[10] Duel

[Bagian 10 | 2245 words]

DUEL dilaksanakan saat itu juga.

Di tengah sorak persetujuan dari hadirin yang mayoritas tokoh penting Kota Gold, aku sudah berada di dalam kubah pertahanan yang bewarna bening dengan pendar emas bersama Menteri Tumo. Kurasa kubah sengaja dibuat agar serangan tidak menyasar ke mana-mana.

Jantungku berdegup kencang, membuatku sedikit gemetar. Curangnya, di saat aku belum sempat bersiap Menteri Tumo mencuri permulaan dan melayangkan serangan pembuka. Aku terkejut, tentu saja. Untungnya aku refleks menghindar sehingga serangan mantra itu tak menggores pipiku.

"Dari hal barusan saja aku sudah bisa melihat betapa payahnya dirimu," hina Menteri Tumo bersama wajah tampannya yang membuatku muak.

Aku menggeram. Lihat, makhluk songong ini meremehkanmu, Viona!

Dan kalimat yang terlontar di kepalaku baru saja ini berhasil menyulut kekesalanku. Tak mau mengalah, aku bergegas membalas serangannya.

Tentu saja meleset.

Selanjutnya, kami benar-benar berduel. Mengabaikan riuh di luar kubah, aku mencoba fokus. Ini baru permulaan, dan sialnya Menteri Tumo menyerangku bertubi-tubi. Aku dihujani serangan bola berwarna hitam yang kuyakini mantra gores.

Aku menghindar saja demi kebaikanku sendiri. Namun serangan ini terlalu bertubi-tubi. Mantra perlindunganku bahkah hancur. Aku terguling.

Sialan. Padahal ini baru permulaan!

"Hanya sampai situ kemampuanmu?"

"Diam kau!"

Tanganku terkepal, tak terima. Alisku menukik marah. Aku merasa telah dipermalukan dengan ini. Maka, aku bergegas bangkit dan mengucap mantra.

Lantai pualam retak. Dari dalamnya timbul sulur-sulur hijau besar yang menerjang Menteri Tumo. Sulur-sulur itu melilitnya kuat hingga bisa kulihat ia tampak kewalahan. Aku tersenyum puas.

"Zgâriat!"

Tapi rupanya tidak semudah itu. Dengan wajah menghinanya ia melafalkan mantra hingga ia terlepas begitu saja. Sulur-sulur itu tercabik-cabik dan mati.

Seolah membalas dendam, Menteri Tumo balik menyerangku. Tangannya terangkat. Bersamaan dengan itu muncul ratusan bola api di udara. Saat ia melambaikan tangan, bola-bola api itu menyerangku.

Mataku membelalak. Aku membuat perlindungan sekuat yang kubisa. Namun kembali pecah saat terus terhantam serangan brutalnya. Aku terpelanting, terguling di pualam yang sudah kotor dan penuh serpihan tajam. Sementara aku terus dihujani bola api, aku kembali membuat perisai dari sulur tanaman. Dan lagi, kembali hancur. Aku pasrah pada bola-bola api terakhir yang mengenaiku. Desisan keluar dari bibirku tatkala merasa kulitku terbakar dan melepuh.

Dia bukan tandinganku.

Menteri Tumo tertawa congkak. Sebelum aku sempat bangkit, tangannya sudah mulai terangkat lagi. Aku menjadi was-was. Kuarahkan sulur-sulur untuk mengecohnya. Di saat ia beralih pada tangan tanaman itu, aku mengambil kesempatan lengahnya.

"Impingând!"

Ia terdorong mundur beberapa langkah. Di saat itu aku memanfaatkan celah untuk bangkit dan memulihkan luka yang terasa mengganggu. Aku belum terlalu puas dengan serangan pertamaku yang berhasil.

Detik selanjutnya menjadi ajang kami untuk saling menyerang dan balik membalas. Bahkan suara riuh sudah tak tertangkap oleh telingaku lagi. Aku berusaha untuk lebih serius dan mencoba untuk menyerang saat ada celah. Mentri Tumo tampak benar-benar akan membunuhku di duel ini.

