BAG 7 : INJEKSI
Ada yang nungguin kagak? 😅
Ada atau nggak pokoknya yang udah hadir please, boom vote dan komentar kasi semangat, ya. 😆
Kalau kagak entar Aisha-Tara nesu berkesumat. 🤣😆
Nih tembak virtual buat kalian dari Dokter Tara, eaaaaa 😆
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Selesai mengantar pasien diagnosa patah tulang masuk ke ruang operasi, Tara kembali ke IGD dan pamit pada yang lain selagi tak ada pasien lain yang akan ditangani. Pasien tadi akan dipegang oleh Dokter Nina selaku dokter bedah ortopedi di KRI SHS-990. Segera langkahnya menuju ke buritan tempat tadi Aisha duduk sendirian dengan membawa jaket di tangan. Dengan mudah ia bergerak senyap meletakkan jaket itu di pundak Aisha dan pergi diam-diam sebelum Aisha melihat.
Dari kejauhan ia berdiri sambil melipat dua tangan di depan dada dengan senyum tengil. Antara pintu IGD, juga titik Aisha kini. Titik seimbang agar ia bisa memantau keduanya sekaligus. Penasaran, ia menanti respons dari gadis itu ketika membaca pesan darinya. Menggerutu, sebal, bergumam kesal atau memekik “hiiih!” sambil mencak-mencak geram. Sungguh Tara menyukai dan tak sabar melihat pola tingkah itu semua.
Benar saja, gadis itu melakukan hal yang sudah dibayangkan Tara. Mengulum senyum senang, sengaja, ia tetap berada di titik pantau. Saksama mengintai Aisha sambil memainkan ponsel-nya. Tiba-tiba benda pipih itu bergetar. Notifikasi dari seorang teman akrab lewat ‘Madam Rose’ berada di paling atas dari semua notifikasi yang ada. Tara membuka pesan itu.
Madam Rose 🌹 1 massage from Sky B
Sky B
Hallo, Sea. Kamu sibuk?
Sea
Maybe yes, maybe now. 😁 canda. Kenapa?
Sky B
Nggak peduli ah! Aku chat aja! 😏
Sea
Ha ha. What going on tentang racun?😳
---
Setelah menekan tombol kirim, Tara kembali melekatkan mata menuju gadis di kursi roda dekat pinggir buritan sana. Sepertinya ia sedang focus pada ponsel-nya. Tiba-tiba kembali notifikasi Madam Rose masuk.
Sky B
Oh… Nggak. Lagi kesel aja akutuh. Jadi pen ngeracun!
Sea
Wew. Seram ah! Ketika langit sudah marah, maka bumi bisa-bisa punah.
---
Tanpa mengangkat kepala dari depan ponsel, kelopak mata Tara terangkat lurus menuju intaiannya bersama senyum miring.
Sementara si gadis mata biru itu terlihat tengah memainkan ponsel juga memencet alphabet di layar ponsel dengan jempolnya.
---
Sky B
Racun apa yang cara kerjanya senyap tapi tepat.
---
Kirim. Lalu gadis mata biru itu pun mempertanyakan diri sendiri. Apa dia sebodoh itu? Agaknya otaknya betul-betul berada dalam ngambek mode on hingga tak mau diajak berpikir sekarang. Dan ia tahu, dari mana sumber kekesalannya.
Sea
?? What going on with u, Sky B? Senjata … biologi mungkin?
---
Aisha menarik senyum miring. Sungguh ia senang lawan bicaranya yang sudah ditandai dengan ‘Secret Admirer’ itu selalu bisa mengisi ruang ketika ia kesal. Begitu lah selama ini. Berbeda dengan akun lain yang sengaja memilih macth untuk wawancara sebagai bahan risetnya dan Citra.
---
Sky B
Hhhmmm 🧐🤔
Sea
Maksudku yang alami. Bisa ular. Ya. Atau … semisalnya.
---
Mata Tara kembali terangkat tajam melihat Aisha.
---
Sky B
Kamu keknya ilmuwan, ya?
Sea
Ha ha. Big No! Kamu seriusan?
Sky B
Haha. Kalau iya gimana? 🤬😱
Sea
🙈🙈🙈
----
Tara tertawa. Ia cukup senang meladeni sahabat akrab di aplikasi Madam Rose itu. Punya teman diskusi dan berbagi cerita tanpa tahu indentitas aslinya baginya punya sisi keseruan tersendiri.
