BAG 4 : DUTY

Ketemu lagi dengan kisah Aisha-Tara. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar, ya. 😉 Makasi semua ❤🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

🌹SECRET ADMIRER🌹

Koarmatim Surabaya Jawa Timur.

“Pukul 10.35 WITA dilaporkan terjadi gempa tektonik di Mamuju dan Majene Sulawesi Barat. Kapal Bantuan Rumah Sakit dr. Suharso 990 resmi mendapat perintah untuk bergerak dalam rangka gerakan kemanusiaan.”

   Sebuah berita darurat masuk lewat Marine VHF Radio yang selalu stand by di chanel 13 dan 16 KBRS dr. Suharso. Letnan Kolonel Laut (P) Agus Budiawan selaku pimpinan di KBRS melangkah menuju ruang briefing begitu mendapat kabar perintah itu. Ia juga sudah lebih dulu tahu lewat panggilan telepon dari Pangkoarmada Laksda TNI Sutardi.

“Kita akan menunggu kiriman bantuan yang kabarnya akan didistribusikan ke sini dari beberapa kesatuan sebelum berangkat. Targetnya, kita akan merapat ke sana dua hari ke depan. Besok bantuan akan segera masuk ke sini. Semua ABK, tolong tanggulangi semua kiriman bantuan besok.”

  “Siap. Letkol!”

 Sementara itu, Tara yang sedang duduk bersama Bella di depan aquarium besar rumahnya mendapat panggilan darurat dari Letkol Arya lewat udara. Setelah kejadian kemarin, ia diberi izin untuk memulihkan kesehatan hingga pekan depan. Namun sebelum masa izin habis sebuah panggilan datang.

  “Kamu sudah bisa bertugas, Kapt? Sementara ini, kamu akan saya tugaskan ikut dengan KBRS dr. Suharso ke Mamuju dengan tim Combat Medic dan CSAR[1] yang rencananya memang akan bertugas stay di KBRS. Bisa? Agaknya … penugasan dipercepat karena terjadi gempa.”

Tara tersenyum miring. “Siap, Letkol!” sambut Tara tanpa basa basi. Ia memang sudah melihat berita gempa itu di televisi. Lagipula kesehatannya sudah mulai pulih kembali. Adventure,  berkeliling Indonesia—juga dunia—adalah kesenangan bagi Tara. Lewat penugasannya pula ia bisa memenuhi hasrat bertualangnya.

Dua hari setelahnya, ia dan tim lainnya sudah siap di atas KBRS dr. Suharso 990 untuk berangkat dalam tugas menuju Mamuju-Majene Sulawesi Barat.

“Berapa banyak bantuan yang kita bawa?” tanya Kelasi Yoga disela kapal mulai berlayar.

 “Banyak lah pokoknya. Dari Dinkes, Disma, Dispotmar, Dispsial, Disharkap, Parkoarmada II, Lantamal Surabaya,” jawab Rendra.

  “Personel?” tanya Cito.

  “Ada sembilan penyelam, dua puluh lima personel kesehatan, delapan orang dari Diskomlek, tujuh belas personel tasiran Dikcabareg, enam penerbang heli, tiga Dispotmar dan tiga personel dari Dinas Psikologi,” jawab Letda Hendru bersahaja. Ia memang yang paling cepat menghafal informasi yang masuk ke otak.

“Tuh, si Kapten?” kikik Rendra yang menunjuk Tara jenaka. Rendra, Hendru, Cito dan Yoga menahan geli sendiri melihat ekspresi datar dokter tentara yang duduk di depan mereka seolah tak menangkap perbincangan.

  “Saya tahu, atas ulah siapa saya berada di atas KBRS saat ini,” ucap Tara sengau menatap tenang jauh ke lautan. Sebenarnya, atas perintah Letkol Arya, ia akan ditugaskan di Dintohardjo setelah bertugas di ujung perbatasan Indonesia, Laut Natuna Utara. Sebelum itu, Tara diminta menemani timnya latihan CM di Galapaga. Namun, kejadian kemarin malah memutar arah kemudi. Dan di sini lah ia kini. Tak masalah bagi Tara, jiwa bertualangnya masih menyala.

