BAG 29 : BLESSING
Bismillah. Ketemu lagi.
Jangan lupa vote dulu sebelum membaca. Spam komentar yang banyak terkait perasaan kalian tentang kisah ini juga boleh. 😁
Selamat membaca. 😉👉🌹
🚢🚢🚢
Tak biasanya, Halimah bersikap abai pada cucunya. Namun hari ini, ia hanya duduk di sofa ruang TV dengan wajah enggan. Wanita yang turut membesarkan Aisha itu sedikit memberengut, persis gadis kecil yang ngambek dan cemberut.
Aisha baginya adalah segalanya. Ada separuh jiwanya ia serahkan untuk kehidupan Aisha. Bagaimana tidak. Ia lah yang mengurus Aisha sejak dilahirkan. Karena Zahra, ibundanya, sudah meninggalkan gadis itu beberapa hari setelah ia dilahirkan.
Benar yang dikatakan dalam Al-Quran. Saat manusia beranjak menginjak usia lansia. Ia bisa sama kembali bersikap seperti anak balita.
"Nenek ... Tara minta maaf." Tara yang sedari tadi diacuhkan Halimah masih mencoba mengajak bicara. Pria itu menekuk lutut di lantai sambil menatap
hangat. Sementara Aisha ikut duduk mengambil posisi yang sama di samping Tara. Halimah yang ditanya hanya membuang pandang acuh, terkesan sedikit angkuh.
Namun sikap Halimah itu, tak membuat Tara gentar agar niatnya melamar Aisha mendapat restu.
Tak jauh dari mereka. Ada Fauzi yang menatap teduh ketiga orang itu. Keberadaannya di sana adalah bentuk dukungan untuk Aisha dan Tara.
"Bu. Jangan keras begitu. Nggak kasian cucu kesayangan nenek ikut berlutut juga? Artinya apa coba?"
"Apa sih, Zi? Kalian pergi gih. Nggak usah berlutut begini sama nenek. Ayo, Sha. Bawa anak muda ini ke depan. Nggak usah merayu nenekmu ini. Nenek masih nggak goyah. Nenek nggak suka kamu nikah sama tentara. Nenek masih trauma." Halimah mendorong-dorong tubuh Tara yang ada di depannya.
Tara sengaja melenturkan badan. Tidak menahan, tidak juga melawan. Ia menerima semua cerca dan kemarahan Halimah sejak satu jam lalu ia tiba. Puncaknya sepuluh menit lalu. Halimah sudah banyak melempar kata tak suka. Dan kembali diam bagai gunung tinggi yang gagah menjulang. Kuat bagai karang dihempas badai.
Semua kata ramah dari Tara belum ada yang mampu meruntuhkan kerasnya hati Halimah yang kekeh tidak akan memberi restu.
"Nenek jangan gitu dong. Nenek udah makan belum?" tanya Aisha pula. Ia tiba di rumah sebelum Tara tiba. Kemarin mereka gagal untuk bicara karena Aisha punya jadwal dadakan untuk meliput di area kebakaran sebuah pabrik mesiu. Hari ini, mereka menyusun rencana untuk bertemu di rumah sepulang Aisha bekerja untuk bicara pada Halimah.
"Kita bawa martabak kesukaan nenek lho. Mau?"
Halimah menutup mulutnya rapat.
"Bu, ditanyain itu. Belum makan 'kan dari tadi? Nenekmu ngambek. Dari sore nggak mau makan sejak tahu kalian mau menghadap ke komandan di rumah ini," kata Fauzi jenaka. Sedikit menggoda ibunya.
"Oh. Nenek juga belum makan?" Tara melenguh. "Nek ... Tara minta maaf. Kalau profesi saya sebagai tentara menjadi hal berat bagi nenek. Tapi, Nek. Saya juga nggak bisa mengatur ini. Karena saya jatuh cinta pada Aisha disaat saya sudah menjadi tentara. Tentara adalah takdir saya dan jatuh cinta pada Aisha juga takdir saya. Karena sampai sekarang hanya Aisha yang ada di hati saya. Maafin saya, Nek." Tara menggambil tangan Halimah dan menggenggamnya erat.
Namun tangan itu ditepis Halimah dengan tegas. Tara tersenyum dan menatap Halimah dengan hangat.
