Bag 33 : FORGETTING YOU IS HURT

Maaf baru bisa update. 🙏 Perjuangan sekali ini. 😁
Alhamdulillah, terima kasih dan selamat membaca. Jangan lupa vote dulu, ya. 😉👉🌹

🚢🚢🚢

Kesibukan bisa mengalihkan pikiran pada permasalahan yang melanda. Begitu kata banyak orang. Dan itu yang sedang dilakukan Aisha sekarang.

Gadis itu dengan sengaja menyibukkan diri, dan menambah jadwal pekerjaan di luar gedung saat ini. Tujuannya tak lain adalah demi menghindari Om Modus Absurd-nya dan melupakan masalah yang sedang melanda hati.

Namun, apa mau dikata. Hari ini, Tuhan berkata lain. Meski sudah berhari-hari ia sengaja memutus kontak dengan pria bernama Kapten Tara, menghindari dan terus bersembunyi darinya. Butala bagai sedang tak berpihak dan mau diajak kompak karena kini malah mempertemukan tatap mereka di pekarangan Masjid Kubah Emas, Depok.

Aisha yang baru usai shalat sedang menuju ke parkiran dan tanpa sengaja berpapasan dengan seorang pria yang jelas hatinya rindukan.

Kedua insan itu sedang saling terpaku dengan tatap menyimpan rindu. Kaki Aisha mendadak terasa beku hingga rasanya ia tak mampu melangkah lagi dan terdiam di sini.

Sementara beberapa meter di hadapannya. Seorang pria bernama Tara Adiwilaga seketika merasakan ada sesuatu yang menariknya cepat. Bagai medan magnet dengan dua kutub berbeda yang saling menghisap untuk mendekat dan melekat.

Pria yang sempat terperanjat karena menangkap wanita yang tak henti-henti ia hubungi sejak berhari-hari hingga tadi, perlahan mengambil langkah satu persatu.

Ada rasa rindu yang berderai dan juga terurai pada tiap inci yang hilang ketika langkah Tara membunuh jarak mereka.

Jantung pria itu langsung menabuh kencang bersama buncahan harapan tak berkesudahan.

Sepasang netra mereka saling bertaut dan dengan runtut tak memutus ke mana pun arah pandangnya terikut.

Pun di sini, gadis bernama Aisha sedang menetralkan debar hati yang sejak tadi menggema ingin lari. Namun tetap saja, bagai sudah terbiasa. Saraf-saraf pada tubuhnya menolak berbalik seakan mengenal betul pria yang sedang ia lihat di sana.

Kakinya bagai tertanam dalam hingga ia hanya bisa berdiam.

"Finding you, dope me, Sha." Mata Tara langsung berbinar penuh cahaya bahagia seakan menemukan obat untuk mengobati sakau dari rindunya.

Gadis itu kini tersadar dan mencoba untuk membuang pandang. "Maaf. Aku harus pergi." Ia melangkah melewati Tara.

"I miss you like crazy, Aisha. Kehadiranmu bagai candu." Suara bass itu terdengar sendu bersamaan dengan tangan Tara yang menangkap lengan Aisha untuk mencegah ia pergi.

Aisha menghela napas sebelum bicara. "Kamu harus terbiasa tanpa kebersamaan kita. Dan aku tau kamu pasti bisa."

"Saya? Hanya saya? Bagaimana dengan kamu? Apa kamu bisa? Hhmm?"

Kerongkongan Aisha tercekat mendapat rentetan pertanyaan dari pria yang sejatinya sangat-sangat ia rindukan itu. Tentu saja ia pun sama, bahkan semua rasa ini terasa kian menyiksa.

"Kamu lihat? Aku baik-baik saja, Kapt." Gadis itu membuka tangan, bersandiwara. Melepaskan cengkeraman tangan prianya.

Kemudian, sekuat tenaga Aisha melangkahkan kaki tapi lagi-lagi terhenti.

"You lie. Setiap kata berbau seperti ini yang keluar dari mulut kamu adalah kebohongan. Saya yakin itu."

