[13] Ramalan

[Bagian 13 | 1405 words]

"AKU bermimpi. Pewaris tunggal Romano akan menghadapi kekuatan gelap. Sebuah boneka kegelapan yang pernah berpura-pura mengabdi dan akhirnya berkhianat. Yang tangannya andil dalam kepergian pemimpin sebelumnya. Dia tidak sendiri. Ada pria merah yang bersamanya. Mereka berdua diselimuti dendam besar dan ambisi yang tak pernah padam."

Aku menahan pegal kakiku yang tak nyaman dalam posisi bersimpuh ini. Mulutku terkunci rapat-rapat, sama halnya Kiara dan Lilan. Walau begitu, aku menaruh perhatian penuh pada apa yang diucapkan Fai.

"Pewaris tunggal Romano pun tak sendiri." Fai tersenyum misterius. "Ada gadis ungu di sisinya. Dua gadis hebat yang bisa mengambil pusaka di Intunerîc dan mencegah kebangkitan Kegelapan."

Fai tersenyum simpul, menyudahi ucapannya. "Sudah itu saja." Suaranya sontak berubah layaknya gadis lima belas tahun. Oh ya, sebetulnya sedari tadi suaranya dibuat-buat menjadi seolah ia adalah nenek-nenek kuil yang bisa membaca garis hidup seseorang.

Kiara menggaruk tengkuknya, menatapku sejenak. "Aku masih tidak mengerti."

Aku mengangguk menanggapi ucapannya, menyatakan hal yang sama.

Fai menghela napas, lalu bersedekap. "Setidaknya beri pertanyaan. Aku tidak mau menjelaskan ulang."

Kukira yang kuhadapi adalah seseorang yang sombong dan sinis. Namun ternyata Fai sendiri masihlah gadis biasa yang kebetulan punya bakat entah apa dan cukup menyebalkan. Tapi baguslah. Setidaknya aku, Kiara, dan Lilan tidak perlu bersitegang.

"Oke, kita uraikan satu-satu," kataku mencoba bijak. "Pertama, bisakah kau jelaskan dulu apa bakatmu?"

Fai memicingkan mata. "Kalian terlalu terburu-buru." Lalu wajahnya melunak. Untuk sesaat, aku hampir mengira dia benar-benar gadis biasa. "Baiklah. Kita kenalan ulang. Aku Fai, Si Pembaca Dua. Dua hanyalah sebuah kode untuk orang yang bisa melihat masa depan. Dan itulah bakatku. Paham 'kan?"

Kepalaku mengangguk kaku. Sebenarnya dia ini kenapa, sih? Jika ia mencoba untuk menjadi sok misterius, selamat, kamu gagal Fai. Aku kesal sendiri dalam hati.

"Pertanyaan kedua, siapa yang kamu maksud 'pewaris tunggal Romano'?"

Dahi gadis di hadapanku mengerut. "Aku yakin kau tahu siapa, Putri." Ia menekankan kata terakhir.

Kiara meninju pelan bahuku. "Yang benar saja, Viona."

"Aku hanya memastikan," elakku bahwa aku tidak salah. "Kukira ada orang lain."

"Oh, iya. Memang ada orang lain." Fai sukses membuatku langsung menoleh padanya. "Si Gadis Ungu yang kusebutkan tadi."

"Ada orang lain?" ulang Kiara seraya menoleh padaku sebelum kembali pada Fai. Kebingungan tersorot di matanya, begitupun Lilan saat aku menoleh pada pelayan itu.

"Kalian terlalu terburu-buru." Fai melambaikan tangannya, lantas tertawa kecil. "Kenapa tidak membicarakan tentang 'dua tangan kanan' Kegelapan lebih dulu saja? Itu tak kalah penting."

Rasa penasaranku seketika buyar tergantikan rasa kesal. Aku merasa dipermainkan dan Fai hanya mengulur-ulur waktu. Kedua tanganku terkepal di atas paha, mulai merasa tak nyaman.

"Baiklah, baiklah. Kalau gitu siapa orang yang tadi kaumaksud?" Aku berusaha menekan egoku kuat-kuat.

"Aku yakin kau tahu siapa, Putri."

Ah, gadis ini!

Kuremas celanaku hingga Kiara menyadarinya. Lantas, ia menaruh tangannya di atas tanganku. Melihat itu, aku jadi menghela napas. Tangan Lilan pun menyentuh bahuku sejenak. Saat aku menoleh, ia hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Mereka melepas tangannya. Oke, kendalikan dirimu, Viona. Fai bukanlah Rylo, Kiara, maupun Adnan yang bisa kamu sihir menjadi patung seenaknya.

