[5] Jendral
[Bagian 5 | 2288 words]
KETIKA aku menatap Jendral Ryno untuk kedua kalinya, barulah aku merasa seperti pernah melihatnya jauh sebelum ini. Matanya, tatapannya, dan raut wajahnya membuatku yakin bahwa Jendral Ryno adalah orang yang kulihat sore itu.
Saat itu, aku baru berumur 6 tahun. Aku baru saja pulang setelah bermain dengan teman sebayaku. Aku ingin menunjukkan pada Ayah bahwa aku bisa menyelesaikan rubrik yang tadi pagi beliau belikan untukku, padahal teman sebayaku saja belum bisa menyelesaikan rubrik itu.
Jadi saat aku mencari Ayah, aku tahu beliau berada di dalam kamar, dan sedang bicara. Kukira bicara dengan ibu, tapi rupanya ibu ada di dapur. Aku yang penasaran mencoba mengintip.
Aku melihat Ayah yang sedang bicara dengan seseorang. Aku tidak bisa melihat Ayah sebab terhalang oleh pintu. Namun, aku bisa melihat sang tamu yang kebetulan matanya juga menangkap diriku yang mengintip, tapi ia diam saja. Dari situ, aku yakin bahwa yang tamu itu adalah Jendral Ryno.
Tapi belum sempat aku melihat secara keseluruhan, tiba-tiba pintu di hadapanku menutup pelan. Aku sempat terkejut. Begitu mendongak, aku menemukan Ibu yang tersenyum dan mengisyaratkan bahwa mengintip itu tidak baik.
Aku menghela napas. Rupanya aku masih ingat.
Jendral Ryno menatapku. "Apa yang membuat kalian ke sini?"
"Hanya mengikuti petunjuk," Kiara membalas ketika melihatku melamun.
Aku baru sadar ketika merasakan sikutan keras di perut kiriku. Refleks, aku mendesis hingga semua orang menatapku aneh. Ah, Kiara memang menyebalkan. Aku mengumpat untuknya.
Mencoba mengabaikan, rupanya Adnan berbaik hati dan berupaya mengembalikan atensi semua orang pada percakapan. "Jadi, ini dimensi apa?"
Basa-basi sekali. Namun, biarlah. Itu cukup membantu karena tidak ada lagi yang menatapku. Lantas, kesempatan itu kugunakan untuk menginjak kaki Kiara. Ia menahan keterkejutannya dan mengaduh dengan mencoba menggigit bibir bawahnya. Tentu saja itu berhasil menyelamatkannya dari rasa malu. Mau tak mau aku kesal karena tak berhasil membalas.
"Dimensi ini tidak bernama, namun orangtua Viona memanggilnya Mineverse," katanya. "Ini Kota Gold. Dipimpin oleh keluarga kerajaan Romano, salah satu dari empat keluarga kerajaan."
"Jadi.., di sini hanya ada empat kota?"
"Keempatnya kota besar, tapi masih ada kota kecil lainnya yang berada di lingkup kerajaan. Tidak benar-benar empat kota. Tapi kerajaan mengunakan kota besar sebagai pusatnya."
Aku mengangguk mengerti. "Kami di sini untuk ini."
Kuserahkan surat yang ditulis oleh kedua orangtuaku pada Jendral Ryno. Beliau menerima dan membacanya dengan seksama. Rylo di sampingnya ikut melirik karena penasaran. Kurasa, kami bisa mempercayai keluarga ini.
"Sebuah kehormatan Yang Mulia menitipkan Putrinya padaku." Jendral Ryno terlihat tersentuh. "Yang Mulia, aku berjanji untuk menyelamatkan Romano," ia bergumam dalam bahasa dimensi ini.
"Lalu, di mana Penasihat Falfa?"
Aku juga akan menanyakan hal serupa namun Kiara bertanya lebih dulu.
Jendral Ryno menatap kami sekilas sebelum tatapannya menajdi sendu, diikuti Rylo. "Ia sudah meninggal, satu tahun yang lalu."
"Kenapa?" Aku penasaran.
