Bag 32 : I TAKE MY WAY

تقبل الله منا ومنكم
من العائدين والفائزين والمقبولين
كل عام وأنتم بخير

Happy eid mubarok.
Mohon maaf lahir dan bathin 🙏
Sehat walafiat dan bisa berkumpul kembali dengan keluarga yang lengkap. Dalam kondisi
negeri yang membaik. Dan juga berharap Palestina yang aman dan merdeka. 💪😢

Aamiin ya rabbal 'alamin
Zain Isika dan keluarga 🙏💙💙💙

Alhamdulillah. Bisa update lagi. Selamat membaca, jangan lupa vote dulu, ya. 😉

🚢🚢🚢

Dua hari Aisha tidak masuk kerja. Dua hari juga Tara selalu datang ke rumah mereka. Namun kehadiran Tara di sana hanya sebentar-sebentar saja karena Halimah masih bersikap ketus pada Tara.

Fauzi meminta Tara tetap bersabar dan terus berjuang. Dua lelaki berbeda zaman itu entah bagaimana selalu bisa kompak dan sejalan.

Hari-hari kemudian, Aisha memaksakan diri kembali bekerja. Begitu pun Tara yang meski belum ditempatkan di Mintoeharjo sesuai rencana, juga sibuk bersama Letkol Arya.

Sementara mereka sibuk dengan pekerjaan, hanya berkirim pesan dan bicara lewat udara cara mereka untuk tetap saling berhubungan.

Hari ini, ketika jam pulang tiba. Tara yang tadi menemui Letkol Arya sudah menunggu Aisha di parkiran DuMed. Ia juga menyempatkan diri pulang ke rumah sebelum ke sini.

Aisha berkata ingin bertemu Combat Doctor itu. Pria itu langsung menyediakan waktu agar bisa bertemu segera. Lagipula ia juga merindukan gadis itu. Ya, baginya Aisha kini bagian dari semestanya. Baik dulu dan sekarang yang terus ia perjuangkan dan akan terus ia pertahankan sampai titik penghabisan.

Bagi Tara, mereka harus segera melakukan aksi lagi agar mendapatkan restu nenek Aisha. Mengenai Yona, buat Tara masih bisa diminimalisir karena Tara masih merahasiakan tentang keadaan Aisha.
Jadi, rintangan terberatnya adalah komandan tertua. Nenek! Pikirnya.

Nanti. Ada waktunya ia akan cerita pada Yona. Namun tidak sekarang. Pria itu tidak tahu saja kalau Yona sudah tahu lebih dulu.

Langkah kaki yang membawa tubuh Aisha mendekat langsung mengundang senyum bahagia di wajah Tara.

Pria itu, menyambutnya dengan tatap hangat seraya membukakan pintu mobil agar Aisha bisa langsung masuk.

"Miss you so much. Nice to meet you, Hun," bisik Tara menggoda ketika Aisha hendak masuk ke mobilnya. Gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi perkataan pria absurd itu.

Begitu Aisha hendak masuk.

"Bundaaaa ...." Suara gadis kecil menyambutnya juga. Aisha sedikit berjengit tapi juga tersenyum dengan spontan.

"Bella? Hallo, Sayang."

"Bunda, duduuuk." Mulut polos gadis itu membujuk. Sungguh, itu membuat rasa sayang Aisha semakin bertunasan.

"Iya. Iya. Ini Aunty duduk. Bella mau duduk sama Aunty?" tawar Aisha yang sudah duduk di samping kemudi dengan ceria seraya membuka tangan.

"Bunda apa Onty? Papa biwang Bunda." Mata kecil Bella bergerak bingung menatap Aisha dan Tara yang sudah masuk di kursi kemudi bergantian.

Aisha tercekat. Entah mengapa kalimat itu terasa kembali membebat.

"Bella mau panggil Aunty boleh. Bunda juga boleh, Sayang," jawab Aisha gamang dan sedikit sungkan.

Ada yang menumbuk keras di hati Aisha. Hampir saja air mata kembali mengisi di kelopak matanya karena tiba-tiba ada yang memanas di sana. Cepat-cepat Aisha mengedip untuk menyembunyikan dan menahan perasaan luka.

Bagaimana kalau nanti ia juga merindukan panggilan Bella untuknya?

