[11] Undangan

[Bagian 11 | 1965 words]

SUDAH hampir dua minggu aku seperti ini: bolak-balik dimensi sudah terasa seperti kamu hanya perlu membuka pintu untuk berganti dunia. Ya, kira-kira seperti itu.

Aku tidak akan menjelaskan peristiwa apa saja yang terjadi sejak hari penobatan secara detail, tapi kesimpulannya, tidak ada yang benar-benar menarik. Tahu-tahu sekarang sudah akhir pekan sehingga aku dan kedua temanku bisa meluangkan waktu di dunia baru kami.

Oh, ada satu hal yang penting. Dua hari sejak hari penobatan, Menteri Tumo dikabarkan baru siuman. Sebuah kabar yang berhasil mengejutkanku akan dampak sihir emas yang begitu hebat. Tapi bukan itu poin pentingnya. Saat hendak dicek, pria itu tidak ditemukan di mana pun. Ya, dia kabur.

Tentu kejadian itu cukup menggemparkan orang-orang di kerajaan. Namun aku tidak mau terlalu ambil pusing.

Kembali ke rutinitas awal. Karena tampaknya tidak ada masalah yang begitu serius untuk diurus hari ini, kami bertiga memutuskan untuk kembali ke pondok milik Jendral Ryno. Hanya ada Rylo di sana. Dan ... omong-omong, kami sudah berada di sini sejak tiga jam yang lalu. Alih-alih bersantai, Rylo malah memaksaku untuk berlatih sihir.

"Zgâriat!"

Betisku tergores.

"Bisakah kita istirahat sejenak?!" tanyaku yang frustasi sebab sudah terlalu lelah. Pergerakanku jadi melambat sehingga menghindar saja sulit, butuh tenaga ekstra yang mana membuatku semakin lelah. Bahkan kubah pertahananku saja pecah berkali-kali hanya dengan serangan sihir dasar.

"Kamu melukai seorang Putri!" seruku. Agak berlebihan sebenarnya karena aku tidak suka mengagung-agungkan jabatan (bahkan Kiara dan Adnan yang sedang berlatih saja berhenti ketika aku berkata seperti itu). Tapi Rylo kelewatan. Sepertinya ia berniat membunuhku dan akan menduduki posisiku sebagai pangeran. Lalu ia akan menguasai semua harta kerajaan dan—

—cukup, Viona, fokus!

Aku menggeram kesal ketika aku tergores untuk kesekian kalinya. Ditambah, Rylo tidak menggubrisku sama sekali. Wajahnya masih sama seriusnya dari awal. Kuladeni saja sekenanya.

Hingga emosiku mulai menaik sebab Rylo tak berhenti juga menyerangku. Kedua temanku bahkan sudah beristirahat dan tengah duduk santai di bawah pohon sambil menonton kami latihan bertarung. Untung saja bagai sebuah hidayah, sebuah ide terlintas di benakku.

Bibirku bergerak pelan, melafal mantra. Di saat yang sama saat Rylo hendak menyerangku, ada akar-akar pohon yang mencuat dari tanah. Bergerak cepat dan melilit pergelangan kaki Rylo. Tentu ia terkejut bukan main. "Apa—"

Ketika itulah aku segera melancarkan aksiku. Maafkan aku Rylo.

"Ingheţat!"

Rylo jadi patung, bersama lilitan akar di kakinya.

Pekikan Kiara terdengar nyaring setelahnya. Dari situ aku langsung tahu persis bagaimana ekspresi mereka walau di belakangku. Aku tidak menoleh.

Kuhela napas lelah dengan kencang. Tubuhku langsung ambruk, berlutut di tanah. Sebelum akhirnya tertarik gravitasi bumi untuk tergeletak di atas rumput hijau.

Aku terdiam, terengah dan mencoba untuk mengatur napas kembali. Seluruh tubuhku banjir peluh, wajahku tercoreng tanah. Yah, setidaknya aku berhasil berhenti latihan sejenak dan—

"Viona!"

Tubuhku tersentak kaget dan refleks dalam posisi duduk.

"Lihat Rylo! Hentikan mantramu! Oh, astaga." Kiara histeris sendiri.

Sontak aku menoleh pada Rylo. Cowok itu masih dalam posisi 'patungnya'. Namun, mantra itu sepertinya kurang maksimal. Sebab bisa kulihat bola matanya bergerak, dan melayangkan tatapan marah pada kami.