"Kekejaman Menteri Tumo." Jendral Ryno mendesah lelah. "Akhir-akhir ini dia gemar sekali menghabisi orang yang dulu dekat orangtuamu, Putri. Ia juga akan segera mengincarku jika saja aku tidak terus memuaskannya."
Kami saling pandang, tidak mengerti. Untungnya Rylo menambahkan lebih lanjut, "ayahku bekerja lebih keras akhir-akhir ini. Permintaan Mentri Tumo sering aneh-aneh."
Sebuah perasaan bersalah seketika hinggap di diriku. Walau aku belum tahu rupa penasihat itu, aku ikut bersedih karenanya. Jika saja aku datang lebih awal, mungkin ia masih sempat tertolong(?). Entahlah, tapi aku yakin. Dan melihat Jendral Ryno yang kelelahan, berhasil mengingatkanku pada Ayah.
"Ah, Putri," Jendral kembali berkata, tatapan sendu itu sudah menghilang. Kurasa ia juga tidak mau berlama-lama. "Aku berharap kamu mau mengabdi, meneruskan kerajaan sebagaimana mestinya. Aku sangat berharap kamu bersedia, tentunya kamu mau 'kan menyelamatkan tanah kelahiran nenek moyangmu?"
Tanah kelahiran nenek moyangmu, mungkin jika aku lahir di sini Jendral Ryno akan berkata tanah kelahiranmu. Sayangnya, aku tidak lahir di sini.
Aku ragu. Bukan, bukan karena tak mau membantu. Aku mau membantu, sangat mau. Namun ketika mendengar kata mengabdi dan meneruskan, entah kenapa aku jadi bimbang. Bayangan terjebak dalam dimensi ini dengan harta berlimpah dan menjadi putri berhati dingin serta tidak tahu belas kasih langsung melintas di benakku. Belum lagi dengan para pangeran yang berebut ingin melamarku tapi kutolak semudah membalikkan telapak tangan, dan hukuman pasung bagi mereka yang membangkang.
Oke, cukup. Film-film itu meracuniku.
Aku menghela napas pelan, mencoba menghilangkan imajinasi liar yang tentunya takkan kubiarkan terjadi padaku. Lantas menatap kedua sahabatku, bertukar pandang. Untungnya aku dan Kiara sering melakukan ini. Rupanya bermain tatap-tatapan ini tidak hanya berguna saat ada ujian dan kuis saja.
Kuberikan Kiara pandangan apa-yang-harus-kulakukan?
Kiara membalasnya dengan kami-ikut-denganmu.
Kulirik Adnan yang rupanya salah kaprah dengan arti pandangan kami. Aku bisa melihat cowok itu memberikan pandangan kamu-serius-ingin-buang-air-besar?
Aku menghela napas, memaklumi Adnan yang tidak mengerti karena aku dan Kiara tidak pernah melakukan pandang-pandangan dengannya.
Mencoba mengabaikan arti tatapan Adnan, aku mulai berpikir keras. Aku tidak pernah tahu bahwa takdirku adalah menjadi seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan karena aku tidak pernah disiapkan untuk ini. Jika boleh menyalahkan, ini semua salah orang tuaku yang tidak pernah menceritakan apapun. Tapi—ah, sudahlah.
"Aku..." Untuk alasan yang tidak kuketahui, kenapa kalimatku menggantung?
"Kamu tidak bersedia, Putri?"
Ah, Jendral Ryno benar-benar mengingatkanku pada Ayah. Nada bicaranya saat membujukku terdengar begitu sama. Kalau seperti ini, apa boleh buat?
"A-aku—tapi, apa ... nanti aku masih diperbolehkan untuk ke dimensiku?"
Jendral Ryno menatapku dengan dahi yang penuh kerutan. "Tentu saja boleh. Memangnya Putri selama ini tinggal di mana? Apa Yang Mulia Orthopera meninggalkanmu sendirian di sana?"
Kiara dan Adnan memandangku seolah berkata yang-benar-saja-kamu-Viona. Sedangkan Rylo tersenyum kecil menatapku. Di saat itu juga, aku merasa bodoh. Kenapa aku tidak menyadarinya? Oke, keraguan selalu berhasil melucuti akal sehatku.