Tara sengaja membawa Bella agar bisa menghabiskan waktu bersama Aisha seperti kemarin di seaworld. Tujuannya tentu supaya Bella makin akrab dengan calon ibu barunya. Tanpa ia tahu. Formasi lengkap dengan kehadiran mereka bertiga bersama begini, malah mengundang duka nestapa di hati Aisha kali ini.

"Kamu mau kita ke mana, Sayang?" Tara sudah melajukan mobil. Ia sedang fokus ke jalan tapi telinganya tetap fokus mendengar dua wanita di sampingnya.

"Pantai, yuk! Aku rindu suasana pantai," jawab Aisha dengan nada suara tenang yang dipaksakan. Ia menggoda Bella di pangkuan untuk menyembunyikan getir hatinya.

"Rindu pantai apa rindu saya?" goda Tara jenaka sambil melajukan mobil yang dibalas Aisha dengan dengkusan mencibir. Selanjutnya ia malah takut pria nyentrik itu berkata yang lebih absurd dari itu di depan Bella. Namun ternyata tidak.

Tara yang mengerti melirik sekilas dan memamerkan giginya yang rapi. Ia hanya menggoda Aisha saja tadi.

Mobil Tara menuju pantai sesuai permintaan tuan putri di sebelahnya.

Mereka mengambil duduk di salah satu resto tepi pantai yang mengusung konsep outdoor, memesan kelapa muda dan camilan dari olahan kepiting dan udang segar.

Tara yang sengaja memesan itu. Ia tahu benar, kalau Aisha menyukainya.

Sementara menunggu pesanan mereka datang. Gadis itu meminta izin untuk bermain air di bibir pantai bersama Bella. Tara yang juga menyukai laut tentu saja langsung setuju dan turut ikut. Kehadiran Bella membuat Aisha membuang sejenak perasaan kusut hingga ia memutuskan untuk menahan diri dan memberi ruang untuk mereka berbahagia. Saat ini saja. Biarkan mereka menikmati dan menghabiskan waktu bersama dengan ceria meski hati Aisha terluka.

Sesekali senyum Tara merekah ketika mencuri candid gambar Aisha dan Bella yang sedang bermain air. Bukan hanya gambar tapi juga merekam vidio.

Dalam hati, ia berdoa agar mereka bertiga segera bisa bersama dalam ikatan keluarga. Meski jika nanti ibunya tidak memberi izin Bella ikut mereka, tetap saja Tara akan membuat Bella menjadi putrinya dan Aisha.

Mereka pun kembali ke meja ketika pesanan tiba.

Tak ada perbincangan yang serius selama makan. Mereka hanya saling melempar tawa. Apalagi sesekali Tara malah bersikap bagai sedang mengasuh dua balita.

Dari tangannya, ia menyuapi kepiting yang sudah ia kupas kulitnya ke mulut Aisha dan Bella secara bergantian. Sementara Aisha menyuapi udang untuk Bella. Aisha sempat menggeleng ketika Tara melakukan itu. Namun sikap hangat Tara membuat ia tidak bisa untuk tidak membuka mulutnya.

Jujur saja. Di depan Tara, bukan hanya senyum di bibirnya, tapi seluruh dari dirinya ikut tersenyum setiap kali pria itu melakukan apa pun untuknya.

Saraf-saraf Aisha seakan tidak bisa berkelit hingga begitu terbuka dan menerima setiap perlakuan penuh cinta yang datang dari Dokter Paska itu.

Hangat di hatinya merambat dengan cepat. Tiba-tiba malah ikut merambat ke kelopak matanya lamat-lamat.

Ia bahagia dengan kebersamaan ini. Namun bisa jadi, inilah yang terakhir kali. Perasaan itu tiba-tiba membuatnya tak tahan untuk tetap di sini.

Aisha pamit ke toilet secara tiba-tiba. Tara sedikit heran, tapi tak mau memasang firasat buruk sama sekali. Ya. Begitulah Kapten Dokter itu. Baginya pikiran buruk akan menarik buruk juga dalam kehidupan. Begitu juga sebaliknya.

Di toilet. Aisha yang sedang menghadap ke cermin menumpahkan air mata yang sejak tadi ingin keluar. Kehangatan tiap kehangatan yang tercipta antara mereka bertiga harusnya membuatnya makin bahagia. Namun nyatanya kali ini malah menyiksa. Ya. Sebab itu akan membuatnya rindu saat mereka tak lagi jumpa.