Seakan sihir tak cukup, aku menerjang pria itu untuk menguji kemampuan bela dirinya. Kukira aku punya kesempatan, tapi rupanya ia tetap lebih unggul.

Aku mendesis perih ketika pukulannya mengenai perutku dengan keras. Rasanya sama seperti tertiban bobot Kiara dan Adnan. Tubuhku mundur beberapa langkah. Aku benci kenyataan peluangku memenangkan duel cukup kecil dengan kondisi ini.

Menteri Tumo menatapku puas. Kemenangan tersirat di wajahnya. "Kau terlahir sebagai putri yang lemah."

Aku membungkuk, memegangi perutku yang rasanya perih bukan main. Sekujur tubuhku terasa sakit dan pegal. Ditambah lebam dan luka bakar yang belum sempat kupulihkan.

Jadi hanya sampai sini saja perjuanganku?

Pria itu kembali mengangkat tangan, dan ratusan panah tercipta di udara. Aku memandang ngeri. Manik hitam Menteri Tumo menyiratkan keambisusan yang sangat kental.

Otakku berputar, aku berpikir keras. Dan di saat terakhir seperti ini aku malah teringat sebuah mantra yang konon katanya serbaguna dan cocok digunakan di saat terdesak. Aku mencoba mengingatnya.

"Ada kata terakhir?" tanyanya remeh.

Aku mengangguk.

Ia menganggukkan kepalanya. "Katakan."

Bibirku bergerak pelan, melafal mantra yang baru saja kuingat. "Goldlîcia!"

Sebuah bola emas meluncur dariku. Menteri tampak terkejut. Tapi tangannya lebih dulu melambai sebelum ia terpelanting keras karena seranganku hingga menubruk dinding kubah dan tergeletak tak sadarkan diri.

Sementara aku pasrah saat panah itu mulai menghujaniku. Ajaibnya, tiba-tiba sebuah pelindung langsung tercipta tanpa kubuat. Melindungiku dari hujan panah. Di saat itu juga, aku mendadak merasa membaik tanpa alasan jelas. Energiku terisi penuh.

Hingga akhirnya, serangan telah usai. Bersamaan dengan itu kubah besar perlahan menipis dan menghilang. Pelindungku juga memudar.

Aku berdiri, lalu menepuk pakaianku yang kotor. Baru tersadar bahwa tak ada lagi sorakkan. Kini semua mata tertuju padaku. Mereka tampak tak percaya.

Sebenarnya apa yang telah kulakukan hingga mereka menatap seperti itu?

Hingga tepuk tangan mulai terdengar bersahutan, aula kembali riuh. Aku menoleh pada kedua sahabatku. Mata mereka memancarkan suatu kebanggaan yang menular padaku. Tanpa sadar membuatku ikut tersenyum.

"Hebat!" seru si Penasihat. "Ia bahkan bisa menggunakan sihir emas!"

Sihir emas?

Entah bagaimana, acaranya ditangguhkan sejenak.

Kini aku sedang berada di dalam kamar lain di kerajaan. Sebuah cermin rias terpampang di hadapanku. Memantulkan sebuah refleksi gadis cantik. Ya, itu aku. Dan aku sedang dirias.

"Sudah selesai."

Pelayan kerajaan yang meriasku mundur beberapa langkah. Lantas menatap wajahku dan tersenyum senang seolah aku adalah mahakarya buatannya.

"Kau tampak cantik, Putri."

Aku bangkit dari kursi dan beralih pada cermin yang merefleksikanku dari atas hingga bawah. Gaun putih panjang sekaki mata dengan renda sederhana di bagian bawah melekat di tubuhku. Sangat simpel dan tidak menyulitkan ruang gerakku. Sepatu dan jepitan di kepala juga berwarna senada. Sementara rambutku tersanggul kepang, membuat leherku tampak.

Waw, aku bisa secantik ini ternyata.

"Astaga, apa kamu benar Viona?"

