[8] Perpustakaan

[Bagian 8 | 1256 words]

DUA hari yang lalu, menjadi hari paling memalukan dalam hidupku.

Semenjak insiden itu, aku jadi terus-terusan meminta maaf pada Jendral Ryno. Aku merasa tak enak hati dan tentunya merasa sangat bersalah. Meskipun Jendral Ryno tak memiliki luka serius, hanya sedikit memar di pertengahan mata, sekitar dahi. Dan sedikit shock karena beliau terpelanting ke dalam air.

Jika aku dan kedua temanku tak salah menghitung, maka hari ini adalah hari Minggu. Yang mana berarti, besok Senin dan kami tak bisa berlama-lama atau akan bolos kuliah lagi. Tentu aku tidak mau bolos lagi. Cukup yang kemarin saja.

Petang ini, aku dan kedua temanku sudah bersiap untuk kembali pulang. Jendral Ryno dan Rylo mengantar kami hingga halaman.

Kiara dan Adnan menundukkan kepala sejenak, sebagai rasa hormat. Namun aku hendak melakukan hal serupa, Jendral Ryno melarangku. Malah, beliau dan Rylo yang menundukkan kepala padaku. Membuatku berdiri canggung, merasa tidak biasa.

"Em, itu ... sebelum kami pulang ... aku ingin meminta maaf tentang kejadian—"

Jendral Ryno menggeleng, tersenyum ramah. "Tidak perlu meminta maaf, Putri. Itu murni ketidaksengajaan dan kecelakaan. Kamu bermaksud untuk menunjukkan bahwa kamu bisa menguasainya. Dan itu bagus."

Aku meringis. Kurasa menceburkan orang tua dalam sungai bukanlah hal bagus.

Setelahnya, kami berpamitan. Berjanji akan kembali lagi. Namun sebelum kami benar-benar pergi, Jendral Ryno memberitahu sesuatu.

"Kembalilah dalam empat hari lagi."

"Kenapa?" Kiara lebih dulu bertanya.

"Hari penobatan," jawab Rylo. "Hari penobatan menteri menjadi raja. Kalian harus hadir."

Jendral Ryno mengangguk. "Khususnya kamu, Putri. Akan sangat sulit untuk merebut posisi pemimpin kerajaan kembali jika mentri mendapatkannya lebih dulu. Kamu mengerti, 'kan?"

Aku mengangguk.

Dua hari kemarin bukannlah hari yang biasa saja. Justru adalah hari paling seru selama aku di sini. Setelah kemarin Rylo beserta Kiara dan Adnan yang menemukanku histeris dengan apa yang telah kulakukan pada Jendral Ryno, beliau belum jera untuk mengajariku. Karena keesokannya, beliau sendiri yang mengajakku untuk berlatih. Tentu aku menolak, tapi kalian tahu aku tak bisa.

Jendral Ryno mengajariku lebih banyak mantra. Banyak sekali. Hampir menuntaskan semua sihir menengah, dan dasar. Apa aku hafal semua? Tentu saja, tidak. Aku hanya hafal beberapa.

Jadi bukan tanpa sebab kini aku sudah bisa menggunakan mantra teleportasi dari halaman pondok Jendral Ryno ke dalam kamar orang tuaku, tepat di depan lemari. Kedua temanku berdecak kagum, akhirnya tak perlu repot-repot berjalan jauh dari belakang bukit ke istana ditambah dengan mengendap-endap. Aku juga sama kagumnya. Kurasa kemampuan teleportasiku semakin membaik.

Aku berjengit ketika mendengar Kiara menjentikkan jarinya. Matanya berbinar, membuatku merasa sudah tahu omong kosong apa yang akan diucapkannya hingga membuatku malas duluan untuk mendengarnya.

"Aku punya ide!" serunya antusias. "Viona, bagaimana kalau begini. Kamu setiap pagi—sebelum berangkat kuliah sempatkan berteleport ke kamarku, lalu berteleport lagi ke rumah Adnan, lalu kita bisa pergi kuliah bersama dengan muncul di koridor dan tanpa telat!"

Adnan menyentil dahi Kiara. "Dan membuat Viona kehabisan tenaga sebelum kuliah dimulai, begitu?"

Kiara mengaduh, lalu mengusap dahinya pelan. "Tapi saranku ini bagus!"

"Kamu egois karena memanfaatkan teman."

"Kalau begitu kita bawakan saja seporsi nasi ayam plus kentang goreng setiap pagi untuk Viona!"

Tak habis pikir, Adnan malah menyentil dahi Kiara lagi. "Kamu mau bikin Viona gumoh dengan makanan favoritnya?"

"Diamlah," kataku jengah. "Aku punya sihir yang bisa membuat kalian menjadi patung. Mau kucoba pada kalian berdua?"

Mereka terdiam.

"Bagus, sekarang masuklah. Hari sudah mau malam dan kita belum pulang juga."

Sebetulnya sedari tadi dua makhluk itu berdebat, aku sudah membuka portal di lemari. Kuncinya sudah aman disakuku.

Tanpa protes, mereka berdua mulai masuk. Kiara lebih dulu dan disusul Adnan. Melihat mereka sudah menghilang dari kamar ini, aku tersenyum iblis. Aku menjauhkan diri dari portal hingga bisa kusaksikan portalnya menutup, menghilang sempurna. Digantikan oleh lemari yang kembali seperti semula.

Suasana hening.

