BAG 3 : CONFIDENCE
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya, ya. Biar aku tetap semangat update ceritanya setiap hari. 💪 Rencananya .... Hehe
Match Maker Series
🌹SECRET ADMIRER 🌹
Setelah menemani Citra mengambil mobilnya di Astra, Aisha langsung pulang ke rumahnya di Komplek Perumahan Sakura Indah. Selesai mandi ia mencari sang Papa yang ternyata sedang duduk di depan televisi sambil meneguk segelas kopi menonton berita.
“Sha, sudah mandi?” tanya Fauzi menyadari kehadiran putrinya.
Aisha memang sengaja selalu mandi lebih dulu sebelum bercengkerama dengan Papa dan Nenek sepulang bekerja. ‘Aisha takut pulang bawa penyakit!’ Begitulah ungkap gadis bermata biru yang menyadari kedua orang kesayangannya rentan terhadap penyakit. Hal itu sudah menjadi kemakluman di rumah mereka yang notabene menganut budaya ketimuran meski almarhumah Ibunda Aisha adalah keturunan Erofa.
“Udah …,” jawab Aisha seraya mengambil duduk di samping Fauzi memeluknya manja. Namun, focus mata sang Papa terpaku pada layar berita. Aisha mendengkus dan ikut melihat layar. Sepersekian detik langsung memasang wajah sebal karena berita yang tayang masih berita yang sama saat di Kafe tadi.
“Ish! Aku dicuekin deh!” rajuknya.
Mendengar itu Fauzi terkekeh kecil. “Kamu kayak nggak kenal Papa aja kalau sudah nonton berita gimana. Berita bagus ini!” kata Fauzi mengayun pelan tangan yang memegang gelas. “Itu baru prajurit negara. Penuh dedikasi dan tanggung jawab tinggi,” puji Fauzi yang tak tahu kalau di sampingnya Aisha sudah mencibir tak suka.
“Iya deh. Iya. Aku tau kalau Papaku ini penikmat berita dunia. Kalau ada kejuaraan mungkin Papa bisa mendapat piala nominasi penonton berita-berita paling setia.”
Fauzi tertawa. “Apalagi kalau anak Papa yang liput beritanya. Papa makin suka dan pasti nonton.”
Aisha tersenyum kecil. “Like father like daughter, ya!” seru Aisha sarkastik. Paham betul kesamaan antara ia dan Papa. Mereka berdua pun tertawa bersama.
“Jangan lupa. Catet! Kecuali infotainment!”
“Ck! Iya, iya deh!”
“Gimana? Tadi jadi ketemu Dokter Sora?”
“Jadi, Pa. Nih,” jawab Aisha seraya menyerahkan sebuah amplop. “Dokter Sora kasi ini juga. Coba deh Papa lihat lagi.”
Fauzi membuka isi amplop, memindai wajah pria di selembar kertas di tangannya sambil memicingkan mata.
“Gimana menurut Papa?”
“Luu-mayan. Apa pekerjaannya?”
“Pengusaha property dan readymix kata Dokter Sora.”
“Kamu-nya gimana?”
“Biasa aja. Weekend kita janjian ketemu. Papa ada waktu ‘kan?”
“Sebenarnya … biar Papa aja yang jelaskan lewat telepon, ya, bisa. Suruh aja dia ke rumah kita. Temui Papa.”
“Menghadap ke Tuan Raja, gitu? Itu nanti, kalau Aisha udah srek ama dia. Dia udah mau nerima Aisha apa adanya. No, Pa. Aisha pengen lihat langsung ekspresi wajahnya ketika tahu kekurangan putri Papa ini apa? Jadi, jangan ada yang memberitahu dia sampai waktu pertemuan nanti, ya. Dokter Sora juga udah Aisha bilangin.”