Keempat bawahannya tertawa. Benar. Atas permintaan mereka lah Tara ikut dalam tugas kali ini. Bagi mereka, Tara bukan cuma atasan, tapi kepala tim yang loyal tanpa memandang usia apalagi jabatan. Bekerjasama dengan Tara punya chemistry tersendiri. Itu yang membuat Combat Medic di bawah komandonya merasa nyaman dan penuh tanggung jawab. Sukarela dalam mengemban tugas.

 Kehangatan mereka tiba-tiba terpecah oleh dering yang berasal dari ponsel salah seorang di antara mereka. Cito, menyadari itu ponselnya dengan segera meraih benda itu dari saku celana.

---

MADAM ROSE’S DATE ALERT❗

10 minute before your date in Baret Burger and Resto with Deunika Candrasari

Are you ready?

HURRY UP! LOVE CAN’T WAIT!

---

Menarik senyum kecil, Cito mematikan alarm itu. Menyadari semua mata di sana tertuju padanya Cito pun meringis.

 “Hadoooh! Gagal deh ketemu. Derita lo, To!” ledek Hendru jenaka diikuti tawa semua rekannya. Sejatinya mereka sedang menertawakan keadaan mereka semua.

   “Ada yang dah berhasil belom dapat jodoh di Madam?” tanya Rendra semangat.

  “Ada kayaknya, si Fery. Bulan depan mau lamaran mereka,” sambut Yoga.

 “Wew! Syabaaas!” pekik Hendru jenaka.

 “Kau Cito, bisa coba lagi nanti,” kekeh Tara seakan prihatin, padahal dia sendiri tak jauh beda nasibnya.

“Sebenarnya kami udah konfirmasi nggak jadi ketemu setelah dapat kabar tugas ke sini. Nomor ponselnya juga udah aku pegang,” aku Cito tenang.

  “Wew! Mantab! Semangat, Bro! Semoga beruntuuung!”

Setelah dua hari lewat jalur laut. Selasa, Pukul 10.05 KRI SHS-990 sudah bersandar di dermaga Lanal Mamuju  Jl. Arteri. Kedatangan mereka disambut oleh Danlantamal[2] IV Letnan Kolonel Giofani Danuarta, sejumlah pejabat Lantamal IV serta personel Satgas penanggulangan bencana. Selesai apel sambutan, mereka diminta beristirahat sejenak sebelum turun ke lapangan.

Cahaya matahari tengah menyengat kulit seakan terasa menggigit ketika Tara ikut turun ke titik yang terkena efek gempa. Ia sudah koordinasi dengan Dokter Beni selaku kepala tim medis IGD di KBRS dr. Suharso untuk turun melihat ke lapangan selagi belum ada pasien yang dirujuk ke rumah sakit terapung.

Sebenarnya, tugasnya adalah stay di IGD KBRS sementara tugas SAR akan dilakukan oleh CSAR dan Combat Medic. Namun, bukan Tara namanya, jika harus duduk diam. Ia lebih suka turun ke lapangan sebagai penyambung tangan agar pertolongan bisa segera dilakukan. Lagipula ini bukan kondisi perang. Dan watak itu, dipahami betul oleh Beni.

 Tara sedang berdiri di atas tumpukan tanah yang menimbun puing rumah pasca gempa bersama Hendru ketika bumi kembali bergoyang. Gempa susulan! Ia dan Hendru menghindar, dan berlari ke tanah yang lebih lebar seraya berjongkok.

  “AAA …!”

Tiba-tiba ada suara teriakan keras dari arah pukul sembilan. Tara menduga, pasti ada hal buruk terjadi akibat gempa barusan. Ia dan Hendru langsung berlari ke arah suara begitu guncangan mereda. Langkah mereka diikuti massa yang ada di sana. Benar saja, ada korban yang terperosok reruntuhan puing rumah dan tanah longsor  akibat gempa barusan. Yoga, Rendra dan Cito mengejar keberadaan komandannya.

“Toloong!” Suara teriakan seorang wanita terdengar dari sana.

 “Ayo, segera!” teriak Tara gegas.

