[16] Sungai Dongker
[Bagian 16 | 1915 words]
KENYATAAN yang kuterima semalam sedikit mengubah suasana perjalanan yang kami lanjutkan. Walau Elva ada di sampan yang sama dengan Rylo dan Adnan, tetap saja ada rasa canggung yang kurasakan dengan—haruskah aku mulai memanggilnya adik?
Perlahan, kami mulai menjauh dari Pegunungan Putih. Kami sebetulnya agak terpaksa harus segera pergi dari pulau itu. Sebab orang-orang di sana yang konon katanya adalah pemberontak dari berbagai wilayah kerajaan, tidak menyukai keberadaan kami. Fe juga mungkin terlihat cukup ramah di balik wajah tegas dan datarnya, tapi aku cukup tahu beliau juga tak nyaman.
Sebagai ucapan terima kasih, aku memberikan segenggam koin emas. Hitung-hitung membayar penginapan. Mereka memang terlihat kurang ramah, tapi kami diperlakukan cukup baik.
Dan di tengah lautan ini, bersama angin laut dan terik mentari yang cukup panas, aku kembali tersadar akan eksistensi benang di telunjukku. Desau angin serta kecipuk air ketika sampan terkayuh bagai alunan musik yang sangat cocok kugunakan sambil melamuni benang yang sangat panjang ini. Karena aku sering melamuni telunjukku, aku jadi lebih memperhatikan jariku yang lain secara tak sadar. Lihat, kurasa kukuku memanjang. Kapan terakhir kali aku memotongnya, ya?
"Viona? Viona!"
Tubuhku yang melonjak dan hampir saja membuat sampan terbalik menunjukkan betapa terkejutnya aku tatkala Kiara memanggil bersama tangannya yang menepuk bahu. Aku menoleh cepat dengan raut wajah kesal. Jika saja ia bukan sahabatku, ingin rasanya aku mendorongnya keluar dari sampan ini.
"Kenapa, sih?!" Nada suaraku naik satu oktaf.
Kiara mungkin sudah terbiasa dengan kesinisan dan nada ketusku. Tapi tidak dengan Lilan dan dua pengawal kerajaan yang tengah bergantian mengayuh sampan. Ketiga orang itu terkejut bukan main serta tercengang, bahkan sampan sampai berhenti bergerak karena mereka benar-benar mematung. Aku dan Kiara yang menyadari itu bodohnya malah ikut terdiam. Ada jeda canggung selama sekian detik yang menemani hembusan angin melintas di hadapan kami.
Aku mengerjap sebelum akhirnya berdeham untuk memutus jeda canggung itu. Yang lainnya pun juga ikut tersadar dan sontak mengalihkan pandang, sampan kembali bergerak, bergegas menyusul sampan lain yang sudah jauh di depan kami.
Tapi ada yang masih belum hilang, yaitu rasa maluku.
Kiara sialan.
Menyebalkannya lagi, alih-alih meminta maaf, Kiara malah memalingkan wajah dan menahan tawa. Terbukti dari tangan yang ia gunakan untuk menutup mulut.
Tak terima, kuinjak kakinya ketika tak ada yang memperhatikan. Tidak terlalu keras, tapi cukup membuat sampan kembali bergoyang pelan dan Kiara yang berjengit kaget. Aku menahan bibirku agar tidak tersenyum lebar ataupun tertawa.
"Kau—!"
"Kau yang memulai duluan," potongku, sengaja menggunakan bahasa sini agar Lilan dan kedua pengawal mendengarnya. "Berhenti menggangguku yang tidak-tidak."
"Kamu-nya saja yang salah paham." Kiara beralih bahasa. "Aku ingin menunjukkan pulau itu yang tampak indah dan ajaib dari sini. Tapi kamu malah marah saat kupanggil."
"Siapa yang tidak marah dikagetkan ketika melamun?" belaku.
Kiara terkikik. Menanggapi itu, aku memutuskan untuk menyudahi kesalahpahaman sepele itu. Lagi pula, aku tidak mau Lilan dan kedua pengawal berspekulasi yang aneh-aneh tentangku.
