[15] Elvalyn R. C.

[Bagian 15 | 1447 words]

USAI berbincang sejenak di ruang utama, Fe bermurah hati dan mengizinkan kami menginap semalaman. Karena ini memang sebuah penginapan, jadi beliau tampak tak begitu keberatan ketika memberi tumpangan kamar pada kami.

Belakangan aku tahu saat bertanya pada Elva mengapa orang-orang di sini tampak tak menyukai orang kerajaan. Itu karena mereka yang tinggal di sini adalah kumpulan pemberontak yang tidak mau terikat dengan sistem kerajaan dan kasta warna mata. Mereka memilih tinggal di pulau yang sebelumnya tak berpenghuni ini dan memiliki hidup yang mereka inginkan.

Elva bilang, rumahnya tak jauh dari sini. Tapi aku memaksanya untuk tinggal sejenak di kamar yang hanya berisi diriku, Kiara, dan Lilan.

"Jadi, kenapa kau tidak mengizinkanku kembali?"

"Aku ingin bertanya beberapa hal," kataku sambil bersedekap. "Bukan apa, hanya penasaran mengapa Fai melihatmu dalam ramalannya. Kau pasti mengetahui sesuatu bukan?"

Sebelah alisnya terangkat, membuat Elva tampak mengesalkan tapi tak menurunkan kadar kecantikannya. Aku benci kenyataan bahwa aku sedikit iri padanya.

"Baiklah,  baiklah. Lantas, fakta apa yang ingin kau dengar dariku?"

Aku agak sedikit terkejut mendengar respon yang diberikan oleh Elva, namun hal itu membuatku lebih yakin ada cukup banyak hal yang diketahuinya.

"Kita mulai dari ... mengapa kau mengetahui namaku?"

Elva diam sejenak, mencipta keheningan di kamar ini. Jantungku menjadi sedikit berdebar sebab was-was akan jawabannya. Kiara yang mengetahui kegelisahanku hanya ikut berdiam dan menatap Elva lamat untuk meminta jawaban.

"Simpan bagian terbaiknya di akhir," katanya yang membuat dahiku berkerut. "Adakah pertanyaan lain? Pertanyaan itu lebih bagus dijawab di akhir."

Kiara mengajukan pertanyaan. "Kalau begitu, mengapa Fai bilang ada pewaris lain kerajaan? Dan, mengapa itu merujuk padamu?"

Elva menjentikkan jarinya. "Yang satu itu juga lebih bagus dijawab di akhir."

Kiara tersenyum kesal. "Oke tidak apa. Lupakan tentang pertanyaan, kau tidak perlu menjawab apa pun."

"Tidak, bukan seperti itu maksudku." Kepala Elva menggeleng. "Aku ingin pertanyaan lain sebelum masuk ke dalam pertanyaan itu."

"A-apa aku boleh bertanya?"

Kami bertiga sontak menoleh pada Lilan. Ia tampak sedikit menunduk dan enggan, agak malu-malu. Aku tersenyum ramah. "Tidak perlu sungkan, kau boleh bertanya."

Lilan mengangguk pelan. "Mengapa Nona Elva tidak tinggal di Pulau Mov?"

Elva menjentikkan jarinya. Tapi sebelum ia sempat berkata, Kiara memotongnya. "Jangan katakan hal yang sama."

"Aku akan menjawabnya," balas Elva." Aku menunggu pertanyaan itu sedari tadi."

"Oke cepat jawab pertanyaannya dan kami berdua."

Elva mengiyakan saja. "Menurut kalian, mengapa gadis beriris ungu harus tinggal di pulau berbenteng itu?"

"Untuk melatih bakat yang mereka punya," jawabku.

Elva membenarkan jawabanku. "Dan jika ia tidak tinggal di sana, apa kemungkinan yang terjadi?"

Saat itulah aku baru benar-benar menyadarinya. Mataku membulat, perasaanku tak enak, takut gadis itu tersinggung. Kukatakan pelan. "Kau ... tidak mempunyai bakat?"

"Bisa dibilang begitu."

"Astaga." Kiara menutup mulutnya. "Rasakan, inilah yang terjadi jika kau bolos ketika pembagian bakat."

Aku mengenal lelucon itu dan hendak tertawa mendengarnya jika saja wajah Elva tidak berubah menjadi tersenyum miris. Kiara langsung terdiam, rasa bersalah menyergapnya. Ia takut Elva merasa tersinggung dengan ucapannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud."

