BAG 30 : HARSH REALITY
Alhamdulillah. Terima kasih dan selamat membaca. Jangan lupa votemen-nya, ya...
🚢🚢🚢
Saat pikiran kita terlintas suatu hal yang kita niati, kadang tanpa diduga ia malah datang sendiri. Sejujurnya, sekilas lalu sempat terlintas di benak Aisha untuk menemui Ibunda Tara secara pribadi. Tanpa memberitahu Tara, atau pun menunggu persetujuan darinya. Dan sore ini, Yona malah hadir di depan mata.
Aisha cukup terkejut. Meski ia juga punya sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan Yona. Gadis itu berusaha untuk tetap tenang di hadapan wanita yang ia anggap calon mertuanya. Aisha memangku tas kerjanya dan duduk bersisian dengan Yona. Sekilas tadi sebelum sampai ke sini, ia merasakan ponsel-nya bergetar di saku celana, tapi tak menghiraukan karena tak ingin merusak suasana perjumpaan dengan Yona.
"Kamu apa kabar, Sha?" tanya Yona ramah. Mereka sedang duduk di kursi panjang menghadap ke danau buatan di taman kota. Tempat yang mereka sebut sebelum keluar dari DuMed. Karena Yona juga ingin duduk tenang di sana.
"Alhamdulillah, Tant. Aisha baik. Tante sendiri gimana? Kemarin kabarnya kurang sehat?"
"Alhamdulillah, sekarang sudah enakan kok. Makanya bisa temui kamu." Yona melempar senyum hangatnya. "Maaf ganggu waktu kamu, ya, Sha."
"Nggak papa kok, Tant. Aisha masih punya banyak waktu kok."
"Oh. Baguslah kalau begitu. Tante ... mau bicara serius sama kamu. Boleh?"
"Boleh, Tant. Sebenarnya ... Aisha juga ... ada yang mau disampaikan ke Tante." Gadis itu merunduk dengan senyum yang rikuh.
"Oh, ya? Apa itu?"
"Oh. Tante aja dulu. Aisha siap mendengar," kata Aisha sopan. "Yang ingin saya katakan, yang pasti ... yanga membuat saya nggak bisa tenang sebelum mengatakan ini. Saya ingin sebelum melangkah ke jenjang selanjutnya, semua sudah clear dan nggak ada sandungan lagi. Dokter Tara melarang saya untuk membicarakan ini lagi. Tapi ... saya ... masih kepikiran."
"Kamu anak yang cerdas, sopan cantik dan berprestasi. Tante suka kamu," kata Yona dengan tatap teduh.
"Makasi, Tante."
Senyum Yona tertarik.
"Kamu dan Tara, sudah merencanakan pernikahan kalian 'kan?" tanya Yona.
"Ehm ... iya, Tant. Dokter Tara ... belum bicara, ya?" tanya Aisha sangsi.
"Sudah. Dia udah cerita tentang rencana ini."
Kini Aisha yang menarik senyum. Namun, gerak gerik Yona membuat Aisha canggung.
"Aisha. Tante minta maaf kalau lancang."
"Iya, Tant. Kenapa?"
Tangan Yona berpindah ke tangan Aisha lalu menggenggam di sana.
"Tante mau tanya. Benarkah, kalau ... kamu ... eum ... mengidap MRKH syndrome?" tanya Yona hati-hati. Takut hati gadis itu terlukai.
Aisha yang mendengar itu menyangka. Kalau saat ini pasti Tara sudah membicarakan kekurangan Aisha pada ibunya. Ini buktinya. Dan Aisha lega. Karena kemarin, lewat perbincangan mereka chat room pribadi. Tara melarangnya untuk membicarakan ini lagi dan mengatakan agar Tara saja yang memberitahu ini pada ibunya. Namun sudah beberapa hari ini, Aisha tidak bisa tenang sebelum mengatakan ini pada Yona. Dengan ini, apa artinya Tara menepati janji?
Sekarang, Aisha malah cukup kebat kebit menanti respon selanjutnya dari Yona.
