[18] Tanaman Berbisik
[Bagian 18 | 2685 words]
SUDAH dua hari dua malam sejak kami memasuki hutan, tetapi kami tak menjumpai apapun.
Kami tidak tahu selama dan sejauh apa kami berjalan, namun sepertinya sesekali kami malah melenceng dari jalur dan (mungkin saja) melewati daerah Ebo tanpa sengaja. Alhasil, tadi malam adalah yang kedua kalinya kami diserang.
Dan pagi ini adalah hari ketiga kami tersesat tanpa arah dalam belantara. Sejauh ini kami hanya baru diserang oleh Ebo dan beberapa hewan buas. Aku, sih, cukup senang kami tidak menemui makhluk aneh. Hanya tersesatlah yang jadi masalah utama di sini.
"Aku sedikit heran," ucap Elva tiba-tiba. "Seharusnya kita sudah diserang banyak makhluk aneh sejak kemarin, dan mungkin mati di sini. Tapi kita masih selamat, sehat, dan ... ini aneh."
"Kau yang tidak waras, El," balasku sambil bergidik. "Sama psikopatnya dengan Kiara."
Yang disebut namanya terbahak. Kiara mengacungkan jempolnya. "Bagus, Elva! Kau akan jadi komplotan psikopat cantik bersamaku!"
Elva tertawa menanggapinya. "Padahal, ya, aku sudah menulis surat wasiat jika saja kita tak pernah kembali."
"Jangan bicara yang tidak-tidak," sungutku tak suka.
Waktu perjalanan yang telah kami habiskan selama di sini mulai membuatku khawatir. Jika diperhatikan, semuanya tampak sama dan kita terasa seperti berputar-putar saja. Tapi kuharap tidak demikian.
Bahkan, Elva pun mengakui kalau ia kehilangan arah. Itu salah satu hal yang aku takuti dan sekarang terjadi, membuatku semakin berpkir yang tidak-tidak. Seharusnya kami ke selatan, atau tenggara. Tapi arah jalan kami saat ini mungkin saja ke utara; tempat di mana Ebo tinggal. Aku tidak tahu pasti.
Kami berjalan terus hingga malam tiba. Kukatakan demikian sebab aku dan yang lainnya sudah merasakan kemerosotan suhu di sini. Untung saja kami telah mendapatkan tanah lapang untuk membangun tenda.
Aku, Kiara, dan Elva menunggu sambil membuat api unggun. Sementara Adnan dan Rylo mencari hewan untuk makan malam kami.
Di tengah keheningan ini, aku merasa cukup tertekan dengan perjalanan kami yang belum membuahkah hasil. Pikiranku mulai bekerja berlebihan, mendatangkan cemas yang sebetulnya tak perlu. Tapi sangat sulit kutepis sebab ia menyuarakan pertanyaan terdalamku.
"Aku masih tidak mengerti, sebetulnya apa yang kita cari?" tanyaku putus asa sambil mengais tanah dengan ranting. "Rasanya seperti orang bodoh dan idiot tersesat tanpa tujuan."
Elva mendengkus. Dilemparnya ranting pohon ke dalam api unggun. "Sudah jelas bukan? Kita ke sini untuk mencari benda pusaka seperti yang ada di dalam ramalan Fai. Mungkin sebentar lagi. Aku rasa kita sudah semakin dekat."
Tanpa alasan yang jelas, amarahku tersulut. Dengan cepat kutatap ia tajam. Ada percikan api yang mulai memanas di dadaku.
"Bagaimana bisa kau bilang kita sudah semakin dekat sementara kau saja kehilangan arah?!" Nada suaraku meninggi. Mataku gelap. "Kau bahkan tidak benar-benar bisa membantu kami!"
Kukatakan kalimat terakhir dengan menumpahkan seluruh emosi, rasa letih serta putus asa yang sudah tercampur aduk. Sedetik kemudian, kabut yang menggelapkan mataku menghilang. Aku kembali tersadar. Perlahan, aku mendinginkan kepala dan menekan kuat egoku agar tidak timbul ke permukaan atau semuanya akan merumit.
Kucengkram lutut kencang. Tengah berusaha menimbun segala rasa negatif ke dalam bumi.
Kiara tampak diam, namun kutahu sudut matanya tetap mengawasi kami berdua. Aku bisa merasakan kekhawatiran dan punggungnya yang sedikit menegang. Ia melipat bibir; bimbang antara diam atau ikut campur.
Kukira kalimat terakhirku tidak akan ditanggapi oleh siapapun termasuk Elva. Namun aku salah. Bisa kulihat raut wajah Elva yang mendatar. Ia seperti tersinggung dan kesal. Tangannya terkepal kuat.