Dalam hati, ia optimis sekali kalau laki-laki itu pasti sama dengan lelaki lain yang pernah akan ta’aruf dengannya. Gagal percuma. Bertemu di rumah mereka langsung dengan kedua keluarga? Bisa saja. Namun Aisha belum mau rumah orang tuanya didatangi, lalu tiba-tiba jangankan pernikahan, lamaran saja tidak. Itu hanya akan mengundang hot gosip di lingkungan mereka.
Fauzi menghela napas dan tersenyum. Baginya Aisha sudah sangat dewasa, dan bisa memilih keputusan apa yang terbaik untuknya. Fauzi yakin, Aisha pasti akan menemukan seorang lelaki yang bertanggung jawab dan bisa menerima seluruh kekurangannya. Meletakkan kebahagiaan putrinya di atas kebahagiannya sendiri. Itu, yang selalu menjadi lantunan doa setiap sujud panjangnya. Dicki kah orangnya? Kita lihat saja.
“Ya udah, ya udah. Gimana mau kamu aja. Yang penting nanti dia mesti crazy rich.”
“Ish, Papa mau jual anak?” Aisha memelotot aneh hiperbolis.
Fauzi tertawa seraya mengelus kepala Aisha. “Tentu saja Papa mau yang terbaik untuk anak Papa ini. Papa mau pendampingnya yang bertanggung jawab. Mencakup crazy rich di situ.”
“Maksud Papa?”
“Crazy rich dengan tanda kutip.” Jari telunjuk dan tengah Fauzi menekuk dua kali. “Rich-nya di sini,” ucap Fauzi memegang dada. “Baik hati, berjiwa besar, meletakkan kebahagiaan kamu di atas kebahagiaan dia. Masalah harta, selagi kalian berdua mau usaha, pasti adalah itu. Laki-laki bertanggung jawab tidak akan membiarkan istrinya kelaparan.”
Aisha bergeming mencerna kalimat Papanya lalu tersenyum hangat. Ia tak menyangka hanya itu keinginan Papanya. Selama ini ia tak pernah cerita ada berapa laki-laki yang datang mendekatinya sebab yakin tak ‘kan ada yang mau menerimanya. Ia lebih memilih cut di awal apalagi jika ia tidak punya feel sejak awal. Namun kali ini, ia ingin mencoba karena Sora--dokter langganan mereka—yang membujuknya.
Lewat Fauzi juga sama. Setelah Fauzi menyatakan kekurangan Aisha, semua calon mundur teratur. Tak secantik saat mereka maju hendak melamar.
Sementara itu, di rumah sakit Port Medical.
Seumur hidup, belum pernah terlintas dibenak Tara akan jadi artis yang dikejar penggemarnya. Apalagi jadi artis dadakan seperti hari ini. Sambil menahan nyeri di lukanya, Tara berlari menuju bangsal inapnya segera. Seperti di lapangan tembak, ia berhasil melarikan diri dari kejaran wanita-wanita di Kafe. Sora yang sempat mencengkeram kerah jaketnya yang menjadi bodyguard Tara melarikan diri.
Belum lagi sampai ke kamar, ia merasakan ada getaran di saku celana. Merogoh saku, ia meraih dan melihat ke layar smartphone segera menekan tombol hijau. “Mom.”
“Le, alhamdulillah, akhirnya diangkat juga. Momy mau ke rumah sakit. Kamu di mana?”
“Rumkit Port Medical Center, Mom. Bangsal Anggrek 21A.”
“Oh. Okay!”
Panggilan terputus begitu saja. Tara bergidik. ‘Segitu doang?’ Tapi … ya. Ia bahkan belum memberi kabar pada Ibunya. Ia melanjutkan langkah menuju bangsal inap yang sudah dekat. Sampai di depan kamar, Tara terkejut sudah ada Ibunya berdiri garang menunggu di sana.
“Mom? Cepet banget sampenya?” kata Tara heran.
“Momy udah di sini dari tadi. Tapi kamu kok malah nggak ada. Katanya di sini, nyatanya keliaran!” sambut Yona gemas.
