[7] Mantra dan Sihir

[Bagian 7 | 2267 words]

AKU dan Kiara kena tegur karena absen tanpa keterangan seharian. Para dosen yang mengajar di kelas kemarin mempertanyakan keberadaanku. Tak ada kabar sama sekali, seolah ditelan bumi. Terlebih, aku, Kiara, dan Adnan absen serempak tanpa keterangan. Membuat cukup banyak orang mempertanyakan karena eksistensi persahabatan kami sudah lama diketahui semua orang.

Aku tak mempermasalahkan apa kata orang. Namun tatapan kecewa bisa kulihat dari para dosen pengajar terhadapku, membuatku tak nyaman dan merasa menyesal. Belum lagi dosen yang mengadakan kuis kemarin, sama kecewanya padaku.

Sebagai hukuman, tugas kuliahku menumpuk. Begitupun Kiara dan Adnan. Kami bertiga belum bertemu lagi kecuali di kafetaria kampus, setelahnya pulang untuk mengerjakan tugas masing-masing. Sebetulnya aku sangat ingin kembali ke dimensi itu, tapi aku cukup sadar diri dengan prioritasku saat ini.

Maka di sinilah aku. Hampir dua jam berkutat di depan layar laptop, ditemani segelas teh dan biskuit yang sudah habis serta televisi yang menyala, menampilkan iklan. Aku menguap, merasa lelah dan mengantuk padahal jam baru menunjukkan pukul lima.

Kira-kira Jendral Ryno dan Rylo sedang apa, ya?

Ngomong-ngomong soal ayah dan anaknya itu, aku jadi teringat tas selempang yang diberikan beliau. Lantas aku bangkit dan mengambil tas yang kutaruh di kamarku itu. Setelahnya kembali ke ruang depan.

Jendral Ryno belum menjelaskan satu hal pun mengenai tas yang kosong ini. Tapi rasa penasaranku tak serta merta hilang begitu saja. Kumasukkan tanganku ke dalam—astaga!

Tas ini tak berujung!

Percayakah kalian bahwa tanganku sudah masuk ke dalam tas hingga sebahu? Tetapi inilah yang terjadi. Jari tanganku bergerak bebas di dalam tas. Seolah ada ruang rahasia yang berukuran puluhan kali lipat dari ukuran tas ini sendiri. Dan entah mengapa aku jadi terpikir tas selempang ini menggunakan konsep yang sama seperti kantung ajaib Doraemon. Oh, pasti Jendral Ryno yang menyihirnya! Keren sekali. Rasanya aku seperti ada dalam novel fantasi sekarang.

Tanganku bergerak bebas. Ke sana-sini entah hendak menggapai apa. Hingga ketika aku merasa tanganku menubruk sesuatu, aku mengambilnya dengan was-was. Kuharap bukan sesuatu yang menjijikan.

Rupanya benda ini adalah buku. Buku tebal bersampul coklat kuno yang tampak membosankan dan sedikit usang. Kubaca judulnya, lantas memekik senang.

Sihir untuk Pemula.

Tanpa menunda, segera kubuka buku ini. Senyum girang tersungging di bibirku kala mendapati banyak halaman dengan simbol dan mantra-mantra. Kupilih salah satu dan mencoba melafalkannya. Ini sihir untuk melayangkan benda.

"Vraja Plutitoare."

Sedetik usai kulafalkan mantra, mendadak laptop dan beberapa buku di meja melayang. Sontak aku panik dan meraup laptop, mendekapnya. Buku-buku yang sempat melayang jatuh dan berdebum pelan di meja. Aku menghela napas lega. Sama sekali tidak bisa membayangkan jika laptopku jatuh dan rusak di saat seperti ini.

Aku kembali pada buku sihir itu, belum kapok. Tapi kurasa aku harus lebih berhati-hati karena sepertinya tidak ada cara khusus pada pelafalan mantra. Jika tak sengaja mengucap, bisa fatal akibatnya.

Kubalik halaman, dan menemukan mantra lain. Kali ini sihir air.

"Ela ... neró?" aku bermaksud bingung.