Karena jarak dari Pegunungan Putih dan Sungai Dongker yang hendak kami tuju tidak sedekat kembali ke Pulau Mov, kedua sampan kami sempat bersisian untuk istirahat dan berbagi bekal. Bekal kami tidak banyak sebab Lilan tak sempat menyiapkan lebih, pelayan itu tidak bisa menggunakan dapur penginapan lebih lama dan lebih dulu mendapat kesinisan dari orang-orang di sana. Namun untungnya, bekal kami masih lebih dari cukup.
Sampai malam menjelang, Elva bilang kita sudah hampir dekat dan bisa sampai besok pagi. Jadi beristirahat kembali bukanlah masalah besar. Lagipula cuacanya cerah dan tak ada tanda-tanda datangnya badai. Akan tetapi aku sedikit was-was karena kami beristirahat di sampan yang berada di tengah lautan.
Bayangkan bagaimana jika ada tangan-tangan raksasa Kraken yang akan mengenggelamkan kita ke dasar laut seperti konspirasi hilangnya kapal serta pesawat di Segitiga Bermuda?
Tapi nyatanya hal itu tak terjadi. Lantaran aku masih melihat langit begitu terbangun beberapa jam kemudian. Langit sudah tampak terang dengan matahari di ufuk timur. Sebuah hal kecil yang sangat kusyukuri karena tidak terbangun dalam perut ikan.
Kami mulai melanjutkan perjalanan. Masih mengarungi lautan luas ditemani matahari yang mulai menampakkan dirinya.
Ketika suasana langit yang kuperkirakan seperti sekitar jam tujuh sampai delapan pagi, siluet pepohonan lebat sudah mulai terbentuk dari sini. Hal itu membuat kami lebih bersemangat untuk segera sampai di sungai yang katanya menjadi pembatas antara Kota Goldey dan Kota Silvry.
Ngomong-ngomong soal kota, jika benar Sungai Dongker adalah pembatas wilayah berarti aku bisa pulang sejenak bukan? Aku jadi terpikirkan saran Elva semalam.
"Kiara," panggilku pelan, ia langsung menoleh. "Menurutmu bagaimana jika kupulangkan Lilan dan lima pengawal lainnya?"
Kiara membelalak, ia langsung mengubah posisi duduknya menghadapku. "Kenapa harus dipulangkan?"
"Kalau boleh jujur, aku sedikit terganggu dengan mereka."
"Karena kamu tidak bisa bersikap ketus dan menyihir temanmu seenaknya?" sindir Kiara.
Aku hendak tertawa, namun kuputuskan untuk mengikuti cara mainnya. "Salah satunya itu," candaku yang membuat Kiara memandangku horor. "Tapi serius, aku agak terganggu beramai seperti ini. Jika benar mitos tentang makhluk penunggu Intunerîc benar adanya, akan cukup berbahaya. Aku tidak mau ada yang mati."
Kiara melongo. Ia melayangkan tatapan yang-benar-saja andalanya, lantas mendengkus. "Justru karena berbahaya, kita butuh tambahan agar tidak kalah. Kamu lupa? Tugas pengawal adalah untuk melindungi. Mati sudah jadi bagian pekerjaan mereka."
Aku berjengit mendengar ucapannya. Diriku berusaha melindungi agar tidak ada yang mati, tapi dengan entengnya sahabatku ini malah bilang itu adalah sesuatu yang wajar.
Kutatap ia ngeri. "Kamu ... psikopat, Kiara."
Bukannya tersinggung, Kiara malah terbahak. Ia memukul punggungku keras. Aku kesal, tentu saja. Tapi aku hanya berdecak dan membiarkan tawanya mereda sendiri. Kupalingkan wajah ketika yang lain memandang ke arah kami.
Tak lama kemudian tawanya berhenti. Kiara mengusap matanya yang berair sebelum berkata, "Sebetulnya aku ini adalah psikopat cantik yang menyamar jadi sahabatmu. Lalu aku akan membunuhmu dan menjadi Ratu Kiara."
Aku merotasikan kedua bola mata. Tak habis pikir dengannya. "Jadi bagaimana menurutmu?"
"Terserah kamu saja. Agak beresiko jika tidak membawa pengawal. Tapi kupikir kita berlima saja sudah cukup. Maksudku, bukan aku bermaksud sombong. Rylo sudah mahir, sihirmu hebat, panahku bisa diandalkan, dan kemampuan Adnan juga sudah meningkat. Harusnya sih tak apa."
