BAG 8 : SECOND INJECTION SEASONS
“Hei, Kamu. Iya. Kamu. Gadis bermata biru. Jangan lupa jaga kesehatan. Pokoknya nggak boleh sakit! Kalau kamu sakit, entar yang ngomelin saya siapa?” - Tara Adiwilaga
🙄🙄🙄
🤣
Pemirsah. Seperti biasa. Jangan lupa vote dan komentarnya sebelum membaca, ya. Biar Aisha-Tara tetap semangat update-nya. 😂 Danke 🌹
Oh iya. Aku suka deh komentar ini. Cakep, ya, jadi gabungan nama mereka. 😁
Aisha-Tara
Aishiteru 😉😘
Lejar, Aisha menyelonjorkan kaki di atas ranjang di bangsal. Luka jahitannya kini terasa gatal. Entah ilmu dari mana, ia mengipasi luka jahit itu dengan kipas mini karakter dolphin-nya agar segera menghilang rasa gatal dari sana. Sambil mengembus napas lelah, bibirnya maju. Mendengar suara langkah mendekat, cepat-cepat ia menutupnya dengan selimut.
“Ini dia pasien nakal kita. Coba kita lihat, lukanya udah gimana rupanya?” ucap Tara dengan ekspresi datar.
“Udah mulai kering kok, Tuan Dokteeeer!”
“Ada ngerasa kejang atau sulit bernapas?”
Aisha menjeda tak langsung menjawab malah menatap dokternya lekat. “Aku kejang dan sulit bernapas setiap kali sadar kalau Dokter sedang memodusi aku!” ucapnya sengit dengan gigi yang mengatup.
“Oh ya? Ya Tuhaaan. Harusnya berterima kasih dong, Nona, sama dokternya. Jangan bandel gituuu,” ucap Tara tanpa dosa yang membuat Aisha merasa semakin sebal saja.
Aisha melirik malas diikuti kuluman senyum Tara.
“Okay. Dah siap untuk vaksin tetanusnya?”
Aisha mengembus lemah, “ck! Please dong, Om. Jangan suntik suntik mulu ngapa? Sini, biar aku minum aja tuh vaksin. Nggak meski disuntikkan. Yang penting masuk ke badan ‘kan?” rengeknya lelah yang entah bagaimana semakin memantik gemas di hati Tara yang berdesir dengan atmosfer merah muda.
Seulas tawa hampir pecah dari mulut Tara begitu saja. Lalu dengan wajah prihatin ia meraih vaksin di saku dan jarum suntik. Melakukan spooling pada vial dan siap melakukan injeksi.
Melihat itu semua, Aisha sudah menutup wajah sejak awal Tara mengeluarkan vaksinnya.
“Ya udah. Nggak usah vaksin aja, ya!” ujar Tara mengecoh.
“Naaah!” tunjuk Aisha semangat langsung setuju.
“Tapi kamu harus ikut saya malam ini,” ucap Tara berpura-pura sibuk merogoh sakunya tak melihat lawan bicara.
Aisha mendengkus. Sebenarnya apa yang dimau Dokter menyebalkan ini?
“Mak-sud-nya?” kata Aisha dengan nada penekanan.
Tara bergeming. Perlahan mengangkat matanya tajam menuju mata biru yang berhasil membuat dunia sekelilingnya terasa membisu. “Kita … ketemu di buritan nanti malam. Deal?”
“No Deal!”
“Okay! Hayuk lah!” ucap Tara pura-pura bergegas.
“Apa?”
“Vaksiiin.”
“Ssh. Mmmp!” Aisha menengadah kepala lelah. Dibalas Tara dengan mata melebar tegas.
“Tarik napaaaas, pejamkan mataaaa, jangan bayangin jarum suntiknya,” ucap Tara teduh dan tenang memberi instruksi.
“Terus?” gerutu Aisha ketus.
Tara menjeda dengan senyum melanjutkan kalimat. “Bayangin hal yang bikin kamu senang.”
Aisha tahu itu, tapi tetap saja rasa takutnya susah pergi. Lalu kali ini, entah bagaimana Aisha menurut dan mencoba lagi. Sebelum memejam, mata birunya sempat tak sengaja bergerak melirik Tara yang detik itu juga merasakan dunianya mendadak melambat. Dihiasi iringan senandung merdu bagai di film-film india.
‘Ya Tuhan, siapa yang sedang menyanyikan melodi syahdu di dalam otak saya?’ lirihnya konyol dengan mata terpaku.
“Udahan belooom?” pekik Aisha mencarut marut putaran melodi di otak Tara. Lelaki itu pun mengerjap dan merunduk cepat-cepat.