"I-iya, Tant. Dokter Tara udah cerita? Sebenarnya ... i-itu juga hal yang ... ingin Aisha katakan tadi," jawab Aisha sedikit terbata. Keahliannya menjadi public speaking seketika hilang. Di hadapan Yona, rasa nervous-nya hadir tak bisa ia elakkan.
Ekspresi wajah Yona mendadak keruh. Namun tangannya belum berpindah dari sana. Melihat itu Aisha mencoba menghibur diri. Kalau semua akan baik-baik saja.
"Tante ikut berduka, ya." Yona mengelus punggung tangan Aisha.
"Kamu wanita kuat yang dipilih Tuhan."
Tak menjawab, Aisha hanya menarik senyum sopan.
"Aisha, Tante mau cerita."
"Ya, Tant."
"Tara itu, putra Tante satu-satunya. Tante dan Tara, sudah kehilangan Papanya sejak Tara kecil akibat tragedy meledaknya gudang amunisi milik TNI AL kala itu. Tante berjuang keras untuk bisa mewujudkan cita-cita Tara dan Papanya. Menjadikan dia seorang Dokter, yang akhirnya juga turut meraih cita-cita Tara sekaligus. Tante tidak berharap ia hadiahi dengan uang dan harta yang banyak. Tapi ... sebagai seorang ibu, tetap saja Tante punya harapan untuknya. Karena, cu-cuma dia satu-satunya harapan Tante." Sampai di sini mata Yona basah.
Melihat itu manik biru Aisha membola gelisah.
"Tan-tante minta maaf, Aisha. Maafin Tante. Bukannya Tante tidak merestui hubungan kalian."
"Maaf, Aisha. Ini kedengarannya mungkin terlalu egois. Ta-tapi ... dengan segenap hati, Tante berharap besar suatu hari akan punya keturunan dari Tara. Dia satu-satunya yang bisa mewujudkan impian Tante ini. Tante, ingin menimang cucu dari darah Tara, Sha ...." Suara Yona serak.
"Aisha ...." Yona kembali mengambil tangan Aisha untuk digenggamnya. "Tante mohon maaf kalau ini menyinggung perasaan kamu. Tante tau ini juga berat buat kamu. Tapi ... Tan-te, Tante--" Yona tertunduk, terisak tak sanggup melanjutkan kalimat.
Aisha masih membesarkan hati dengan kondisi ini. Namun ia bingung dengan pernyataan Yona. Bukankah Yona sudah memiliki keturunan dari Tara? Lalu Bella?
"Tapi, Tant. Mak-sud Tante ... keturunan Dokter Tara ... bukannya ...." Aisha mengambil napas berusaha mencoba untuk tenang. Lalu kembali melanjutkan.
"Dokter Tara bilang, dia tidak masalah dengan semua ini karena ... kami punya Bella. Bella putrinya. Aisha sudah menerima Bella, dan akan berusaha menjadi ibu sambung yang baik untuk putri Dokter Tara. Tante, Aisha akan mencoba menjadi ibu yang baik untuk Bella. Tolong, izinkan Aisha, Tante."
Tangan Aisha erat menggenggam tangan Yona balik masih belum putus asa bersama sorot mata mengiba. Hatinya kini sudah terlanjur jatuh cinta, cinta yang mendalam untuk putra Yona. Jadi ia harus berjuang sebagaimana Tara memperjuangkan dirinya. Ya. Kini giliran Aisha pula.
Yona terperanjat mendengar itu. Ia menyadari cinta kedua insan ini cukup kuat dan saling mengisi. Ada rasa tak tega di hati Yona. Tapi rasa duka dan keinginannnya untuk punya cucu dari keturunannya sendiri jauh lebih besar. Salahkah jika ia punya harapan itu sebagai seorang ibu yang puas membesarkan putranya seorang diri?
Jujur saja, Yona belum bisa menerima kenyataan jika Tara tidak bisa punya keturunan karena sandungan orang lain.
Yona mengerjap dengan heran. Ia baru menyadari sesuatu. Kebersamaan Aisha bersama Tara dan Bella kemarin artinya diakui Tara kalau ia duda beranak satu. Namun kenyataannya?