Sementara itu di pinggir buritan kapal, Aisha menarik senyum sejenak melupakan kesalnya. Sungguh menyenangkan punya teman cerita tanpa harus tahu siapa, rupa dan profesinya. Aisha bisa dengan leluasa bercerita apa saja tanpa beban dan rasa khawatir. Toh, di dunia nyata mereka tak saling mengenal.
Mereka memang saling tak menyebutkan apa profesi di kehidupan nyata. Selain karena nama, di depan bio mereka sudah tertera.
---
Sky B
Just a girl who does some research to get to know about this Apps. If you have mind to share your story of experiencing this Apps, feel free to DM me.
Thans before and really appreciate. No ONS, No FWB, No VCS. Just friend only 😉
Sea
Lelaki penyuka tantangan. 😎 Petualangan. Hanya ingin ‘sekedar’ menyelam dalam aplikasi ini untuk sharing dan berteman. Cause this my one adventure. I Guess!
---
Tak lama, ada Rendra dan Yoga mendekati Aisha. Hhm? Mau apa mereka? Lima menit berlalu, terlihat mereka berempat tertawa bersama riang gembira. Tara tak menyangka, bagaimana bisa? Memangnya apa yang sedang mereka bincangkan?
Begitu dua kelasi itu pergi, Tara melangkah dan mendekati gadis itu.
“E-ehem!” Tara meletakkan tangan di depan mulutnya.
Aisha melirik tajam ke asal suara dan merubah posisi duduknya gelisah. Niel, yang melihat Tara tersenyum penuh arti.
“Hallo, Kapten Dokter. Saya Niel,” sapa Niel mesam mesem mengenalkan diri yang disambut hal sama oleh Tara. Tak lama Niel pamit lagi meninggalkan mereka. Sengaja.
“Nih, punya Anda ‘kan?” todong Aisha langsung saja.
“Hooo, ternyata kamu cukup mengenal saya, ya! Segitunya? Uunnch, peka juga kamu ternyata,” goda Tara menanti eksfresi sebal dari Aisha.
“Nih. Makasi. Berhenti modusin!” Aisha menyerahkan jaket itu dan segera berusaha menggeser kursi roda sedikit kepayahan.
“Mau saya bantu?” Tara mengulum senyum jenaka. Suka sekali ia mengganggu gadis jutek itu.
“Nggak usah!”
Kesal, Aisha malah bangkit, meraih pegangan kursi roda dan mendorongnya sebal. Entah bagaimana, lukanya mendadak sembuh seketika.
***
“Niel, carikan sepatu boot buat gue. Gue ikut turun.”
“Serius lo dah baikan?”
“Iya. Udah lumayan kok. Gue udah bisa liputan lagi.”
“Jangan dipaksa, Sha. Entar malah makin lama sembuhnya.”
“Nggak.”
“Yakin?”
“Yakin!” jawab Aisha tegas yang sudah bosan duduk diam.
Rasa-rasanya luka di kakinya sudah cukup membaik. Paling tidak itu alasan yang bisa ia paksakan agar tak lagi terdampar di rumah sakit terapung. Pasalnya, beberapa malam ini, ia selalu saja mendapat kiriman special dari ‘Om Modus’ si dokter menyebalkan. Selain hot chocolate, jaket, sampai sikat dan pasta gigi pun ikut jadi bingkisan.
Cukup! Ia tak ingin lagi ‘Om Modus’ berseragam loreng itu terus-terusan memodusi dirinya dengan dalih ia dokter yang menanganinya.
Dan di sini lah Aisha sekarang. Dengan hati riang ia kembali membawakan liputan dalam rekaman Niel di lapangan ke sana kemari. Mereka sedang berada tak jauh dari para prajurit yang tengah mendistribusikan bantuan dari KBRS ke masyarakat. Tak ia sadari di dalam kelompok berseragam loreng itu ada Tara yang sedang menatapnya lekat.
“Nona Aisha, nih!” ucap Yoga menghanturkan bingkisan. “Kali aja butuh,” ucapnya ragu-ragu sambil meringis segan.
Aisha memindai benda itu. “Pem … balut?” tanyanya yang disambut anggukan dan ringisan Kelasi itu.
“Ohh … saya ngga—“
Kalimatnya belum selesai tapi Yoga sudah berlalu setelah sebelumnya menunjuk segan ke belakang Aisha agar gadis itu tidak merasa malu. Mengernyit heran, Aisha menoleh ke belakang tubuh.
“Apa sih?”
Ia berputar, bulak balik memindai apa yang di maksud Yoga tadi. Dan … ia pun terkejut saat ada bercak darah tepat di belakang pinggulnya.
“Hah!” Aisha memelotot. Bagaimana bisa? Gugup, ia pun segera duduk untuk menutupi malu.
