[6] Pulang
[Bagian 6 | 2047 words]
KEJADIAN tadi berakhir baik.
Setelah berhasil menenangkan diri, aku kembali ke tempat latihan tadi dan seketika diserbu oleh Kiara yang meminta maaf lalu diikuti Adnan. Aku meminta maaf atas sikapku juga, berkata bahwa mungkin aku cukup kekanakkan. Tapi Kiara dan Adnan menyanggah, bersikukuh kalau mereka yang salah. Sementara Rylo hanya tersenyum memandang kami.
Kini hari sudah petang. Aku tengah berdiri di jembatan gantung yang menghubungkan dua rumah pohon. Mataku menatap lurus sisi belakang istana yang tampak menggelap. Agak ngeri sejujurnya berdiri di sini, tapi pemandangannya bagus.
Aku sontak menoleh ketika merasakan jembatannya bergoyang. Rupanya Rylo yang datang. Cowok itu berdiri di sampingku dan menatap lurus, ke arah istana. Aku mengikuti arah pandangnya.
"Bagus, ya?" tanyanya tanpa menoleh
Kepalaku mengangguk. Kami sama-sama diam untuk sejenak, saling menikmati angin sore yang bertiup sejuk dengan pemandangan istana yang perlahan mulai membentuk sebuah siluet. Jembatan bergoyang sedikit karena hembusan angin. Aku mengeratkan cengkraman pada tali pegangan.
Keheningan mendadak mengingatkanku pada sebuah pertanyaan yang ingin kutanyakan ke Rylo sejak tadi pagi. Maka, langsung kutanyakan saja padanya, "darimana kamu belajar bicara bahasaku?"
"Aku belajar sendiri."
Mendengarnya membuat keningku berkerut. Rylo yang menyadari kepenasaranku langsung memulai ceritanya.
"Entahlah. Seingatku, aku mempelajarinya saat masih kecil. Waktu itu aku tidak sengaja membaca buku milik ayahku yang bertuliskan bahasa duniamu. Awalnya aku tidak mengerti, namun lama-kelamaan aku mulai mengerti karena aku diam-diam sering meminjam buku itu. Hanya saja, aku sama sekali tidak mengerti cara mengucapkannya."
Aku mengangguk. Rylo bercerita dengan bahasa yang cukup lancar.
"Hingga suatu hari, aku terpegok ayahku yang tengah mencari bukunya tetapi tidak menemukannya di mana pun. Kukira ia akan marah, karena wajahnya tampak serius saat itu. Tapi rupanya ia memaklumiku yang penasaran. Dan tanpa diduga, ia malah mengajariku." Rylo tersenyum. "Katanya, aku anak yang cepat mengerti."
Kubalas tersenyum. "Memangnya itu buku apa?"
"Semacam buku harian, tapi isinya agak acak." Lalu Rylo tertawa pelan. "Buku harian mana yang berisi daftar pinjaman uang?"
Aku ikut tertawa. "Sepertinya buku yang bagus."
Di tengah percakapan singkatku dengan Rylo, terdengar ada dehaman sengaja dari belakangku. Tawaku mereda bersamaan kepala yang tertoleh. Mataku mendapati Adnan yang bersedekap dada, dan ada senyum masam di bibirnya.
"Seru sekali, ya?"
Aku mengangguk. "Ya, dan akan lebih seru lagi kalau kamu tidak mengganggu," sindirku bermaksud bercanda, tapi Adnan malah merengut.
Rylo menggeleng pelan melihat kami berdua sebelum akhirnya pamit untuk masuk ke rumah pohonnya. Aku balik melakukan kegiatan semulaku dan membiarkan Adnan berdiri di tempat Rylo berdiri tadi. Langit mulai menggelap. Sisi belakang istana hampir sempurna membentuk siluet, tapi kedatangan kabut tipis membuatnya tampak mengabur. Sementara itu, suara serangga hutan mulai terdengar bersahutan. Kunang-kunang menyalakan cahayanya dan terbang rendah di atas tanah.
Aku masih diam, tidak berniat membicarakan apapun dengan orang di sampingku karena kurasa tidak ada hal yang begitu penting. Namun rupanya Adnan membuka pembicaraan dengan bersuara, "iti place de el?"
"Nu," balasku datar. Beberapa detik kemudian, aku menoleh cepat bersama mata yang membulat. Kutatap Adnan dengan tatapan horor bercampur terkejut seolah ia adalah alien hijau yang menampakkan wujudnya.
"Kamu bisa bahasa dunia ini?"