 Sampai di sana sudah ada tim CSAR berusaha mengeluarkan korban. Rendra dan Cito mengambil posisi ikut mengangkat puing bangunan yang menimpa korban. Sementara Hendru dan Tara berusaha menarik patahan kayu di bawah puing itu. Yoga membungkuk dan meraih tangan korban yang terperosok. Belum berhasil mengeluarkannya dari sana. Tara ikut berjongkok dan mengais longsoran tanah yang menimbun kaki korban. Hingga lima menit kemudian korban berhasil dikeluarkan.

Cepat! Cepat!” Stretcher Bearer[3] segera merapat dengan tandu, siap menampung korban untuk mendapat pertolongan. Tara yang masih berdiri dalam kerumunan tim SAR tak sengaja menatap wajah korban dengan terpaku. Kamu?

***

Jantung Tara berdentang. Ketika tak sengaja bersitatap dengan sepasang mata biru milik seorang wanita yang tak lain adalah korban gempa susulan barusan. Cahaya matahari menambah kilau indah mata itu. Darahnya berdesir seakan mendapatkan gempuran endorphin auto injeksi yang langsung mengalir.

Berbanding terbalik dengan Tara. Wanita berkerudung yang sedang duduk meringis dengan kaki terjulur itu—entah atas dasar apa—menangkap wajah Tara dengan tegang. Seakan mendapat gempuran hormon kortisol yang kini membuatnya—seolah—tertekan. Pasalnya, mata hitam pekat di wajah itu menatapnya lekat sampai tak berkedip. Ingin sekali ia merutuk dengan kalimat, “matamu, Lae!” Namun kalimat itu hanya bisa ia pekikkan dalam hati mengingat banyak massa di sini.

Pandangannya beralih ke kaki di mana ada robekan di celana kain yang ia kenakan. Ia pun segera menutup bagian itu dengan dua tangan. Detik kemudian, tiba-tiba sehelai baju bermotif hijau loreng mendarat di sana. Wanita itu terkesiap dan melihat asal datangnya. “Artis dadakan? Dia membuka seragamnya dan hanya menggunakan kaus?”

 “Pindahkan korban ke sini,” kata seorang Stretcher Bearer[4] tegas seraya menunjuk tandu.

Terkesiap, “no! No! Bi-biarkan saya sendiri,” cegah wanita itu cepat tak ingin 'kecolongan'. Di dalam hati. “Kesempatan!” umpatnya gemas.

Pelan, ia bangkit dan berjalan terseok dengan wajah meringis menahan sakit sambil memegang baju loreng menutupi kaki.

Polos, Kelasi Rendra mencoba bersiaga di belakangnya takut wanita itu jatuh yang dianggap Aisha adalah modus! Dengan geram ia memasang wajah permusuhan penuh penekanan hingga Rendra tak berkutik.

Tara mengulum senyum melihat pemandangan itu. Lalu membisikkan sesuatu pada salah seorang Combat Medic. “Biar saya yang tangani.”

“Ciha ... usaha, Komandan?” soraknya keceplosan yang membuat Tara nyaris salah tingkah. Namun bisa ia tutupi dengan senyum khasnya. Pasalnya, selama bertugas, Tara bukanlah lelaki yang agresif pada wanita. Sampai meng-instal aplikasi “Madam Rose” saja meski karena desakan para Kopaska. Terkhusus Combat Medic di bawah komandonya.

“Maju terus, pantang mundooor!” ledek para prajurit lain samar yang menangkap maksud perkataan tim CM mereka.

Hendru yang ada di sebelahnya tersenyum geli. “Gempur, gempur, gempur! Jangan kasi kendooor!” ledeknya juga di telinga Tara. Mata mereka berdua saling menatap seakan bicara. “Ayo, Bro! Pepet teerrros!”

Tara mendekat, dan menekuk lutut kanan dengan tangan bertumpu di atasnya.

“Bagian mana yang terluka—Rumaisha?” tanya Tara di samping tandu Aisha beramah tamah. Pertanyaan Tara tadi tentu saja dianggap Aisha modus juga. Rendra pun sigap meletakkan MOR di samping Tara. Melihat itu, otak Aisha semakin terjaga. “Tidak bisa!”

“Ada nakes wanita, nggak? Dan ... satu lagi. Ngobatinnya jangan di sini atau di tenda relawan tim nakes. Tempat yang ketutup dan gak ramai mata jelalatan kek gini!” Aisha mengedar pandang.  Ia juga tahu. Tenda darurat untuk relawan nakes di sana hanya beratap terpal tanpa dinding penutup bagian itu. Ia malu jika harus diobati di tempat terbuka.