“Iya, maaf,” jawab Tara mengusap tengkuknya sungkan. “Dari Kalibata tadi sebentar.”
“Kamu gimana kondisinya? Momy baru tahu kamu jadi salah satu korban setelah lihat berita di televisi.” Yona ikut masuk bersama Tara. “Kamu dah baikan apa? Kok dah ke mana-mana?”
“Ke mana-mana apanya? Emang Mba Surep?”
“Kamu ini!” Mata Yona mendelik. “Momy itu khawatir. Gimana kejadiannya? Wajah kamu mendadak terkenal itu.”
“Halah. Biasa aja, Mom. Tara lagi malas bahas itu,” jawab Tara lemah mengambil duduk di tepi ranjang.
Yona menatap wajah Tara lekat. “Ada apa?” tanyanya seakan paham penderitaan hati yang tengah ditanggung putranya.
“Nggak apa-apa,” jawab Tara dengan senyum sendu.
“Ayah?”
Tara bergeming tidak menjawab apa pun.
Sempat menghela napas, Yona melanjutkan kalimat. “Apa ada hubungannya dengan kejadian kemarin?”
“Pujo. Dia gugur karena menyelamatkan Tara,” lirihnya tertunduk kembali berduka. “Sama, seperti Ayah dulu.”
Yona mendekat dan memeluk putranya. Lama mereka berbincang untuk saling menguatkan. Setelah itu Yona pamit karena tak tega meninggalkan Bella terlalu lama. Membawanya ke rumah sakit, bagi Yona bukan pilihan bijak. Tara pun paham, dan menitipkan salam rindu untuk Bella.
Tara menyandarkan kepala di bantal yang ia taruh di kepala ranjang. Ia memejam seraya mengembus napas. Ingatannya tiba-tiba terbang ketika di kafe tadi. Sora yang terkenal tomboy sibuk menjadi Satpol PP agar para ‘penggemar dadakan’ itu tak mengejar Tara. Lelaki yang masih terluka itu berlari ke pintu depan. Ketika melewati gadis bermata biru, Tara sempat mencuri tatap meski gadis itu tak sedikit pun melihat. Detik itu juga batin Tara berteriak. “Ck, lihat, lihat, lihat. Lihat saya!”
Namun nyatanya gadis itu abai saja. Lalu setelah melewatinya beberapa hasta, langkah Tara terpenggal. Karena itu senyumnya pun nyaris terkembang. “Iyes! Kamu peduli juga ‘kan akhirnya?” batinnya bernyanyi suka cita. Sesungguhnya memang itu yang ia harapkan. Gadis bermata biru itu yang mendekat padanya seperti para wanita di sana.
Tara merasakan tangannya tertarik kembali. “Hah ya!” Ia pun dengan senang hati berbalik tapi memasang wajah datar seakan benci ditahan pergi.
“Maaf. Mau apa, Nona?”
“Jam tangan Anda. Nyangkut ituh di tas saya!” jawab gadis itu ketus dengan tatapan menghunus. Seketika membuat senyum di hati Tara langsung kandas ke titik nol.
Mengingat betapa geernya ia, Tara membodohi diri sendiri. Bisa-bisanya segeer itu dan ternyata malah salah prediksi. Aargh! Ia tertawa sengau, tapi tangan menarik bantal menutup wajah. Dalam hati tak sadar membatin suatu hari berharap akan dipertemukan lagi dengan gadis sang pemilik mata biru.
“Kapt!”
“Astagfirullah!” Tara terlonjak ketika Rendra datang tergesa.
“Anda ke mana? Saya balik sudah nggak ada,” ucap Rendra.
“Ke Kalibata, Rend. Ada apa kok kayak dikejar macan?” ujar Tara mengatur napas.
Rendra nyengir kuda. “Minum, Kapt. Minum.” Diraihnya gelas berisi air putih di atas nakas mengahanturkannya ke Tara.
“Nggak usah. Udah tadi.”