Lalu ketika Aisha membuka mata ia sudah tidak ada di sana. “Hhm?” Hidung Aisha mengerut sengklek seraya mengedar pandang mencari sosok tubuh tegap yang tiba-tiba menghilang. “Ck! Udah kayak hantu aja nih Om Modus,” ucapnya lagi samar.
Di luar IGD, Tara memberikan jarum injeksi pada Safiya dan memintanya melakukan injeksi buat Aisha. Sejujurnya tadi, ia hanya ingin meminta waktu Aisha nanti malam. Meski ia sendiri tak tahu untuk apa. Yang ia tahu besok Aisha sudah akan kembali ke ibukota.
Safiya langsung menuju ke ranjang Aisha dan melakukan tugasnya. Dengan hadirnya gadis itu, Aisha lega meski tetap berusaha melawan rasa takutnya. Namun hatinya merasakan hal aneh. Entah bagaimana ia malu merengek pada ners wanita itu. Jadi, mau tak mau ia melawan rasa takut sendiri yang menggedor di dalam hati. Lalu entah bagaimana … rasa sakit injeksinya … kenapa malah jadi lebih sakit dari yang dilakukan Tara kemarin?
Tak lama Rendra dan Yoga datang dengan satu cup kopi, meninggalkannya di atas nakas. Mereka pergi sebelum tersenyum jenaka yang dibalas dengkusan malas Aisha. ‘Ini pasti ada apa-apa.’
Aisha menatap cup-nya. Ia memicingkan mata dan melihat aneh tulisan yang melekat di badan cup. Sepertinya itu tulisan tangan. Aisha pun meraih cup dan memindai.
“Hei, Kamu. Iya. Kamu. Gadis bermata biru. Jangan lupa jaga kesehatan. Pokoknya nggak boleh sakit! Kalau kamu sakit, entar yang ngomelin saya siapa?”
Mata Aisha melebar, sepersekian detik dahinya mengernyit dengan hidung mengerut aneh. Tanpa sadar sudut bibirnya menarik senyum kecil. Detik kemudian malah mengembus dengan tawa lebar. Sekarang ia bingung, harus merasa kesal atau bagaimana, Oh Tuhan?
***
Setelah istirahat siang dan salat ashar, Aisha dan Niel akan meliput KBRS dr. Suharso 990. Rencananya, mereka akan mengeksplor sudut operasional kesehatan di kapal yang memiliki panjang 122 m dan lebar 22 m dengan kecepatan 13 knot ini. Setelah meliput ini, usai sudah tugas mereka di area pasca gempa Mamuju-Majene Sulawesi.
Setelah mendapat izin resmi. Mereka pun memulai liputan dengan mewawancarai Letnan Kolonel Laut (P) Agus Budiawan. Kemudian berjalan menuju buritan tempat pendaratan dua helicopter. Sekaligus mengeksplor senjata tempur meriam bofors SAK 40 mm L/70, Kanon Penangkis Serangan Udara (PSU) serta dua senapan mesin 12,7 mm yang tersedia di sana. Usai dengan itu selanjutnya adalah menuju IGD.
Di IGD, Aisha sempat mewanwancarai Letnan Beni selaku kepala IGD KBRS dr. Suharso 990. Selesai mewawancarai Dokter Beni tak sengaja ia melihat ada Tara sedang memberi pertolongan pada pasien yang dirujuk ke KBRS. Aisha melihat Niel mengarahkan kamera ke sana yang seketika ia tarik agar tak merekam wajah itu. Niel menatap Aisha heran. “Kenapa?”
“Yuk ke sana. Udah cukup di sini!” elaknya cepat.
“Lah. Belum kelar ini. Gue mau rekam dulu Dokter Lo!”
“Udaaah. Nggak perlu. Cukup. Ayok!”
Niel pun mau tak mau mengikuti Aisha dengan sebuah dugaan—sementara— di otaknya.
Menuju ruang inap, operasi, beberapa poliklinik, apotek hingga kamar jenazah yang tersedia di sana telah berhasil masuk dalam liputan mereka dengan Aisha bertindak sebagai reporternya. Ada beberapa ruang di KBRS seperti messing, dapur umum, ruang mesin yang tentu saja tidak dimasukkan ke dalam liputan mereka karena alasan-alasan tertentu. Begitu selesai mereka kembali ke buritan mencari udara segar.
“Kenapa tadi lo ngalangin gue ngerekam dokter lo itu?”
“Nggak ada. Ngapain juga. Besar kepala nanti dia,” ucap Aisha berkelit yang ternyata malah menjawab dugaan di otak Niel.