Melihatnya membuatku merasa bersalah. Oke, aku memang keterlaluan tadi.
"Kalian yang meminta bantuanku dan sekarang kalian juga yang menyalahkanku?" sinis Elva dengan nada dingin, terdengar ada kekesalan yang tertahan dan rasa tidak terima dalam suaranya.
Aku memejamkan mata. Iya, aku tahu persis ini semua salahku yang memulai acara saling menyalahkan ini. Maka, diriku berusaha untuk tidak membalas dengan kalimat terpedas yang kupunya atau semua ini akan menjadi bertambah panjang. Bisa-bisa usahaku untuk mencari benda pusaka itu tidak akan membuahkan hasil.
Tak ingin terlibat hawa tak mengenakan ini lebih jauh, aku bangkit dari duduk bersama ego yang berusaha kuhilangkan dalam dada. Aku menghela napas pelan.
"Aku mau mencari angin segar."
Ya, kurasa aku membutuhkannya.
Kiara menatapku lekat, penuh tanda tanya. Ia tentu akan memilih ikut denganku jika saja suasanya tidak seperti sekarang. Kiara kembali diam bersama Elva yang menatap api unggun.
Kulangkahkan kaki ke dalam hutan yang gelap. Sengaja agar sedikit jauh dari mereka. Sepanjang langkah, aku menandai pohon yang kulewati dengan mantra gores yang bisa kujadikan petunjuk untuk kembali ke tenda. Aku masih cukup waras untuk tidak pergi sejauh mungkin dan tersesat karena kecerobohanku sendiri.
Dirasa sudah lumayan jauh, kunyalakan cahaya pada telapak tanganku. Tapi kusadari cahayanya tidak bersinar cukup terang bahkan cenderung redup hingga mati perlahan. Aku mendengkus kesal, sihir dasar itu belum kukuasai sepenuhnya. Mungkin karena aku sedang sebal dan terus teringat Elva saat ingin menggunakannya.
Aku berhenti sejenak di tengah kegelapan hutan. Hawa dingin menusuk kulitku dan suara serangga hutan berhasil membuat bulu kudukku meremang. Sekilas kurasakan desakkan untuk membuat sihir cahaya dan kembali lagi saja ke tenda. Namun sebelum kujalankan pemikiran itu, sesuatu bercahaya di dekatku.
Mataku mengerjap, sedikit menyipit melihat cahaya yang muncul di dekatku ini. Dan ketika aku menyadarinya, barulah aku membelalak dan mengangkat telunjukku.
Benangnya bercahaya.
Pandanganku mulai menjalari benang panjang yang sampai menyentuh dedaunan jauh di atas sana. Senyumku melebar kala melihat pendar cahayanya semakin terang serta sanggup menerangi jalan di hadapanku. Terangnya setara dengan terang yang dihasilkan oleh sihir cahaya.
Aku tertawa kecil. Suasana hatiku membaik seketika. Belakangan aku menyadari bahwa benang ini baru bersinar sebab kondisi di sekitarku menggelap dan tak ada sumber cahaya lain. Ia menyala dengan sendirinya.
Perlahan kulangkahkan kaki kembali menelusuri hutan. Kusingkap daun rendah dan semak belukar yang menghalangi jalan. Kurasa aku belum terlalu jauh serta juga belum berminat untuk benar-benar kembali ke tenda.
Baru lima menit berjalan, angin dingin berhembus kencang, menusuk kulitku. Rambutku berkibar sekilas. Kupeluk diriku dan berniat kembali saja kali ini sebab merasa agak was-was, pun merinding. Ketika kuputuskan untuk berbalik dan menghangatkan diri saja dengan yang lainnya yang barangkali tengah makan malam, aku mendengar sesuatu yang membuat bulu kudukku meremang.
Aku akan berpikir bahwa boleh jadi itu adalah suara angin sebelum tersadar hembusan angin sudah memelan, bahkan berhenti. Namun suara itu masih ada. Lirih, tipis, dan terdengar dekat padahal tidak ada siapa pun.
Kuhentikan langkah dan diam sejenak. Kupusatkan seluruh perhatian untuk menajamkan pendengaranku hingga kusadari ada yang tengah berbisik-bisik.
Dan membicarakanku.
Alih-alih lari, aku jadi penasaran siapa yang malam-malam begini tengah bergosip ria dan mencari asal suaranya. Oh, sekarang aku menangkap jelas pembicaraan ketika mendekat pada salah satu semak berlukar di sampingku.
Kau lihat itu? Benang emas yang indah.