Tahu semua orang menunggu jawabanku, aku pun mengangguk. Dan kuharap aku tidak salah memilih. "Aku bersedia."
Jendral Ryno dan anaknya tersenyum lega. Seolah penantian lama mereka terbalas dan kini sudah ada depan mata. Oh, apakah aku mulai percaya diri? Tapi bahkan aku tidak tahu harus melakukan apa di sini.
"Minggu depan, hari penobatan Menteri menjadi raja—itu karena rakyatmu tidak tahu bahwa raja dan ratu memiliki keturunan, Viona—dan untuk persiapan, kusarankan kalian untuk di sini lebih lama. Menginaplah."
Kami saling pandang, lagi. Kurasa yang satu ini mereka juga harus ikut memutuskan. Namun ketika aku melihat Kiara dan Adnan tersenyum menyetujui, aku juga ikut setuju. Di sini lebih lama kedengarannya menyenangkan.
"Baiklah, kami akan menginap," putus Adnan.
※
Jendral Ryno merasa bersalah ketika baru mengingat bahwa rumahnya tidak seluas kerajaan: hanya sebuah pondok kecil. Namun rupanya Rylo memiliki dua rumah pohon yang tak jauh dari pondok dan saling terhubung dengan jembatan kayu yang menggantung. Kubilang, aku sama sekali tidak keberatan, begitu pun kedua temanku. Tapi itu sama sekali tidak bisa menghilangkan raut bersalah Jendral Ryno.
"Aku berjanji, Putri, kamu akan mendapatkan kamar megahmu di istana. Tapi untuk sekarang kita harus bersembunyi dahulu," ucapan Jendral Ryno tadi bahkan masih teringat di benakku.
Rumah pohon yang kami tempati sedikit lebih kecil dari pondok. Hanya ada sebuah tempat tidur yang cukup untuk dua orang, sofa panjang, dan meja. Benar-benar simpel. Serta karpet coklat di bawah jika termasuk hitungan.
Seharusnya Adnan tidur bersama Rylo, tapi cowok itu berkata bahwa ia bisa mati kesepian karena sama sekali tidak mengerti apa yang Anak Jendral itu katakan. Jadilah ia di sini, berbaring di sofa panjang. Kiara berbaring di tempat tidur. Sedangkan aku sedang asyik menatap keluar lewat jendela kotak tanpa kaca, hanya ada tirai untuk menutup.
Di sini benar-benar menyejukkan. Pohon yang digunakan Rylo sebagai tempat rumah pohon sangat tinggi (sepertinya dua pohon ini adalah yang paling tinggi dari yang lain) hingga aku bisa melihat deretan pucuk pohon lain yang hanya beberapa meter tingginya dari tempatku berdiri. Lebih jauh lagi, aku bisa melihat danau—atau sungai, ya?—yang terlihat tidak begitu besar dari sini. Dan lebih jauh lagi, aku hanya melihat pucuk pohon yang begitu lebat di sana.
Langit berubah kemerahan dengan semburat jingga yang begitu nyaman dipandang mataku. Angin sepoi-sepoi berhembus sedang hingga masuk ke dalam. Ditambah pemandangan burung entah apa yang terbang berkelompok jauh di sana, membuat mereka tampak seperti sebuah garis gelombang yang sering digambar oleh anak kecil.
Mendadak kudengar Adnan mengerang diikuti ucapan kesal, "sial, badanku sakit semua."
Aku tertawa kecil dan lanjut mendengar Kiara yang menggodanya bahwa ia tidak merasa sakit sedikitpun sebab tempat tidurnya tergolong empuk. Adnan semakin kesal.
"Seharusnya kamu tidak menolak bersama Rylo," kataku yang sudah berbalik dan kini bersandar dekat jendela.
Adnan berdecak sebelum akhirnya duduk bersandar. "Salahmu yang begitu pelit mengajari kami."
Seolah setuju, Kiara mengangguk. "Untung saja Jendral Ryno bicara dalam bahasa kita. Jika tidak, aku yakin diriku dan Adnan hanya bisa termenung." Gadis itu menatapku sebal.