Niel menahan senyum geli melihat ekspresi gadis supel itu. “Takut dia besar kepala, apa kamu yang nggak mau dia terkenal?” ujar Niel sarkastik.
“Dua-duanya.”
Tawa Niel semakin terkembang. Dalam benaknya mungkin Aisha punya rasa tapi masih menyangkalnya. Namun maksud hati Aisha bergumam dia tidak suka saja. Bukan iri, apalagi jatuh hati.
“Lo … mulai mikirin dia, Sha.”
“Apaan sih?” bantah Aisha.
“Lo nggak suka dia dilihat banyak netizan ‘kan? Khususnya wanita.”
“Ya nggak lah!”
“Nah!”
“Bukan!” potong Aisha membantah. “Maksudnya bukan nggak senang seperti dugaan lo. Kalau dia masuk berita lagi. Dia pasti bangga. Dielu-elukan. Besar kepala yang ada. Gitu ‘kan mau dia?”
“Terus kalau dia memang begitu? Apa masalahnya buat lo?” kata Niel membuka jalan pikiran Aisha yang kini tersentak. Benar. Ada yang salah. Apa masalahnya?
“A-a. Ck! Ya nggak a—bukan gitu. Iii-ih! Lo itu sahabat gue apa dia sih? Kok malah belain dia sih lo?”
“Ha ha ha! Bukan gitu, Sha. Gue mencoba membuka cara pandang lo. Kali aja ada yang nggak lo sadari,” kata Niel meledek geli.
“IIh! Udah ah. Stop bahas dia!”
“Ha ha. Okay! Okay!”
Malam hari, Aisha membereskan barang-barangnya di bangsal. Wajahnya terpaku ketika meraih bungkusan berisi sampah yang seketika membuat ia tersadar. Kalau, selama beberapa hari ini semua camilan yang dikirim Tara ternyata selalu ludes berpindah ke perutnya. Haish! Aisha meringis sedikit malu. Dorongan ngemilnya selalu akan meningkat setiap kali ia kesal. Ya, begitulah Rumaisha. Setiap kali marah, makanan adalah lampiasan pertamanya. Untung saja ia dianugerahi tubuh type ectomorph. Jika tidak, bagaimana ia bisa ‘loncat’ terbang ke sana kemari dengan bobot tubuh yang cukup membuatnya kepayahan?
Lucunya di sini, sumber kekesalannya pula lah yang selalu menyediakan ‘obat penangkal’ itu. Tunggu. Apa Om Modus menyadari hal itu?
“Emang gitu ‘kan harusnya? Udah buat orang lain jengkel meski dia juga ‘kan yang ngeredain jengkelnya? Ya, nggak? Jadi … nggak usah malu lah!” kelit hatinya menegaskan kalau ia sudah benar.
Ingatannya terbang ke hari kemarin.
Sambil mengomel ia meraih geram kerupuk orong-orong di atas nakas, merematnya keras dengan mulut monyong. Lalu, berpindahlah isi bungkusan itu ke dalam perutnya dengan mudah. Tak mau ambil pusing, setelah semua selesai ia keluar mencari Niel ke musala.
“Niel. Dah kelar?”
“Lo dah di sini aja. Kenapa nggak nunggu gue aja biar gue yang ke sana?”
“Nggak papa.”
“Gue masih ngerjain data liputan nih. Belum kelar.”
“Um … kita kerjain bareng aja yuk. Kita duduk … di … um! Dapur umum KBRS,” kata Aisha dengan mata semangat.
“Ide bagus! Kenapa nggak bilang daritadi sih, Cencalo!” ujar Niel kemayu diikuti senyum Aisha.
Di dapur umum, sudah tak terlalu ramai karena waktu makan malam sudah usai. Mereka mengambil duduk di salah satu meja dan bangku yang sama panjang. Sedang serius dengan pekerjaan mereka, Rendra dan Yoga datang.
Melihat keberadaan Niel dan Aisha, Renda dan Yoga langsung menyapa. “Nona Aisha!” Mereka berdua melambai tangan suka cita. Aisha melihat ke asal suara dan tersenyum ramah. Cepat-cepat dua Kelasi itu mendekat dan mengambil duduk di meja yang sama.
“Nona Aisha, besok udah balik ke ibukota, ya?” tanya Rendra.
“He-um.”
“Wah, seneng dong udah selesai tugas di sini. Gimana lukanya?”
“Udah lumayan. Mulai baikan kok,” jawab Aisha tersenyum.
Mereka berbincang senang saling bertukar gurauan.