Namun justru keajaiban terjadi. Gelas teh yang kosong kembali terisi seolah ada air dari dasarnya. Aku tersenyum, mantraku berhasil. Tetapi senyumku seketika luntur digantikan kepanikan tatkala air di gelas tak berhenti meluap. Membasahi meja dan tumpah ke karpet. Aku segera mengungsikan laptop dan buku-buku ke sofa. Oh, astaga.

"Berhenti-berhenti!" Ya ampun, bagaimana cara menghentikannya?

"Berhenti, berhenti! Astaga, rumahku banjir!" Aku refleks melompat ke sofa (hampir saja menginjak laptop dengan kaki yang basah). "Berhenti! Zatrzymać!"

Airnya berhenti.

Aku merosot, jongkok di sofa. Memandang letih meja yang basah, karpet yang berair, dan air yang mengalir ke sudut ruangan, menggenang ke tempat yang sedikit lebih rendah. Belum lagi tadi aku sempat berdiri di atas sofa dan meninggalkan jejak kaki basah. Beberapa bukuku sempat terkena air. Aku menghela napas.

Ini lebih buruk dari yang kukira.

Mempelajari sihir dasar, menjelma sebagai rutinitasku.

Aku selalu menyempatkan diri untuk mempelajari dan tak jarang rumahku menjadi kacau setiap kali mencoba mantra baru. Kemarin aku hampir saja membakar habis tanaman berbunga milik mendiang ibuku. Tapi untungnya aku bisa memadamkannya lebih dulu.

Perihal sihir ini, aku belum memberitahukannya pada kedua temanku. Jika aku memberitahu mereka, bisa-bisa aku menjadi bahan candaan ketika mereka tahu apa akibat dari sihir ini. Tidak, tidak. Kurasa sekarang bukan waktu yang tepat.

Hari berlalu begitu saja. Tahu-tahu sekarang sudah hari akhir pekan dan aku sedang bersantai di rumah dengan segelas teh dan makanan ringan. Tugasku kuliahku sudah selesai untuk saat ini. Jadi aku bisa bermanja dengan sofa dan televisi.

Semenjak aku menguasai beberapa mantra, sekarang menjadi lebih praktis. Beberapa hari lalu, aku menggunakan sihir untuk menyiram tanaman dan membersihkan rumah saat aku sedang benar-benar lelah. Dan saat ini, tanpa perlu beranjak ke dapur, dua bungkus makanan ringan datang menggantikan bungkus-bungkus lainnya yang telah kosong di atas meja. Disusul teh kemasan yang berukuran besar.

Bagus, Viona. Akhir pekan ini berat badanmu akan bertambah.

Di saat aku sedang dilema antara cemilan atau berat badan, terdengar ketukan pintu dari luar. Aku sudah bisa menduga siapa yang datang di hari seperti ini. Tebakkanku benar. Bahkan sebelum aku bangkit untuk mengecek, dua makhluk abstrak itu muncul bersama cengiran tanpa dosa. Seakan masuk rumah sebelum diizinkan tuan rumah adalah hal yang lumrah.

Aku berdecak, jengah. Kuabaikan mereka dan memilih fokus dengan televisi dan cemilan. Mari lupakan soal berat badan.

"Astaga, Viona. Ini benar rumah kamu?" Kiara melongo melihat sisa kemasan minuman dan makanan ringan. "Nan, kamu sudah pastikan kita tidak salah masuk rumah tetangga Viona?"

Adnan menggeleng-geleng. Ia menendang bungkus yang sempat jatuh dan duduk di sofa kecil, Kiara di seberangnya. Sementara aku sendiri santai di sofa tiga dudukan seolah tidak ada orang selain diriku.

"Aku penasaran. Kamu itu tengah kerasukan arwah jenis apa?" sindir Adnan.

Aku mengunyah keripik. "Mungkin terlalu banyak berteman dengan makhluk seperti kalian berdua."

Kiara berjengit. "Kamu jahat sekali."

Aku tidak menggubrisnya. Setelah itu Adnan menatapku, tapi pandangku pada televisi. "Ayo kita kembali ke Mineverse."

