[1] Pohon Keluarga
[ Bagian 1 | 740 words]
BERDEBU.
Kata itu sangat cocok untuk menggambarkan kondisi kamar orang tuaku yang setelah sekian lama tak pernah kumasuki, maupun kubersihkan. Bukan karena apa. Namun kenangan kedua orang tuaku masih melekat kuat di sana.
Orang tuaku meninggal tiga tahun yang lalu, saat itu aku baru berusia 16 tahun. Dokter memvonis bahwa mereka terkena serangan jantung, padahal yang kuingat sebelumnya mereka tak memiliki riwayat penyakit apapun. Yang agak anehnya, waktu itu aku sempat melihat baju yang dikenakan keduanya terlihat basah dan sedikit berbau amis. Namun karena waktu itu aku baru 16 tahun serta terlalu sedih untuk berpikir jernih, kulupakan hal ganjil itu. Aku lebih memilih menguras sumur air mataku.
Aku anak tunggal. Jadi ketika mereka meninggal, aku tinggal sendirian di rumah ini (walau rumahnya hanya satu lantai dan cukup luas, aku sering ketakutan sendiri pada malam hari). Untung saja kedua orang tuaku juga meninggalkan sejumlah tabungan yang tidak bisa dibilang sedikit. Masih cukup banyak, mungkin hingga aku menyelesaikan kuliahku.
Sekarang aku 19 tahun, baru berada di semester pertama kuliahku. Aku sudah cukup besar. Namun kenyataan aku masih menangis ketika memasuki kamar ini, membuatku terlihat seperti anak kecil.
Ah, aku memang tidak pernah kuat masuk ke kamar ini.
Segera saja bayang kedua orang tuaku menyeruak ke permukaan pikiran, rasa sedih yang sudah kulupakan kembali timbul di hati. Rasanya aku ingin kembali menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat seolah aku tak pernah melihat dalamnya, seperti yang sudah-sudah.
Tapi aku tidak bisa. Aku selalu dihantui rasa bersalah karena tidak pernah membersihkan kamar mereka. Apalagi ini sudah tiga tahun sejak kejadian.
Aku menghela napas, mencoba memantapkan langkah hanya untuk sekedar membersihkan kamar, dan menguatkan hati bahwa ini tidak apa-apa.
Akhirnya, aku mengusap sisa bulir air mata yang sempat lolos. Lantas mengambil alat kebersihan yang sudah kubawa sejak tadi.
Tanpa bisa kucegah, kenangan mereka muncul kembali. Aku ingat saat aku masih berumur 8 tahun, aku sering ke sini untuk meminta tidur bersama karena aku takut di kamar sendirian. Aku ingat Ibu yang bangga padaku saat pertama kali aku masuk sekolah menengah. Aku ingat Ayah yang bangga padaku saat aku berhasil mempertahankan prestasi cemerlangku di sekolah. Aku ingat keduanya menangis haru saat aku dinobatkan menjadi siswi terbaik saat upacara kelulusan sekolah menengah.
Aku masih ingat semuanya.
Sayangnya mereka tak bisa menyaksikan hal yang sama dua kali di sekolah akhir-ku, padahal aku mendapatkannya. Mereka lebih dulu pergi.
Mengabaikan kenangan dan air mataku, aku mulai menyapu dari sudut ke sudut. Debu bertumpuk begitu tebal, membuat jejak kakiku tampak setiap melangkah. Aku fokus menyapu dan mengepel sebelum menyingkap setiap kain putih yang menutupi semua furnitur.
Aku menanggalkan setiap kain seperti seprai dan tirai (mungkin nanti akanku laundry). Membersihkan nakas, meja, bingkai, dan apapun yang bisa kujangkau.
Aku mengelap bingkai foto kedua orang tuaku perlahan. Mereka terlihat anggun dengan pakaian seolah raja dan ratu. Lengkap dengan hiasan kepala yang terlihat seperti mahkota. Latar belakangnya pun tirai bergelombang dengan warna merah dan emas, semakin menampakan sisi anggun sekaligus klasik dalam foto.
Baru kali ini aku memperhatikan sedetail itu. Dulu, aku hanya melihatnya sekilas.
Lalu kemudian aku melihat detail yang terlewat.
Matanya. Mata Ibu dan Ayah.
Mata Ibu coklat terang, sedangkan mata Ayah berwarna keemasan.
Emas.
Seingatku mata mereka coklat gelap. Ya, memang coklat. Namun kenapa kini berubah? Apakah fotonya memudar?
Aku mengerjap, lalu menggelengkan kepala pelan, mencoba untuk tidak memikirkannya lagi. Seharusnya aku menyelesaikan ini lebih cepat.
Terdengar suara keriutan. Aku termangu sebelum akhirnya sadar bahwa mungkin aku menggosok bingkai terlalu keras hingga kaitan bingkai bergeser atau apa. Dan benar saja, bingkai foto sedikit miring.
Untuk membetulkan, aku melepas pigura dari kaitannya. Aku terperangah melihat sesuatu tepat di balik tempat pigura. Sebuah gambar, tepatnya pohon keluarga.
Jariku tergerak untuk menyentuhnya. Berawal dari foto yang paling atas, nampak asing bagiku. Aku mengikuti setiap garis yang menghubungkan setiap foto hingga sampai foto Ayah yang garisnya terkait dengan foto Ibu. Dan dari foto keduanya, garis mereka turun hingga sampai di sebuah foto paling akhir.
Itu fotoku. Saat berumur 13 tahun.
Untuk sesaat, aku terpaku, tak tahu harus bicara apa. Ini silsilah keluarga Ayah. Dan aku baru tahu hal ini setelah 19 tahun lamanya.
Seolah tersadar, aku menggeleng pelan. Seharusnya aku tak boleh tahu tentang ini, Ibu dan Ayah tidak akan suka ketika mengetahui aku yang terlihat seperti ingin ikut campur hal-hal yang tak seharusnya kuketahui.
Maka, aku mengembalikan pigura pada tempatnya semula. Lantas membawa semua alat kebersihan sebelum akhirnya menutup pintu dan menguncinya.
Pikiranku kacau. Mungkin lusa aku akan kembali membersihkan kamar itu.
tinggalkan jejak karena itu means a lot for me ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top