Ia terisak karena sesak yang memenuhi rongga dada. Suara tangisnya teredam ketika ia menutup mulut dengan punggung tangannya yang mengepal seakan menahan rasa perih yang menyiksa seluruh dari dirinya.

Ritme bahunya yang bergetar naik turun memperlihatkan betapa di dalam hatinya hancur. Bagaimana tidak? Sesuatu yang ia cintai dengan segenap jiwa, kini harus ia lepas dengan ikhlas.

Aisha merutuk. Harusnya ia sadar. Karena tak ada yang akan bertahan bersama kita jika memang sesuatu itu tidak ditakdirkan akan menjadi milik kita. Sebaliknya, jika sesuatu sudah ditakdirkan untuk kita maka tak 'kan ada yang bisa merubahnya.

Siapa pun dia.

Tidak ada yang bisa melawan takdir Tuhan bukan?

Lalu, apa yang perlu dirisaukan?

Bukankah semua sudah ada yang mengatur?

Jadi. Sudah sepantasnya lah Aisha bersikap biasa saja karena ini.

Namun sayangnya, Aisha belum mampu. Rasa cinta dan sayang yang tanpa sengaja tertanam dalam palung hatinya, membuat ia sulit merasa biasa saja ketika harus melepas dua insan di luar sana dari dalam hidupnya.

Berulangkali hatinya memaksa tapi tetap saja rasa sakit itu ada. Bahkan begitu menyiksa. Amat, teramat menyiksa.

"Astaghfirullah. Astaghfirullah," lirihnya kecil untuk menegur hatinya sendiri agar tidak surut iman.

Aisha menggeleng kecil, menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu mencintai dan memasang harapan besar. Lalu saat harapan itu tak datang ia malah hancur seperti sekarang.

Itulah sebabnya ada pepatah yang mengatakan kalau mencintai dan membenci itu hendaklah sekadarnya saja. Karena barangkali suatu hari apa yang kau cinta berbalik menjadi yang kau benci. Sebaliknya, apa yang kau benci suatu hari malah berbalik engkau cintai.

Siapa yang bisa menjaminnya?

"Kau terlalu mencintai dunia, Aisha. Mungkin Tuhan tak mengizinkan jodohmu ada di sini. Bisa jadi ia ada di akhirat sana. Kau tak perlu berduka terlalu dalam. Karena kau tau konsepnya. Jadi kenapa harus sesedih ini pula sekarang?" pekik Aisha dalam hati menasehati diri sendiri.

Setelah puas menumpahkan air mata, ia membasuh muka dan menegakkan bahu. Sebelum keluar, Aisha menutup jejak sembab dengan concealer dan bedak. Benda yang belakangan kembali menjadi sahabat kentalnya untuk bersandiwara dan menyembunyikan luka. Setelah itu, ia kembali menatap wajah di cermin, mengganjur napas dan siap untuk bicara.

°°°

"Kita bawain apa untuk nenek sama Papa, Sha?" tanya Tara ketika mereka selesai makan dan hendak pulang.

Sementara Bella baru saja tertidur di pangkuan Aisha setelah kekenyangan.

"Nggak usah deh. Makanan di sini kolesterol semua. Nggak baik untuk nenek sama Papa."

"Ya nggak usah dari sini toh, yo, Sayang. Kita beli di tempat lain."

"Nggak usah deh. Udah malam juga. Entar nggak di makan malahan. Sayang, mubazir."

Mendengar itu, Tara tak berkata apa pun lagi. Ia mengambil Bella dari pangkuan Aisha dan membawanya ke mobil. Ketika Aisha bangkit. Kembali, Tara mengambil tangan gadisnya untuk digandeng.

Aisha sempat mendelik. "Malu ah!"

Melihat ekspresi Aisha, Tara hanya mengulum senyum. "Malu mana kalau kamu maksa narik balik, terus kita jadi tarik menarik dan akhirnya jadi tontonan banyak mata di sini? Hayo? Entar kita dikira pasangan yang lagi berantem."