“Nona, um … sebelum kita pisah, aku boleh minta kenang-kenangan nggak?” ujar Rendra sungkan tapi tertawa girang.
Aisha mengembus napas geli. “Apa?”
“Yang … kemarin …,” katanya lagi segan.
“Hoo … berani kamu minta kenang-kenangan ama Nona Aisha!” ledek Yoga tertawa diikuti Rendra juga. “Si Kapten, minta juga kagak, ya?” katanya lagi membuat tawa mereka semakin pecah.
“Hei! Jangan kemajuan dong. Dikasi hati minta jantung!” potong Niel bergurau. Tiba-tiba ekspresinya berubah mengilat dan mencondongkan tubuh ke dekat Rendra dan Yoga yang duduk di sebelahnya. “Kita lihat, kenangan apa yang akan mereka berdua dapat. Hhm?”
“Huuoo … Syabaass!” sambut Rendra dan Yoga tertawa.
Melihat tingkah mereka bertiga hidung Aisha berkerut. Kenapa Niel sekarang malah jadi tim solid mereka?
“Nona Aisha …,” panggil Rendra seraya menunjuk ponsel miliknya setelah tawanya reda.
“Seriusan kamu?”
“He-um. Kakek pasti terkejut dan senang melihat, Nona,” katanya dengan mata mengilat.
Melihat itu, Aisha tentu saja tak tega menolak. “Okay. Buat panggilan deh.”
Rendra berdecak girang langsung melakukan panggilan VC. Setelah beberapa kali mencoba terlihat lah wajah sang kakek di layar. Sementara, hanya wajah Rendra dan kakeknya yang ada di layar. Kakek dan cucu itu pun bertukar kabar saling melepas rindu.
Masih menunggu Rendra, tiba-tiba Aisha tak sengaja menangkap sosok Dokter yang tadi sempat menghilang dari bangsalnya. Ia berjalan melewati meja mereka menuju meja lain di ruang itu bertemu rekannya dan berbincang. Setelah itu pergi sambil membalas sapaan Rendra dan Yoga tanpa menyapa Aisha yang masih duduk diam di sana.
“Kakek, Aku punya kejuutaaan.”
“Apa kamu, pake kejutan-kejutan segala.”
“Serius, Kek. Kakek pasti senang.”
“Apa To?”
Dengan semangat Rendra mengangkat ponselnya seakan hendak melakukan selfie hingga menangkap wajah mereka berempat di meja itu.
“Tadaaaaaa!”
“Oh, itu … Aisha? Aisha ‘kan? Iya, itu Aisha ’kan?” ujar sang kakek takpercaya tapi senang.
“Ha ha ha. Iya, Kek. Betol! Kami ketemu di sini. Kakek nggak nyangka ‘kan? Gimana, gimana, kakek mau bicara nggak?” goda Rendra.
“Assalamu’alaikum, Kakek …,” sapa Aisha melambaikan dua tangan di depan dada riang.
Lalu pecahlah senda gurau mereka. Di luar dapur umum, tepatnya di depan pintu masuk. Tara mengintip apa yang dilakukan mereka dengan senyum dan tatap hangat. Gadis itu berubah ramah dan jinak saat berhadapan dengan Rendra dan Yoga ditambah ada kakeknya pula di udara.
Ia tadi sedang duduk gelisah di IGD entah untuk alasan apa ketika mendapat sebuah pesan dari Yoga yang mengabarkan bahwa Aisha ada di dapur umum bersama mereka sekarang. Untung saja pasien IGD sudah di-handle dan ada nakes lain yang berjaga. Mendapat kabar itu, Tara meminta izin sebentar dan langsung berlari tergesa ke sini. Setelah puas melihat, ia mengirim pesan pada Yoga sementara ia kembali sebentar ke IGD.
“Bang Niel, Nona Aisha. Karena ini malam terakhir kalian di sini. Gimana kalau kita buat perlombaan?” kata Yoga setelah sesi haha-hihi mereka tak lama setelah menutup VC dengan kakek Rendra.
Dahi Aisha mengernyit. “Lomba? Apa?”
“Umm ….” Rendra Yoga berpikir sejenak.
“Makan Mie! Gimana? Siapa yang sanggup menghabiskan dua bungkus mie porsi jumbo paling cepat, dia yang menang! Gimana? Gimana?” ujar Rendra semangat.
Aisha tersenyum geli.
“Hoy! Perut kalian sama Aisha beda muatan! Jelas aja kalian yang menang!” sambar Niel. “Tapi … ya … untuk menemani malam ini … boleh juga …,” sambung Niel lagi tertawa.