Tara mengulum senyum mengerti. Memang, bukan maksudnya mengobati Aisha di sini, tentu saja.

“Ini area darurat gempa, Nona!” ujarnya menganggu Aisha.

“Ck! Aku nggak mau diobatin di depan banyak mata jelalatan! Please, jangan di sini!”

Yes! Batin Tara bersorak. Tak perlu membuat alasan untuk bisa membawa Aisha ke KBRS kalau sudah begini. Lelaki beralis tebal itu tersenyum samar. Suka dengan sifat keras kepala wanita di depan muka.

Okay. Kita ke KBRS saja,” katanya dengan binar tenang menatap Aisha. “Rendra, Yoga!”

Lewat lirikan mata, Tara memberi kode. Melihat perintah itu, Rendra, Yoga langsung tanggap dan meminta pada tim SB agar mereka saja yang mengangkat tandu. Tanpa ba bi bu, wanita itu langsung diboyong menuju KRI SHS-990. Di balik senyum sengau, semangat empat lima Rendra dan Yoga membantu Tara membawa Aisha ke sana. Sedikit kikuk Aisha tak bisa berbuat apa-apa.

Prajurit yang melihat bersorak dalam senyap. Bahkan ada yang pura-pura terbatuk. Combat Docter mereka sedang melakukan misi. Misi menaklukkan hati.

Sesampai di IGD KRI SHS-990. Aisha hendak dipindahkan ke ranjang pasien. Gadis itu menghunus mata tajam tanda penolakan saat Rendra hendak membantunya berpindah tempat. Sementara itu, Tara mengedar pandang berisi pesan kepada seluruh nakes yang ada di sana. Yang berarti: “khusus pasien ini, saya yang pegang!”

Leon yang stay di sana tersenyum geli sambil mengacungkan jempol jenaka. Lewat tatapan semua mata, Tara tahu benar ia mendapat dukungan semua nakes di ruang itu. Kemudian ia menarik tirai hijau pembatas area ranjang pasien sambil mengangkat tangan kanan dengan satu kepalan siap berperang. Aksinya itu disambut kekehan dan sorakan girang tanpa suara tim IGD KBRS.

“Hmmp. Maaf. Coba katakan, lukanya lebar nggak? Biar saya tahu bagaimana melakukan pertolongan,” tanyanya pada Aisha.

No, no, no! Jangan Anda!” Tangan Aisha mengambang di udara. “Tolong panggilin nakes wanita aja, ya. Ada ‘kan?” katanya tegas walau wajahnya memelas.

Okay. Okay. Kamu jangan salah sangka. Saya di sini bertindak sebagai tim medis. Bukan modus.”

 “Tetep aja. Mundur ...! Aku nggak percaya. Masa di KBRS nggak ada nakes wanita!”

Tara sempat terpaku dengan mata menatap dalam, kemudian … menggeleng pelan.

“Ck!” Suara decak kecewa lolos dari mulut Aisha.

Tara pun tersenyum kecil dan mengambil duduk di samping ranjang. “Ya udah. Cari sendiri aja coba. Dengan kondisi kaki kamu begitu. Bisa? Entah-entah keburu lukanya makin lebar,” kata Tara memberi argument-nya. Aisha menatapnya nelangsa. Otaknya masih bersikeras agar jangan Tara yang mengobatinya.

“Aku mungkin nggak bisa keliling cari nakes wanita. Tapi aku bisa menjerit, Tuan Dokter Tentara! Nanti Anda disangka menyalahgunakan profesi hlo! Mau?” ancam Aisha tanpa dosa. Sejujurnya lonjakan hormone kortisol dalam dirinya semakin meningkat saja.

Tara bergeming, tak memberi jawaban.

Di belakang Tara, ada Yoga dan Rendra menahan geli melihat, masa seorang Combat Doctor yang berani menantang mati, kini—seakan—tak berkutik di hadapan seorang wanita? Bukankah ini hiburan langka?

Namun sebenarnya. Bukannya menciut, hal itu malah semakin menggempur four chamical di dalam darah Tara. Hatinya sungguh tergelitik, semakin menyukai pola gadis itu.