"Kamu terlalu percaya diri, Kapt." Aisha memaksakan seringai miring juga dingin di sudut bibir tipisnya.

"Apa denial adalah keahlianmu? Hhmm? Aisha, please. Tell me. Apa yang terjadi sebenarnya?" kejar Tara dengan sorot tak percaya.

"Oh God, Kapt! Aku sudah katakan semua pada kamu. Apalagi sih? Kamu ini?" Napas lelah Aisha terhela. Seolah menunjukkan benci yang hebat pada sikap gigih Tara. "Udah, ya. Berhenti!" Aisha pergi tapi lagi, langkahnya terpenggal ketika ada sesuatu yang menahannya.

Dengan lelah, ia berbalik dan menoleh. Lalu mendapati tali rantai tasnya tersangkut pada jam tangan Tara.

Kembali, netra mereka tertaut dan cepat-cepat Aisha melepas benda itu dari sana.

"Percaya, nggak? Semesta sedang ingin mempertemukan kita. Kamu sadar? Berulangkali kamu lari dan sembunyi dari saya, apa yang terjadi? Bertahun lalu saya sudah melepas kamu tapi malah dipertemukan lagi. Dan sekarang nyatanya kita dipertemukan di sini. Menurut kamu, apa artinya itu?" lirih pria itu serius. Sorot tajam dari mata Tara dapat Aisha lihat dengan jelas karena jarak mereka yang memang dekat.

"Kebetulan, Kapt. Semua itu kebetulan!"

"Kebetulan yang berulang?" Kali ini alis Tara terangkat. Memperlihatkan kesan ketegasan dan keyakinan yang tinggi.

"Kapten Tara. Bisakah kamu mengerti? Tolong. Hargai keputusan aku, Kapt."

Aisha mundur memberi jarak mereka.

"Sorry, Sha. Entah kenapa saya ragu dengan ini semua. Bukan saya nggak mau menghargai keputusan kamu," ucap Tara belum putus asa.

Hening menjeda perbincangan mereka.

"Aisha. Beri saya waktu sebentar, ya. Sudah berhari-hari kita hilang kontak. Dan ... saya bersyukur sekali bertemu kamu di sini." Mata Tara sarat akan makna kerinduan. "Saya sedang menemani Momy ziarah ke makam Ayah. Kamu ... baru liputan di daerah sini?" tanya Tara.

Aisha mengangguk, tapi mendengar bahwa Tara bersama Yona hatinya bergetar. Terakhir kali ia berkomunikasi dengan Yona adalah beberapa hari lalu lewat panggilan telepon. Aisha mengatakan tentang keputusannya yang mundur dari memperjuangkan hubungan dengan Tara. Yona meminta maaf dan berterima kasih atas pengertian gadis itu dan berkata akan menghargai keputusannya.

"Saya akan di kirim ke Amerika lusa," lanjut Tara kembali membuka suara setelah kecanggungan mengisi interaksi mereka.

Mendengar itu hati Aisha sempat bergetar tak rela, tapi secepat itu juga ia menegakkan bahu. Mungkin, inilah yang terbaik untuk hubungan mereka. Agar ia juga mudah melupakan pria itu dari hidupnya.

Detik itu juga, mata Aisha menangkap sosok Monika sedang melangkah tak jauh di belakang Tara. Namun wanita itu terhenti ketika melihat kebersamaan Tara dan Aisha. Oh, rupanya Tara tidak hanya bersama Yona.

Ada rasa cemburu yang menyelinap masuk dalam bilik hatinya secara tiba-tiba.

"Selamat, Kapt. Kamu pasti bahagia bisa dikirim ke sana. Keliling dunia adalah kesukaan kamu. Nikmatilah kesempatan ini." Gadis itu memaksakan senyum padahal hatinya kembali pedih. Sangat-sangat perih.