“Wuuu!” ejek Aisha jenaka.
“Gimana Nona?”
“Okay! Siapa takuut!”
“Iyes! Kemooon!”
Rendra dan Yoga masuk ke ruang masak di dapur umum itu. Mereka sendiri yang memasak mie-nya. Tak lama, empat piring besar mie sudah tersaji di atas meja. Belum lagi lomba dimulai, Cito dan Hendru datang dan menatap mereka mengilat.
“Okay! Biar kami yang jadi jurinya!” pekik mereka menawarkan diri.
“Okaaay!”
Ke enam orang itu pun mengambil posisi masing-masing. Mak Eti, tukang masak di dapur umum yang dikenal ceplas ceplos dan humoris malah ikut bergabung begitu tahu mie dimasak untuk siapa dan keperluan apa setelah melihat tingkah mereka di meja. Ia duduk dengan suka cita menjadi penonton setia dan tim sorak semua peserta. Baginya, untuk me-refresh pikiran yang melulu menghadap alat dapur, sekali-kali yang begini cocok dilakukan.
“Siaaaaap? Mulai!” Instruksi Hendru.
Empat peserta itu pun mulai menyuapi mie ke mulut. Sesekali tawa Mak Eti keluar melihat Rendra yang mengusap mata pedih ketika percikan kuah mie masuk ke mata. Yoga yang sengaja menyikut Rendra untuk mengecohnya. Niel kali ini makan dengan senang hati khas gestur lelaki menyeimbangi Rendra dan Yoga. Sementara Aisha tertawa melihat Niel yang sengaja merubah gaya duduk dari biasanya.
“Yeeaay! I’m a winner!” ujar Rendra senang ketika berhasil menghabiskan porsi mie-nya.
“Kalau Rendra emang banyak makannya. Sebentar aja lah ngabisin mie segitu!” ucap Cito tertawa yang terdengar ledekan sengau disambut tawa mereka semua.
Sesi memindahkan mie ke perut pun dilanjut tunai oleh Yoga, Niel dan terakhir … Aisha yang belum selesai menghabiskan mie-nya.
“Gue nyerah! Aduh!” katanya menutup mulut.
Empat prajurit itu menatap jenaka ke arah Aisha yang hanya menyisakan kurang dari setengah mie di piringnya.
“Rend, Yoga. Agh! Kalian ngasi jatah aku pasti yang paling banyak dari kalian ‘kan? Agh! Curang!”
Rengekan Aisha malah disambut tawa mereka semua. Aisha meletakkan kepalanya di atas meja menyerah. Prediksinya, ia sanggup menghabiskan mie itu juga. Namun ternyata ia salah. Tiba-tiba ia merasakan piringnya tergeser ke depan. Ada seseorang yang mengambil duduk di seberang mejanya.
“Hooh! Kalian makan mie diam-diam aja, ya! Pelanggaran!” pekiknya tegas seraya menyuap mie dari piring Aisha yang sudah berada tepat di bawah dagunya.
Aisha mengangkat kepala dan mendapati sudah ada Tara yang makan sisa mie miliknya dengan bahagia. Kelopak mata Aisha seketika melebar.
“Eh, itu … bekas saya. Kok?”
“Kenapa? Kamu kalah. Biar saya yang menggantikan supaya kamu bisa sampai juga ke finish!”
“Ciha … maju terus pantang mundorrr!” sambut ke empat prajurit lain di meja itu.
“Cieee … dari sepiring berdua, nanti jadi sepringbed berdua. Uhuks!” ujar Hendru pura-pura terbatuk.
"Go to Tuan Kadi dulu ...," sambung Cito pula.
"Yes! Undangan! Undangan!" tambah Rendra, Yoga serta Niel pula.
Aisha langsung melempar tatap tajam ke arah mereka tapi akhirnya hanya bisa menerima kekalahan sebab Mak Eti malah berujar.
“AAMIIN!”
Diikuti pula aamiinan semua yang di sana. Aisha tertunduk meringis. Mana bisa ia melawan orang tua bersama mereka semua sementara ia sendiri.
Mata Aisha terangkat tak sengaja menatap Tara yang masih menyuapi mie ke mulut, mengunyah dengan nikmat seraya mengangkat alisnya sebelah bersama kuluman senyum menggoda Aisha. Sementara gadis yang digodanya hanya bisa mendengkus geram.
“Okay! Kali ini kamu menang! Puas! Puas!”
🌹🌹🌹
Siapakah kira-kira dalang dibalik semua kejadian di dapur umum malam ini? 😬😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top