Adnan langsung tersenyum sombong. "Tentu saja." Ia membanggakan diri bak seorang yang telah memenangkan undian. "Bahkan Kiara juga sudah menguasainya."
Aku terheran-heran. Kurasa lipatan keningku bertambah. "Bagaimana bisa? Seingatku aku tidak-bahkan sama sekali belum mengajari satu hal pun."
Adnan tersenyum. "Tentu dengan sihir."
Aku sempat mendengar sedikit tentang bahwa dunia di sini menggunakan sihir dari Rylo. Itulah sebabnya Jendral Ryno juga sempat berjanji padaku akan mengajarkan sihir karena aku pewaris kerajaan. Tapi ..., apa Rylo yang menggunakan sihir pada Adnan dan Kiara?
"Sihir?" ulangku memastikan.
"Ya, sihir. Dunia ini menggunakan sihir, Viona. Rylo memantraiku dan Kiara agar bisa bicara dalam bahasa Mineverse tanpa perlu repot-repot belajar," jelasnya. "Praktis bukan? Jadi aku tidak perlu menunggumu-yang bahkan tidak pasti akan mengajari atau tidak."
Mendengarnya aku jadi berpikir. Mungkinkah orangtuaku dulu juga sempat memantraiku agar aku bisa bahasa ini dengan instan? Kurasa itu satu-satunya hal yang cukup masuk akal dibanding aku bisa bahasa Mineverse secara otomatis hanya karena orang tuaku adalah pemimpin di sini.
Tapi bukankah itu berarti kedua orang tuaku adalah penyihir? Dan ... apa aku selama ini juga penyihir?
Kurasa tanpa sadar alisku menukik karena pikiranku sedang bekerja keras. Bisa kurasakan Adnan ikut bingung saat menatapku. "Memikirkan apa?"
Aku mendongak. Alisku kembali normal dan senyum kecil tersungging di bibirku sebagai gantinya. "Baca saja pikiranku."
Kini malah Adnan yang terheran-heran. "Memang bisa?"
Aku mengangguk.
"Bagaimana?"
"Tentu dengan sihir!" ulangku seperti perkataannya dengan nada meledek. Aku tertawa puas, sedangkan Adnan memandangku tak terima. Dan sebelum cowok itu balas menjailiku, aku lebih dulu masuk ke dalam rumah pohon lantas mengunci pintu kayu.
Aku hanya menyengir ketika Kiara memandangku geli dari sofa.
※
Paginya, aku dan kedua temanku bersiap untuk berlatih senjata lagi, mengingat latihan kemarin kurang meningkatkan keahlian, hanya baru bisa teknik dasarnya saja. Dan seharusnya hari ini Jendral Ryno akan mengajariku sihir, mengingat begitulah yang dijanjikannya. Tapi aku belum melihatnya hingga siang ini.
"Rylo, di mana ayahmu?"
Rylo yang tengah beradu pedang dengan Adnan menoleh. Ada peluh yang mengalir dari pelipisnya. "Mungkin akan pulang besok."
Tanpa diduga, Adnan memanfaatkan kelengahan Rylo dan langsung menyerangnya. Tentu saja berhasil karena anak jendral itu terjungkal setelahnya. Rylo mengaduh, sementara Adnan tertawa puas.
"Akhirnya aku bisa mengalahkan seorang anak jendral!'
Rylo berdecak sambil beranjak berdiri, menepuk pakaiannya yang berdebu tanah. "Itu tidak adil! Viona tadi sedang bertanya padaku!"
Kiara tertawa pelan. Alih-alih berpihak pada Rylo, gadis itu malah membela Adnan. Katanya, "sudah tahu sedang latihan, malah lengah. Kenapa? kamu pangling lihat Viona?"
Bisa kulihat Adnan dan Kiara malah ber-high five, seolah sudah bersekongkol untuk menyudutkan sang anak jendral. Rylo sendiri mendengus, malas mendebat dua makhluk abstrak itu. Karena sudah kubilang, jika Adnan dan Kiara bersama, kalian akan kalah melawan.
Aku menggeleng pelan dan tersenyum geli melihat mereka, lalu fokusku kembali kuarahkan pada pohon di depanku.
Bisa dibilang, kami bertiga belajar cukup cepat. Adnan yang mulai menguasai pedangnya walau kadang lebih suka mengeluh karena pegal. Panahan Kiara yang sedikit lebih unggul dariku-bukan berarti aku payah. Tapi aku tak ingin ambil pusing tentang latihan ini karena kami juga baru belajar.