Uh-wow. Mengerikan juga, ya.

Adnan membantuku berdiri. "Cepat batalkan mantranya sebelum Jendral Ryno melihatnya."

Aku nyengir. Saat sedang bersiap untuk melafalkan mantra, aku baru teringat sesuatu. Langsung saja kotolehkan kepala pada mereka berdua. "Oh, ya. Seperti ini akan jadinya jika kalian selalu mengangguku yang tidak-tidak. Aku tidak akan segan—"

"Ya, ya, ya, kita tahu!" Kiara panik bukan main. "Cepat bantu dia, Viona!"

Hanya dengan sekali ucapan mantra, Rylo seketika tersaruk ke tanah. Akar tanaman yang melilitnya sudah kuperintah untuk kembali dalam tanah. Cowok itu bangkit dengan wajah yang lebih kotor oleh tanah daripada aku. Tatapannya nyalang.

"Kamu—!"

Aku mengangkat tangan, lima jari, menyuruhnya diam lantas menggeleng. "Kamu yang keterlaluan, Rylo. Sebelum menyalahkanku, lebih baik kamu diam daripada kubuat menjadi patung, lagi."

Tangannya terkepal. Dalam satu tarikan napas, wajahnya melunak. Ia melambaikan tangan. "Ya sudah. Kita istirahat dulu."

Yes. Seharusnya sejak awal kusihir dia.

"Lima menit."

"Apa?!" seruku refleks. "Kamu benar-benar ingin menjadi patung lagi, ya?"

Aku tak main-main. Hampir saja aku melakukan hal yang sama karena Rylo tak menggubris, namun Kiara lebih dulu menahanku. "Tenang, Viona. Lihat, bahkan Rylo sama lelahnya."

Aku tidak membalas.

Hari ini cukup panas. Kondisi hutan yang tidak begitu lebat memungkinkan sinar matahari lebih leluasa untuk menerobos masuk. Tetapi kami sudah memilih tempat beristirahat di bawah pohon besar yang letaknya tak jauh dari pondok, dan tidak terlalu di pinggir hutan. Rylo bilang, agar kita tahu siapa yang mungkin datang.

Dan benar saja. Ketika kami sedang seru membahas beberapa sihir yang bisa digunakan pada manusia biasa—oleh Kiara dan Adnan, ada dua orang wanita yang datang ke pondok. Kukira siapa. Tapi rupanya mereka adalah pelayan. Aku tahu dari seragamnya.

"Maaf mengganggu waktumu, Putri," sapa salah satunya. "Kami ke sini karena ada sebuah surat untukmu."

Tentu kuterkejut. "Surat?"

Mereka mengangguk. Lalu sebuah amplop kulit diserahkan padaku. Aku menerima dengan tanda tanya besar di kepala.

"Dari mana?" Adnan bersuara.

"Dari Pulau Mov, Tuan."

"Pulau Mov?" ulang Rylo. Ada keterkejutan di nada suaranya. Oh, kurasa ia tahu sesuatu. "Apa kalian sudah periksa surat ini?"

Pelayan itu mengangguk. "Ya, dan ini aman. Pemeriksa surat merasa bahwa ini adalah 'undangan', jadi kami tak berani memeriksa lebih jauh."

Rylo mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kalian boleh kembali ke istana."

"Tunggu," cegahku. "Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, terutama—"

"Sudah kalian kembali saja ke istana," potong Rylo. "Biar aku yang menjelaskan pada Putri Viona."

Aku mendelik padanya.

Kedua pelayan itu mengangguk, setelahnya membungkuk untuk pamit. Aku mengizinkan dengan anggun.

Ketika mereka sudah tak terlihat, aku baru memusatkan perhatianku pada amplop di pangkuanku. Kiara dan Adnan juga tampak antusias.

"Padahal tadi aku sempat berpikir bahwa ini dari salah satu pangeran yang datang di hari penobatan kemarin." Kiara cemberut.

"Simpan pemikiran itu untukmu saja," kataku kesal.

"Jadi, Rylo. Lebih baik kamu jelaskan pada kami." Adnan bersedekap. "Sepertinya ini hal yang penting."

Kiara mengangguk, menyetujui. "Bagaimana kalau mulai dari pemeriksa surat?"

