[19] Sisa Peradaban
[Bagian 19 | 1561 words]
PEMANDANGAN yang terhidang di depanku jauh lebih membuatku takjub daripada tanaman yang bercahaya dan berbisik-bisik. Sekarang kami tampak seolah berada di bagian lain yang tersembunyi dalam hutan.
Pepohonan di sini jauh lebih hijau dan tampak hidup dengan daun yang bergoyang seperti tertiup angin. Rerumputan hijau tumbuh rata dan pendek seolah sehabis dipotong. Bunga tumbuh bercahaya dan menguarkan aroma yang sangat harum. Semak-semak berbentuk bagus seolah habis dipangkas rapi.
Dan di depan sanalah tampak puing-puing raksasa yang sudah berbentuk balok besar maupun pecahan. Sebagian lebur, sebagian lagi masih tampak utuh. Tiang-tiangnya masih menumpuk di atas tanah. Seolah bangunan itu baru dirubuhkan kemarin sore.
Kanopi di atas sana memang sangat rapat, sehingga tak ada celah matahari masuk sama sekali. Sumber pencahayaannya hanya datang dari langit tepat di atas puing-puing, membuat kanopi tampak berlubang besar dan sinar matahari hanya ditujukan untuk menyinari reruntuhan kerajaan itu.
Terdengar gumaman takjub dari teman-teman di belakangku, bahkan aku pun mengagumi sisa-sisa peradaban yang hanya tertinggal kepingan itu. Meskipun begitu, aku seolah bisa merasakan bagaimana riuh serta megahnya kerajaan yang sempat berada dalam masa kejayaan ini.
Kami kembali dihadang oleh gerbang setinggi tiga meter yang anehnya masih tampak mengilap seolah rutin dibersihkan. Sulur-sulur tanaman tumbuh meliuk di antara pagar serta daun pintunya. Tempat ini tampak tak terawat sekaligus terawat di saat yang bersamaan. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya.
Adnan maju, mencoba membuka gerbang itu untuk kami. Rylo pun ikut maju untuk membantunya membuka. Namun siapa sangka, gerbang itu terbuka begitu mudahnya bahkan sebelum Rylo sempat menyentuhnya.
Adnan menyengir ketika ia berhasil membuka gerbang besar sendiri. "Wow, aku merasa seperti orang kuat."
Rylo menggeleng pelan dengan senyum geli. "Tapi aneh sekali. Gerbang ini bahkan tidak berdecit sedikitpun seolah—"
—seolah rutin dibersihkan. Lihat, bahkan Rylo satu pemikiran denganku.
Kami mulai menelusuri ke dalam. Ada kolam air mancur raksasa yang tampak kering dengan patung pajangan yang setengah hancur. Aku jadi tidak tahu hewan apa itu. Hanya tampak setengah tubuh ke bawah berikut empat buah kaki, aku tidak punya ide untuk menyimpulkan hewan apa itu.
Aku baru tersadar bahwa puing-puing ini tidak asal dihancurkan. Aku menyadarinya kala puing-puing ini disusun sedemikian rupa agar semuanya tetap seimbang dan tidak mudah runtuh lagi walau masuk ke bawahnya. Diriku menjadi takjub sendiri. Siapa yang telah mengatur semua ini? Rasanya aku ingin memberikannya pujian.
Kupanjat salah satu puing yang melintang dan mendarat tepat di tanah. Perhatian kupusatkan pada bentuk tak teratur langit-langit yang malah memberikan nilai indah tersendiri. Kami berpencar agar lebih cepat menemukan apa yang kami cari.
"Walau reruntuhan, tempat ini tampak terawat, ya." Elva menyentuh halus puing di dekatnya.
"Hei, aku mendengar sesuatu."
Kami semua sontak menoleh dan menghampiri Rylo. Aku berjalan dengan sedikit berhati-hati. Seperti yang kubilang, langit-langitnya tidak rata. Ada beberapa bagian yang sangat rendah hingga aku harus menunduk untuk melewatinya.
Kami berdua sampai di tempatnya Rylo. Cowok itu tampak berdiri di dekat sebuah celah horizontal memanjang yang tampak sempit, ia menunjuk ke dalamnya.
"Aku mendengar percikan air dari dalam sana."
Kuhampiri celah itu bersama Elva dan memicingkan mata ke dalamnya. Aku melihat ... tidak ada apa pun. Namun, aku juga mendengar suara percikkan air.