Pelan, Yona mengusap bulir bening di pipi dengan punggung tangannya.
"Tara bilang begitu?" kejar Yona dengan tatapannya.
Aisha mengangguk tanpa ragu. Semuanya sudah terasa pas. Tepat pada posisinya, ketika Aisha tahu Tara punya putri. Mereka saling mencintai dan akan membesarkan Bella layaknya sepasang orang tua yang berbahagia meski Bella lahir bukan dari rahim Aisha.
Aisha sudah tak sabar membayangkan hari itu tiba.
Yona kembali menatap lekat gadis itu dengan penuh kejujuran.
"Aisha. Bella itu ... bukan putri Tara. Tara belum punya anak sama sekali. Karena itu Tante berharap besar bisa punya cucu dari keturunan Tara, Nak." Yona sesenggukan. Kali ini lebih memilukan.
Mendengar itu, Aisha bagai tersengat listrik berkekuatan tinggi. Dengan sorot mata kosong bagai selongsong kosong, ia menatap Yona dengan air mata yang tak mampu ia bendung meski ia berusaha sekeras apa pun.
Detik ini. Hatinya mencoba mengerti meski satu sisi juga terlukai.
Berulangkali ia mencerna agar bisa sepenuhnya mengerti kenyataan yang dengan keras dijejalkan ke dunianya.
Rasa mengertinya mengepul. Bisa ia rasakan bagaimana pilunya perasaan seorang ibu yang sudah berjuang demi masa depan Kapten Tara. Jika Dokter Tara sesukses sekarang, sudah jelas beribu persen adalah dari dan karena jeri payah tangan ibunya menegarkan hati, menguatkan diri dan menjungkir balik kepala dan kaki untuk bisa terus menghidupi pria itu.
Jika bukan karena Yona, Tara tidak akan menjadi seperti sekarang.
Sampai di sini, Aisha mengerti mengapa Tara mengatakan, kalau ia yang akan bicara tentang kekurangan Aisha pada ibunya. Tara punya rencana lain dan Aisha tahu benar meski dengan dugaan, tujuannya adalah agar tetap bisa bersamanya.
Gadis yang juga sudah sesenggukan itu mengusap air matanya pelan. Ia gamang harus apa sekarang?
Sejak awal, Aisha sudah mengantisipasi hatinya untuk tidak jatuh cinta. Karena sungguh ia tak kuat jika harus kehilangan disaat cinta-cintanya. Disaat sayang-sayangnya. Kejadian di tebing tepian laut kemarin sudah benar-benar membobol, memporak poranda hatinya yang sadar menahan cinta sampai mau gila rasanya saat harus kehilangan Tara.
Demi Tuhan, rasanya ia tak mampu menampung semua kenyataan yang ditimpakan pada hidupnya kali ini. Kembali, rasa insecure Aisha mendominasi.
Tidak. Ia tidak bisa menyakiti wanita yang membesarkan pria yang ia cintai itu. Pria yang ia cintai di puncak kesuksesannya.
"Aisha. Tante minta maaf untuk ini. Tapi. Bisakah kamu rasakan kesedihan seorang ibu ini? Harapan terakhir seorang ibu tua renta yang sudah membesarkan putranya sampai sejauh ini seorang diri? Cuma dia yang Tante punya. Dia satu-satunya harapan Tante, Sha." Yona semakin terisak keras. Kali ini semakin lepas.
"Iya, Tant." Aisha membalas genggaman tangan Yona dengan tangan kirinya berusaha tetap berdiri. "Aisha mengerti. Aisha paham perasaan Tante. Aisha ...." Kali ini ia yang kembali sesenggukan dan menggeleng samar menahan begitu menyiksanya perasaan cinta dan tusukan duri di hati di saat bersamaan.
"Jujur. Aisha mencintai Dokter Tara, Tant. Sangat .... Tapi ...." Aisha mengambil napas dan menegakkan bahu. "Cinta Tante jauh lebih besar untuknya. Dokter Tara punya tugas lain yang harusnya ia penuhi untuk Tante." Gadis itu kembali merunduk, tersedu, kembali kalah dengan perasaannya yang membiru.