“Njerit aja! Nggak akan ada yang percaya!” ujar Tara sarkastik yang diikuti seruan hebat samar dan acungan jempol Rendra dan Yoga. Tim sorak solid sekali mereka.

Aisha yang melihat ekspresi menyebalkan dokter tentara itu mendengkus dan semakin gemas. “Susteer! Ada nakes wanita kah di situ? Tolong ke sini …!” pekik Aisha keras.

Tak ada sambutan, malah kekehan sarkas Tara yang lirih datang. Gemas, Aisha mengulang kalimatnya. Namun lagi-lagi tidak ada yang menanggapi. Tara menutup mulut dengan punggung tangan menahan senyum. Melihat itu, membuat hati Aisha mendidih.

“Toloong! Toloongiin! Dokter ini mau grepe-grepe!”

Bergidik dungu, Tara tak percaya. Wanita ini? Mendengar kata ‘grepe-grepe’ dari mulut Aisha, Tara terlonjak dan bangkit mendekati Aisha.

“To—! Dia-mu-gle-pe-glee—” Kalimat Aisha terbata sebab tangan Tara menutup mulutnya. Akibat itu Aisha memelotot geram. Respons dari lonjakan kortisol membuatnya semakin memutar otak. Sepersekian detik ia berinisiatif menggigit kuat tangan besar itu hingga Tara memekik.

“A-aa-aaa! Okay! Okay! Terserah kamu aja. Gimana mau kamu!” kata Tara menahan gigitan gadis incarannya. Bukan. Bukan ia merasa kalah. Gigitan itu tak seberapa dibading luka bakar kemarin. Namun ia memberi rivalnya kesempatan menang, untuk bisa memenangkan hati sang wanita. Tentu saja. Strategi perang ala dr. Tara.

Rendra dan Yoga menahan tawa yang nyaris pecah seraya menolong komandannya namun urung ketika gigitan itu lepas.

“Tolong. Jangan Om, ya! Kasi saya nakes wanita. Bisa, Om? Om ... paham 'kan maksud saya? Om ….” kata Aisha dengan napas diatur setenang mungkin. Gadis pemberani juga ‘penakut’ itu sengaja mengucap kata “Om” dalam kalimatnya. Yang tak lain ia niatkan untuk menetralisir hormone kortisol dari kelenjar adrenal-nya.

Om? Apa tadi? Tara sedang tak salah dengar 'kan? Ya Tuhan. Gadis ini! Tak cukup ia menggigit tapi juga nyelekit! Sambil meringis miring telunjuk kanan Tara menelusup ke lubang telinga.

“Saya bukan Ommu!” sanggah Tara berkelit dengan dahi mengernyit. Melihat itu, entah kenapa seketika batin Aisha bersorak. Rivalnya mulai ‘terpengaruh’ rupanya.

Whatever, Om! But please, Om! Panggil nakes wanita aja ke sini, Om! Aku risih kalau laki-laki yang meriksa aku, Om!” ucapnya lagi dengan hati betsorak ria. Kali ini mulai semakin kuat menguasai kendali diri.

“Yang mau grepe-grepe kamu siapa?”

“Itu tadi?”

“Oh God!” Tara meneleng tak percaya. “Makanya kasi tau lukanya gimana. Jadi tahu gimana ngasi pertolongannya.”

“Harus? Ke nakes wanita aja nanti aku jelasin. Oom!” kata Aisha ketus dengan penekanan di kata “Om” dan mata sedikit melebar. Dalam hati ia tertawa senang ketika melihat wajah Tara mencibir sengklek. Pikirnya, ia berhasil membuat rivalnya menggeram dan akan menjauhinya. Namun beberapa detik kemudian, Tara maju sehasta, menatapnya dengan berani dan berkata.

“Sayangnya nggak ada nakes wanita di sini, Nona. Kalau luka kamu parah, kamu mesti dapat pertolongan pertama segera. Kalau memang nggak parah, good. Kamu cukup dapat sedikit obat biar cepat full recovery. Understand?” kata Tara dengan sorot mata tegas tepat di depan muka Aisha. Kemudian perlahan ia mencondongkan kepala ke samping telinga wanitanya mengambil jarak sehasta. “Okay. Atau biar Rendra dan Yoga saja yang mengobati, ya. Tapi pasti, makin banyak lelaki yang melihat bagian itu. Gimana?” bisik Tara lagi mengecoh keputusan Aisha. Ia sendiri sejujurnya tak akan menyerahkan tugas itu pada keduanya.