"Tidak apa, aku hanya sedikit terbawa suasana." Elva menghela napas untuk membuang hawa sedih setelah itu wajahnya kembali ceria. "Tapi aku bisa sihir."

Aku menemukan fakta baru. "Memangnya mereka di sama tidak punya sihir?"

Elva menggeleng. "Ada pertanyaan lain?"

"Jawab pertanyaan aku dan Kiara di awal."

"Masih belum waktunya." Elva menggeleng lagi. "Bagaimana jika aku yang berganti bertanya? Apa tujuan kalian ke sini? Tentu bukan untuk menjengukku bukan?"

Kurasa tidak ada hal yang harus kututupi. Karena aku meminta bantuan padanya, tanpa ragu kujelaskan saja bagaimana kondisinya. Tentang siapa aku, kedua temanku, hari penobatan itu, ramalan dari Fai, dan bagaimana kami bisa sampai di sini.

Elva mengangguk-angguk mendengarnya. Sesekali Kiara menimpali ucapanku untuk menambah yang terlewat dan Lilan mengingatkan detail kejadian penting yang kami lewati.

"Kira-kira seperti itulah kondisinya," kataku sebagai penutup cerita. "Jadi, maukah sekiranya kau membantu kami menyelesaikan masalah seperti apa yang Fai katakan?"

"Jadi kalian jauh-jauh ke sini untuk meminta bantuanku?" Elva balik bertanya.

Kami mengangguk.

"Seandainya aku menyetujui, ke mana tujuan kita setelah ini?"

"Fai bilang kita harus ke Intunerîc," kataku mencoba mengingat. "Ada benda pusaka yang katanya hanya bisa diambil oleh kita berdua."

"Dan setelah dari Intunerîc?"

Aku diam sejenak. Kutatap Kiara dan Lilan untuk bertanya apakah mereka mengingat sesuatu yang terlewat lagi, akan tetapi mereka hanya menggeleng.

"Aku—kami tidak tahu." Kutatap lantai kayu yang memantulkan cahaya remang obor. "Tapi Fai bilang kita akan menemukan petunjuk di sana."

Elva menggeleng, tawa kecil lolos dari bibirnya. Namun ia tahan agar masih dalam kategori sopan. Mata sipitnya menyatu indah. "Kalian terlalu bergantung dengan ramalan bocah itu."

"Tidakkah kalian tahu apa Intunerîc itu?"

Kami bertiga bertukar pandang, lantas menggeleng.

"Tidakkah kau bertanya, Viona, mengapa hanya aku dan dirimu yang bisa mengambil pusakanya? Kenapa bukan orang lain?"

Aku mematung untuk detail-detail kecil yang terlewat. Elva benar, dan mengapa aku baru menyadarinya?

"Kalau begitu jelaskan pada kami," tuntut Kiara.

Elva mengangguk. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih santai dan serius dengan kami. "Intunerîc merupakan hutan besar yang terletak di sebelah selatan dari keempat kerajaan. Dirumorkan bahwa dulunya Intunerîc atau Hutan Kegelapan adalah bekas berdirinya sebuah pusat kerajaan paling besar di dunia ini. Namun seiring berjalannya waktu, kejayaannya berakhir. Untuk melindungi puing serta pusakanya maka para pendiri terdahalu menumbuhkan hutan lebat yang menyesatkan bagi siapa saja yang ingin menemukannya."

Elva berpangku tangan sambil meniup poninya. "Hanya itu yang kutahu."

Aku dan Kiara saling bersitatap.

"Oh, ya. Bagaimana dengan rencananya?"

"Rencana apa?" balasku pada Elva.

"Kalian sama sekali tidak tahu harus ke mana setelah ini?"

Aku menggeleng. Untuk apa berbohong? Aku masih baru di dunia ini dan sama sekali buta arah. Tidak punya peta maupun petunjuk ke mana pun. Hanya bermodal kenekatan.

"Oke, aku punya rencana," usul Elva. "Bagaimana kalau besok kita berangkat pagi-pagi sekali? Rute yang kutahu adalah Sungai Dongker—yang membatasi wilayah Goldey dan Silvry. Tapi tentu bukan perjalanan yang sebentar, dan Intunerîc cukup berbahaya. Saranku, jangan pergi dengan banyak orang."

"Maksudmu aku harus mengurangi jumlah pengawal lagi?"

