratkan untuk melakukan apa yang dipinta. Kuhela napas, lalu maju beberapa langkah hingga tepat di depan pelayan itu.

Dengar, Viona. Kamu cuma harus membukanya dan ini semua akan berakhir bahagia. Hati polosku berkata.

Sudah kepalang tanggung berada di sini, maka sekalian saja. Aku yang tak nyaman berlama-lama langusung menjulurkan tangan. Kupejamkan mata. Tetapi ketika aku merasa penutupnya terangkat naik, aku membuka mata dan membelalak.

Petinya terbuka.

Di dalamnya tampak sebuah tiara dengan kristal emas bundar dan campuran mutiara yang berkilauan. Aku ternganga, begitupun pelayan di hadapanku. Semua hadirin menatapku tak percaya.

Si Penasihat tersenyum takzim. "Kita semua tahu, bahwa Segel Sidik Keturunan adalah hal mutlak. Maka dengan ini, terbukti bahwa ia adalah betul anak raja dan ratu."

Sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan terdengar. Kedua sahabatku menepuk bahuku, ikut senang. Aku jadi merasa lega dan-ini konyol memang, tapi aku baru saja merasa seperti telah mengikuti tes DNA dan hasilnya positif.

"Tetapi, Putri," suara Si Penasihat membuat sorai reda. "Kami membutuhkan pemimpin yang kuat, yang mampu melindungi kami. Posisimu sebagai putri tak akan ada apa-apanya jika kau tidak bisa bertarung dan menggunakan sihir. Maka-"

Aku kembali gemetar. Tidak bisakah kita selesaikan ini lebih cepat? Aku pegal berdiri!

"-putri harus berduel dengan Mentri Tumo." Si Penasihat tersenyum yang tampak horor bagiku. "Bagaimana, para hadirin? Apa keputusanku tepat?"

Mereka kembali bersorak, menyetujui apa yang baru saja dikatakan Penasihat. Aku kembali mendingin. Astaga, apa yang harus kulakukan?

Seolah mengerti, Kiara menggengam tanganku. Adnan menepuk pundakku. "Kamu bisa, Viona, percayalah," kata Kiara. "Terceburnya Jendral Ryno hari itu adalah salah satu buktinya."

"Jangan ingatkanku pada hal itu," decakku tak suka. Tapi kedua makhluk itu malah cengegsan. Kabar baiknya, aku menjadi lebih rileks.

"Bagaimana, Putri. Kau tidak keberatan bukan? Duel ini hanya untuk mempertegas bahwa kau cocok menjadi seorang Putri dan ratu selanjutnya."

Suasana kembali hening, mereka menungguku bersuara dan mengiyakan duel itu.

Kuhela napas, meyakinkan diri. Oke, Viona. Kau hanya perlu bertarung seperti apa yang sudah diajarkan Rylo dan ayahnya. Setelah itu semuanya akan selesai.

Kupandang Penasihat, sebelum berbalik menatap semua orang yang ada di sini. Aku tersenyum.

"Aku, Putri Marcia Viona Romano Goldey. Dan aku akan melakukan apa saja untuk mempertahankan posisiku dan apa yang seharusnya jadi milikku."

Dan inilah, awal dari semua petualangan yang akan terjadi semakin memberatkan ke depannya.

satu jejak kalian, berarti banyak buatku! ^^

say hi buat deadline yang sudah tampak batang hidungnya!

huhu mau nangis, aku masih dalam keadaan mager setelah ujian. rasanya pengin seminggu nggak nulis dan males-malesan serta maraton anime. tapi ... ga bisa (T-T)

padahal kalau kuhitung secara kasar, cerita ini cuma sampai 20an bab aja kayaknya. tapi males banget seriusan.

please, keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top