"Neek ... nenek mau ketus begini sama saya nggap papa. Nenek boleh terus mencerca saya dengan banyak kekesalan. Tumpahkan segala unek-unek nenek itu ke saya. Saya akan terima. Asal nenek lega. Dan satu lagi. Nenek makan, ya. Hhm?" bujuk Tara yang dari tadi jadi wadah tempat menampung rajuk Halimah.
Namun nenek itu masih keras dengan pendiriannya.
"Nggak usah bujuk nenek. Nanti juga kalau mau, ya, makan. Nggak pake dibujuk kamu. Kamu pikir aku luluh gitu? Gara-gara dibujuk ngene?"
Aisha menatap Tara lemah. Ia sendiri lelah terus membujuk neneknya sejak kemarin.
Namun tentu tidak dengan Tara.
"Nggak, Nek. Tara paham kok. Tara minta maaf, ya, udah bikin nenek marah. Nenek mengenang trauma. Maaaaf. Tapi Tara benar-benar punya niat serius sama Aisha. Bukan untuk mempermainkan dia."
Tara mengode dengan mata agar Aisha mengambil makanan untuk neneknya.
Aisha yang mengerti bangkit ke meja makan dan mengambil sepiring nasi beserta lauk.
"Nenek nggak mau, Sha. Kamu kok, ya, ikutan jadi kubu dia, ha? Kamu bilang kalian nggak ada apa-apa. Ya wes, nenek lega. Sekarang? Kenapa malah kamu ikut-ikutan suka?" ceracau Halimah lagi sambil menepuk paha kesal.
"Iya, Nek. Maaf. Dulu memang nggak ada apa-apa. Tapi sekarang uda ada apa-apa ...," jawab Aisha jujur, tapi malah terkesan lucu dan polos. Membuat Tara yang di sebelahnya menahan gemas.
"Ha, kan!" Halimah berang, makin serampangan. Ia geram mendengar jawaban cucunya.
Melihat itu Fauzi mengulum senyum lucu.
"Apa yang kamu lihat dari pria ini, ha? Berasa bangga jadi istri prajurit? Mereka yang udah melenyapkan kakek kamu!"
Halimah tiba-tiba terisak. Ia mengusap air matanya dengan ujung handuk kecil yang sering dibawanya.
Mendengar itu Tara mengembus lemah. Ia mengelus lengan Halimah pelan.
"Kakek kamu meninggal gara-gara tragedy Tanjung Priok. Dua orang tentara datang ke masjid untuk melepas paksa spanduk yang mengkritik pemerintah masa itu. Akibat kejadian itu pengurus masjid yang protes ditahan. Banyak masa yang demo akibat penahanan itu. Keributan terjadi sampai banyak warga sipil yang jadi korban dan hilang. Ratusan! Ratusan jumlahnya! Kakekmu. Ka-kekmu yang nggak tau apa-apa itu ikut jadi korban dalam yang ratusan itu. Bah-kan, bahkan jenazahnya nggak tau dimakamkan di mana." Halimah tersedu-sedu menutup wajahnya mengingat kejadian itu. "Kalau orang bisa ziarah ke makam keluarganya, nenek mau ziarah aja nggak tau ke mana. Karena nggak tau di ma-na jenazah kakek kamu dikuburkan me-reka. Kabarnya banyak jenazah yang diangkut dengan truk. Dikubur tanpa dikasi ta-nda. Kalian bisa bayangin nggak gimana sakitnya perasaanku? Ha? Sampe sekarang aku kalau rindu kakekmu cuma bisa doa dan na-ngis kayak begini. Tanpa bisa buat apa-apa lagi!"
Air mata Halimah memperlihatkan betapa ia begitu terluka akibat kejadian itu. Tara yang melihat itu terenyuh. Ia sudah tahu dari Aisha kemarin, alasan mengapa Halimah membenci profesi Tara.
"Bu. Dua orang tentara yang memicu kerusuhan itu adalah orang-orang yang menyamar dengan seragam tentara. Fauzi kan udah bilang. Banyak yang menyatakan begitu."
"Tetap aja. Aku trauma, Zi. Lihat seragam mereka. Aku benci!"
Fauzi melenguh lemah.
Tara yang mendengar itu mengerti bagaimana lukanya nenek Aisha. Luka itu menyayat terlalu dalam hingga belum sembuh juga sampai sekarang. Bahkan sepertinya Halimah butuh bantuan therapy untuk disembuhkan.
"Tara nggak akan pakai seragam di depan nenek, ya. Tara janji. Baik, nek. Baik. Saya mengerti ini sangat menyakitkan. Tara minta maaf, ya, Nek ... sekarang nenek makan dulu. Hhm? Nanti sakit lho."