Kalimat itu terlontar dengan suara bisikan tepat di telinga Aisha. Dan pria itu tetap menarik Aisha jalan dengan tenang. Sungguh, siapa pun yang melihat mengira mereka pasangan suami istri dengan satu putri.

"Makasi, Pak. Langgeng terus, ya ...."

Seorang pria petugas penerima tamu yang berdiri di depan pintu masuk menyapa mereka sambil merunduk dengan tangan menangkup.

"Aamiin. Makasi, Bro! Begitu juga dengan kamu, ya," jawab Tara bahagia karena sudah didoakan sesuai harapannya.

Mobil mereka melaju setelah meletakkan Bella di kursi belakang.

Aisha hendak membuka suara tapi mendadak tercekat berulang-ulang.

"Seneng, bisa jalan bertiga gini. Rasanya masih pengen bareng kamu. Kalau udah nikah mau pulang lewat jam 12 juga hayuk nggak ada yang patroli. Ya, nggak?" seru Tara terdengar sebuah ceracauan manis.

Mendengar itu Aisha meneguk ludah kosong. Sungguh inginnya sama. Buncahan kebahagiaan itu masih basah tapi entah bagaimana ada nyala api berkobar di dekatnya hingga kering secara terpaksa.

Tara menghentikan mobilnya di gerai penjual buah.

"Sebentar, ya. Kamu mau ikut turun?" ajak Tara dengan manis.

"Enggak deh. Kasihan Bella sendiri di mobil."

"Uwaw. Naluri kamu buat Bella makin tajam, ya!" seru Tara dengan senyum menggoda yang ditanggapi Aisha dengan dengkusan.

Pria itu terkekeh, kemudian turun untuk membeli buah-buahan. Pilihan yang Tara anggap lebih tepat dari pada makanan laut yang tak ramah untuk kesehatan nenek dan Fauzi.

Mobil mereka kembali melaju setelah Tara selesai dan duduk di kemudi.

"Jadi ... gimana menurut kamu selanjutnya? Nenek ... udah ada perkembangan ke arah ngasi restu belum?" tanya Tara santai.

Aisha menggeleng. Kerongkongannya mendadak kering bagai belum minum seharian.

"Ya udah nggak Papa. Besok saya main ke rumah untuk bertemu nenek lagi, ya."

Aisha tak langsung menjawab. Napasnya sempat terhela sebelum ia menoleh dan bicara. Kerongkongannya yang kering terasa mencekik tapi sekuat tenaga Aisha bersuara.

"Kamu nggak perlu bujuk nenek lagi, Dok."

Mendengar itu ada yang bergetar aneh di hati Tara. Ia cepat-cepat menoleh dan menatap netra Aisha untuk mencari jawaban apa maksud dari perkataan gadis itu tadi.

"Mak-sud kamu?"

"Kita berhenti saja sampai di sini. Nenek. Nggak akan memberi restunya buat kita."

Mendengar itu, Tara berusaha tetap tenang meski secara tiba-tiba ada duri yang menusuk tepat di jantungnya.

"Sha, please. Jangan putus asa." Tara menoleh lagi sambil tetap fokus ke jalan. "Usaha kita baru beberapa langkah. Kita bisa lakukan langkah lagi. Coba lagi. Maju lagi."

"Sampai?"

"Sampai dapat restu. Pokoknya nggak bakal berhenti sebelum dapat restu. Titik!"

Mendengar itu Aisha memejam. Ia tahu benar itu yang akan dilakukan pria itu. Lelaki yang pantang menyerah sebelum mendapatkan tujuannya. Ya. Begitulah Dokter Tara.

"Tapi aku nggak bisa, Dok. I'm quit until here. I'm so sorry. Aku nggak akan bujuk nenek lagi."

Begitu kalimat itu selesai Aisha terhuyung ke depan karena mobil Tara berhenti secara mendadak padahal tidak ada yang menghalangi perjalan mereka. Keberadaan safety belt menyelamatkan gadis itu dari terbentur ke dashboard.

Jantung Aisha sontak berdebar hebat. Bersama dengan itu ia sadar telah menorehkan luka di hati prianya. Dan kini di sampingnya, pria itu sedang menata deru napas, mencoba untuk mencerna apa yang melingkupi perbincangan mereka.

Detik selanjutnya, Tara menoleh dengan tatap tak percaya. "Tell me. Saya ... salah dengar 'kan barusan?" Tangan Tara mengayun kecil bersama ekspresi wajah getir.