Namun, bukannya itu yang ingin Tara dengar. Meski tugas ini tidak bisa ia tolak, tapi kali ini ia ingin Aisha berkata kalau gadis itu akan menunggu kepulangannya dengan setia segenap jiwa. Sebagaimana seorang persit menunggu kepulangan suaminya dari bertugas di medan juang.

"Karena itu saya ingin bertemu kamu."

"Ini, kita sudah bertemu. Semesta mengabulkan keinginan kamu. Sukses terus, Kapt. Sekali lagi selamat."

Entah mengapa Tara merasa makin ke sini perbincangan mereka maki terasa canggung dan berbeda. Pria itu tak suka ini.

"Aisha," panggilnya pelan. "Saya mohon. Tunggu saya kembali." Kalimat itu meluncur juga dari mulut pria itu bersama tatapan meminta.

"Kali ini aku nggak akan menunggu kamu, Kapt. Kita punya jalan kita masing-masing." Suara Aisha parau.

Perih kembali membebat dada Aisha bersama kalimat yang meluncur dari mulutnya. Matanya memanas, air matanya sungguh ingin terlepas.

Pun sama dengan Tara yang menahan nyeri mendengar jawaban gadisnya yang tak sesuai harapan.

"Kenapa? Sungguh jika saja bisa, rasanya saya ingin memaksa, Sha."

Detik itu mata Tara menangkap keberadaan Aryan yang baru saja menghentikan langkah ketika mendapati keberadaan mereka berdua. Hati pria itu bergetar. Ia baru sadar. Ternyata Aryan ikut turun ke sini bersama Aisha.

"Aku memilih Aryan. Jadi aku nggak punya alasan untuk menunggu kamu."

Terlihat dan terdengar mudah tapi sesungguhnya kerongkongan Aisha kering dari ludah. Rasanya ia tercekik hingga harus dengan susah payah untuk bisa mengatakan kalimat yang padahal ia sendiri tidak yakin itu benar atau tidak.

Mendengar itu wajah Tara mengetat, hatinya terbebat Lonjakan pacu jantung membuat napasnya pun mulai menderu hebat.

Perlahan, pria itu mundur dengan sorot duka. Pun senyumnya dipaksakan meski terkesan mengikhlaskan.

Melihat gestur dari tubuh Tara, gadis itu sungguh tak rela. Ingin rasanya ia berteriak menyuarakan agar Tara jangan percaya dan jangan pergi. Namun apa yang bisa ia lakukan sekarang ini selain tetap pada sandiwara pahit yang harus ia telan sendiri?

Aisha tak tahan lagi untuk tetap di sini dan ingin segera lari.

Namun ketika ia berbalik, gadis itu sontak terperanjat ketika menangkap keberadaan Aryan yang memang sedang menemani tim mereka turun ke lapangan hari ini. Napas Aisha terengah. Apa Aryan mendengar kalimat terakhirnya barusan?

Oh, God! Semoga saja tidak! Sungguh, Aisha hanya membuat alasan untuk Tara saja.

Detik itu juga, telinga Aisha menangkap Tara kembali bersuara.

"Congratulations, Sha."

Mendadak, dunia Aisha seakan berputar. Semakin pengar ketika Tara melanjutkan kalimat.

"Agaknya, menyakiti saya kini menjadi keahlian kamu. Terima kasih untuk segalanya. Selamat berbahagia."

Sontak air mata Aisha jatuh mendengar kalimat itu. Dadanya kembali sesak, rasanya kakinya sudah tidak berpijak. Bersamaan dengan itu telinganya mendengar langkah yang mendekat di belakangnya.

"Ayo, Monika."

Oh ternyata, itu langkah Monika.

Kemudian, dua insan itu melangkah melewati Aisha yang juga melangkah berlainan arah. Sebelum punggung tegap Tara benar-benar menghilang, sempat Aisha menatapnya sekilas seakan tangannya ingin meraih dan memintanya berhenti.

Namun semua itu hanya ada dalam angan Aisha saja. Karena sekarang ia sudah berlari mencari sisi pekarangan lain yang sepi. Aisha duduk di kursi taman dan kali ini menumpahkan air mata yang sejak tadi berdesakan. Bahunya naik turun menahan sesaknya atmosfer hari ini.