Aku berdecak dan memutar kedua bola mata pada Kiara. "Jangan berlebihan."

Kiara terkikik. "Kalau bisa cantik sepertimu, aku juga mau," katanya lantas beralih pada pelayan di belakangku. "Pelayan, aku juga mau dirias seperti Viona, ya!"

Kepalaku menggeleng. Lucunya, pelayan itu malah menurut saja dan beralih merias Kiara.

Omong-omong, bukan tanpa alasan aku dirias seperti ini. Acara penobatan tidak bisa ditunda hingga besok sebab katanya rombongan keluarga bangsawan dari kerajaan lain akan datang sebentar lagi. Mau tak mau aku harus mengikut saja apa yang sudah diatur.

Selepas duel tadi, aku segera dibawa untuk diobati. Seorang tabib kerajaan dipanggil, membantuku memulihkan luka dengan cepat. Dan sekarang, tubuhku sudah bebas dari lebam.

Selain itu, katanya Menteri Tumo pingsan. Pria itu langsung dibawa ke ruang pengobatan. Tentu hal itu membuatku semakin bertanya-tanya tentang sihir yang terakhir kugunakan di akhir duel. Itu sihir apa? Apa saja kegunaanya? Dan segitu besarkah efeknya hingga mentri saja pingsan?

Belakangan aku tahu, karena aku tak bisa berhenti bingung hingga Rylo menjawab rasa penasaranku itu.

"Sihir emas bukan sihir sembarangan, Viona. Sihir semacam itu hanya bisa digunakan oleh keturunan asli dari sebuah keluarga kerajaan. Kegunaannya banyak. Mulai dari serangan, perlindungan, dan menyembuhkan. Tapi lebih banyak menguras energi. Sebetulnya, aku tak heran kamu bisa menggunakan sihir itu. Namun yang jadi pertanyaku adalah: bagaimana kamu bisa tahu perihal sihir ini? Kurasa ayahku tidak mengajarkannya padamu."

"Yah, memang tidak," kataku tadi. "Aku menemukannya dalam buku yang kupinjam di perpustakaan."

Aku menghela napas. Kutatap kedua telapak tanganku sejenak, lalu beralih pada refleksiku di cermin. Memandang lurus manik coklatku dan apa yang ada di baliknya.

Jika dipikirkan lagi. Ini semua terasa mustahil dan tak masuk akal serta terlalu ... fantasi. Walaupun aku sudah mengakrabkan diri dengan dimensi ini dan mencoba percaya, tetap saja ada bagian dari diriku yang masih merasa asing dan terjarak, bahkan dengan diriku sendiri. Karena Viona yang kukenal adalah mahasiswi yang pintar dan cukup ambisius, bukan tuan putri yang jago sihir dan bertarung.

Di saat aku sedang asyik-asyiknya bergelung dalam ruang yang merasa asing, pintu terketuk sebelum akhirnya terbuka. Aku tersentak kaget dan kembali pada kesadaran. Saat menoleh, aku mendapati dua orang pengawal yang menyampaikan sesuatu.

"Persiapan acara telah selesai. Putri diminta untuk segera ke sana. Penyambutan keluarga bangsawan lain juga akan dimulai sebab mereka tampak sudah memasuki wilayah sini."

"Baiklah. Kami akan segera ke sana." Aku mengangguk. Pengawal itu pamit setelahnya.

Aku menatap cermin lagi. Memastikan bahwa aku sudah cukup cantik untuk mengikuti acara ini. Kupalingkan wajah, menatap Kiara yang riasannya hampir selesai.

Yah, setidaknya untuk hari ini saja.

Penobatan berlangsung lancar dan damai.

Aku sangat mensyukuri hal itu. Sebab tidak perlu lagi merasa was-was perihal ada seseorang yang akan tiba-tiba berlari dengan kurang ajar dan menghentikan acara ini.

Acaranya selesai dengan bertenggernya tiara milik ibuku di kepalaku. Setelahnya berlangsung biasa dan damai. Walau masih ada beberapa yang mengungkit perihal duel dan memujiku atas sihir emas saat memberi selamat.