Yang ditatap hanya memalingkan muka menghindar dari tatapan itu.
Sungguh ia tak sanggup jika harus mengatakannya sambil membalas tatap hangat yang belakangan selalu ia rindukan.

"No, Kapt. Kamu nggak salah dengar." Suara Aisha kini serak. "Maaf. Aku mau bicara ini tadi di sana. Tapi karena ada Bella, aku tunda. Nggak enak bicara masalah orang dewasa di depan anak balita." Kali ini malah suara itu bergetar.

"Aisha, no! Just tell me you are kidding now. Aren't you?"

Wajah Aisha mendadak mengetat tapi hatinya bagai diremat hebat.

"No, Kapt. Aku serius." Sekuat tenaga Aisha menahan air mata agar tidak tumpah.

Tiba-tiba ia merasakan tangannya di tarik hingga ia berbalik.

"Look at me!" pinta Tara tegas.

Netra biru milik Aisha tanpa sengaja langsung beradu dengan netra Tara yang sayu.

"Bibir kamu bisa terus berdusta tapi mata kamu memancarkan yang sebaliknya. Kamu sedang berbohong, Sha."

"Kamu salah faham." Aisha menarik tangannya balik tapi tertahan.

"Sha. Please jangan cepat putus asa begini. Ibarat perang kita baru saja mulai. Kita harus terus maju dan berjuang habis-habisan. Kita sudah turun di medan juang. Pantang buat kita untuk mundur. Ayo. Kita pikirkan cara selanjutnya. Saya yakin, restu itu akan kita dapatkan asal kita terus maju dan berusaha. Batu saja bisa berlubang dengan tetesan air. Apalagi, hati nenek yang sebenarnya baik hati?"

Air mata Aisha merebak. Sejujurnya, bukan itu alasan yang tepat mengapa Aisha memilih mundur. Halimah bisa luluh, apalagi Fauzi juga sudah restu.

But!

Wanita sanggup menahan rindu dan cinta bertahun-tahun lamanya. Namun ia tak sanggup menahan perasaan cemburu meski untuk sesaat saja. Aisha tak kuat jika harus terus-terusan menahan cemburu pada Monika.

Sungguh, membayangkannya saja hatinya mendadak sesak. Terlebih jika itu sampai terlihat dengan nyata di depan mata. Apalagi Monika lah yang akan mengandung anak Tara. Lalu apa istimewanya keberadaan Aisha nanti meski statusnya adalah istri pertama yang diakui negera?

Namun, tentu Aisha akan membungkam mulutnya tentang hal itu.

Labirin buntu ini hanya punya satu kesempatan dan satu orang untuk keluar. Aisha ingin Tara yang harus keluar sekarang. Biar ia yang tinggal di sini. Menata hati kembali, melepaskan Tara pergi. Meski jelas saja itu menyakiti hatinya yang rapuh ini.

"Aisha. Apa yang kamu nggak suka dari saya? Apakah kurang yang saya lakukan selama ini untuk memperjuangkan kamu? Apa kurangnya, Sha? Apa saya punya salah sampai kamu tiba-tiba berubah pikiran? Tell me. Saya akan perbaiki. Tapi, please. Jangan gini. Semua pasti ada jalan keluarnya." Suara Tara serak dan mengiba.

Mendengar itu pertahanan Aisha makin runtuh, air matanya luruh. Kalimat itu bukannya menghapus cinta di hati Aisha, tapi malah memupuk hingga ia makin bertunas saja. Pria itu punya jiwa besar, berbesar hati dan berani mengambil kesalahan yang datang dari wanitanya. Sungguh tipikal pria sejati dalam kriteria Aisha.

Ia selalu mampu mengalah, dan memilih untuk berkata dia lah yang salah. Padahal, jelas bukan dia yang bermasalah. Dengan bagitu, hati wanita mana yang tidak tergugah?

Hal itu, lagi, bertubi-tubi malah membuat hancur perasaan Aisha yang sejujurnya tak ingin melepas pria seperti Dokter Tara ini.