Ucapan Adnan disetujui Kiara. Gadis itu mengangguk, lantas bangkit, menarikku. "Ayo, bangun! Astaga. Kamu harus tetap produktif, Viona. Sekalipun itu akhir pekan!"

Kutepis tangannya. "Aku sedang produktif, Kiara. Produktif untuk menambah berat badan! Kamu tidak lihat? Bahkan perutku tengah berbahagia sekarang," kataku asal.

Kiara melongo. Sementara Adnan tertawa hingga sudut matanya berair. Setelah tawanya mereda, cowok itu bangkit. "Sudahlah, Viona. Kamu tidak ingat Jendral Ryno meminta kita kembali saat waktu luang? Kita bisa pergi sekarang."

Aku mendengus sebal. Menghempas asal keripik yang masih tersisa setengah, minum teh kemasan, dan bangkit setelahnya.

"Baiklah, ayo." Aku mematikan televisi.

"Kamu tidak membereskan ini dulu?" Kiara bertanya.

"Tidak perlu. Nanti kembali bersih saat kita kembali."

Aku menyelempangkan tas kulit dari Jendral Ryno dan menyiapkan kunci. Kuhela napas, lantas memasang senyum kesal.

Tidak tahukah kedua makhluk itu bahwa sebenarnya aku sudah menunggu mereka sejak pagi untuk ini?

"Aku pegal!"

Keluhan Adnan semakin sering terdengar ketika Rylo tetap bersikukuh melatihnya sejak tiga jam yang lalu. Sementara aku dan Kiara sedang menikmati waktu istarahat kami. Kiara juga gencar meledek dan memanasi, membuat Adnan pegal fisik dan batin.

Aku hanya tertawa kecil melihat Rylo dan Adnan yang terus berdebat. Beberapa jam yang lalu saat kami datang, kami malah disuguhi pemandangan Rylo yang sedang berlatih pedang. Mau tak mau kami langsung ikut terseret. Padahal baru saja datang.

"Aku menyesal mendesak Viona tadi untuk segera ke sini, sungguh," gerutunya lantas berpaling padaku. "Viona maafkan aku, kurasa aku terkena karma ...."

Kiara terbahak. "Rasakan karma dari mahasiswi kesayangan dosen!"

Alih-alih merengut, Adnan malah ikut terbahak. Entah kenapa. "Maafkan hamba, Tuan Putri."

Kiara terpingkal, memegangi perutnya. Rylo juga tampak tertawa, kurasa tertular tawanya Kiara.

Aku berdecak. Kenapa malah aku yang kena?

Di tengah keramaian itu, Jendral Ryno datang. Refleks mereka menghentikan tawanya. Kudapati diriku menghela napas lega.

Jendral Ryno menatap kami semua, lalu beralih padaku. "Boleh kupinjam Putri Viona sebentar?" tanyanya ramah. "Putri, ayo ikut aku. Aku hendak melunaskan janji."

Aku menatap mereka bertiga. Rylo memberikan gestur menyuruhku mengikuti ayahnya. Sementara Kiara dan Adnan tampak bingung.

Aku mengangguk pada Jendral Ryno.

Jendral Ryno tersenyum, dan menyuruhku mengikutinya.

Kami masuk ke dalam hutan dan berhenti di dekat sungai di mana aku dan Kiara pernah membersihkan diri. Suasananya tenang, terdengar kicauan burung dan gemericik air sungai yang menenangkan.

"Kau sudah baca buku-buku dari tas kulit yang kuberikan?"

Aku menoleh, dan mengangguk. Agak terkejut tadi karena Jendral Ryno bicara begitu saja. "Kau hanya memberiku tiga buku, bukan? Aku sudah membaca semua."

Beliau mengangguk-angguk. "Apa yang sudah kau kuasai?"

Aku terdiam. "Belum banyak. Hanya mantra melayangkan benda, memunculkan air, dan api, ...."

Jendral Ryno tampak berharap lebih padaku, mengira aku sudah hafal banyak. Mendadak, aku tidak tega memberitahu bahwa aku baru bisa mantra yang tadi kusebutkan.