Puing berserakan dari hati yang kemarin ia kumpulkan dan tata ulang kini kembali berantakan. Bahkan suaranya kali ini tak mampu ia redam bersama isakan menyayat yang teramat sangat.

Gadis itu merunduk menyembunyikan wajahnya dalam dua telapak tangan. Tiba-tiba ia merasakan seseorang mengambil duduk--tak jauh--di sebelahnya. Cepat-cepat gadis itu mengusap jejak air mata dan membuang pandang membelakangi pria yang kini Aisha tahu adalah Aryan.

"It's okay. Menangislah, Sha, jika itu membuat kamu lebih baik. Kamu nggak perlu pura-pura okay jika sebenarnya kamu memang tak sedang baik-baik saja. It's okay to not be okay." Pria itu memasang wajah bijaksana dan siap menjadi tempat meluapkan kesedihan dengan setia.

Kembali gadis itu tersedu, menahan sakit yang membiru.

"Semesta memaksaku melepaskanmu, Kapt. Padahal aku belum pernah benar-benar menggenggammu," lirih hati Aisha pilu.

Gadis yang sedang kacau itu pulang ikut mobil Aryan. Pria itu sengaja meminta yang lain naik mobil satu lagi milik DuMed agar keadaan Aisha yang seperti ini tidak diketahui rekan lainnya. Gadis itu terheran, ketika tak ada satu pun yang naik ke mobil Aryan. Pria itu hanya menjawab, kalau ia memang sengaja agar Aisha bisa mengambil waktu. Tidak melulu berpura-pura baik-baik saja di depan rekan mereka. Hal yang sejak kemarin Aryan baca dari pembawaan gadis bermata biru itu. Dan hari ini, Aryan tahu apa penyebabnya. Namun pria itu memilih untuk tidak bertanya.

Mobil Aryan berhenti di sebuah SPBU. Keberadaan mobil itu disadari seorang pria yang sedang berdiri di samping mobil putih menunggu ibunya dan Monika membeli sesuatu di supermarket.

Setelah mengisi bensin, Aryan memarkir mobil dan turun ke bilik ATM yang ada di supermarket. Agaknya pria itu tak menyadari keberadaan mobil Tara di sana.

Aisha yang tiba-tiba merasa ingin ke toilet beranjak untuk turun tapi safety belt-nya kembali macet dan susah dibuka. Pergerakan itu tentu saja ditangkap oleh mata Tara yang sejak tadi menatap keberadaan gadisnya di balik pintu mobil yang jendelanya terbuka.

Melihat kepayahan Aisha, kaki jenjangnya melangkah dengan cepat menuju mobil itu dan membuka pintu di sebelah Aisha. Sigap membantu gadis itu lepas dari safety belt tapi dengan wajah dingin.

Aisha yang tak bisa menghindar langsung terperanjat ketika melihat sosok Tara lah yang sedang beraksi sekarang. Napasnya sempat terhenti sejenak tapi secepat kilat dadanya menghangat.

Namun, rasa itu kembali terbebat ketika pria itu pergi begitu saja dengan wajah ketat. Tanpa bicara dan menghiraukan gadis itu bahkan menatap mata birunya barang sejenak.

Aisha terpaku dan mengatur napas--juga perasaan--kembali sebelum turun.

Agaknya benar. Semarah apa pun seorang pria berhati lembut dan penuh kasih sayang tak kan bisa diam ketika melihat wanitanya kepayahan. Dan itu dilihat Aisha ada dalam diri Kapten Tara.

Sungguh hatinya tak ingin melepas genggaman tangannya dari tuntunan Tara tapi semesta memintanya untuk segera melepaskan meski dengan terpaksa.

Mau bagaimana pun, Aisha tetap kalah. Karena itu, Aisha sudah pasrah.

Kali ini, hanya Tuhan saja lah yang bisa membuat ia turut keluar dari labirin buntu ini untuk bisa mempersatukan mereka.