"Bukan cuma itu, Kapt. Sejak awal kamu tahu aku juga nggak suka dengan profesi kamu sebagai tentara. Aku nggak siap menjadi seorang persit yang penuh dengan aturan. Jadi. Aku mundur. Kita selesai saja sampai di sini. Please. Pergilah. Jangan ganggu aku lagi."

"Apa menurut kamu saya sama dengan tentara yang suka ghosting? Oh, come on! Jangan sapu rata semua laki-laki sama, Sha. It's not fair!"

"Terserah kamu mau bilang apa, Kapt. Yang jelas aku mau kita selesai!"

"No!" sambar Tara.

"Kamu nggak bisa maksa!"

"Kamu juga nggak bisa maksa saya pergi lagi!" timpal Tara bersikeras.

"Kamu keras kepala!"

"Ya!" Tara mengangguk bersama sorot mata tegas. "Saya memang keras kepala. Katakan itu sesuka hati kamu. Jadi, biarkan saya terus maju meski kamu bersikeras pergi."

"Jangan gila, Kapt!"

"Ya! Saya gila! Saya gila jika itu tentang kamu yang menghindari saya.
Makin gila ketika kamu sudah menerima tapi malah memutuskan rencana pernikahan begitu saja. Ya, Aisha. SAYA MAKIN GILA!"

Deru napas Tara memburu. Otaknya memanas bersama hati yang kini terasa lemas.

Sementara itu netra Aisha berkabut melihat kekacauan di wajah prianya. Sungguh, itu ikut turut melukai hatinya. Tulang-tulangnya seakan diloloskan satu persatu hingga rasanya ia ingin rubuh. Namun untungnya Aisha masih bisa menguasai akal dan hatinya yang kini mulai tak keruan. Ia menegakkan bahu. Berusaha melepas cengkeraman Tara yang segera meregangkan tangan ketika menyadari itu menyakiti Aisha.

Mereka berdua akhirnya membisu. Aisha membuang pandang jauh keluar, sementara Tara menangkup tangan, menutup seluruh wajahnya, lalu menyugar dengan gusar. Pilu, ia tertunduk, menahan sesak hingga bahunya naik turun dengan ritme yang cepat.

"Ayo, pulang. Ini sudah malam. Aku nggak mau terlambat sampai ke rumah," ucap Aisha yang baru saja meletakkan sesuatu di dashboard ketika Tara tertunduk hingga pria itu tidak tahu.

Kepala Tara terangkat, menoleh pada Aisha dengan wajah kusut dan sorot mengiba.

Lidahnya masih ingin melempar banyak kata tapi Tara juga tahu diri. Terlambat mengantar Aisha pulang hanya akan menambah kesal nenek Halimah.

Akhirnya ia melajukan mobil kembali dengan perasaan terguncang. Hingga ketika mobil itu berhenti tepat di depan rumah Fauzi, Tara kembali bersuara sebelum Aisha turun.

"Aisha, give us time to fight it until end."

"Ini sudah end, Kapt. A-aku. Nggak akan luluh lagi. Jadi ... berhentilah. Kita selesai sampai di sini. Terima kasih untuk segalanya yang telah kamu lakukan buat aku. Aku ...." Air mata Aisha memenuhi kelopak mata tapi sekuat hati ia jaga agar tetap pada tempatnya. "Sebenarnya tidak mencintai kamu. Aku keliru karena euporia kejutan demi kejutan yang selalu kamu berikan. Aku buta dan salah terhadap perasaanku sendiri. Maafin aku, Kapt. Maaf membuat kamu kecewa. Tapi inilah adanya. Maaf ...."

"You lie! Tell me, you lie!"

Gadis itu bergeming dan tetap turun dari mobil Tara. Mengabaikan perkataan Combat Doctor yang sarat akan pengharapan. Padahal di dalam hatinya, jauh lebih terguncang dan hancur melihat betapa pria itu sungguh-sungguh ingin memperjuangkannya yang jelas-jelas adalah seorang gadis tanpa rahim.

"Aisha ...." Serak suara Tara semakin menambah sayatan di hati wanita yang dipanggilnya.

Tara ikut turun mengekori langkah Aisha menuju teras rumah.

"Aisha. Please, jangan gini ...."

Kaki Aisha menginjak lantai teras. Ia pun berbalik dan berkata.

"Pulanglah, Kapt. Please kamu juga jangan keras kepala lagi. Keputusanku sudah final. Kali ini, percuma kamu mau bujuk dan berusaha sekeras apa pun."