Adnan mengiyakan. Astaga, kenapa sekarang aku merasa seperti sedang dipojokkan? Kiara dan Adnan yang sudah bersatu benar-benar ... mengerikan.
"Tapi, tunggu," Adnan sepertinya ingat sesuatu. "Tadi kamu bilang apa? Kita, termenung? Kamu saja. Aku sih tidak." Cowok itu bersedekap. Alisnya terangkat dan ia melayangkan tatapan meremehkan. Sebuah gestur yang dipakainya untuk memulai perdebatan dengan Kiara.
"Orang ini!" Kiara mendelik sebal. "Jelas-jelas tadi kamu yang mengajakku bicara saat mereka berdiskusi dan berkata bahwa mengantuk!"
"Benarkah? Bukankah itu dirimu?" Adnan menantang.
"Jangan membual!"
"Kamu yang tidak mau mengaku."
"Tapi kamu juga sama saja!"
Aku tertawa dalam hati, tidakkah mereka sadar bahwa keduanya baru saja mengakui kalau sama-sama mengantuk? Astaga, mereka lucu sekali. Bagiku yang sudah bersama mereka sejak sekolah akhir, mereka tak ubahnya adik-kakak yang selalu bertengkar. Bahkan sebutir nasi saja bisa mereka perdebatkan.
Mengabaikan mereka, aku mulai berjalan ke arah tempat tidur, merangkak, lalu berbaring di sisi pojok dan menghadap dinding.
"Bertengkar saja kalian hingga pagi, aku mau tidur."
Kiara yang baru menyadari aku sudah berbaring langsung menoleh tak terima. Ia mengguncang-guncang bahuku.
"Tadi aku lebih dulu tidur di pojok, Vi!" serunya tak terima, "cepat bergeser! Aku tidak mau tidur menghadap Adnan!"
Kuabaikan Kiara dan lebih memilih untuk memejamkan mata. Memaksa diriku untuk segera pergi ke alam bawah sadar yang berhasil kulakukan secepat mungkin.
※
Paginya, kami sudah berada di hutan. Sebelumya aku dan Kiara sudah sempat mandi di sungai—rupanya yang kemarin kulihat adalah sungai, bukan danau—setelah itu kami berkumpul di sini, untuk berlatih menggunakan alat bertarung. Entah kenapa kami harus mempelajari itu.
Jendral Ryno sudah pergi pagi-pagi sekali, ada urusan, katanya. Jadi kami diajari oleh anaknya, Rylo.
"Pilih alat apa yang ingin kalian gunakan. Bebas, pilih sesuka kalian," katanya merujuk pada peti kayu yang ia dan Adnan bawa dari pondok.
Omong-omong, ternyata Rylo bisa bicara dengan bahasa kami. Aku cukup terkejut saat mengetahuinya tadi pagi. Tapi baguslah, setidaknya aku tidak perlu menjadi perantara bahasa.
Aku langsung menghampiri peti kayu bersama Adnan yang lebih dulu tertarik. Di dalamnya terdapat banyak sekali alat bertarung, namun semuanya terbuat dari kayu.
"Mengapa kayu?" Adnan mengambil sebuah pedang kayu. Dipandanginya pedang itu dengan tatapan remeh.
Rylo tersenyum tipis. "Karena aku tidak menyarankan kalian untuk langsung menggunakan yang sungguhan. Lagipula, kalian bisa terkilir jika belum terbiasa."
Adnan hanya nyengir mendengar alasannya. Sementara aku masih memilih, dan Kiara langsung tertarik memilih panah. Aku yakin ia mengambil tanpa berpikir.
"Kamu yakin mengusai semua benda ini?" Kiara bertanya dengan nada mencemooh.
"Kamu meragukan seorang Anak Jendral?" balas Rylo sedikit menyombongkan diri.
Aku tidak ikut merespon, masih sibuk memilih. Aku sangat bingung, bahkan isi peti kuaduk-aduk hingga yang paling bawah. Aku melamun. Apa yang cocok denganku?
"Bagaimana kalau aku mempelajari semuanya?" tanyaku pada Kiara, meminta saran.
Namun, Kiara mendengus. "Jangan bercanda, Vi. Kamu bahkan belum menguasai salah satunya."