Aisha menegarkan hati, mengingat kalimat yang pernah ia baca.

"Jangan tersesat dengan rasa sakitmu. Suatu hari rasa sakitmu akan menjadi
obatmu." (Jalaluddin Rumi)

🚢🚢🚢

Pria itu masih berdiri di sana. Menatap penuh harap akan didatangi seorang gadis bermata biru sebelum keberangkatannya. Ia masih setia menanti di depan pintu terminal keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta.

Kembali ia melirik arloji. Waktu masuk ke ruang tunggu sudah mepet sekali.

Mata pria itu terpejam dalam, mengangguk-angguk samar. Dengan langkah berat, akhirnya ia memutuskan untuk masuk tanpa mendapatkan kata perpisahan. Ia sudah mengirim pesan pada Aisha. Yang ternyata tak diterima karena nomor Tara sudah di blokirnya.

Tara tak putus asa. Ia meminta kerja sama Niel untuk mengabari Aisha bahwa Tara akan pergi malam ini. Namun ketika ia sudah duduk di ruang tunggu, sebuah pesan masuk dari Niel. Berisi tentang Aisha yang menolak untuk ke sini.

Tak lama ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari Fauzi. Tara menjawab panggilan itu dan memaksakan senyuman seakan Fauzi bisa melihatnya. Tak ada perbincangan khusus. Fauzi hanya mengucapkan hati-hati dan selamat berjuang. Dan mengatakan kalau Aisha belakangan lebih banyak diam dan belum pulang.

Setelah menutup panggilan.

Netra Tara mengedip lelah bersama dengan mengganjur napas lemah. Batinnya melantunkan sebuah pinta yang menjadi rahasia antara ia dan Tuhan saja. Setengah jam kemudian, tubuhnya sudah berada di pesawat yang membawanya terbang menjauh dari Jakarta menuju USA.

🌹🌹🌹

6 Bulan Kemudian.

Seorang gadis bermata biru yang baru saja keluar dari pintu kedatangan luar negeri Bandara Soekarno-Hatta memilih duduk di salah satu food court untuk menunggu Lolita yang ke toilet dan Delon yang sedang membeli kopi instan.

Sedang mengedar pandang, tak sengaja matanya menangkap layar televisi besar yang terpasang di dinding food court, menayangkan berita negeri.

Begitu matanya tertuju, hatinya langsung tergugu. Seorang pria yang ada di layar jelas sangat-sangat ia rindu.

Ujung bibir tipisnya tertarik sedikit bersama gelenyar yang pecah lalu mengalir dalam darah.

Setelah enam bulan berlalu ternyata saraf-saraf dalam dirinya masih mengenali--sangat tahu sekali--dan merespons dengan hangat sosok yang hingga detik ini masih melekat hebat dan bersemayam dalam dadanya.

"Seorang prajurit asal Indonesia mendapatkan penghargaan dari Korps Marinir USA atas prestasinya dalam pendidikan Combat Doctor di USA. Pria yang akrab dipanggil dengan Kapten Tara ini kembali mengisi layar televisi setelah aksinya viral ketika menyelamatkan rekan prajurit TNI AL dalam tragedy meledaknya gudang amunisi. la ... bla ... bla."

Suara bass seorang pembawa acara berita menggema. Aisha tak menyimak lengkap semua kata yang disiarkan. Kali ini matanya hanya terlalu, menatap wajah tampan yang tersenyum di layar ketika menerima penghargaan.

"Congratulations, Kapt. Meski kita tak bersama, aku tetap ingin yang terbaik untukmu. Biarlah kita begini. Aku, di sini, akan terus menjadi your Secret Admirer. Proud of you, Kapten!"

"Sha, mobil DuMed udah dateng di depan. Yuk! Delon, udah selesai?" Tatapnya berganti pada Delon yang berdiri tak jauh dari meja Aisha. "Hayuk!" ajaknya juga.