Tara meraih piring dari tangan Aisha, hendak menyuap ke mulut Halimah.
"Aku nggak mau." Halimah menghindar.
"Nenek nggak suka ikan ini? Mau pakai apa? Tara ambilkan, ya ...."
Aisha yang sebenarnya mengerti menatap Tara. Ia tahu neneknya mau pakai lauk apa. Tapi tentu Aisha khawatir Tara akan geli melihatnya.
Alis Tara terangkat sebagai tanda tanya ke gadis itu. Wajah Aisha mengerut.
"Eggplant," seru Aisha berbisik.
Tara menahan napas. Namun kemudian mengangguk kecil meminta Aisha tetap mengambilnya.
Menurut, gadis itu pun kembali ke meja makan untuk mengambil terong bakar dan sambal terasi kesukaan neneknya. Yang kemudian diambil alih oleh Tara.
"Wew, aromanya menggugah selera ini, nek. Pasti enak," ujar Tara ceria.
Padahal, di dalam sini rasa geli sedang merambat pasti. Namun seperti biasa, pria itu dengan segera mengatur napas untuk melakukan counter-conditioning untuk mengusir phobia-nya terhadap sayuran itu.
Tara membantu mengusap air mata yang jatuh di pipi keriput Halimah. "Nenek tau nggak? Kakek pasti nggak suka lihat nenek nangis begini lho. Apalagi kalau sampai nenek sakit karena nggak makan. Sekarang makan, ya ...."
"Ya karena kamu aku nggak mau makan!" rutuk Halimah ketus.
"Nah, kalau gitu sekarang kita balik, yuk. Nenek harus tetap makan meski bukan karena saya. Tapi, karena sayang sama kakek Aisha. Hhm? Ayo, nek. Terongnya nanti nggak enak kalau terlalu lama dingin." Tara tersenyum dan mencoba menyodorkan sesendok nasi dan lauk ke mulut Halimah.
Awalnya wanita itu enggan. Namun Tara tak gentar. Mulutnya terus saja mengoceh dengan ringan, memuji sikap Halimah dan menegarkan hatinya.
Ternyata, perlahan Halimah membuka mulut juga. Dari tangan Tara, akhirnya Halimah makan. Tara tersenyum, sambil sesekali menggoda nenek Aisha itu.
"Nenek manis kalau senyum. Naaah, gitu tuh," goda Tara jenaka. Halimah menepuk pundak Tara keras yang pura-pura tak berhasil dielak Tara hingga pria itu mengaduh kalah.
Hingga selesai makan, dan malam makin gelap. Halimah masih tak mengatakan ia merestui rencana pernikahan Aisha. Namun, ia tak lagi bicara dengan keras. Tara lega, paling tidak ini sebuah kemajuan untuk ia dan Aisha.
"Sabar, ya, Nak Tara. Nenek Aisha memang begitu. Tapi hatinya baik. Nanti pelan-pelan pasti hatinya luluh. Itu tadi, bisa dibilang nenek mulai luluh. Perlu bersabar sedikit lagi, pasti kalian direstui," ucap Fauzi bijak seraya menepuk pundak Tara hangat.
"Iya,Om. Tara masih akan terus berjuang." Mendengar itu Fauzi tergelak. "Makasi banyak, ya, Om. Saya pamit dulu. Assalamu'alaikum."
Tara pulang hanya diiringi lambaian tangan Fauzi. Sementara Aisha masih mengurus neneknya di dalam. Hari ini, mereka hanya lebih sering melempar tatap tanpa banyak bicara. Namun itu sudah cukup bagi mereka untuk saling mengerti dan membaca isi hati keduanya.
🌹🌹🌹
Usai sarapan pagi, Tara bertandang ke kamar Yona. Ibunya itu sedang duduk membaca laporan perusahaan.
Tara yang melihat itu, langsung memeluk Yona dari belakang dan mencium pipi ibunya sayang.
Yona terkejut, tapi tangannya segera merambat untuk mengelus pipi putranya.
"Ceria banget. Ada apa nih?" tanya Yona seakan dengan jelas membaca gelagat putranya.
Tara tergelak riang, dan mengambil duduk di sebelah Yona.
"Momy emang paling tahu. Hu-um. Tara lagi senang. Uhm ... Mom. Tara mau bicarain masalah pernikahan." Pemuda itu menarik lengkung yang lebar di bibirnya. Menurutnya, itu yang Yona nantikan.