Jantung Aisha melorot. Wajahnya kini tertunduk muram. Itu bukan alternative yang menguntungkan. Lelaki yang sebenarnya memesona—tapi tak masuk kriteria Aisha—membuat Aisha bimbang. Sementara luka terbuka di kakinya kian terasa nyeri sekali.

Menangkap kegundahan Aisha. “Fine. Itu tadi luka terbuka cukup lebar, ya?” ujar Tara bersahabat. Sambil manyun, pelan Aisha mengangguk.

“Luka kamu … terkontaminasi tanah ‘kan? Maaf, tadi saya sempat lihat,” terang Tara singkat. “Eh, nggak sengaja kok!” pekiknya pula membela diri dengan alis terangkat dan tangan mengambang di udara. Aisha mendengkus. Pantas saja tadi lelaki itu memberikan baju lorengnya.

 “Di … mana aja?” tanyanya lagi hati-hati.

“Kaki.”

“Mm, maaf. Betis, atau Paha?” tanya Tara penuh khawatir.

“Du-dua-duanya,” jawab Aisha mulai sendu.

 “Lebar nggak kira-kira?” tanya Tara lagi.

“Lu-ma-yan.”

“Kalau lebar mesti dijahit.”

“Jahit?” Mata biru Aisha melebar takut.

Tara yang menyadari itu merubah tatapannya teduh. Ia paham reaksi wanita keras kepala itu.

“Semoga nggak harus dijahit. Mmh, jadi  ....”

“Tunggu. Boleh pinjam ponsel-nya?” buru Aisha segera.

Ponsel. Untuk? Kamu mau nelepon?”

Aisha menggeleng. “Foto.”

Kening Tara mengernyit, tapi dihanturkannya juga ponsel pintarnya dari saku celana ke tangan Aisha.

Sebelum menyingkap seragam milik Tara di atas kakinya, mata Aisha menatap ke arah tiga prajurit yang ada di sana. Paham. Tara mengajak rekannya keluar.

Baru saja hendak melintasi tirai hijau, “jangan macam-macam dengan hape saya, ya!” seru Tara dengan sorot penuh peringatan. Aisha mendengkus, menjawab hanya dengan embusan lurus.

Seperginya Tara. Sambil meringis sakit, ia membuka bagian betisnya yang terluka, mengabadikan luka itu di ponsel Tara. Wajahnya pias, mengingat bagaimana luka itu tercipta. Pasca berita gempa masuk ke Duta Medium, ia langsung dikirim ke sini untuk meliput. Ia yang memang menyukai petualangan pun langsung berangkat dengan Niel.

 “Rumaisha Oh Bunga,” panggil Tara dari luar. Dalam hati, Aisha benci lelaki itu menyebut namanya begitu, tapi entah bagaimana kali ini terasa syahdu suara itu masuk ke telinganya. “Gimana?”

“Udah!” jawabnya setelah menutup kembali bagian luka.

“Boleh saya masuk?”

“Hhm.”

Okay.”

Sosok Tara disambut tangan Aisha yang menghanturkan kembali ponsel itu. Paham, Tara menatap layar dan mendapati gambar kondisi lukanya yang lebar.

“Udah 'kan? Biar aku hapus.” Segera telunjuk Aisha mencari tombol hapus.

“Rumaisha, itu ... cukup lebar. Kita harus jahit. But, i-itupun jika kamu setuju.”

“Kalau nggak dijahit gimana?”

“Nggak papa kalau mau bekas sembuhnya jelek, terima resiko infeksi. Karena luka terbuka yang lebar begini punya banyak peluang masuk kotoran. Bakteri berkembang dan ya ... semakin lama nahan sakitnya. Apalagi itu … ada tanah menempel di sana.”

Batin Aisha nelangsa. Lukisan bekas luka di kulit perutnya sudah begitu menyiksa, ditambah di bagian betis pula?

“Bagian paha, gimana?”