Suara Lolita memecah fokus Aisha yang masih memandangi wajah tampan di layar guna melepas kerinduan yang belum berkesudahan. Dengan berat hati ia ikut langkah Lolita pergi dari sini.

"Guys! Laper gue. Makan dulu, yuk!" ujar Lolita setelah mobil itu membelah jalan.

"Ide bagus tuh. Gue juga laper. Ke mana kita?"

"Resto tepi pantai, yuk! Keknya asik sambil refresh otak abis dikuras mikir. Hahaha," gurau Lolita yang tak sadar membuat Aisha bergetar.

"Gimana, Sha?"

Gadis itu kini terhenyak, tapi entah mengapa kali ini tak ingin mengelak. Ia pun mengangguk tanda setuju.

Laut.

Ya. Salah satu tempat kecintaannya yang selalu berhasil mengingatkannya pada Tara. Dan kali gadis itu ingin sekali menyapa untuk melepas rindunya yang mungkin sudah seluas samudera.

Mobil mereka berhenti di salah resto tempat ia dulu pernah ke sini bersama Tara. Tiap inci dalam ingatannya seakan menyapa setelah sekian lama. Rindu dan rasa itu masih sama menggebunya.

Sambil menunggu pesanan mereka. Aisha melangkah ke bibir pantai membuang pandang ke lautan.

Hatinya bagai sedang meneriakkan rindu dan cinta yang masih belum mau berkesudahan.

Lalu fokusnya pecah ketika Lolita memanggil.
Ia masih ingin, tapi setidaknya ini cukup untuk sedikit mengobati rindunya pada pria itu. Karena sejak enam bulan lalu, Aisha sudah menghapus semua gambar Tara yang ada di ponsel-nya. Hanya satu yang tersisa. Potret kebersamaannya dengan Tara dan Bella yang sengaja ia print out dan simpan dengan rapi di laci lemari.

Benda itu tidak pernah ia lihat lagi karena kesibukannya selama ini.

Lalu malam ini, ketika sampai di rumah.

Setelah mandi, Aisha meraih benda itu dari sana. Senyumnya sempat terukir kecil dengan tatap penuh rindu ketika merebahkan tubuhnya di ranjang.

Napasnya yang teratur dan mata yang terpejam membawanya pada suasana pantai. Senyum gadis itu kian terukir. Lalu kakinya terasa basah ketika menyentuh permukaan air setelah melompat dari atas tebing.

Bukannya berenang, Aisha sengaja membiarkan tubuhnya perlahan demi perlahan ditelan birunya lautan yang membawanya makin menuju kedalaman.

Detik itu juga, tiba-tiba matanya menangkap seberkas cahaya bersama kedatangan seseorang yang berenang mendekatinya.

"Kapt?" gumam hatinya rindu dan juga tak percaya. Bersamaan dengan itu tangan Aisha terangkat seolah ingin menggapainya.

Wajah yang datang itu pun tersenyum hangat. Tanpa kata, tanpa suara, tapi mereka sama-sama bisa saling membaca dan mengerti arti dari tatapan masing-masing mereka. Aisha menarik senyummya juga. Lalu tangannya diraih masuk menelusup di antara jemari pria yang ia juluki Om Modus Absurd itu.

Hatinya tak henti berkata kalau ia, sangat, sangat dan sangat merindukan pria itu. Dari cara lelaki itu mengenggam dan tersenyum, dapat Aisha tahu bahwa Kapten Laut di hadapannya memiliki rasa rindu yang sama menggebu.

Mereka berdua, lebur dalam harmoni yang tak dimengerti siapa saja. Hanya mereka, dan Tuhannya saja yang menjadi saksinya.

"Forgetting you is hurt, Kapt. Like you. I miss you like crazy."

🌹🌹🌹

19 Mei 21

Forgetting you

Part selanjutnya adalah part terakhir versi online, ya. Udah aku ketik sebagian tapi belum kelar. 😆😁 Kutunggu ada 170 vote di sini sebelum posting yang itu,ya. 😉👉

Part-part selanjutnya adalah spoiler tipis-tipis.

See you 😉👉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top