"... em, ... mantra mengisi gelas, menyiram tanaman, dan mengambil cemilan tanpa harus beranjak ke dapur ... jika itu juga termasuk."

Aku menyengir, merasa bersalah padahal bukan sepenuhnya salahku. Untung saja Jendral Ryno terlihat memaklumiku.

"Baiklah. Aku di sini untuk mengajarimu sihir tingkat menengah. Apa kau siap?" tanyanya langsung ke inti.

Aku mengangguk pelan. Semoga hasilnya tidak seburuk kemarin, doaku dalam hati.

"Baik, langsung saja." Beliau bersiap. Kami berpindah beberapa langkah. Kini di hadapan Jendral Ryno ada pohon. Aku memperhatikannya.

"Kau bisa menggunakan mantra împingând obiecte—" desingan angin keluar dari telapak tangan Jendral Ryno dan pohon di hadapan kami melesak ke dalam. Aku tertegun. "—untuk mendorong sesuatu. Jika kau melakukannya pada benda, ia akan melesak. Jika manusia, ia akan terpental."

Kepalaku mengangguk. Kuhafalkan mantra itu dalam kepala.

"Selanjutnya, kau bisa menggunakan zgâriat—" batang pohon tergores panjang hingga getahnya menitik. "—untuk menggores atau melukai lawanmu."

Aku bergidik ngeri. Untuk yang satu ini kurasa aku harus lebih berhati-hati jika tidak mau barang-barang di rumah tergores macam cakaran serigala.

"Dan mantra îngheţat—" getah yang sempat menitik tadi mulai mengalir perlahan, namun terhenti karena mantra yang dilafalkan Jendral Ryno. "—untuk menghentikan sesuatu."

Aku tersenyum iblis. Sepertinya yang satu ini cocok untuk 'menenangkan' kedua temanku.

"Coba kau praktekkan."

Aku bersiap, dan melafalkan mantra pertama pelan. Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Maka ketika aku melafalkan mantra, desingan angin memang keluar dari telapak tanganku. Tapi aku sangat terkejut ketika angin yang keluar terlalu kencang hingga membuatku terpental, bak menggunakan senapan angin. Alhasil, tembakkanku meleset dan malah mengarah ke atas, menjatuhkan dedaunan kering. Beliau memintaku untuk mengulangi.

Aku bangkit, membersihkan celana. Kuhela napas, berusaha lebih fokus. Oke, kali ini harus lebih serius.

"Impingând obiecte."

Desingan angin muncul seperti peluru besar. Lalu menghantam pohon hingga batangnya melesak, walau tidak sedalam yang dilakukan Jendral Ryno. Aku menyengir, namun beliau tampak puas.

Aku lebih berkonsentrasi selanjutnya. Hingga aku bisa menggunakan mantra menggores dan membekukan pohon dengan cukup baik. Jendral Ryno tampak puas dengan hasil kerjaku, lantas mengajakku untuk menghampiri pohon itu. Tetap kuikuti dengan tanda tanya di kepala.

"Kau juga harus belajar mantra penyembuhan," katanya. "Karena ini makhluk hidup, kau bisa menggunakan repara decalajul untuk luka ringan ini."

Bisa kulihat getah tadi kembali mengalir pelan lewat celah kasar permukaan pohon. Sementara sumbernya tertutup. Goresannya kembali menyatu, dan lesakkannya kembali seperti semula. Seolah pohon ini adalah balon yang bisa ditiup.

"Lakukan hal yang sama pada pohonmu."

Aku menghampiri pohon yang kugunakan untuk latihan. Lukanya jauh lebih ringan, hanya tergores dan melesak sedikit.

Maka kuucapkan mantra. Sepertinya aku terlalu bersemangat, karena mantranya bekerja terlalu cepat. Luka menutup dalam sekejap dan mendadak timbuh ilalang di sekitar pohon, lumut tumbuh memenuhi batang pohon yang ikut meninggi. Akarnya memanjang.

Aku melompat mundur, tapi terjungkal karena kakiku terlilit akar. Untung saja, mantra itu lekas berhenti. Jendral Ryno menggeleng melihatku. Aku berdecak.

Bagus, Viona. Kamu mempermalukan dirimu sendiri.