“Nggak separah ini.” Aisha menjeda. “Okay. Aku mau. Tapi jangan ada orang lain lagi. Satu lagi. Cuma Om yang tau, dan nggak ada ceritanya bakal jadi perbincangan yang bikin malu.”

“Yaph! Memang begitu sumpah dokter. Menjaga rahasia pasiennya, bukan?”

Aisha bergeming. Dalam hati, ia masih berharap, ada spesis berjenis kelamin wanita di rumkit terapung ini.

“Mmm. Maaf. Kamu bisa ganti pakaian dulu di sini,” ujar Tara sambil menghanturkan seragam pasien yang sudah ada di samping ranjang dekat nakas. “... bisa sendiri nggak?” tanya Tara absurd yang disambut Aisha dengan gerutuan merutuk.

“Maksudnya apa nanya gitu? Kalau aku nggak bisa, Situ yang mau bantu? Idih! Kesempatan! Bisa aku kok. Bisa!” Mata Aisha memelotot hiperbolis.

“Bukan gitu, Nona. Cuma nanya aja kok. Kalau nggak bisa—Ya udah deh. Saya keluar dulu. Nanti kalau udah selesai jerit aja, ya. Saya di luar.”

Begitu Tara menghilang di balik tirai. Aisha berusaha dengan keras menahan perih sambil membuka pakaian dan menggantinya dengan yang Tara berikan. Ia baru saja selesai ketika suara Tara terdengar dari balik tirai menanyakan keadaannya. Gadis galak itu terpaksa menyahut.

“Hhm. Udah.”

 Tara masuk dan meminta Yoga, Rendra menunggu di luar. Berjaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Sedikit canggung Tara mendekat.

 “Mm, maaf, permisi, ya. Saya izin obati luka kamu,” ucap Tara canggung seraya melebarkan kain berwarna biru muda sebagai penutup bagian tubuh Aisha saat ia menjahit luka.

Detik kemudian, Aisha tertunduk sambil membuka luka di betisnya dengan malu. Sejujurnya, Tara juga secanggung itu. Entah bagaimana, mengobati pasien bernama Rumaisha Azzahra, membuat jantungnya berdetak tak sesuai irama seharusnya. Di atas normal tepatnya.

Aisha mencoba tidak melihat injeksi yang akan dilakukan Tara. Namun, tanpa sengaja jarum suntik itu tertangkap bola mata biru miliknya. Jantung Aisha pun berdebar tremor seketika.

“Aa!” pekik Aisha yang diikuti keterkejutan Tara tepat ketika hendak melakukan injeksi.

“Hhhh. Belum lagi. Belum nyentuh apa-apa kok ini.”

“I-iya. Jangan kuat-kuat!” rengek Aisha gemetar.

“Iya, iya .... Pelan-pelan kok ....”

“Aduh. Tunggu, tunggu.” Tangan Aisha menahan. “Seriusan ini?” ucapnya lagi yang sejujurnya takut jarum suntik.

“Sssh. Iya. Kalau gini terus nggak kelar-kelar ini mah.”

Okay. Tapi, pelan, ya!” katanya tegas tapi sedikit memelas.

“Iya. Tahan, ya  ....” kata Tara  perlahan memberikan lidocaine injeksi untuk mengurangi rasa sakit saat menjahit luka.

“Mmmpp!” Mengatup mulut, Aisha terpejam menahan nyeri. Mata Tara sempat menangkap ekspresi wanita berwajah blasteran itu. Di dalam hati; ssh! Kenapa pula ... hati saya pake gemes segala lihat ekspresi kamu!”

Sementara di luar tirai IGD, ada Yoga dan Rendra yang menangkap perbincangan Aisha-Tara berkikik ria. Sepertinya otak mereka berkelana jauh dari yang terjadi sebenarnya.

*** 

Oy, Rendra, Yoga, emang otak kalian berkelana ke mana? 

Rendra feat Yoga : "Wkwkwkwk, Wkwkwkw!"

***

 
Note part ini :

[1] Combat Search And Rescue

[2] Komandan Pangkalan Utama

[3] SB adalah orang yang membawa tandu. Terutama dalam perang atau masa darurat bencana dan kecelakaan.

[4] Tim pembawa tandu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top