“Niel. Kok bisa ada bercak darah di celana gue!”
“Apa?” ucap Niel aneh.
“Pinjam jaket lho dong. Nggak enak diliatin orang,” ucapnya cemas. Dalam hati, apa begini rupanya sensasi ketika wanita ‘kebocoran’ akibat datang bulan?
Niel segera membuka jaket dan menyerahkannya. “Mungkin waktu kita ke sana kemari tadi. Lo nggak sadar duduki bekas darah kali.”
“Sssh! Mungkin lah!” pekik Aisha meringis seraya mengikat jaket Niel di pinggangnya.
Kembali duduk ia membuka sepatu boot dan meringis menahan nyeri luka serta lecet di telapak kaki. Setelah mengembusnya ia pasang kembali.
“Sha, gue rekam pengungsian area sana dulu, ya!” ucap Niel. “Lo di sini aja. Istirahat dulu. Entar makin sakit, berabe lagi!”
“Okay, okay …! Gue tunggu di sini, ya.”
Niel mengangguk dan berlalu. Teriknya matahari siang ini cukup menggigit di kulit. Gerah, Aisha meraih tas mencari kipas angin karakter dolphin-nya, menyalakannya didepan muka. Tak ia sadari ada Tara memindai setiap geriknya jenaka.
Merasa haus, Aisha sedang meneguk air mineral yang ditinggalkan Niel saat tiba-tiba ada wajah yang ia tandai dengan ‘Om Modus’ menghalangi silau cahaya matahari.
Gadis supel yang cukup modis itu hampir saja tersedak jika tidak menarik mulut botolnya. ”Anda! Ngapain di sini!” katanya menyeka mulut.
“Harusnya saya yang bertanya. Kenapa di sini? Luka kamu gimana? Udah baikan? Yakin udah bisa jalan? Apalagi di bekas tanah longsoran?”
Mendengar rentetan kereta bermuatan pertanyaan itu Aisha mencibir malas. “Udah kok. Nggak usah khawatir segala. Saya udah baik-baik aja.”
Tara mengembus dengan senyum miring. “Yang bilang khawatir siapa, Nona? Nggak usah geer. Saya nggak mau aja dituduh nggak becus ngobatin pasien setelah dituduh mau grepe-grepe,” kata Tara berkelit yang dibalas dengan lirikan tajam Aisha.
Tara mengedar pandang dan mengerti mengapa gadis itu duduk diam di sini.
“Berikan itu,” ucap Tara menunjuk bungkusan pembalut yang diberi Yoga.
“Ambil nih, aku juga nggak butuh kok.”
Acuh, Tara malah menekuk lutut kanannya tepat di depan Aisha. “Coba buka sepatu boot-nya.”
“Hah? Apaan sih? Modusin lagi?” pekik Aisha dengan mata mendelik.
“Ck! Buka cepat!” kata Tara dingin tanpa peduli meraih sepatu boot itu dan melepaskannya dari kaki Aisha.
“Hei, Kamu?“
Wajah Aisha seketika memerah menahan amarah. Namun, perlahan merah itu menghilang ketika Tara, membuka bungkusan pembalut. Merobek satu dan membuka isinya seakan ia yang akan mengenakan.
Kening Aisha berkerut heran. Apa yang dilakukan pria ini? Bukan hanya menyebalkan tapi ternyata dia juga pria yang aneh, ya, kan? Setuju tidak?
Setelah membuka perekat di pembalut, cekatan Tara meraih sepatu boot Aisha dan merekatkan pembalut itu di telapak kaki bagian dalam. Ia pun melakukan hal yang sama pada kedua belah sepatu boot itu.
“Nih, pakai. Sebaiknya jangan lama-lama juga pakai sepatu ini. Nggak ada silkulasi udaranya. Nggak baik buat kaki kamu yang masih ada luka,” ucapnya kemudian dan pergi meninggalkan Aisha dingin seperti biasa.
Seperginya Tara. Aisha mengerjap terpana. Tak menyangka itu yang malah dilakukan ‘Om Modus’ itu. “Tidak. Tidak. Jangan terperdaya, Aisha! Ini … pasti bagian dari modus juga. Huh!”
Tak lama Niel kembali.
“Sha, bisa ke tenda sana? Ada kegiatan nakes buat semua korban gempa.”
Aisha mendongak membuang jauh pandang ke arah yang ditunjuk Niel. Tak terlalu jauh.
“Okay! Kemon lah!” katanya semangat mengikuti Niel yang bergumam tawa melihat ekspresi Aisha sebelum melangkah.