"Oh, ya? Serius kamu mau nikahnya?"
"He-um. Tara udah persiapkan dananya. Momy tinggal ikut datang buat ngelamar, ya. Kita ajak keluarga yang lainnya. Momy bisa kapan aja kan?"
"Kamu mau ngelamar Aisha?"
"Iya. Momy 'kan udah ketemu dia. Udah lihat sendiri. Momy juga keliatan suka sama dia. Momy setuju kan Tara melamar dia? Tara udah lama suka dia, Mom. Bahkan ... sebelum dijodohkan dengan Liona."
"Oh, ya?" Mata Yona melebar, menunjukkan binar ceria tapi tak percaya.
Tara akhirnya menceritakan semua pada Yona. Bagaimana ia berjumpa dengan Aisha, gagal karena ia sudah akan menikah, sampai dipertemukan lagi dengan gadis itu.
Yona bisa dengan jelas melihat kebahagiaan di wajah Tara dari antusiasnya bercerita.
"Momy pokoknya siap-siap, ya. Insyaa Allah dalam waktu dekat. Kita akan melamar ke rumah mereka. Okay, Momy? Momy senang 'kan? Momy juga pengen Tara cepat nikah 'kan?"
Yona menelan ludah kental. Ia hanya tersenyum kecil seraya menepuk punggung tangan putranya.
Tara mendaratkan kecupan lagi di pipi Yona sebelum beranjak keluar dari sana.
Yona yang ditinggalkan menarik napas gelisah. Matanya bergerak-gerak gamang harus melakukan apa. Ia tahu benar sifat dan karakter putranya.
Dulu, mungkin ia berhasil meminta Tara menikahi wanita pilihannya karena Tara tak punya wanita lain yang sedang ia seriusi. Dari cerita Tara tadi, putranya tetap maju karena segalanya sudah dipersiapkan Yona dulu.
Namun untuk yang ini? Yona jelas-jelas melihat kalau Tara akan bersikeras menikahi gadis pilihannya sendiri. Bahkan Monika yang sangat dikenal Tara juga ia tolak mentah-mentah.
Yona menarik napas, ia sedang berpikir keras.
"Kamu benar, Nak. Momy yang paling tahu kamu. Aku yang paling tahu kamu, jadi ... harusnya kamu akan mengerti suatu hari nanti," ucapnya dalam hati.
🌹🌹🌹
Aisha kembali lagi ke kantor untuk mengambil motor usai meliput di lapangan bersama Delon.
Ia mencari Citra ke ruang Heni namun gadis itu tidak ada. Belakangan ini mereka jarang bicara dan bertemu karena kesibukan masing-masing. Aisha mendesah lemah. Ia ingin berbagi kebahagiaan pada Citra secara langsung. Bukan lewat pesan pribadi yang belum tentu cepat dibaca Citra.
Ada perbedaan antara keduanya. Aisha lebih memilih yang pertama dari pada bicara lewat pesan yang kadang bisa terjadi miss komunikasi.
Kecewa, akhirnya Aisha kembali ke kubikelnya untuk mengambil laptop. Perkerjaan menulis di blog akan ia lakukan di rumah.
Baru saja ia bangkit untuk pulang, ada Mang Odi yang datang memberi kabar.
"Mba Aisha. Ada yang cari itu di depan."
"Eng? Siapa, Mang? Orang DuMed?" tanya Aisha.
"Bukan, Mba. Ibu-ibu."
Aisha mengernyit heran. Namun ia langsung melangkah untuk menemui orang yang dikatakan Mang Odi.
Aisha melangkah ke bagian lobi di lantai satu DuMed tempat yang dikatakan Mang Odi tadi. Jantungnya sedikit berdebar ketika melihat siapa yang datang menunggunya.
"Tant-Tante?" sapa Aisha canggung seraya menyalami wanita berpakaian rapi dengan kesan cukup berkelas ini.
Wanita yang disapa Tante berbalik dan tersenyum ramah membalas sapaan dan menyambut Aisha.
"Aisha? Maaf Tante ke sini, ya." Yona menarik lengkung manis. "Uhm .. kamu ada waktu nggak? Bisa kita bicara?"
🌹🌹🌹
Kira-kira apa yang mau dibicarakan Yona?
Kayaknya kalian sudah bisa menebaknya. 😬
Sampai ketemu di part selanjutnya. 😉pew! 👉🌹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top