Tubuh belakangku terasa sakit karena jatuh sejak tadi. Aku bangkit. Jendral Ryno hanya memperhatikan hinggga ia berkata.

"Mari berduel, Putri."

Aku melongo mendengarnya. Tunggu, aku tidak salah dengar bukan? Apa tadi?

"Aku? Berduel?" Aku mendengus tawa. "Yang benar saja. Aku bahkan baru belajar tadi—"

Swossh! Sebuah mantra baru saja melewati sisi kananku. Ketika kulihat, lengan bajuku robek sedikit. Kutatap Jendral Ryno horor.

Tapi beliau hanya tersenyum. "Kau tidak ingin membalasku?"

Balas, Viona, balas! Hati kecilku berteriak. Oke, apa boleh buat.

Tanpa aba-aba, aku membalas dengan sihir lesak yang cepat. Namun secepat itu juga beliau menghindar.

Sepertinya ini akan jadi serius.

Jendral Ryno kembali melayangkan sihir menggores, aku menyamping untuk menghindar. Kudekati beliau cepat dan melempar sihir gores yang sama, tentu meleset.

Kami terus berbalas lemparan sihir. Jendral Ryno berhasil mengenaiku sedikit di beberapa tempat. Namun sihirku selalu meleset dan malah membuat hujan dedaunan kering atau malah mengagetkan hewan hutan.

Awalnya aku mengira ini cuma pemanasan maupun sebagainya. Tetapi kala kulihat Jendral Ryno yang tak ragu untuk menyihirku, aku jadi enggan.

Di saat jarakku dan Jendral Ryno cukup dekat, kulihat celah di mana beliau lengah. Langsung saja kumanfaatkan hal itu sebagai sasaran. Pasti kena!

"Zgâriat!"

Mata Jendral Ryno tampak membulat sepersekian detik saat melihat sihirku. Secepat itu juga, ada kubah berwarna emas yang melingkupi dirinya bak perisai. Sihirku memantul ke atas.

Aku melongo.

Apa-apaan? Aku bahkan belum diajari mantra pertahanan dan ia sudah menggunakannya? Curang!

Melihat aku yang lengah, Jendral Ryno melayangkan tendangan berputar. Tidak keras. Tapi karena aku yang tak siap, aku jatuh menyamping dan tahu-tahu sudah berlutut dengan tangan di punggung.

Apa aku sudah kalah?

"Kau hampir membelahku menjadi dua, Putri."

Sebuah rencana terlintas di benakku. Kulemahkan tenaga, sengaja. Hingga cengkraman Jendral Ryno terasa begitu kuat di tanganku. Kukumpulkan tenaga untuk yang satu ini.

Aku belum kalah.

"Maaf, aku memang bermaksud, Jendral!"

Di saat aku punya cukup tenanga, kuhentakkan kepala ke belakang hingga ada bunyi benturan keras yang membuatku sedikit pusing. Jendral Ryno mengaduh menutupi wajahnya. Secepat kilat aku bangkit, mendorongnya, dan—

"Impingând obiecte!"

Jendral Ryno terpental. Aku baru saja hendak tersenyum puas sebelum tersadar ke mana aku melempar beliau hingga terdengar suara ceplukan air yang sangat keras. Hewan hutan yang menonton kami membubarkan diri, terkejut. Ikan-ikan berlompatan. Wajah senangku luntur, berganti panik.

"Jendral!"

Ia tercebur dalam sungai.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

hai, semua. komen dong :(

oh ya, kalian ngerasa sesatu di chap ini ga sih? mungkin ngerasa agak berantakkan (?)

aku langsung dalam mode ngebut ketika melihat tanggal dan belum melihat kisaran chapter cerita ini /nangis/ jadi maaf aja kalau agak berantakkan dari chap sebelumnya dan ga dapet feel. aku bener bener ngejar target tamat.

tapi untungnya, ide secret dimension ini udah jelas kok, clear. tau garis besar plus ada outline. i really know how this story going to be and end. bener-bener tinggal diketik aja.

doain ya, biar bisa tamat tepat waktu /nangis lagi/

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top