Aku tidak bermaksud mengerjai mereka berdua. Sungguh. Ataupun berniat iseng. Aku masih ingin di sini lebih lama karena ada hal yang harus kukerjakan. Yang pastinya akan menjadi sulit jika ada dua makhluk berisik itu.

Sebelum pergi keluar, kukenakan kain gaib itu untuk menutupi tubuh. Aku menunggu sebentar, memastikan tidak ada yang berlalu-lalang. Barulah setelahnya membuka pintu dan mengendap keluar.

Berbekal arahan dari Jendral Ryno, aku menelusuri koridor yang panjang dan berliku perlahan. Oke, kelokan pertama sudah kulewati. Lalu seterusnya belok kiri, lurus lagi dan belok kanan. Lewati sebuah persimpangan dan belok kanan lagi, "—adalah ruangan yang pertama kau lihat," kuulangi ucapan Jendral Ryno dan langsung menemukan ruangan yang dimaksud.

Aku tidak terlalu yakin, karena apa yang ada dihadapanku saat ini hanyalah dua daun pintu besar berwarna coklat dengan ukiran rumit yang mencekung ke dalam. Dengan masih menggunakan kain, kubuka sedikit pintu hingga bercelah.

Harum buku tua menyeruak masuk hidungku dari dalam ruangan, membuatku tenang. Dari celah sempit kulihat penjaga perpustakaan tengah membaca buku ditemani secangkir mungil teh yang disesapnya sedikit demi sedikit. Melihat itu, sebuah ide terlintas di benakku agar aku bisa masuk tanpa ia sadari. Karena dari yang kudengar dari penuturan Jendral Ryno, penjaga perpustakaan adalah orang yang cukup teliti dan was-was. Kacamata tebal di hidungnya hanyalah sebuah penghias.

Kali ini targetku bukanlah sang penjaga itu sendiri, melainkan teh yang tengah disesapnya secara anggun. Kulafalkan mantra yang tertuju pada tehnya.

Bisa kulihat ia menyesap tehnya lagi sedikit, pandanganya masih fokus pada buku yang dibaca. Namun perlahan, ia tampak mengantuk. Bagus, mantraku bekerja.

Hingga akhirnya ia tertidur begitu saja. Bukunya terjatuh bersama wajahnya di atas halaman yang terbuka. Tehnya tumpah, tertindih tangan.

Tidak mau melewatkan kesempatan, aku segera masuk dan menutup pintu perpustakaan rapat. Lalu mulai menenggelamkan diri di barisan rak buku yang tinggi. Di saat kurasa sudah aman, aku melepaskan kain, meninggalkannya tergeletak di lantai pualam.

Dua hari yang lalu, Jendral Ryno memang mengajariku banyak sihir dan mantra. Tapi bukan bukan berati itu cukup. Itulah alasanku berada di perpustakaan kerajaan ini.

Jendral Ryno bilang, perpustakaan keluarga Romano menyimpan banyak buku sejak pertama kali kerajaan ini didirikan hingga saat ini. Namun yang kubutuhkan sekarang adalah buku mengenai sihir tingkat menengah dan lanjutannya, bukan sejarah—mungkin itu bisa dipelajari nanti.

Kutelusuri rak paling belakang yang di setiap deretannya berisi buku tebal. Di tengah keheningan, aku mendengar banyak derap langkah kaki. Hal itu membuatku menoleh, memastikan bahwa penjaga perpustakaan masih terlelap dan tak ada pengawal kerajaan yang mengecek ke dalam sini. Kewaspadaanku meningkat. Aku takut ketahuan dan mantranya tak lama lagi bekerja. Maka, kucomot buku-buku tebal itu asal setelah membaca judulnya sekilas.

Beberapa menit selanjutnya, jika tidak salah aku sudah memasukkan sekitar sepuluh buku tebal ke dalam tas selempang. Urusan dibaca semua atau tidak, itu belakangan. Yang terpenting aku sudah mengambil buku yang menurutku diperlukan.

Aku kembali ke rak sebelumnya, dan mengenakan kain itu lagi. Mengendap keluar perpustakaan dan kembali ke kamar orang tuaku. Pulang.

Pekikan Kiara adalah suara paling menyebalkan yang menyambutku ketika kembali ke kamar orang tuaku yang lain, disusul cubitan gemas dari Adnan pada hidungku yang tentu saja langsung kutepis.

"Astaga, Viona! Kami kira kamu ketinggalan dan di penjara lagi!" seru Kiara khawatir. "Kamu bikin khawatir!"

Adnan bersedekap. "Pintar sekali kamu menyuruh kita untuk pulang duluan, sementara kamu masih menyangkut di sana." Ia menggeleng. "Kamu habis dari mana?"

"Rahasia," kataku seraya tersenyum kesal. "Tidakkah kalian lihat sudah pukul berapa ini? Lebih baik kalian pulang."

Aku menerobos mereka sambil keluar dari kamar, kedua makhluk itu mengikuti. Aku berjalan hingga depan, kubuka pintu utama dan berdiri di samping pintu sambil membungkuk bagai pegawai restoran. "Semoga harimu menyenangkan."

Kiara berdecak tak suka. "Kamu mengusir kami?"

Sebelum aku menjawab, Adnan lebih dulu berkata, "ayo kita pulang Kiara."

Adnan memasang wajah lelah dan melewati pintu. Sebelum mereka benar-benar kembali ke rumah masing-masing, cowok itu mengucapkan sesuatu.

"Sungguh, Viona, kamu berhutang banyak penjelasan pada kami."

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

part ini dikit banget :)

mingdep aku uas, jadi ga apdet, hehe.

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top