Aku mengangguk. Sudah kubulatkan niat.
"Tapi tunggu." Kiara menatap Elva di depan sana. "Apa dia bisa diandalkan?"
Aku mengikuti arah pandang Kiara. Benar juga apa katanya. "Aku tidak tahu. Kurasa masih bisa diandalkan."
Setelah perbincangan itu, kami terdiam sejenak. Tanpa kusadari, sampan kami sudah mendekat dengan sungai. Tak butuh waktu lama untuk kami berhasil sampai dan melintas di sini
Sungai Dongker ini sangat lebar, cukup lebar hingga harus menggunakan kendaraan untuk menyebrang. Di pinggir sungai sudah penuh oleh pohon-pohon besar saat kami mulai menelusuri lebih jauh. Kanopi lebat dari pohon besar itu sanggup menutupi seperempat lebar sungai.
Aku akan menganggap sungai ini indah jika saja tidak ada perasaan was-was yang hinggap pada diriku. Suasana sungai ini cukup sepi, hanya terdengar suara hewan dalam hutan. Arus sungai pun tak ada, airnya betul-betul tenang. Dan warnanya ... entah aku harus takjub atau bagaimana. Tapi warna sungainya adalah gelap, padahal berbatasan dengan air laut yang tidak segelap ini.
Rasanya seperti ada yang mengintai.
Tapi semuanya kembali lagi padaku. Nyatanya tidak ada apapun yang tampak sejauh ini. Itu semua hanyalah pikiranku yang berlebihan.
"Rylo, Adnan! Tolong menepi sejenak!"
Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk memberitahukan. Pengawal yang mengayuh sampanku tampak kebingungan, namun kutetap menyuruhnya menepi.
Ketika semuanya sudah menepi, barulah kukatakan maksudku.
"Untuk Lilan, dan para pengawalku, aku harus menyampaikan ini. Maaf, tapi akan lebih baik jika sekiranya kalian kembali kerajaan saja. Kami bisa melanjutkan perjalanan ini—tidak, tidak. Kalian sudah membantu banyak, sungguh. Tapi kurasa ini sudah cukup dan waktunya kalian kembali."
Terdengar desahan kecewa dari mereka membuatku jadi tak enak sendiri mendengarnya. Tapi mau bagaimana? Aku tidak mau melibatkan banyak orang.
"Anggap saja ini perintah dariku. Jika Jendral Ryno bertanya ataupun menteri yang lain, jawab saja sejujurnya, oke?"
"Ya, Putri." Mereka mulai bangkit, dan menjejak tanah hutan. Aku dan Kiara pun berencana pindah sampan. Meninggalkan sampan yang sebelumnya di sini.
"Tidak jauh bukan kerajaan dari sini?"
"Mungkin hanya beberapa jam, Putri."
Aku mengangguk. "Kalian boleh makan sisa bekal di tas yang Lilan bawa. Maaf, tidak bisa mengajak kalian lebih jauh."
Setelah berpamitan, kini Adnan yang mengayuh sampannya. Sampan pun mulai menjauh.
"Apa alasanmu mengusir mereka begitu?" tanya Adnan.
"Tidak ada," jawabku jujur. "Hanya lelah saja menjadi 'anggun' di depan mereka."
"Bohong!" sela Kiara sambil tertawa. "Ia rindu bersikap sinis padaku, ketus pada Adnan, dan sudah tak sabar menyihir Rylo jadi patung lagi!"
Aku berdecak dan menatap Kiara sengit.
Mendengar itu, Adnan dan Rylo tertawa. Bahkan Elva pun tampak tersenyum.
"Diam atau kusihir kalian semua?" Aku melirik malu pada Elva.
Sementara ia hanya menggeleng melihat kami. "Memangnya Viona pernah menyihir kalian?"
"Ya, lebih tepatnya Rylo," jawab Kiara dengan cengiran lebar. Lalu ia mulai bercerita. Kutinju bahunya pelan ketika Kiara menambahkan detail yang tidak-tidak pada kejadian hari itu. Elva tertawa mendengarnya.