"Jadi, Tante. Bella itu? Putri siapa?" tanyanya begitu penasaran meski dengan nada sesenggukan.
Yona menenangkan diri dengan mengambil napas dalam.
"Bella itu ... putri dari Dion. Dia anak laki-laki yang Tante temukan setelah kejadian tragedy yang merenggut Ayah Tara. Seluruh keluarganya tidak ada yang selamat. Anak itu sendirian. Tante menemukannya di pengungsian. Dion Tante bawa. Tara dan Dion besar bersama. Mereka saling melindungi layaknya kakak beradik kandung. Sampai akhirnya kejadian di puncak menjemput nyawa Dion beserta istri. Waktu itu Bella masih satu tahun. Tara sangat menyayangi Bella seperti putri sendiri. Apalagi Dion pergi meninggalkan Bella karena sayangnya pada Tara."
Netra Aisha melebar. Ternyata masih banyak yang belum ia ketahui dari pria itu. Gadis itu merunduk lagi. Ia mengaku mencintai Tara tapi ternyata masih belum sepenuhnya tahu semua tentangnya?
Apa Dokter Tara sengaja tidak cerita ini padanya? Agar Aisha segera yakin untuk menikah karena Tara sudah punya Bella?
Aisha ingin bertanya lagi tapi kalah dengan pernyataan Yona.
"Sha. Ada satu cara. Supaya kalian bisa tetap menikah."
Mendengar itu Aisha mengangkat wajah. Menatap Yona dengan sorot menanti seakan ia punya harapan lagi.
"Kamu, bisa tetap menikah dengan Tara. Tapi ... mungkin ini sedikit berat."
"Apa Tant?" tanya Aisha polos penuh harap yang jelas tersirat.
"Tara akan menikahi kamu. Tapi beri dia syarat." Mata Yona kini mengilat.
Aisha hanya menunggu kalimat selanjutnya tanpa punya firasat.
"Kamu bujuk dia untuk menikahi Monika juga agar Tara bisa punya keturunan. Kamu akan menjadi istri yang diakui negara. Tapi Monika yang akan mengandung anak Tara. Karena kamu yang minta, Tante yakin Tara mau menerima ini. Kalau dengan ridho istri pertama secara sadar, agaknya tidak akan ada masalah dengan karir Tara. Dan kita bisa merahasiakan ini. Bagaimana?"
Napas Aisha bagai tercekik dan berhenti di kerongkongan. Ia tak mampu berkata apa pun lagi. Mata birunya hanya terpaku dan berkabut dengan membisu. Bukan lagi aliran listrik yang menyengat. Kali ini bahkan petir yang datang menyambar dunianya. Kepala Aisha mendadak berat. Sungguh-sungguh teramat berat.
"Aisha!" Suara seorang wanita terdengar di belakang mereka.
Mengenali suara itu, cepat-cepat Aisha mengusap wajahnya yang sembab dan sekuat tenaga kembali menguasai otaknya yang mulai berputar.
Aisha bangkit dengan mata mengerjap. "Nenek? Citra?" ucapnya kaget. Mengapa dua wanita itu ada di sini?
Dengan tongkat bantu Halimah mendekat. Wanita tua itu menatap Yona dengan rasa tak suka yang tersirat.
Aisha mendadak merasa tak enak pada Yona. Melirik penuh arti pada Citra menuntut penjelasan mengapa neneknya di sini?
Citra tak memberi sinyal apa pun. Ia juga menatap canggung ketiga wanita itu.
"Ini?"
"Tante, ini nenek Aisha," kata Aisha mengenalkan Halimah. Yona berdiri dan menyalami tangan Halimah dengan sedikit merunduk.
Lalu Aisha membawa neneknya untuk duduk masih sesekali menatap Citra dengan ekspresi menuntut.
"Tante," sapa Citra dengan senyum ramah pada Yona yang disambut ramah juga dari wanita itu.
"Kamu ...?"