Rylo berdeham sebelum memulai. "Ya ... seperti namanya, pemeriksa surat. Sebelum diterima oleh keluarga kerajaan, biasanya surat-surat diperiksa dulu karena bisa saja ada kejahatan sihir lewat surat—ya, dulu pernah ada yang seperti itu. Tetapi, biasanya surat yang berasal dari Pulau Mov hanya diperiksa dari 'luar' saja. Mereka tidak berani membacanya apalagi jika tertuju untuk keluarga kerajaan. Itu karena isi suratnya pasti sesuatu yang cukup penting dan pribadi. Intinya, hanya yang bersangkutan yang boleh membacanya."

"Jadi kita tidak boleh membacanya?" tanya Kiara dengan lesu.

"Sebentar. Akan kubaca duluan." Aku segera membuka amplop kulit itu dan mengeluarkan sebuah perkamen bersih dari dalamnya.

Kubaca dengan hati-hati. Namun semakin ke bawah aku membacanya, kudapati keningku semakin berkerut. Tidak mengerti, kuserahkan saja pada mereka. Rylo sigap mengambilnya.

"Baca saja. Kukira isinya sesuatu yang memalukan atau aib, tapi ternyata bukan. Lagipula, aku tidak begitu mengerti."

Usai Rylo membaca, ia tampak seperti sedang berpikir sesuatu. Perkamennya diberikan pada Kiara dan Adnan. Tentu kedua orang itu berebut sejenak sebelum akhirnya bersepakat (lagi) untuk membacanya bersama.

Kira-kira isinya seperti ini:

"Untuk Ratu Viona, selamat atas penobatanmu kemarin. Maaf tidak menghadirinya, lagi pula tidak ada seorangpun yang akan bisa mengenalkanku padamu.

Langsung saja. Aku Fai, salah satu gadis berbakat yang tinggal di Pulau Mov. Suratku padamu bukan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Tetapi, aku punya ramalan untukmu. Oh, bukan. Lebih tepatnya untuk 'nasib kerajaanmu'.

Datanglah jika kau ingin mendengar ramalannya. Akan kutunggu hingga minggu depan, dan jangan lupa bawa surat ini sebagai bukti aku yang mengundangmu. Tidak perlu membalas surat ini, balas saja dengan kehadiranmu.

Tertanda,
Fai Si Pembaca Dua."

"Wow, sepertinya seru," celetuk Adnan.

Kutatap cowok itu dengan sengit. "Apanya yang seru?"

"Ini berarti kita akan pergi bukan? Anggap saja piknik."

Tanpa diduga, Kiara mengetuk kepala Adnan. Aku yang terkejut menutup mulut dengan tangan. Lantas tertawa ketika melihat Adnan mengusap kepalanya.

"Bisa-bisanya kamu bilang ini piknik ketika di sini saja tertulis 'nasib kerajaan'. Kamu mau kupukul, ha?"

Aku merespon mereka yang lanjut berdebat dengan tawa dan gelengan kepala. Bukan Kiara dan Adnan namanya jika tidak bertengkar.

Di tengah-tengah itu, terdengar suara derap langkah kaki kuda yang menuju ke sini. Atensi kami berempat sontak teralihkan ketika melihat siapa yang datang. Itu Jendral Ryno.

Rylo segera bangkit, diikuti kami bertiga. "Ayah, Viona mendapatkan undangannya."

Jendral Ryno mengangguk, tersenyum ramah. "Mari kita bicarakan di dalam."

Kami bertiga mengikut saja ke dalam pondok. Baru ketika sudah duduk tenang di ruang tamu, Jendral Ryno buka suara. "Boleh kubaca suratnya, Putri?"

Aku memberikan suratnya tanpa ragu.

Selesai membacanya, Jendral Ryno mengembalikan surat padaku. Katanya, "ini sesuatu yang penting, Putri. Kalian harus ke sana."

"Maaf, Jendral. Apa kau bisa menjelaskan sedikit tentang ini?" tanya Adnan.

Jendral Ryno mengangguk. Beliau mulai bercerita.

Pulau Mov—Ungu adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur laut dari Kota Goldey, dan sebelah utara dari perbatasan Kota Rugby dan Diamondly. Penduduk pulau itu adalah gadis dan wanita, bukan sembarang perempuan. Melainkan sesuai namanya, mereka yang berada di sana hanyalah perempuan yang memiliki mata berwarna ungu.