Dahiku mengerut tatkala mendengar bisikkan dengan suara maskulin. Kutolehkan kepala ke sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sini. Agak gila, namun aku yakin bahwa suaranya berasal dari semak ini. Mungkinkah ada Ebo yang sedang bergosip di dalamnya? Tapi setelah kuingat, Ebo tidak bisa bicara selancar yang kudengar sekarang.
Ah, dia juga gadis yang cantik, sahut suara yang sedikit lebih nyaring, lebih feminim. Aku hampir menduga ada perempuan di sekitar sini.
Kau lihat matanya? Indah, bukan? Sayang sekali harus ditutupi.
Aku tersenyum masam. Ini sungguhan membicarakanku.
Suara perempuan tadi terdengar terkikik. Bahkan jika ia mau, ia bisa menaklukkan Pohon Hitam sekali pun di Tanah Gersang. Sayang sekali.
Benar, suara maskulin itu terdengar menyetujui dan dibalas kikikan oleh suara feminin. Ssstt, diamlah. Dia menuju ke arah kita.
Mendengar itu aku terpaku. Mereka di sekitar sini?
Apakah menurutmu dia bisa mendengar kita?
Tentu saja! Ia kan Si Hebat! Suara maskulin menjawab. Mereka memang berbisik, namun dengan nada antusias dan heboh. Sepertinya memang sekecil itulah suara mereka.
Oh, haruskah aku menyapanya? Ia tampak penasaran.
Kubenarkan apa kata suara itu. Sebelum aku mati penasaran, kuputuskan untuk mengeluarkan segala tanda tanya yang muncul dalam kepalaku. Tidak peduli jika aku tampak sedikit tidak waras karena bicara pada entah apa.
"Permisi? Ada orang di sana?"
Tentu aku mengharapkan sebuah balasan seperti "ya, ada 'orang' di sini" atau setidaknya kemunculan manusia yang sama sepertiku. Bukan Ebo. Namun setelah sekian menit menunggu, hanya angin yang membalas.
Kuhela napas. Atau hanya imajinasiku?
Setelah memastikan bahwa tidak ada jawaban, sudah kuputuskan untuk kembali saja. Akan tetapi, lagi-lagi bisik-bisik itu terdengar, mengurungkan niatku.
Mencari apa, Nona?
Tubuhku berjengit ketika kali ini bisik itu memiliki suara yang berbeda. Lebih berat, tebal, dan rapuh. Seperti suara seorang tuam Ah, aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.
"Siapa di sana?" tanyaku sambil berbalik sebab terdengar di belakangku.
Aku di depanmu, pohon di hadapanmu.
Pohon?
Kudekati pohon besar di hadapanku yang daunnya sedikit bergoyang terkena angin. Kusentuh batangnya yang kasar. "Apa aku sedang bicara dengan sebuah pohon?"
Ya. Balasannya membuatku melompat mundur dan melepaskan tanganku dari sana. Apa yang kau cari di belantara ini, wahai Nona Hebat?
Ahaha! Si Tua itu disentuh olehnya! Suara maskulin itu terdengar kembali; seolah menertawakan bersama kikikan suara feminim tadi.
Abaikan saja mereka. Aku kembali menoleh pada pohon besar. Katakan apa yang kau cari. Akan kami tunjukkan dan segeralah pergi dari sini.
Kepalaku mengangguk, berusaha tak menghiraukan nada tak suka dari pohon itu. "Apa kau tahu tentang—"
Ucapanku terpotong sebab fokusku teralih pada cahaya dari benangku yang tiba-tiba meredup cepat dan hanya menyisakan pendar yang terlalu redup. Kurasa aku tahu penyebabnya lantaran tak lama kemudian terdengar suara teman-temanku dan cahaya merah obor yang bergerak. Karena aku takut mereka mengundang Ebo, kubalas saja mereka. "Aku di sini!"
Tak butuh waktu lama untuk mereka menemukanku dan muncul di hadapanku. Raut wajah mereka begitu khawatir. Kiara langsung meninju lenganku kuat, aku mengaduh. Tapi kemudian ia bicara dengan suaranya yang bergetar.
"Kamu membuatku hampir menangis!" Kiara mengusap air di sudut matanya. "Aku kira kamu dimakan Ebo!"
Aku menyengir sambil menepuk-nepuk lengan Kiara. "Sudah kubilang, aku hanya memerlukan angin segar."
"Kau sedang apa di tengah kegelapan ini?" Rylo bertanya yang diangguki Elva. "Mengapa sihir cahayamu tidak terlihat?"