Sesuatu sempat mencekik kerongkongan Aisha yang kering untuk melanjutkan.

"Tolong. Menjauhlah dariku. Jika perlu, jangan sampai kita bertemu lagi. I'm so sorry."

Aisha melangkah masuk begitu saja. Namun telinganya masih bisa mendengar Tara memanggil namanya tanpa putus asa.

Fauzi yang menangkap gelagat aneh dari kedua insan itu mendekat pada Tara.

"Kenapa, Kapt?" tanyanya.

Tara yang sedang menahan gemuruh di dada mengangkat wajah dengan kusut.

"Om. It's okay." Tara memaksakan senyuman. "Ini ... hanya ujian menuju pernikahan. Besok ... ka-kami akan kembali seperti biasa." Wajah Tara berkedut menahan duka tapi sekuat tenaga disembunyikannya. Namun semua itu dengan mudah dibaca Fauzi yang langsung mengerti.

"Ada apa dengan Aisha? Kenapa dia?"

Tara menjeda dan tertunduk, mengganjur napas dalam. Dan kemudian berkata dengan suara parau. "Dia ... memutuskan rencana pernikahan begitu saja, Om."

Mendengar itu Fauzi terperangah. Sungguh ia tak menduga putrinya mengambil keputusan ini. Memangnya ada apa?

"Aisha bilang begitu? Ah. Ada apa dengan anak itu?"

Fauzi mendongak ke arah dalam lalu kembali menoleh pada Tara. "Kamu tunggu di sini, Nak. Om bicara sama anak itu dulu. Aisha ... Aisha ...."

"O-om." Suara Tara lirih berusaha mencegah tapi Fauzi sudah masuk.

Tak lama Halimah keluar dengan ekspresi wajah dingin. "Pulanglah, Nak. Kamu pria yang berpendidikan dan punya attitude. Jadi, hargai keputusan Aisha. Kamu pasti mengerti 'kan?"

Kalimat Halimah sungguh membebat hati Tara. "Nek ...."

"Pulanglah ...."

Pria itu merunduk. Kepalanya kini terasa pengar dan berputar. Belum pernah ia merasakan sehancur ini. Ini bahkan jauh lebih hancur dari pada mendapati kebohongan Liona dulu.

Dengan gontai ia melangkah dan pergi dari sana dengan perasaan kusut.

Sementara itu di ruang bernuansa biru. Lewat jendela kamar. Seorang gadis bermata biru sedang menatap kepergian mobil putih yang membawa dua insan kesayangannya menjauh. Tatapnya nanar bersama deraian air mata perpisahan. Hatinya hancur menjadi puing-puing kecil berserakan.

Kakinya yang tadi ia kuatkan menopang tubuh kini mencair bagai es beku terkena paparan panas matahari. Tubuh Aisha luruh ke lantai kehilangan tenaga karena habis terkuras untuk menghadapi Tara tadi.

Pun, bahunya kini naik turun karena isakan pilu, mengabaikan suara gedoran berulang di pintu kamar yang perlahan menghilang.

Aisha kembali bangun setelah kembali mengumpulkan tenaga dan pergi ke kamar mandi. Usai membersihkan diri ia membentang sajadah untuk menghadap pencipta sekaligus pemilik semesta.

Setelah itu tubuhnya rebah di ranjang dengan lemah bersama napas yang teratur. Hatinya mulai terasa lapang meski belum sepenuhnya. Saat ini, Aisha kembali berada pada titik terendah tapi ia tidak boleh kalah meski harus berserah.

Ya. Level tertinggi dalam cinta adalah ketika hati sanggup untuk mengikhlaskannya. Begitulah.

"Maafin aku, Kapt. Maaaf ...," bisiknya samar dalam hati sebelum terlelap.
.
.
17-05-2021

"Melawan Restu"


🚢🚢🚢

Maaf agak lama posting part ini, ya. Baru bisa ketemu sinyal. Part selanjutnya aku tunggu sampai vote 150 baru aku posting lagi boleh? ✌😬 Sinyalku lagi ilang timbul. Apresiasi kalian bikin aku semangat merayap buat dapetin sinyal yang kuat. 😂

See you di part2 terakhir ini. 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top