“Oh.” Rendra tersenyum tanpa dosa meletakkan kembali gelasnya. “Kapt, ada—“
Tiba-tiba terdengar ada suara yang Tara kenal di luar. Tak lama malah sudah masuk ke bangsal dan menyapanya.
“Selamat sore, Kapten Tara.”
Tara terkesiap. “Oh. Selamat sore, Letkol!” ucapnya dengan sikap hormat. Arya, yang dipanggil Letkol itu memerintah semua yang ada di sana keluar meninggalkan ia dan Tara.
Letkol Arya tersenyum dan mengambil duduk di kursi dekat ranjang Tara. Ia berbasa basi menanyakan keadaan dokter tentara itu, lalu sempat menyinggung berita tentang Tara yang masuk dalam berita.
“Saya tidak tahu menahu tentang itu, Letnan. Malah saya baru tahu tadi ini.”
“Ya sudah. Tak apa. Hitung-hitung menaikkan imeg TNI AL,” kekeh Letkol Arya jenaka.
“Hhmp, Letnan. Mengenai di gudang—“
“Sudah. Tim sudah mengurus semuanya. Seperti yang di berita. Penyebab ledakan karena arus pendek,” potong Letkol Arya santai. “Publik tak perlu tahu mendalam kejadian aslinya. Itu bisa menjatuhkan imeg kita, Kapt. Jadi … sesuai berita yang keluar saja. Biarkanlah itu yang beredar di ranah public,” kata Letkol Arya lagi.
“Empat orang korban meninggal yang saya dengar. Itu … Pujo, Tio dan … dua nggotanya kah?” tanya Tara.
Dengan pembawaan yang tenang, Letkol Arya bangkit dan tersenyum. “Ya, mereka korban yang meninggal. Saya … turut berduka cita. Ini semua kecelakaan.” Arya menepuk-nepuk pundak Tara bersahabat. “Dengar, Kapt. Saya sudah urus semua. Jika mau diproses seluruhnya, kamu juga akan diintrogasi jauh. Karena hanya kamu satu-satunya saksi hidup yang ada di sana. Tapi … tim ahli bahan peledak, ahli persenjataan dan elektronika sudah turun. Dan memang menemukan ada arus pendek yang terjadi. Jadi … kasus ini biar sampai di sini. Itu lebih baik daripada dilanjut. Bisa-bisa … kamu yang jadi tersangkanya,” bisik Letkol Arya di telinga Tara yang mengembus napas, mencerna sesuatu di balik semua kalimat Letkol Arya.
“Kamu istirahat dan segera pulih. Okay!” ucap Letnan Kolonel berwajah tegas itu kemudian pamit pergi.
***
Seminggu Kemudian.
Aisha duduk di meja bundar Marine Kafe. Di hadapannya sudah ada Dicki mengenakan kemeja biru muda dan jaket navy. Di meja berbeda tapi tak jauh dari mereka ada Fauzi yang duduk tenang dengan segelas kopi hitam. Bagai detektif bayaran dengan telinga dan mata siap merekam semua pembicaraan. Ini semua atas permintaan Aisha. Untuk mengetahui, memindai dan menilai seperti apa laki-laki yang hendak melamar Aisha.
“Kalau Papa di meja yang sama, dia pasti lebih pasang topeng,” ucap Aisha sebelum berangkat ke sini. Akhirnya Fauzi pun menyetujuinya.
“Saya putri tunggal. Pekerjaan saya –“
“Jurnalis, pemburu berita, suka petualangan dan berkeliling dunia, penggemar diving, cerdas, mandiri, pemberani bahkan sukarela menerima pekerjaan meliput ke daerah terpencil sekali pun. Punya paras diatas rata-rata. Kamu … bisa dibilang cukup sempurna untuk dipilih, Aisha,” potong Dicki panjang penuh puja puji untuk gadis yang akan dilamarnya.
Mendengar itu Aisha tersenyum miring dengan elegan meneguk dalgona di gelasnya. Batinnya mulai menilai, pria itu tanpa diminta, ternyata perlahan membuka ‘topengnya’ sendiri tanpa ia sadari.