"Aku tidak bisa menggunakannya," akuku sambil tersenyum tanpa rasa bersalah. Aku senang Elva tidak membahas masalah tadi lebih lanjut.
Kiara menggeleng. "Ayo kembali. Adnan tengah menyiapkan makan malam."
Mendengar nama Adnan, baru kusadari manusia itu tak tampak di sini.
Aku mengangguk. "Oke, tapi tunggu sebentar aku sedang—"
"Apa pun itu, kita harus kembali," kukuh Kiara. "Di sini menyeramkan, dan kurasa keseraman itu menular padamu."
"Menular?"
"Aku mendengar suaramu yang sedang berbincang tadi. Memangnya ada orang di sini?" tanya Rylo.
Aku menggeleng. "Tidak ada orang." Ketiga orang di hadapanku bergidik. "Tapi aku sedang bicara dengan—"
"Tidak, tidak. Aku tidak mau dengar," potong Kiara dengan wajah takutnya. "Ayo Elva, kita seret Viona untuk kembali."
Kami kembali. Namun satu-satunya hal yang kupikirkan dan kuharapkan adalah agar tidak kehilangan pohon itu.
※
Keesokan harinya kupinta semua temanku untuk kembali ke tempat aku ditemukan semalam. Mereka menolak, karena tempat itu sedikit lebih gelap dari tempat kami mendirikan tenda; karena daun-daunya lebih rapat di atas sana. Tapi kupaksa saja mereka dan sedikit merajuk tidak masalah jika pergi sendirian—walau nyatanya aku memang bisa—akhirnya mereka mengiyakan.
Kiara yang paling takut dan khwatir. Kurasa ia sedikit trauma dengan wujud Ebo serta berpikir bahwa di sana adalah sarang suku kanibal itu.
Sepanjang jalan ke sana, aku terbantu oleh goresan pohon yang kutorehkan semalam. Kuikuti saja dan hampir sampai ke tempat aku bicara dengan 'mereka' semalam.
"Sebetulnya kita akan ke mana?" Adnan mempertanyakan tujuanku.
"Ke tempat Viona hilang semalam," balas Rylo.
"Aku tidak hilang, oke? Lagi pula kalian tidak menemukanku dalam keadaan mengenaskan," sanggahku dengan suara sedikit kencang sebab kali ini aku berjalan di depan; memimpin jalan. "Ikut saja, tidak perlu banyak tanya. Jika beruntung, kita akan menemukan apa yang kita cari hari ini."
Kuacuhkan teman-temanku yang tampak kebingungan di belakang dan mempercepat laju jalanku. Senyum antusiasku terbit ketika mendapati tanaman 'berbisik' semalam. Itu semak yang membicarakanku, dan ... ini pohon yang sama. Aku yakin.
Kusentuh ia, permukaan kulit itu terasa di tanganku. "Pohon, bangunlah. Perbincangan kita belum selesai."
Terdengar tawa yang tertahan dari belakangku. Saatku berbalik, rupanya dari teman-temanku asalnya. Satu alisku menekuk kesal melihatnya.
Elva menggeleng, bibirnya tersenyum geli. "Apa yang kau lakukan?"
Aku tak menjawab. Kupukul pohon itu pelan sambil berharap dalam hati. Tolong bersuaralah dan bantu aku!
Di saat itu juga, terdengar suara pergerakan. Kanopi daun semakin merapat hingga daunnya bersinggungan dan menimbulkan suara yang khas. Sulur-sulur daun turun dari pucuknya, membentuk tirai daun di belakang dan sekeliling kami. Akar pohon di bawah kakiku terasa bergerak-gerak, membuatku jadi mundur selangkah.
Kini, kami tampak seperti 'terkurung' dari luar. Pencahayaan terhalang, cukup gelap walau tak mengurangi jarak pandang. Elva sampai menggunakan sihir cahaya.
Ada apa, Nona Hebat? Suara pohon yang mendadak terdengar berhasil membuatku berjengit untuk kedua kalinya. Bertanyalah, dan bergegas pergi. Aku tidak menyukai manusia.
"Oke, oke." Balasanku tertuju pada Tuan Pohon sebetulnya, tetapi teman-temanku malah terkejut mendengar suaraku.
"Oke untuk apa?" Kiara bertanya, yang lain tampak berpemikiran serupa.
"Kalian tidak mendengar pohonnya bersuara?"
Bodoh, maki Tuan Pohon yang membuatku menoleh. Tentu saja mereka tak mendengar sebab hanya manusia biasa. Dan seharusnya gadis ungu itu bisa, tapi rupanya ia tidak terlalu kuat.
"Maksudmu Elva?"
Yang kusebut malah bergidik ngeri. "Jangan bawa-bawa namaku!"