"Ada yang bersinar," beritahu Elva pada kami. "Kurasa kita harus memastikannya."
"Aku akan memastikannya," putusku cepat.
"Aku ikut," kata Kiara dan Elva bersamaan. Tidak masalah siapa saja yang ingin ikut.
"Aku dan Adnan di sini saja. Lagi pula tubuh kami tidak muat, bisa-bisa tersangkut."
Kuposisikan tubuhku untuk tengkurap di celah antara dua puing itu, lantas mulai menggerakkan tubuhku untuk bergerak ke samping.
Semakin aku masuk ke dalam, celahnya semakin menyempit. Tubuhku hampir terancam terjepit dan aku kehabisan napas jika saja aku tidak buru-buru mengeluarkan kepala. Barulah setelah itu kukeluarkan tubuhku perlahan hingga jatuh ke dasarnya.
Aku bangkit, membersihkan rambut dan pakaianku yang penuh serpihan halus dari puing-puing itu. Lantas memperingatkan Elva yang hendak masuk.
"Hati-hati, celahnya menyempit di sini."
Aku kembali iri dengan kelincahan dan kegesitan Elva yang seketika muncul dan keluar dari celah dengan mudahnya. Aku hanya melongo melihatnya tengah membersihkan pakaian dari serpihan halus.
"Mana Kiara?"
"Tidak jadi ikut, takut tersangkut."
Sesuatu yang bersinar mengusik sudut mataku. Saat kutolehkan kepala, aku kembali takjub kesekian kalinya ketika melihat apa yang ada di sana.
Di hadapan kami ada lima batu besar dengan warna yang berbeda dengan cekungan di bagian tengahnya. Di bagian yang bercekung inilah terdapat sebuah benda mengilap dan tampak seperti sebuah kristal. Mereka memiliki warna sesuai warna batu yang di tempati.
"Ini—inilah benda pusaka yang kita cari, Viona!" seru Elva.
Batu pertama yang berada di paling kiri berwarna kelabu, dengan kristal berwarna serupa juga; batu kedua, berisi kristal berwarna emas; batu ketiga, yang berada di tengah berwarna ungu; batu keempat, berwarna merah delima; dan batu kelima bewarna biru safir, tapi tidak ada kristal di atasnya.
Eh, ke mana perginya?
Aku baru sadar bahwa ruangan ini terbuat dari batu. Sepanjang sisinya ada bintik-bintik fosfor yang mampu berpendar dan berkelip indah. Sisi dinding di belakang batu besar yang berwarna itu ada bebatuan tak rata yang mengalirkan air entah dari mana. Airnya mengalir dan masuk kedalam kolam jernih di bawah batu bewarna. Kurasa inilah sumber percikan air yang didengar Rylo.
"Ambil kristalnya sesuai warna kerajaanmu, Viona," ucap Elva.
"Warna kerajaanku?"
"Ya, emas bukan?" Elva menoleh sekilas. "Aku akan mengambil kristal yang bewarna ungu."
Kuambil kristal berwarna emas itu yang terasa menghangat. Benda ini bersinar sedikit lebih terang sebelum perlahan meredup. Permukaannya tidak rata, salah satu sisinya tajam dan hampir melukai telapak tanganku jika saja tidak berhati-hati.
Dan kukira, setelah aku mengambil kristalnya tempat ini akan rubuh. Persis seperti di film-film saat tokoh utamanya hendak mengambil barang berharga di dalam gua. Ternyata tidak.
"Mengapa batu biru itu kosong? Di mana kristalnya?"
Elva yang memandang kristal ungu di tangannya dengan takjub sebelum menjawab, "sudah diambil seribu tahun yang lalu."
"Seribu tahun yang lalu?" ulangku tak percaya. Jadi kristal di sini sudah menetap selama itu?
"Kisahnya panjang, nanti juga kau akan tahu sendiri."
"Tersisa kristal kelabu dan merah delima. Apa tidak kita ambil saja dan menyerahkannya pada kerajaan yang sesuai?"
Satu sudut bibir Elva tertarik ke atas, tersenyum miring. "Ambil saja."
Walau agak bingung dengan raut wajah Elva, aku pun memutuskan untuk mengambil kristal kelabu yang terdekat denganku. Lalu—
—aku tidak bisa mengambilnya! Seolah kristal itu terekat kuat pada cekungan batu. Senyumku menjadi masam.
"Kalau kau bisa," lanjut Elva. Ia tertawa kecil ketika melihat aku yang tak berhasil mengambilnya, membuatku jadi urung.