"Anggap saja aku sudah tahu siapa dua orang itu." Bagus, suaraku terdengar normal. "Kau bisa beritahu siapa gadis ungu yang sempat kauucapkan di awal?"

"Yang pasti, itu bukan aku, ya," katanya percaya diri. "Dan maaf, aku tidak tahu siapa dia."

Menurut kalian, lebih enak kusihir menjadi patung atau dengan sihir emas?

"Tapi ...," lanjutnya sok misterius. "Aku tahu di mana ia tinggal."

Kutatap ia ngeri. Bagaimana bisa kamu tidak kenal seseorang tapi mengetahui rumahnya?

Wajah Fai yang sudah serius seakan tengah menceritakan kisah horor berubah menjadi kesal. Ia cemberut. "Mau kuberi tahu tidak?"

"Ya, beri tahu kami." Kiara yang menjawab.

"Tidak sulit mencarinya, sungguh. Karena hanya dia perempuan bermanik ungu yang tinggal di sana."

"Di mana?"

"Pegunungan Putih." Wajah Fai jadi datar.

"Di mana itu?" tanyaku.

"Arah barat laut dari pulau ini. Tidak sulit mencarinya, sungguh. Karena hanya itu satu-satunya pulau paling putih di dunia ini, sepanjang hari."

"Siapa namanya?"

Fai mengangkat bahu..

Aku diam sejenak, berusaha untuk tidak melempar sesuatu kearahnya. Untuk menutupi kekesalan, kepalaku mengangguk perlahan. "Kalau begitu, apakah kami boleh—?"

"T-tunggu! Mmm ..., oh, memangnya kalian tidak mau mendengar kesimpulanku tentang mimpi yang pasti menjadi kenyataan ini?"

Aku yang hendak beranjak kini kembali pada posisi. Oh, ayolah, apalagi? Kakiku pegal.

Tapi kutahan kalimat itu di ujung lidahku. Alih-alih aku malah berkata, "katakan."

"Kesimpulannya, ini sesuatu yang penting, Putri. Kau harus menaruh perhatian penuh pada hal ini. Menyelesaikan apa yang belum sempat terselesaikan. Mengakhiri sebelum terlambat dan sebelum hal buruk dimulai."

Aku berkedip dua kali, sebelum akhirnya tersadar. "Baiklah, terima kasih untuk bakat dan kebaikanmu karena sudah memperingatkan kami. Bolehkah kami pergi?"

"Kalian terlalu terburu-buru," ulangnya untuk ketiga kalinya. Aku tidak paham kenapa ia gemar sekali mengulangi ucapannya sendiri. "Kau seharusnya bersantai, Putri. Biarkan pelayan dan pengawal atau jendral berserta menteri di kerajaanmu yang mengurus semuanya. Kau seharusnya ... tidak serepot ini."

Kami bertiga tertegun sejenak. Aku saling berpandangan sekilas dengan Kiara. Bukan bermaksud sarkas, tapi entah kenapa senyum kecilku terbit.

"Menjadi ratu dan putri bukan tentang bersantai, Fai. Ada sebuah beban besar yang tak terlihat dan hanya bisa diselesaikan oleh seorang pemimpin. Mengapa kami terburu-buru? Itu karena aku tidak suka mengulur waktu. Jika itu bisa diselesaikan lebih cepat, kenapa tidak? Jadi tidak ada yang harus menderita lebih lama."

Kiara dan Lilan menatapku lama, aku bisa melihat sorot kagum yang terpancar padaku. Sekalipun itu benar, aku tidak ingin besar kepala. Sebab, Fai juga menatapku lama, namun matanya menyorotkan sesuatu yang misterius. Seolah ia adalah 'yang paling tahu'. Seolah ia yang menuliskan takdir hidup seseorang. Seolah ia yang diberi bocoran oleh Tuhan bagaimana cerita ini akan berakhir.

Tapi tak kusangka, gadis bermanik ungu itu malah tertawa hingga mata bulatnya menutup, membuatnya tampak terpejam bahagia. Aku tidak suka bagaimana cara gadis ini tampak seperti menertawakan kelinci-kelincinya yang tersesat dalam labirin.

"Duduklah lebih lama, Putri. Memangnya kau tidak ingin mengetahui akhir dari kisah menyedihkan ini?"