"Citra, Tant. Nama saya Citra," ucap Citra dengan lengkungan di sudut bibirnya.
"Ooh." Yona mengangguk kecil menyadari kalau wanita ini adalah wanita yang pernah tak sengaja Yona baca ada di chat pribadi ponsel Tara. Yona sempat membaca isinya. Untuk orang tua sepertinya, isi pesan Citra bisa ia artikan kalau gadis itu punya perasaan pada putranya. Sekarang, Yona menatap Citra sarat makna.
"Ini ibunya tentara itu, Sha?" tanya Halimah yang dijawab dengan anggukan tak enak oleh Aisha. Gadis itu meringis pahit ketika Halimah malah berkata. "Tenang saja, Nyonya. Aisha tidak akan menikah dengan putra tentaramu itu!"
Aisha menelan ludah. Meski ia tahu benar seperti apa neneknya, tapi tak menyangka kondisi akan sekusut ini. Halimah selalu tidak bisa menahan diri atau pun berbasa basi untuk hal yang berseberangan dengannya. Apalagi terkait tentang Aisha. Sama seperti saat di rumah Humaira.
Mendengar itu, Yona hanya melempar senyum ramah pada Halimah tak menjawab apa pun.
"Sha. Kalau begitu Tante permisi dulu, ya," pamit Yona setelah itu.
"I-iya, Tante."
"Terima kasih untuk waktunya, ya."
Yona lalu menggeser pandang pada Halimah dengan ramah. "Nek ... saya ... permisi, ya. Aisha gadis yang baik. Terima kasih sudah membesarkan gadis cerdas, kuat dan secantik Aisha."
Mendengar itu, Halimah memerotkan mulut. "Jangan basa basi. Kamu tidak tahu sekuat dan seistimewa apa cucuku," kata Halimah lagi dengan ketus.
Yona tak menanggapi sikap tidak ramah Halimah.
"Iya, Nek. Nenek benar. Aisha selalu tahu apa yang harus ia lakukan. Kali ini pasti ia juga bijak akan mengambil keputusan apa," ucap Yona seraya melirik Aisha sarat makna. Seakan pernyataan itu ditujukan untuk perbincangan terakhir mereka.
Yona pun melangkah pergi setelahnya. Sebelum pergi, ia sempat melempar tatap juga pada Citra yang tersenyum padanya.
"Ne-nek kok bi--"
"Nenek tadi minta Citra ke rumah untuk mengorek tentang kamu dan dokter tentara itu. Barangkali dengan pendapat Citra nenekmu ini bisa putar haluan. Nenek menyuruh dia menelpon kamu untuk pura-pura bertanya sudah di mana supaya tidak ketanggoran kalau tiba-tiba kamu sampai rumah. Tapi kami malah mendengar semua perbincangan kamu dengan ibunya tentara itu!" ucap Halimah ketus.
Netra Aisha terbelalak. Bagaimana bisa?
Ponsel-nya ada di saku celana dan dalam keadaan silent mode.
Citra meringis. "Mungkin karena kejepit, ponsel lo ngebuka sendiri.
Maaf, Sha. Nenek yang minta gue bawa nenek nyusul lo ke sini setelah dengar sedikit perbincangan lo sama ibunya Dokter Tara nuju ke sini. Gue nggak bisa nolak kalau nenek yang minta." Citra meringis penuh penyesalan. Ia tak menduga akan mendapati hari ini. Dengan mobilnya, sambil mendengar perbincangan Aisha dan Yona--yang juga sudah ia rekam--Citra melaju membawa Halimah ke taman kota.
Aisha mengerti itu. Halimah memang sulit ditaklukkan kalau sudah punya permintaan.
"Awalnya nenek berpikir akan menimbang lagi keputusan nenek untuk memberi restu pada kalian. Tapi mendengar ucapan ibunya tadi, pertimbangan itu langsung kembali. Bahkan kali ini lebih kuat lagi. Restu untuk kamu menikah dengan kapten itu, resmi nenek cabut!"
Halimah bangkit tak menghiraukan Aisha yang sekuat tenaga menegakkan bahu dan membendung air mata pilu karena kembali harus mendengar kalimat yang tak ingin ia dengar.