"Mengapa—?"
Elva menggeleng geli. "Sederhananya, itu bukan warna kerajaanmu."
"Hoi, apa kalian baik-baik saja?!"
"Ya!" balasku. "Kami datang."
Elva menyuruhku keluar lebih dulu, disusul dirinya.
"Kamu dapat bendanya?" tanya Kiara, menyambut kami.
Aku menepuk pakaian yang kotor sejenak. Lantas mengangguk senang dan menunjukkan kristal itu pada mereka.
"Wah, indah sekali—aduh!"
Telapak tangan Kiara yang baru saja hendak mengambil kristal itu tampak sedikit berdarah, tergores sisi kasar kristal itu.
"Hati-hati, salah satu sisinya tajam."
Kiara menatapku kesal. "Terlambat."
Aku tertawa.
Ketika mereka sudah puas memandang, kumasukkan kristalnya ke dalam tas selempang kulit dari Jendral Ryno. Oh, walau aku tidak selalu bilang, tapi tas ini selalu kubawa ke mana-mana.
Setelah mengambil kristal di ruang dalam celah sempit, kami memutuskan untuk kembali berpencar dan menelusuri reruntuhan yang rupanya menyimpan banyak ruang tersembunyi. Tidak hanya tempat menyimpan kristal. Bahkan, kami tadi menemukan ruang berisi ribuan keping emas dan perhiasan-perhiasan mahal yang mengilap. Tampak seperti harta karun, namun kami segera keluar dari sana agar tidak tergoda mengambil apa yang bukan hak kami.
Kali ini aku dan Kiara menemukan ruangan tersembunyi lagi setelah memanjat puing melintang yang tingginya seleher kami. Aku dan Kiara bergegas masuk ketika melihat lukisan-lukisan terpajang di dalamnya.
Ruangan itu memanjang lurus dan tampak ujungnya di kejauhan. Di sepanjang dindingnya terpajang lukisan-lukisan abstrak dengan dominan warna coklat dan krem. Pinggiran bingkainya berupa ukiran dan pahatan kayu.
Saat kudekati untuk melihat lebih dekat, aku menyadari sesuatu. Itu bukanlah lukisan. Namun sebuah papan kayu yang berhasil diukir sedemikan detailnya hingga membentuk objek dan baru diberi warna. Ini benar-benar keren. Baru kulihat pahatan serapi dan sesempurna ini.
Terlebih, bukan hanya satu. Tapi semua yang terpajang di sepanjang dinding.
Kagum, Nona?
Aku hampir saja melompat kaget mendengarnya. Oke, sekarang suara siapa lagi ini?
Aku roh penunggu ruang ini. Namaku Ruang Kisah.
Aku mengangguk. Baru saja aku hendak membuka bibir untuk membalas, ia lebih dulu menyela.
Bicara saja di kepalamu, aku bisa mendengarnya.
Oke, balasku. Aku tersenyum kecil karena rasanya sedikit aneh bisa menjawab dengan pikiranku.
Kau mengagumi lukisannya?
Ya, tentu saja! Ini sangat indah dan keren! Aku tersenyum lebar. Karena aku tidak tahu objek mana yang sedang bicara padaku, kutatap saja lukisan yang kini berada di tepat hadapanku.
Kau ingin melihat kisah yang terjadi di dalam lukisan ini?
Mataku berbinar, aku jadi sangat antusias. Memangnya bisa?
Tentu saja. Aku akan memberitahumu banyak hal, Nona Marcia.
Keningku berkerut, memikirkan bagaimana ia tahu nama depanku. Tapi kuabaikan dan memasang raut tak sabar. Ceritakan semuanya padaku!
Tepat setelah aku mengatakan kalimat itu dalam kepala, mataku mendadak terus terfokus pada lukisan di hadapanku. Aku sedikit panik kala merasa tidak bisa berpaling. Lukisan itu seolah menghipnotisku.
Semakin lama kulihat, aku mulai berhalusinasi bahwa lukisannya bergerak. Perlahan, kesadaranku juga terfokus ke lukisan yang bergerak itu. Ada gerbang masa lampau yang terbuka. Pandanganku terdistorsi. Ruang dan waktu terasa menyusut, menggembung, bergelombang, dan asimetris.
Kurasakan diriku mulai tersedot masuk, dan menyaksikan banyak kisah yang terjadi bertahun lalu.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
lagi kepepet banget, maaf kalau agak berantakan 🙇
keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top