Aku menggeleng. "Ada beberapa hal yang seharusnya memang tidak perlu kita ketahui."

"Dan bahkan jika kau sebetulnya harus mengetahuinya untuk mengubah yang terburuk?"

Aku diam sejenak. "Yang terburuk biarlah menjadi yang terburuk."

"Jadi menurutmu, bahkan hal buruk sekalipun bisa menjadi sesuatu yang baik bagi dirimu?"

"Sebenarnya apa yang ingin kaubicarakan?" kesalku. "Tolong jangan berbelit-belit."

Tapi Fai malah tersenyum geli, kepalanya menggeleng pelan. "Jika kau ingin pergi, silakan. Aku tidak akan melarangmu. Lagipula, tidak ada yang perlu kita bahas lagi."

"Baguslah." Aku beranjak. Tadinya aku ingin mengeluarkan kalimat paling pedas yang bisa kukeluarkan. Tapi kalimat yang keluar justru "teman dan pengawalku sudah menunggu lama di luar benteng."

Kami bertiga keluar teratur dari ruangan sekat yang sempit itu. Kukira Fai akan duduk manis menunggu kami minggat dari pulaunya. Namun dugaanku salah. Gadis berkulit sawo matang itu berdiri, lantas melangkahi meja kecil sehingga mencapai ke arahku. Aku membelalak, buru-buru keluar. Sementara Fai berdiri di pintu.

Saat aku hendak menyusul Kiara dan Lilan—yang entah mengapa jalan lebih dulu—suara Fai terdengar. Membuatku terdiam kaku.

"Tidak semua hal harus diselesaikan lebih cepat. Kau tidak bisa memaksanya demikian, Putri."

Badanku berbalik, alisku tertekuk kesal. "Katanya sudah tidak ada yang perlu dibahas?" tanyaku dengan nada sedikit ketus.

Fai bersedekap. "Aku hanya mengetesmu, jika kau ingin tahu."

Dahiku melonggar. "Tes?"

"Rupanya ramalan itu benar, ya, Putri," ucapannya lebih terdengar seperti pernyataan bagiku.

"Ramalan apa?"

"Tapi walau begitu, ada yang di luar ekspetasiku." Fai tersenyum miring. "Kau bebal ... dan sombong."

"Jangan bicara yang tidak-tidak."

Fai mengangkat bahu. "Berhentilah bersikap heroik. Kau memang hebat, tapi mau bagaimanapun kau tetap gadis biasa yang kebetulan punya kekuatan entah apa dan cukup menyebalkan."

Aku terhenyak, sepertinya aku pernah ... tunggu! Bukankah itu kalimat yang sempat aku ucapkan di awal perbincangan tadi?

"Jika kamu mencoba untuk menjadi sok hebat dengan mengurus semuanya sendiri, selamat, kamu gagal, Viona."

Itu kalimat ...

Mataku membelalak. Pikiranku berputar keras memikirkan segala kemungkinan. Jantungku berdegup kencang.

"Kau—"

Ia tersenyum simpul. "Sudah sana. Tidak ada lagi yang harus kusampaikan. Dan, simpan pemikiran itu untukmu saja."

Alisku terangkat. Sebetulnya aku ingin mendebatnya dan bicara lebih lanjut serta jelas. Namun aku tidak ingin mengulur lebih lama agar semuanya cepat selesai.

Kupaksakan senyum sebagai simbol berpamitan. Aku sempat merasa lega karena tidak perlu berhadapan dengan Fai yang membuatku berpikir keras setiap bicara dan sebal dengan kalimatnya yang kembali diulang. Dan, aku juga sempat kesal ketika suaranya kembali menginterupsi langkahku untuk kedua kalinya.

Namun kali ini, apa yang dikatakannya benar-benar membuatku kaku sekaku-kakunya.

"Warna benangnya cantik, ya, Marcia? Seperti mata kananmu."

Aku terbirit-birit.

satu jejakmu, berarti banyak buatku ^^

hayo, ramalan yang mana yaa? :)

tidak adakah yang ingin menebak bagaimana cerita ini akan berakhir seperti yang dikatakan Fai?

tidak adakah yang ingin berkomentar tentang mengapa Fai seperti tahu banyak hal?

tidak adakah yang menyadari bahwa terlalu banyak clue yang bertebaran di sini? T-T

kalau kalian bertemu tipe orang  seperti Fai, kalian akan ketakutan atau malah antusias?

aku sih jadi ngeri, soalnya dia agak creepy.

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top