"Jangan ceritakan ini pada Papamu. Dia tidak boleh tau. Kebetulan tadi dia sedang ke ladang. Kalau dia tahu, pasti dia cerita pada kapten itu. Mereka 'kan sekongkol," kata Halimah yang membelakangi Aisha. "Kamu mengerti 'kan?" Kali ini ia memalingkan sedikit wajah menatap cucunya dengan tegas.
Aisha hanya bisa mengangguk pelan. Berusaha menelan bulat-bulat pahitnya kenyataan yang lagi-lagi disumpal paksa ke dalam mulut dan kerongkongannya hingga rasanya ia nyaris berhenti bernapas.
Kepala Aisha terasa pengar.
Sungguh. Saat ini Aisha ingin sekali terjun ke air laut dan menjerit sekuatnya di dalam sana. Dengan begitu tidak akan ada yang akan mendengar.
Namun Aisha hanya bisa pasrah. Begitu sampai di rumah, tanpa membuka pakaian ia langsung masuk ke kamar mandi. Membiarkan air dari shower mengguyur tubuhnya yang kehilangan tenaga untuk berdiri.
Tangis Aisha pecah dan langsung terhapus bagai terkena guyuran hujan di sana.
Gadis itu terisak, sesenggukan, tersedu-sedu. Pilu. Tubuhnya merosot ke lantai seakan tidak bertulang.
Andai ia bisa memilih tentu ia tidak akan memilih takdir ini. Ia sudah mencoba ikhlas.
Namun, mengapa perasaan sesak ini malah makin bertubi-tubi?
Memangnya dia yang meminta takdir ini dengan senang hati?
Lagi-lagi ia harus menguatkan diri. Atau mungkin memang ia yang ternyata belum berhasil menguatkan pondasi?
🚢🚢🚢
KONGENITAL
Terlahir dengan takdir kongenital memangnya aku yang minta?
Kita hanya berada di takdir yang berbeda saja.
Ya. Mungkin aku tak seberuntung kalian.
Tapi. Bukankah semua orang tercipta sepaket dengan kelebihan dan kekurangan?
Lalu mengapa selalu saja ada orang menghakimi orang lain seolah ia manusia paling sempurna tanpa cacat tanpa dosa?
Kalian pasti setuju. Jika saja kita bisa meminta pada Tuhan sejak awal. Sebelum diutus ke planet tempat tugas kekhalifahan.
Tak ada satu pun dari kita yang mau menerima takdir menyakitkan 💔 bukan?
~Rumaisha Azzahra~
°°°
Kata hati Rumaisha ketika berjuang melawan diri sendiri yang sempat memberontak mengapa takdir itu harus menghampirinya. Ia tulis dalam catatan pribadi dalam laptopnya dulu.
Gadis dengan mata biru itu tengah duduk di depan layar. Ia bangkit dan memandang wajahnya di cermin. Mengusap pantulan wajahnya di cermin.
Banyak orang berkata kalau wajahnya cantik di atas rata-rata orang Indonesia. Hingga saat kecil dulu banyak yang iri dengan anugerah itu.
Sekarang Aisha yang merasakan iri. Iri pada wanita yang dianugerahi rahim untuk mengandung keturunannya. Mereka bahkan jauh lebih cantik dan sempurna.
Sebelum otaknya berjalan tidak pada porosnya, segera Aisha mengambil wudhu untuk yang ke sekian kali. Gadis itu ingin dipeluk, jadi ia akan datang pada Tuhan yang tak pernah pergi meski Aisha datang dengan wajah yang ditekuk.
Tuhan yang telah mempercayakan kalau ia sanggup menghadapi takdir tidak menyenangkan ini.
🚢🚢🚢
Big Hug untuk semua wanita yang memiliki takdir syndrome MRKH. Kalian juga istimewa dan luar biasa. Kalian juga patut bahagia. ❤
Senin, 3 Mei 21
Kita menuju ending versi online, ya. See you di part selanjutnya. 😉👉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top