Sampai di tenda itu. Aisha mengedar pandang, untuk bisa memilih siapa yang bisa ia wawancarai. Matanya berhenti pada sosok Rendra hingga matanya langsung melebar seketika.
Rendra yang menangkap sosok Aisha terkesiap. “Nona Aisha!” sapanya melambai tangan riang bukan kepalang.
Bagaimana tidak, bertemu Aisha di sini adalah hal tak terduga. Setelah bercengkerama dengannya ternyata gadis itu enak diajak bicara. Hal itu adalah hoki baginya yang berharap Aisha mau sukarela ikut menyapa jika ia VC-an dengan sang kakek yang telah membuatnya seperti sekarang.
“Rend, siapa kira-kira yang bisa gue mintai info kegiatan di sini?” tanya Aisha setelah Rendra mendekat.
“Hooo, tenaang. Tuh!” tunjuk Rendra dengan mulutnya ke arah Tara. “Si Kapt aja, Nona. Kebetulan Dokter Tara diminta Letnan Beni turun dampingin kita di sini,” kata Rendra bahagia. Tak jauh dari mereka Tara tak sengaja menangkap sosok mereka dengan eksfresi heran.
Senyum ramah Aisha sedikit pudar. “ Yang lain doong!”
“Kenapa memangnya?” ucap Rendra tertawa diikuti monyongan enggan Aisha.
“Ha ha. Ya udah. Yuk ketemu Letnan Budi aja. Di … nah itu orangnya!” tunjuk ke arah timur bagian tenda setelah mengedar pandang.
Aisha menurut, dan langsung melangkah ke meja di mana Letnan Budi duduk. Aisha dan Niel memperkenalkan diri dan dengan ramah disambut Budi. Mereka pun melakukan sesi wawancara tentang kegiatan hari ini yang ternyata pemberian suntikan vaksin pasca bencana.
“Bakteri clostridium tetani ini bersumber dari tanah dan kotoran hewan, menyebar lalu mengontaminasi sekitar. Jika sudah terkena, bila tidak ditangani racun dari bakteri ini akan menyebar ke organ tubuh, termasuk jantung. Ini bisa mengakibatkan henti napas. Bisa bahaya. Kondisi kita di sini bisa jadi sarang empuk untuk bakteri ini. Biasanya dia akan terlihat setelah 10 hari setelah berhasil masuk ke tubuh manusia. Tapi, dengan adanya vaksin ini, penyebab tetanus mudah-mudahan dapat kita minimalisir,” terang letnan Budi bersahabat.
Mereka pun terlihat berbincang banyak hal lagi tentang ini.
“Terima kasih, Letnan,” ucap Aisha sambil menangkup tangan sopan usai wawancara mereka.
Setelah itu ia mengikuti Niel dan mengambil duduk sementara Niel merekam kegiatan penyuntikan vaksin itu.
“Sha, kamu dalam lima tahun terakhir ada dapat vaksin tetanus nggak?” tanya Tara yang sengaja mendekat.
Aisha mengernyit. Dia saja takut jarum suntik. Kapan pula ia mendapat suntikan itu?
“Um … kenapa?”
“Vaksin tetanus baru tiba kemarin sore. Saat kamu saya obati kamu belum dapat vaksin tetanus. Semua yang berada di area bencana di sini juga dapat. Tadi … udah dapat info ‘kan dari Letnan Budi?” ucap Tara seserius mungkin.
“Aku … tapi udah nggak papa ‘kan? Jadi … ngapain lagi disuntik. Ya nggak?” jawab Aisha sarkastik membuang pandang menjauhi Tara.
“Saya saranin, vaksin tetanus juga, Nona. Mencegah kejang dan henti jantung. Tapi … kalau kamu nggak mau, ya, nggak papa. Saya ngerti kok. Kamu ‘kan … penakut!” ucap Tara berlalu seakan mengejek Aisha.
Gadis itu mendengkus mendengar ucapan Dokter Tentara bertubuh tinggi itu. Gerah, ia kembali meraih kipas angin karakter dolphin-nya dari tas lalu menyalakannya di depan wajah. Tara yang sudah menjauh tentu saja sempat menangkap gerak gerik gadis itu. Perlahan dan pasti ia memindai, merekam, dan menyimpan setiap detail dari gadis bermata biru bahkan sejak empat tahun lalu.
“ALLAHUMMA BAAREK LANA FIIMA ROZAQTANAA WAQINA AZABANNAAR!!” teriak keras seorang bocah kisaran sembilan tahun saat salah seorang ners memberikan vaksin di lengan kirinya dengan mata memelotot lebar dan mulut menganga. Ekspresi yang jelas saja mengundang banyak tawa.