"Aku dengar beritanya. Jadi kau selama ini tinggal di dimensi lain, dimensi yang sama dengan asal Ratu Kalyptra?"

Pangeran Rayne berada di hadapanku sekarang. Ia berasal dari keluarga Lorare di kota Rugby. Jika aku tidak mementingkan citra, aku lebih memilih menjawab dengan sarkas. Alih-alih memaksakan senyum dan menjawab dengan anggun.

"Ya, begitulah."

Ia menanyakan beberapa hal yang kujawab sekenanya sebelum akhirnya turun dari podium. Tanpa sadar, aku bernapas lega entah kenapa. Padahal jika ditilik dari cara bicaranya, menurutku Pangeran Rayne adalah tipe orang yang ramah dan peduli. Cukup tampan, dan menurutku Kiara akan suka begitu melihatnya. Tapi anehnya diriku kurang suka dengannya. Sepertinya mungkin karena aku baru pertama kali melihat dan masih merasa asing.

Masih ingat dengan perkataan Jendral Ryno bahwa di dunia ini hanya ada empat kerajaan? Selain keluargaku dan keluarga Lorare, ada keluarga Arebey dari Silvry dan keluarga Phosfox dari Diamondly. Kedua keluarga itu tadi datang bersama keluarganya. Hanya Pangeran Rayne yang datang sendiri. Dari yang kudengar, orangtuanya sudah meninggal beberapa waktu lalu dan ia hanya punya adiknya, Pangeran Hayne yang baru berusia 5 tahun.

Mengesampingkan semua tamu bangsawan yang datang, tanpa terasa hari sudah semakin petang. Acara telah usai dan tamu-tamu sudah pulang. Tidak ada hal yang begitu penting di hari ini. Semuanya langsung berubah jadi seperti biasa, dan tentu dengan beberapa rutinitas baru yang akan dibebankan padaku sebagai pemimpin.

Aku meminta para pelayan dan menteri menahan kegiatan dan hal-hal baru yang ditujukan padaku dan meminta agar dimulai sejak besok saja. Sebab, aku masih ingin menikmati hari ini sebelum beralih pada urusan kerajaan.

Kini, aku beserta kedua temanku dan Rylo tengah berada di antara dua pohon besar yang digunakan sebagai rumah pohon. Api unggun menyala di hadapan kami. Aku dan Kiara duduk beralaskan batang pohon besar, begitupun Rylo dan Adnan.

"Mari kita ganti pembahasan lain," kata Adnan yang membuat pembicaraan baru. "Bagaimana perasaanmu Viona kini telah menjadi seorang ratu?"

Aku menunduk, memainkan ranting kayu dengan menggoreskannya secara asal di tanah ketika atensi ketiga orang itu terarah padaku. "Ya, biasa saja. Aku hanya berharap hal ini tidak terlalu membebaniku. Walau kurasa bisa lebih dari itu." Aku melempar rantingnya dalam api unggun. "Dan, aku belum pantas dipanggil ratu. Jadi jangan panggil aku dengan sebutan itu."

"Kenapa? Padahal kamu sudah layak ...." Rylo memelankan ucapannya ketika melihatku menggeleng.

"Hanya karena aku mengenakan tiara milik ibuku bukan berarti aku langsung menjadi seorang ratu. Tidak, aku tidak mau melabeli diriku sendiri dengan itu. Terlalu mudah."

Kiara menggeleng maklum. "Lalu kapan kamu akan mengakuinya?"

"Setidaknya sampai ketika aku berhasil melakukan sesuatu dengan mempertaruhkan nyawa ..., mungkin? Karena tidak mungkin bukan kerjaan seorang ratu hanya makan minum, tidur, dan marah-marah? Dan juga setidaknya sampai-"

Aku memalingkan wajah. Pipiku memanas memikirkan kemungkinannya.

"Sampai?" ulang Kiara. Tanpa menoleh, aku tahu mereka menungguku bicara.