Dahi Elva tampak berkerut, ia menatap bingung ke arah kami. "Kalian sudah mengurangi pengawal sebelumnya?"

"Begitulah," kataku sambil tersenyum tak enak.

"Yang satu itu terserah padamu, aku tak berniat ikut campur." Elva tampak tak acuh. "Tidak ada lagi yang dipertanyakan bukan? Aku mau pulang."

Elva sungguhan sudah beranjak dari kursi untuk pulang, tapi sayangnya ia kalah cepat dengan suara Kiara yang mencegahnya.

"Tunggu! Kau belum menjawab semuanya."

"Oh, ya? Soal apa?" Elva berusaha mengingat, tapi tampaknya ia tak tahu.

"Kau belum menjawab soal benda pusaka yang hanya bisa diambil—"

"Oh, itu." Elva tersenyum tipis. "Bukan aku lupa, tapi aku memang tidak mau menjawabnya."

"Tapi—"

"Tenang saja, nanti kalian akan tahu dengan sendirinya."

Kutatap Kiara yang tampak kembali berpikir, ia melipat bibir ke dalam. "Bisa kau beritahukan nama lengkapmu?"

Tanpa kuduga, Elva kembali duduk ke kursinya. Bisa kulihat punggungnya sedikit menegang, tapi ia mencoba santai.

"Kalian sangat ingin tahu?" tanyanya dengan nada serius.

Firasatku mendadak tak enak, aku merasa ragu entah untuk apa. Tapi kulihat Kiara mengangguk dan Lilan tampak tertarik untuk mendengar jawabannnya.

Satu sudut bibir Elva terangkat ke atas. Ada sesuatu misterius yang ia coba ungkapkan.

"Perkenalkan, aku Elvalyn—"

Perasaanku semakin tak enak.

"—Romano Candelaria."

"Ha?!" seruku refleks dengan mata yang sudah membulat. Jantungku berdebar tak karuan, seolah mendapat kabar paling tidak mengenakan. "R-romano?"

"Ya." Elva tampak tenang walau melihat manusia di depannya terkejut setengah mati. "Tenanglah, Viona. Kalian mau mendengar kisahnya, tidak?"

Masih dengan raut terkejut, Kiara mengerjap beberapa kali. Hingga ia tersadar, Kiara tertawa tak percaya sambil menepuk pundakku. Sedetik kemudian wajahnya berubah serius. "Bercandamu tak lucu."

Elva menggeleng pelan. "Dengarkan dulu kisahnya, baru kalian boleh menyimpulkan."

Kukira Elva hanya membual atau berbohong. Tapi rasanya tak mungkin ia bisa bercerita bohong selancar itu. Ditambah, ia juga menyebut nama kedua orang tuaku. Setiap kata yang keluar dari bibirnya membuatku mematung.

Kurasakan mataku memanas saat mendengar cerita itu mengarah pada sebuah kalimat menyedihkan yang sedikit menyakitkan. Bibirku bergetar, sementara bendungan mulai terbentuk di pelupuk mataku. Hidungku terasa perih. Telinga ini mulai terasa menulikan setiap kata yang Elva katakan. Sialnya, otakku berhenti bekerja bagaikan kaset rusak dan menggaungkan beberapa kata yang sama, menghantui benakku.

Ratu.

Permaisuri.

Anak perempuan.

Pewaris.

Anak laki-laki.

Iris ungu.

Disembunyikan.

Terusir.

Air mataku lolos, mengalir di pipi.

"Nah, begitulah ceritanya." Elva tersenyum kecut. "Silakan kalian simpulkan sendiri jawabannya dari pertanyaan kalian."

Ini semua terlalu tiba-tiba, terlalu mengejutkan. Tenggorokkanku begitu kering dan terasa sakit bagai menelan sebuah kerikil. Aku tidak tahu harus berkomentar apa, bibirku terkatup rapat. Ada secercah rasa marah dan tak terima yang bergumul dalam dadaku.

Ayah ..., ibu ... kalian ...

... Aku tidak diharapkan?

Elva menoleh padaku. Kepalanya menggeleng kala melihat air mata yang menetes di pipiku. Bibirnya tersenyum mengesalkan.

"Biar kuperjelas," katanya seolah kami tengah berbincang santai. Ia bersandar ke kursi dengan bersedekap tangan.

"Aku ini adikmu, Viona."

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

aku mau triple apdet di tengah malam ini, okey?

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top