Aisha yang mendengar itu terkesiap dan melihat asal suara lalu seketika tertawa. Detik itu juga matanya tak sengaja menangkap wajah Kapten Tara yang tengah menatapnya sarkas. Cepat-cepat Aisha pun merubah eksfresi wajah datar.
Kericuhan masyarakat di bawah tenda itu makin riuh. Bahakan dan tawa pecah begitu saja ketika melihat aksi bocah yang ketakutan saat disuntik tadi. Tak jauh dari situ, beberapa prajurit sedang menarik seorang anak usia enam tahun yang histeris dengan wajah miris mengundang banyak kekehan semua orang di sana.
Aisha yang menyadari itu, ingin pergi segera, tapi kakinya kini terasa keram seketika.Dipegangi beberapa tentara, anak itu didudukkan di bangku dekat meja ners.
“YA ALLAAAH. TOLONG. TOLONG YA ALLAH!” pekik anak itu sambil kejang-kejang takut seakan gempa tektonik kembali mengguncang dunianya. Suara bujukan, mengajak bicara agar takutnya teralihkan pun terdengar sahut menyahut.
“ALHAMDULILLAHROBBIL ‘ALAMIN ….” Anak itu terus memekik sambil merafalkan suroh Al Fatihah hingga akhir. “WALADHOOOLLEN!”
Dan begitu selesai. Ia menatap ke lengan kirinya. Dan ….
“YEAAY! ALHAMDULILLAAH!” pekiknya keras sambil meloncat hebat dan berlari dengan kelegaan yang membuncah.
Melihat itu, rasa lucu Aisha terusik begitu saja. Ia tertawa sampai menutup mulut saking gelinya. Sampai tak sadar sudah ada Tara di sebelahnya yang menatap sarkas dan bersedekap tangan.
“Heh, Nona. Nggak usah ikut ketawa. Nggak sadar apa, kalau dia juga takutnya kayak gimana?” ucap Tara meledek.
Aisha memonyongkan mulut, tapi masih merekah juga tawa dari bibirnya.
“Lihat, aja. Sebentar lagi ‘kan giliranmu, Nona ….”
Aisha bergeming. Menatap tajam mata Tara. “Nggak, ya. Aku udah nggak perlu disuntik lagi!”
“Sha, ayok! Giliran lo!” ucap Niel yang datang tiba-tiba dari meja nakes lainnya.
Kelopak mata Aisha melebar sampai tak bisa berkedip. ‘Apa? Ini si Niel kapan duduknya, kapan pula dia mulai injeksinya? Koh udah selesai aja?’
“Ng … ng … nggak. Nggak. Gue udah kok!” ucapnya dengan tangan di depan dada.
“Kata siapa?” potong Tara. “Saya dokternya kemarin. Kamu belum dapat vaksin tetanus, Nona.”
Aisha memelotot gemas melihat Dokter Tentara menyebalkan itu.
“Cepetan, Sha!” ucap Niel lagi memanggil.
Sedikit merasa malu, Aisha meringis lemas. Kenapa meliput kali ini penuh dengan cobaan? Tidak! Bagaimana kalau kejadiannya sama dengan anak-anak itu?
Di samping Aisha, Tara mengulum tawa yang hendak pecah dan susah payah ia tahan. Senang betul dia menganggu reporter DuMed itu. Dengan terpaksa Aisha tertarik tangan Niel lalu mendekat ke meja ners petugas pemberi vaksin.
Melihat kegelisahan Aisha. Satu detik, dua detik, tiga detik, sungguh mengundang rasa gemas Tara. Lalu ketika gadis itu dipersilakan duduk di bangku.
“Uuum, Maya. Nona itu ...," cegahnya sambil mengode dengan tangan.
“Udah dapat vaksin?” kata Maya—salah seorang relawan kesehatan—menyambut ekspresi wajah Tara. Maya pun mengangguk dan mempersilakan Aisha berlalu.
Aisha, dengan lega bercampur kesal yang ditahan mendekat ke Tara. “Anda, ngerjain aku?” gerutunya jengkel.
“Nggaak. Nanti, nanti kamu akan dapat vaksin. Cepat kembali ke bangsal. Istirahat. Siap-siap,” ucap Tara tepat di samping telinga Aisha dan melangkah lalu begitu saja.
Tentu saja kalimat itu bisa langsung Aisha cerna. Mengembus napas gemas, Aisha tak habis pikir juga. Pria ini! Hiiih!
🌹🌹🌹
Aisha : Serius nanya, ini Om Modus cocoknya diapain? 😓
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top