Sorenya, saat aku dan Kiara tengah berlomba siapa yang paling akurat anak panahnya, terdengar derap langkah kaki kuda dari kejauhan yang mulai mendekat. Kami berempat refleks menoleh dan mendapati Jendral Ryno datang bersama kuda coklatnya. Beliau terlihat gagah dengan balutan seragam khusus yang berwarna biru gelap dan keemasan di beberapa bagian. Hampir mengingatkanku pada ayah.
Jendral Ryno turun dari kudanya. Lalu mengampiri kami dengan langkah tegapnya dan senyum kecil. Kami balas tersenyum menyambutnya. Aku bergumam senang tak sabaran. Apakah ia ke sini untuk mengajariku menggunakan sihir?
"Bagaimana latihan kalian?" tanyanya ramah.
Rylo tersenyum. "Mereka cukup bagus."
Jendral Ryno mengangguk-angguk, sesaat kemudian wajahnya berubah serius.
"Putri Viona, maaf, aku tidak bermaksud mengusir kalian. Namun, kabar adanya tamu yang datang ke rumahku sampai di telinga Mentri Tumo dan ia menjadi curiga. Berita tersebut awalnya beredar dari para penjaga penjara yang melihat kalian dikeluarkan kemarin." Jendral Ryno menghela napas, berusaha menutupi gurat lelahnya. "Kurasa lebih baik kalian kembali pulang ke dimensi kalian. Sebagai antisipasi sebelum kamu menunjukkan siapa kamu sebenarnya, putri."
Tentu aku sedikit kecewa mendengar penuturuan tersebut, tapi kusembunyikan dan memasang senyum. Yah, aku harus mengerti. Jika tidak, kami bisa dalam masalah yang rumit.
Kiara dan Adnan tampak sama kecewanya, tapi mereka juga mencoba mengerti. Kurasa itu karena mereka cukup menikmati hari di sini dan masih ingin berlama-lama.
Jendral Ryno mengambil sesuatu yang tergantung di kudanya. Sebuah tas selempang dan kain panjang. Beliau menyerahkan tas itu padaku dan kainnya pada Kiara.
Aku memperhatikan tas selempang berbahan kulit coklat itu. Saat kulihat dalamnya, seperti hanya ada warna hitam dan rongga yang kosong-tidak ada isinya sama sekali. Tak mengerti, kututup penutup tasnya.
Baru saja aku henda bertanya, Kiara berseru heboh. Mata kami tertuju padanya. "Astaga, ini keren sekali! seperti kain tembus pandang milik Harry Potter!"
Adnan yang juga penasaran langsung menghampiri gadis itu dan ikut berdecak kagum. Aku memandang kain yang tengah dikibaskan Kiara dan membuat dirinya tak nampak dengan antusias.
Rylo tersenyum geli menatap kami, sementara ayahnya menggeleng pelan.
"Itu hanya kain biasa, sebetulnya. Aku menyihirnya di satu sisi agar bisa tampak tembus pandang," jelas beliau.
"Bagimana dengan tas ini?" tanyaku yang masih tak mengerti.
"Lebih baik kamu membongkarnya setelah sampai di rumah. Untuk sekarang, kalian harus bergegas. Tentu tidak mau mengambil resiko apapun untuk saat ini kan?"
Kami bertiga mengangguk.
Jendral Ryno tersenyum. "Kembalilah saat kalian ada waktu luang."
Setelah berpamitan sejenak, aku dan dua temanku ini beranjak kembali ke istana lagi. Karena hanya lemari di kamar orangtuaku-lah satu-satunya akses yang kami ketahui untuk pulang. Maka dengan sangat berhati-hati, kami menyelinap bak pencuri profesional. Tidak ada yang sadar kecuali angin yang bergerak di sekitar kami bertiga.
Namun, kami di hadapkan oleh masalah kala hendak membuka pintu kamar orangtuaku. Adnan yang memimpin jalan memberitahu bahwa pintunya masih sama, terkunci rapat. Padahal kemarin kami keluar dengan mudahnya dari dalam sana.
"Biar kucoba." Aku merengut. Adnan yang tampak kesal karena tak berhasil membukanya mempersilakanku ditambah rautnya yang seolah menantangku untuk membuka pintu itu.
Aku berdecak. Kudaratkan tangan pada kenop pintu dan mendorongnya, ...
... pintunya terbuka.
Aku mendengus kesal menatap Adnan. "Kamu bercanda? Bahkan aku bisa membukanya hanya dengan napas lewat hidungku!" seruku tertahan.
Kiara juga menatap Adnan dengan tatapan yang sama denganku. Adnan malah tampak bingung. "Aku tidak berbohong, Vi, beneran. Tadi saat kucoba seperti ada ratusan kunci yang menguncinya!"