Lantas gadis ungu mana lagi? sinisnya. Cepat bertanya, dan pergilah. Nada suaranya terdengar mengusir.
"Oke, oke. Apa kau tahu letak benda pusaka yang banyak dibicarakan itu?" tanyaku langsung.
"Astaga, kau membuatku takut, Viona." Kiara sedikit menjauh dariku. Kuabaikan saja ia.
Tentu. Ikuti saja tanaman yang akan menunjukkan kepadamu setelah ini. Sudah, aku ingin tidur.
Hening setelahnya. Kupukul-pukul pelan pohon itu, masih bingung akan jawabannya. Kupanggil ia berkali-kali, namun tak ada jawaban.
"Sudahlah, Viona." Elva mengelus lengannya sendiri. "Lebih baik kita kembali dan memilih jalan lain. Aku takut sarang Ebo ada di dekat sini."
Aku masih belum terima jikalau pohon ini tidak menunjukkan apapun padahal ia tampak mengetahui sesuatu. Di saat aku ingin menyerah saja, terdengar pergerakan kembali. Aku memandang apa yang ada di hadapan kami dengan takjub.
Semak-semak yang tumbuh tak beraturan di hadapan kami tampak bergerak meminggir, mencipta jalan. Jamur-jamur kecil tumbuh membesar dengan bintik-bintik oranye yang bercahaya. Daun tumbuhan pakis melebar dan ikut memendarkan cahaya hijau. Bintik-bintik biru bercahaya juga muncul pada semak-semak yang bergerak tadi.
Kurasakan teman-temanku memandang takjub, begitu pun aku.
"Ini ..." Adnan tak tahu harus berkata apa.
Sekali lagi dedaunan merapat, dan tirai daun menjulur semakin panjang dan padat; menghalau terang dari luar. Sementara, di dalam sini begitu terang dan jalan setapak tersaji di hadapan kami, menuntun ke suatu tempat.
Senyumku lebarku terbit. Ada lonjakkan rasa gembira di dadaku. "Ayo bergegas!"
Kulangkahkan kaki segera menelusuri jalan setapak dengan sedikit berlari. Aku benar-benar sudah tidak sabar di mana jalan ini akan berakhir.
Terdengar teman-temanku yang berdebat di belakang sana, apakah harus mengikutiku atau tidak. Namun tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki menyusulku.
"Kita akan ke mana?" tanya Adnan di sampingku.
"Pohon itu bilang, kita harus mengikuti jalan ini untuk sampai ke tempat benda pusaka itu," seruku senang. "Ayo, cepat. Aku penasaran di mana jalan ini akan berakhir."
Adnan mengangguk-angguk saja, dan tak berkomentar lebih jauh. Sepertinya ia akan ikut ke mana jalan setapak ini membawa kami.
Sementara derap langkah kaki lain terdengar di belakangku. Tanpa perlu repot-repot menoleh, aku tahu bahwa yang lainnya menyusulku.
Kupelankan langkah, memutuskan untuk berjalan biasa saja ketika aku merasa napasku mulai memburu. Oke, aku harus menyimpan tenagaku untuk hal yang penting nanti.
Kami semua saling diam. Masing-masing terfokus pada tanaman yang tumbuh bercahaya di sepanjang jalan. Mungkin sepi bagi teman-temanku. Tapi, aku bisa mendengarkan keriuhan dari bisik-bisik tanaman ini. Kusinggingkan senyum geli mendengar apa yang mereka bicarakan.
Astaga! Siapa mereka?
Kau tidak lihat warna matanya? Itu Nona Hebat!
Mengapa ada Gadis Peramal di sini?
Kenapa Si Tua itu memberi jalan untuk mereka?
Hebat sekali mereka masih dalam kondisi baik setelah tersesat cukup lama!
Tentu tidak ada yang mau mati sia-sia! Hanya Ebo bodoh yang menyerang tanpa berpikir.
Lihat! Ada benang emas!
Astaga, bukankah itu benang emas? Indah sekali.
Apa ia berasal dari Kota Goldey?
Lucu sekali. Mereka takjub melihat kita sementara kita melongo melihat mereka.
Aku tertawa kecil mendengar percakapan sekilas yang berhasil kutangkap itu.
Tak lama kemudian, jalan ini buntu. Di hadapan kami ada sebuah tirai akar gantung yang menjuntai hingga tanah. Aku diam sejenak, sebelum memutuskan untuk menyingkapnya.
Lalu kembali takjub oleh apa yang kulihat.
satu jejak kamu, berarti banyak bagiku ^^
double update, ya :)
keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top