Sebelumnya aku sudah pernah bilang bukan, bahwa dimensi ini menilai warna mata sebagai perbedaan kasta? Dari cerita Jendral Ryno, kusimpulkan bahwa warna mata ungu satu tingkat lebih tinggi dari keluarga bangsawan. Tentu bukan tanpa alasan yang jelas, sebab dirumorkan mereka memiliki bakat hebat masing-masing yang hanya diketahui orang-orang di pulau sana.

Tetapi warna ungu bukan kasta yang paling tinggi. Jendral Ryno bilang, ada satu tingkat warna mata yang paling dihormati di dimensi ini. Namun itu sangat langka. Saat kutanya, ia malah tak mau menjawab.

"Sejujurnya hanya ada satu kendala jika kalian ingin ke sana. Yaitu waktu. Kalian tak punya banyak waktu di sini. Sepertinya kalian harus mengorbankan waktu di dunia kalian."

"Memangnya perjalanannya berapa lama?" Aku penasaran.

"Sekitar dua sampai tiga hari."

Kami bertiga saling bertatapan, seolah bisa bertukar isi kepala.

"Apa tidak ada sebuah cara?" tanya Kiara cemas.

Jendral Ryno menggeleng.

Perbincangan kami hanya sampai situ. Karena besok kami sudah harus mulai pergi ke kampus, aku dan kedua temanku 'terpaksa' untuk pulang. Sebetulnya aku yang memaksa mereka. Sungguh, kedua makhluk ini sangat merepotkan.

Kiara mengerang kesal. "Andai saja waktu di dimensi kita bisa berhenti!"

Aku meninjunya pelan di bahu. "Jangan aneh-aneh." Tapi ia malah nyengir.

Di saat Kiara dan Adnan tengah sibuk membahas sesuatu yang terlupa dengan Rylo, aku memanfaatkan momen itu dengan mendekati Jendral Ryno. Walau aku memang tampak biasa saja dan tidak peduli, tapi sebetulnya aku juga terpikirkan tentang bagaimana caranya agar bisa pergi.

"Pasti ada sebuah cara bukan?" tanyaku pelan.

Jendral Ryno diam sejenak, tampak berpikir. Tak lama kemudian, kepalanya mengangguk ragu.

"Mungkin bisa. Jika waktu di dimensi kalian terhenti."

Aku membelalak, kehabisan kata. Oh, ayolah. Kiara hanya asal bicara 'kan tadi?

"Jendral, jangan bercanda ...."

Tapi ia menggeleng. Menegaskan kalimatnya yang serupa dengan omong kosong Kiara.

Pundakku lesu. Itu ... mustahil. "Bagaimana caranya?" tanyaku tanpa harapan.

"Entahlah. Mantra menghentikan waktu bukan sihir sembarangan. Salah-salah menggunakan, akan ada kecelakaan di jalur waktu dan hal-hal lainnya. Aku tidak tahu banyak tentang itu."

"Siapa yang bisa menggunakannya?"

Jendral Ryno mengangkat bahu. "Maaf, Putri. Aku tidak tahu banyak tentang hal ini. Mungkin hanya Si Hebat yang bisa."

"Si Hebat?" ulangku.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Wajah Kiara dan Adnan tiba-tiba muncul di sampingku. Aku berjengit, lantas mengelus dada. Mencoba sabar pada kelakuan mereka yang terkadang membuatku ingin overdosis.

"Bukan apa-apa," alihku. "Ayo kita pulang."

Setelah betul-betul pamitan dengan ayah dan anaknya itu, aku berteleportasi bersama Kiara dan Adnan ke kamar orang tuaku di kerajaan seperti biasa. Agak menyedihkan jika bicara soal teleportasiku. Pasalnya, ini tidak terlalu berkembang signifikan. Aku hanya baru bisa berpindah dari pondok Jendral Ryno ke istana.

Sebuah rencana tersusun di kepalaku. Aku tersenyum kecil sebelum menyuruh Kiara dan Adnan pulang lebih dulu, beralasan ada hal yang lupa diurus.

Tidak sepenuhnya bohong. Sebab selepas mereka pergi, aku segera bergegas menuju perpustakaan kerajaan. Senyum tipisku terbit ketika merasa yakin.

Pasti ada buku yang membahas tentang hal yang kami bicarakan tadi.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

rasa ingin nunjukkin peta Mineverse 📈
kualitas menggambar yang aku punya 📉

huhu, nanti deh aku kasih peta Mineverse kalau skill gambarku udah pro :')

jadi gimana bab ini? kita ada di awal konflik loh. menurut kalian, mereka bisa pergi ga ke Pulau Mov?

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top