"Itu tandanya kamu lemah!" Kiara memanasi.
Adnan memandang aku dan Kiara sebal.
Kami melepas kain karena tentu sudah aman di sini. Kuambil kunci emas dari kantung lantas membuka lemari. Hal yang sama terjadi pada benda di hadapan kami- persis seperti kemarin. Pintunya berangsur menghilang seolah dilahap oleh cahaya yang muncul dari kunci. Kuambil kunci yang sudah menggantung. Di detik yang sama, portalnya muncul dan kami segera melenggang dalamnya.
Sensasi menggelitik yang sama masih kurasakan, tapi kutahan saja. Beberapa saat kemudian, aku sudah muncul di kamar orang tuaku yang lain, disusul Kiara lalu Adnan.
Aku duduk di pinggir kasur sejenak, menatap lemari kayu. Masih tidak percaya pada kenyataan darimana kumuncul tadi.
Kiara mengeluarkan ponselnya. Keningnya berkerut, membuatku bertanya-tanya apa yang dilihatnya. Lalu, ia menunjukkan layar benda pipih itu pada kami.
"Lihat, kita sudah hilang sehari."
Aku tak mengerti hingga Adnan bersuara. "Jadi, tidak ada perbedaan waktu?"
Kuambil ponsel yang kutinggalkan di kasur orang tuaku dan melihat aplikasi kalender. Seingatku kemarin tanggal delapan, dan sekarang tertera tanggal sembilan. Kiara benar, kami sudah hilang sehari (itu pun jika ada yang mencari).
"Dan hebatnya, kita bolos semua kelas kuliah pada hari ini."
Kiara tertawa. "Biar saja. Kapan lagi kita mendapat kesempatan seperti ini?"
Aku melongo padanya. "Bisa-bisanya kamu lupa kita telah melewatkan kuis yang diadakan hari ini."
Kiara tampak mengingat. Kemudan wajahnya berubah pucat, gadis itu histeris. "Astaga, aku bolos kuis!" Lalu ia membuat suara pura-pura menangis.
Adnan terkekeh. "Kalau Viona yang tertinggal, aku yakin ia bisa mengerjakannya sendiri. Kalau kamu?"
Kiara berdesis menanggapi cowok itu. "Diam kamu!" Lalu kembali mencak-mencak.
Aku pusing melihat mereka yang selalu bertengkar. Maka kuusir saja mereka. "Lebih baik kalian pulang, sekarang sudah sore."
Kedua orang itu menatapku seolah terluka, yang kubalas dengan tatapan malas. "Kamu mengusir kita, Viona?"
"Ya," jawabku jujur. Kami bertiga keluar kamar. Aku mengantar mereka hingga ke halaman rumah. "Aku lelah, mau istirahat. Dan kehadiran makhluk abstrak seperti kalian berdua hanya menggangguku."
Adnan berjengit. "Astaga, makhluk abstrak." Ia menggeleng. "Kurasa kamu benar, Viona."
Kiara tertawa lalu memukul Adnan sambil mengumpat. Seolah menyetujui ucapan cowok itu.
Lihat, kan? Memang abstrak.
"Sudah sana pulang," kataku yang mulai pegal berdiri di depan pintu.
"Iya, iya." Kiara merengut. "Oh astaga, aku sudah merindukan Rylo."
Adnan memandang Kiara geli. Cowok itu sudah siap dengan motornya karena kemarin ia datang dengan motor bersama Kiara (untung saja tidak hilang di halaman). Lantas menyodorkan helm yang segera dipakai Kiara.
Setelah kedua temanku itu pergi dengan motornya, aku menghela napas. Kukunci pintu depan dan kamar orang tuaku sebelum pergi ke kamarku sendiri.
Aku berdiri di depan cermin rias yang merefleksikan diriku yang tampak sedikit berantakan dan lelah. Rasa pusing sudah lama menyerang kepalaku karena ada benda yang kugunakan duapuluh empat jam lebih pada mata. Kulepaskan lensa kontak berwarna coklat dan menaruh benda tipis nan bening itu dalam tempat bundar khusus.
Kuhela napas, dan kembali melihat refleksiku. Memandang kedua iris bewarna emas dan hijau cerah yang balas memandangku.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
• iti place de el? = kamu menyukainya? (Adnan merujuk pada Rylo) (place dibaca tetap, bukan seperti bahasa inggris)
• nu = tidak
hai, gimana bab ini? udah bisa nebak konfliknya apa? wgwg.
kayaknya aku bakal apdet bab 7 nanti siang, atau mungkin besok. masih direvisi soalnya.
as usual,
keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top