Wajahku mengeras, aku berpaling. Merasa kesal karena aku tidak suka diremehkan. Sedikit tersinggung walau aku tahu Kiara tidak bermaksud demikian.
"Rylo, apakah aku boleh mempelajari semuanya?"
Rylo yang tengah bicara dengan Adnan menoleh. Ia tersenyum dan mengangguk. Namun saat ia hendak berkata, Adnan mendahuluinya.
"Lebih baik kamu menguasai salah satu lebih dulu." Adnan mengayunkan pedangnya. "Daripada—"
Sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya, buru-buru aku mengambil panah dan menutup peti dengan keras hingga berdebum. Mereka bertiga langsung membisu. Sementara aku berdiri dengan perasaan kesal.
Aku tahu mereka tidak bermaksud seperti itu. Tapi sesuatu dari kalimat mereka berhasil menyulut kekesalanku. Entah aku yang cukup sensi dan tampak seperti anak kecil yang merajuk atau ucapan mereka yang terdengar sedikit keterlaluan di telingaku, tetap saja aku tidak pernah suka diremehkan.
Untuk sesaat bisa kurasakan desakkan untuk memuntahkan semua kekesalanku. Aku yang hendak berkata menjadi urung ketika melihat wajah bersalah Kiara. Segera saja kuredam amarahku. Kucoba kembali mengingat momen seru di antara kami bertiga—ini cara ampuh meredakan emosi terhadap dua manusia itu—sebelum akhirnya menghela napas kuat-kuat. Perasaan kesalku berangsur hilang.
Untuk tetap menjaga kewarasanku, kurasa lebih baik menjauh dari mereka sejenak.
Aku menyunggingkan senyum yang dipaksakan. "Terimakasih sarannya." Lalu aku pergi menjauh.
Aku tidak bermaksud, tapi kurasa Kiara dan Adnan menganggap perkataanku barusan adalah sebuah sarkasme.
Masuk lebih dalam ke hutan, aku mendapati pohon yang semakin besar dan rapat. Tidak mau tersesat, aku lebih memilih menyendiri di dekat sungai (untungnya, aku hafal jalannya). Suara gemericik air sungai yang menyenangkan mengembalikan mood-ku.
Aku menghela napas. Jika dipikir kembali dengan kepala dingin, aku bertingkah kekanakkan tadi. Kemarahan membuatku bertingkah di luar kendali sehingga tak jarang aku merasa malu saat dipikir kembali saat emosi sudah mereda.
Aku sendiri tipe orang yang tak sungkan mengungkapkan apa yang kurasa. Namun seharusnya tadi aku bicara baik-baik, bukan seperti itu.
Ah, bodohnya aku.
Kira-kira mereka marah tidak ya?
Pada akhirnya, aku tetap membutuhkan mereka. Tidak peduli seberapa sering tingkah mereka yang membuatku kesal, bagiku, tidak ada teman yang sebaik mereka. Tidak ada teman yang memberikan kepeduliannya sebesar yang mereka berikan.
Kurasa keputusanku menyendiri di sini adalah benar. Aku jadi menyadari betapa berartinya dua makhluk yang sering bertengkar itu di hidupku. Dan mungkin aku akan terus menyesal jika akulah penyebab renggangnya persahabatan kami karena masalah sepele.
Aku menghela napas.
Jika nanti aku di luar kendali lagi, tolong ingatkan pada hal ini, ya?
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
/nangis baca judul/ maaf ya, aku ga jago bikin judul buat tiap bab. tapi kekeuh banget buat pakai judul :')
oke, lupakan.
hai, semua! di bab 6 nanti ceritanya udah mulai (sedikit) menanjak. di akhir bab 6 nanti (bukan author note), ada sebuah rahasia yang kuungkap tentang viona. so yang teliti ya, karena itu salah satu kata kunci buat konflik, hwhw.
dan seperti yang kalian tahu, cerita ini kuikutkan dalam WWC 2020 yang diselenggarakan oleh Wattpadindo. jadi kalau kalian suka, mohon jatuhkan bintang dan komentar sebagai jejak kalian, ya. and also ...
keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top