"-sampai aku memiliki seorang raja."

Dahi Kiara mengerut. "Raja? Maksudmu suami?" Kiara melongo, lalu terbahak setelahnya. Dan dengan kurang ajarnya ia mendorongku sampai tersungkur. Untung saja kedua tanganku sigap menahan di tanah. Kini posisiku tampak seperti orang yang keblabasan saat berjongkok.

Aku berdecak keras, melayangkan tatapan permusuhan pada Kiara sebelum akhirnya bangkit dan membersihkan tangan. Gadis itu masih cekikikan.

Adnan merespon dengan senyum kecil. Sementara Rylo menyunggingkan senyum geli. "Astaga, Viona. Kamu tidak perlu sampai malu begitu." Ia terkekeh. "Katakan siapa tipemu? Pangeran Rayne? Pangeran Tudor? Oh, atau ... Menteri Tumo?"

Kutatap Rylo tajam dengan perasaan kesal. Dan perasaanku semakin memburuk ketika Kiara kembali tertawa saat mendengar orang-orang yang disebut Rylo. Aku mendorongnya pelan. Rasa malu, kesal, dan ingin menabok menjadi satu.

"Oh, atau ... Adnan atau Rylo?" goda Kiara.

Mataku melirik was-was kedua cowok itu yang untungnya tampak biasa saja dan tidak menanggapi serius ucapan Kiara. Buru-buru aku meninju Kiara pelan di bahunya dengan perasaan jengkel. "Bisa diam tidak?"

"Kenapa?" Kiara mengusap sudut matanya yang berair. Oh, astaga. Anak ini puas sekali meledekku. "Ucapanku benar?"

"Diam atau kusihir?"

"Oke-oke, aku akan diam. Itu mengerikan." Tawanya mereda, tapi tetap saja ia masih cekikikan.

Kami semua diam setelahnya, hanya Kiara yang masih senyum-senyum sendiri, entah apa yang dipikirkannya. Kutatap api unggun lama, lantas beralih pada langit untuk memperkirakan waktu. Kurasa sekarang sekitar pukul sebelas malam. Pantas saja aku mulai mengantuk.

Aku bangkit. Pamit pada mereka untuk lebih dulu ke rumah pohon untuk beristirahat. Sebetulnya jika aku mau, aku bisa saja langsung berteleportasi ke kamar di kerajaan. Tapi aku belum ingin.

Kiara ikut denganku, enggan ditinggal sendiri. Aku tidak terlalu meresponnya. Begitu sampai di rumah pohon, aku segera merebahkan diri.

"Viona?"

Aku menyahut dengan gumaman.

"Jadi, siapa tipemu?"

"Astaga, Kiara." Aku memelotot padanya. "Kamu betulan mau kusihir?"

Kiara tertawa pelan. Ia bangkit dan berdiri menghadap keluar jendela, memandang langit. Tawanya sudah mereda.

"Aku cuma mau memastikan." Nada suaranya berubah pelan.

Mendengar itu, aku segera memposisikan tubuh untuk menghadap dinding. Mataku terpejam. Tapi walau begitu aku masih mendengar perkataan Kiara karena aku tahu ke mana perkatannya berarah.

"Memilih sesuatu yang sama tidak selalu berujung baik. Dalam berapa hal itu bahkan bisa menimbulkan pertengkaran. Dan aku tidak mau itu terjadi pada kita."

Aku mengunci rapat mulutku, dan berusaha sekuat tenaga untuk segera tidur. Perasaanku tak nyaman. Jika aku boleh memilih, maka aku akan memilih untuk tidak mendengar ucapan Kiara barusan sama sekali.

satu jejak kamu, berarti banyak buatku ^^

haahhh, chaper paling susah yang kutulis.

menurut kalian gimana adegan duelnya? bagus nggak? aku baru pertama kali nulis berantem kayak gitu T-T

tapi akhirnya lega banget, bisa ngelewatin chapter ini

deadline semakin dekat, dan cerita ini belum masuk konflik. hahah :(

keep supporting me!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top