“Itu yang kamu tahu, Mas Dicki. Ada sesuatu hal dari saya yang belum kamu tahu. Karena itu saya meminta bertemu agar saya bisa mengatakannya sendiri kepadamu.”
“Kekurangan? Kita semua memang tercipta sepaket dengan kekurangan, bukan? Kita tercipta untuk saling melengkapi dan mengisi. Baik, coba katakan, kekurangan seperti apa yang dimiliki wanita sempurna seperti Aisha?” kata Dicki mengangkat bahu jumawa.
Lagi-lagi, gadis yang punya karakter galak itu tersenyum elegan. Perlahan menatap Dicki siap menangkap ekspresi apa yang akan terbias di sana. “Saya … mengidap syndrome Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser.”
Dicki mengerutkan dahi.
“Saya, tidak akan bisa melahirkan keturunan yang akan dinantikan setiap pasangan. Jadi ... apa kamu mau menikahi wanita yang sudah jelas tidak akan bisa melahirkan keturunanmu?”
Bola mata Dicki sempat terpaku. Detik kemudian bergerak-gerak gelisah salah tingkah akan merespons apa.
“Hoh.” Dicki melebarkan senyumnya bimbang sementara Aisha tetap elegan duduk merekam setiap raut wajah yang tercipta di sana dengan suka cita. Batinnya sudah bisa menebak kalau ini akan berakhir sama dengan cerita sebelumnya. Berapa pria, ya? Sssh, Aisha sendiri lupa tepatnya.
Aisha melirik sekilas sang Papa di meja berbeda tersenyum penuh arti. Fauzi tersenyum seraya bersedekap dada membalas tatapan putrinya bersahaja. Lima menit kemudian, Dicki pamit dan mengatakan akan memberi kabar selanjutnya.
“Lihat aja, Pa. Nggak sampai dua hari pasti dia sudah punya keputusan mundur!” kata Aisha mengibas tangan kanan penuh optimis.
“Jangan pesimis dulu. Mana tau dia jodoh kamu,” jawab Fauzi menghibur. Dalam hati ia juga ragu.
“Lihat aja.”
“Udah ah, nonton yuk. Mumpung kamu nggak lembur kerja atau keluar kota.”
“Yahhu! Ayoook!” pekik Aisha cepat dengan mata berbinar.
Menuju bioskop langganan. “Pa, begini aja buat Aisha udah cukup. Papa itu emang cinta pertamaku. Banget! Ha ha ha!” ucap Aisha sambil bergelayut manja di lengan sang Papa.
Fauzi tertawa dan menjawil hidung putrinya. Dalam hati, ia tetap berdoa. Semoga suatu hari putrinya menemukan pangeran hatinya. Sebab, tak ‘kan selamanya tangan tuanya bisa terus menggenggam tangan Rumaisha Azzahra.
🌹🌹🌹
Syndrome MRKH. 😌
Adalah kelainan Agenesis pada perempuan ketika mereka tidak memiliki rahim. Tetapi mereka memiliki tuba fallopi dan ovarium. Di mana, kondisi sebagian organ reproduksi tidak berkembang secara menyeluruh atau bahkan sejak awal yang mengakibatkan wanita sulit hamil. Wanita dengan syndrome ini tidak mengalami periode menstruasi karena mereka tidak memiliki uterus.
°°°°
Terkuak deh kekurangan Rumaisha Azzahra itu apa. 😌
Sebagai wanita pasti minder banget 'kan, ya? Rumaisha juga begitu. Sekarang aja dia mulai bisa mengembalikan kepercayaan diri lagi. Nanti akan ada part khusus menceritakan bagaimana Aisha menghadapi ini di masa lalu. Ikuti terus kisah Aisha-Tara, ya.
Makasi semua ... 🤗🤗
Eh iya lupa. Ini buat kalian khusus dari series ini 🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top