Usai ramai itu, kesunyian mengisi suasana kami. Sesekali aku tak sengaja tersadar akan eksistensi benang, lalu kualihkan dengan memandang sepanjang hutan dan menaruh curiga pada air sungai yang terlalu tenang. Semakin kami jauh memasuki hutan, tampak lebih banyak pohon bakau tumbuh dengan akar yang besar dan kanopi lebat yang hampir menutupi sepanjang sungai. Sejauh ini, belum ada hal aneh yang muncul.
"Memulangkan prajurit adalah hal yang bagus, Viona," kata Adnan mendadak. Saat kami menoleh, ia sudah penuh peluh dan tampak tersengal. "Tapi lihat, aku pegal! Rylo, sini gantian mengayuh. Oh, atau kau saja, Putri?"
"Kenapa aku?" tanyaku tak terima jika harus mengayuh.
"Kau yang menyuruh mereka pulang, bukan? Setidaknya tanggung jawablah sedikit." Adnan mengusap peluh. Baru kusadari sampan bergerak semakin pelan. Tawa kecilku lolos.
Kepala Elva menggeleng, ada senyum tipis di bibirnya. "Sudah, sudah. Biar kubantu."
Elva menjentikkan jarinya. Lalu tanpa diduga, sampannya kembali begerak normal, padahal Adnan tidak mengendalikan dayungnya.
"Lebih praktis." Elva tampak senang pada hasil ciptaannya.
Adnan membelalak kesal, ia bersedekap. Menatap Elva seolah tersakiti. "Seharusnya sedari tadi! Setidaknya aku tidak pegal seperti ini!"
"Tak apa, Nan. Bagus untuk menambah pengalaman." Kiara terkikik.
Tawa kami berderai, mengisi kesunyian di tengah sungai.
Hingga entah sudah berapa lama, sungainya semakin menyempit. Membuat daun pepohonan di sekitar sungai menyatu di atas sana, mencipta kanopi rapat. Airnya semakin gelap. Sampan kami sedikit kesulitan bergerak sebab besarnya akar pohon bakau yang tertanam di dasar sungai.
Sampan kami berhenti, tepat di pinggir sungai dan terhalang akar pohon bakau sehingga tidak bisa bergerak.
Kutatap Elva tak mengerti, mengapa ia mengarahkan kami ke sini?
"Kita sudah sampai."
Elva bangkit, dan bergegas melompat ke tanah hutan di sebelah kanan kami dengan begitu mudahnya. Aku saling pandang dengan keempat temanku, tapi kemudian kuputuskan untuk segera turun.
Kusadari betapa lincahnya Elva kala aku hendak melompat dari sampan ke bagian pinggir tanah hutan yang kering. Tapi aku tahu aku tak sejago itu, malah aku jadi jatuh dan menginjak lumpur hingga sepatuku terbenam setengah dan percikannya mengotori bagian bawah jubah. Kuhela napas kesal.
"Lain kali hati-hati," kata Adnan sambil menarikku keluar. "Lumpurnya agak banyak."
Aku mendengus. "Kenapa tidak bilang saja 'langkahmu pendek'? Biasanya kamu meledek begitu, bukan?"
Adnan melongo sebelum tertawa kecil. "Itu saat kita masih sekolah menegah akhir dulu, kurasa sekarang kamu sudah bertambah tinggi."
"Ya, ya, ya. Terserah."
Aku menghentakkan kaki pelan agar lumpurnya turun. Setelah kurasa cukup bersih, barulah aku menaruh perhatian pada kondisi hutan ini.
Hutan ini agak menyeramkan, dan gelap—seperti namanya. Diameter pohon di sini hampir sama dengan tiga kali lipat tubuhku, mungkin. Daunnya lebat. Sedikitnya celah sinar matahari yang masuk membuat keadaan di bawah kanopi memiliki tingkat kelembapan yang tinggi.
Elva berbalik menghadap kami, senyum misterius terukir di bibirnya.
"Selamat datang di Intunerîc."
Firasatku mengatakan, ada banyak hal tak terduga yang akan terjadi selanjutnya di sini.
satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^
gatau mau nulis author note apa. aku tengah dilanda kebingungan dan kegelisahan sebab deadline benar-benar sudah dekat. huhu, semoga cerita ini selesai tepat waktu :")
keep supporting me!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top