BAG 28 : MRKH SYNDROME

Jangan lupa tanda cintanya sebelum membaca, ya. Kutunggu komentar kalian juga. 😉
Terima kasih dan selamat membaca. ❤

🚢🚢🚢

Sudah sejak kemarin, Tara menunggu balasan pesan dari Aisha. Entah kenapa, setelah kebersamaan mereka di SeaWorld, gadis itu malah menutup diri. Hanya membaca pesan dan membiarkannya begitu saja. Panggilan dari Tara juga tak digubrisnya. Ada apa dengan Aisha?

Tara sedang menyembunyikan wajahnya ketika suara notifikasi pesan masuk. Matanya terbuka malas, disusul tangan yang bergerak lambat.

'Paling kawan-kawan dokter atau militer,' gumamnya lemah.

Namun pupilnya langsung melebar ketika disambut oleh sebuah gambar, tangan kiri mengenakan cincin 💍yang kemarin ia berikan pada Aisha. Melingkar di jari manis wanita itu.

Sontak pria itu melompat, terduduk, mengucek mata dan mengerjap berulang-ulang. Lalu kembali memindai gambar yang dilihatnya.

Dan matanya terbelalak. Ia pun besorak ketika yakin dengan pemandangan indah yang tersaji di depan mata.

Tara 📤

[Seriously? 😭😍😍😍😍😘😘😘😘]

[Itu artinya you say 'yes'?]

Aisha 📩

[Menurutmu? Untuk apa aku mau pakai cincin ini rupanya? Coba-coba? Mau nikah kok coba-coba 😒😏]


Tara 📤
[😭😍😍😍😘😘😘]

[Ya, lord. Cincin itu terlihat makin indah di jarimu, Sha. Saya suka. Dan ... bahagia. Sueeeeeer!]

[Tengkyu, tengkyu, baby 😘😘😘😘 pew! 👉🔫🌹😉]

Entah bagaimana pria itu langsung berubah genit. Tara mengerjap dan memukul konyol kepalanya sendiri. Buncahan kebahagiaan ini menghentak-hentak jantungnya.

Belum puas, ia melakukan VC ke nomor Aisha namun lagi-lagi tak dijawab.

Suara pesan masuk kembali.

Aisha 📩
[Dilarang VC, ya! 😡 Aku lagi nggak siap nerima VC 🙈]

Tara langsung menekan tombol panggilan biasa.

"Emang lagi mandi?"

"Iiiih. Bukan! Aku lagi nggak pakai hijab!"

"Ck! Tinggal pakai aja dong kerudungnya ...," kata Tara menyarankan kemudahan.

"Nggak mau ah!"

"Jadi kamu maunya aku langsung ke rumah kamu aja. Gitu?"

"Ihh konyol! Ngapain?"

"Lihat kamu yang nggak pakai hijab," jawab Tara polos tanpa dosa.

"Dasar Om Modus absurd!"

Aisha tergelak. Di seberang sana hatinya sedang berbunga-bunga. Ternyata seperti ini sensasinya jatuh cinta dan dicintai orang yang dicinta.

"Kamu kenapa kok nggak ada kabar dari kemarin sih?" tanya Tara.

"Aku butuh sendiri. Biar berpikir jernih. Jadi, aku ambil keputusan ini bukan karena nafsu tergesa, dan hasutan setan yang menjerumuskan. Aku menerima kamu dari hatiku. Karena itu aku butuh waktu untuk bisa dengan yakin mengatakannya sama kamu," jawab Aisha tersipu.

Mendengar itu Tara setuju. Aisha memang harus mengambil waktu agar benar-benar yakin dengan keputusannnya.

"Jadi, kapan kamu maunya kita nikah?"

"Ya ampun nih orang nggak sabar amat."

"Emang iya," sambar Tara menggoda.

"Tunggu. Karena profesimu, kita harus hadapi dulu rintangan orang tertua di rumah ini."

"Maksudnya?"

"Nenek. Beliau nggak setuju aku nikahnya sama kamu."

Tara mendesah lemah. "Okay. Nanti kita menghadap bersama ke komandan tertua, ya."

"Maksudnya?"

"Nenek. Kan komandan tertua. Beliau yang doanya cukup keramat dan perkataannya berpengaruh sama nasib pernikahan kita. Jadi, ayo kita bujuk nenek bersama. Hhm?"

Mendengar itu Aisha menarik senyum  lega.

"Dan  ...."

"Dan Apa?"

"Aku  ... mau periksa lagi ke obgyn. Saran Papa juga sih."

"Saya yang temani, ya."

"Idih! Malu nanti dong akunya."

"Malu apanya? Saya udah liat!"

"Apa?" Suara Aisha terdengar keras.

"Oh, oh. Bukan. Maksudnya kalau di USG 'kan yang ditaruh gel bagian perut. Udah pernah liat saya mah."

"Terus?"

"He he." Tara tergelak. "Nggak kok. Ya udah, pokoknya nanti saya temani ke obgyn. Tenang. Nggak bakal ngintip kok. Biar calon suami kamu ini juga tahu langsung penjelasan dari dokter obgyn-nya. Kalau ada apa-apa cepat dicari solusinya bersama. Hhhm?"

Hati Aisha menghangat. Senang diperlakukan calon suaminya seperti ini.

Setelah panggilan terputus. Tara bangkit dan berdiri.

"Yiiihaaaaaa! Terima Kasih, Tuhaaaan!" pekiknya senang bukan kepalang.

Tara melompat, berlari kegirangan menuruni anak tangga dengan cara merosot di pegangan sambil berseru senang. Cukup konyol untuk usianya yang tak lagi muda apalagi disaksikan oleh ART di dapur. Aksi pria itu sontak mengundang tatap aneh dan tawa geli. Tak biasanya Tara bertingkan seperti itu.

Langkahnya yang lebar berakhir ditelan air kolam renang.

BYYUUR!

Percikan air mengundang tatapan aneh Monika dan Mimi yang baru saja pulang dari supermarket.

Melihat Tara yang berenang malam-malam dengan semangatnya mengundang Monika mendekat ke pinggir kolam.

Ia ingin bersuara menyapa Tara ketika Yona memanggilnya. Sedikit murung, ia berbalik dan urung memanggil, lalu menemui Yona.

°°°

Aisha sengaja izin keluar lebih dulu sebelum jam istirahat pada Nicko untuk ke rumah sakit. Ia berencana ke dokter obgyn di rumah sakit yang dulu pernah 'memegang' kasus kongenital dirinya.

Tara sudah menunggunya di parkiran, bersandar pada mobil memainkan ponsel dengan kaca mata bergantung di leher. Ketika Aisha tiba ia memasukkan ponsel ke saku dan tersenyum hangat bersama tatap tak kalah lekat. Aisha yang dipandang demikian menahan kedutan di sekitar bibirnya karena tersipu malu.

"Gitu amat ngeliatnya!" Aisha tergelak samar.

"Rindu aja. Akhirnya ketemu kamu lagi." Tatapnya tak pernah lekang ketika ia membukakan pintu mobil buat Aisha dan gadis itu terbelalak melihat ada buket bunga mawar di kursi.

"Buat kamu," kata Tara berbisik dan mengambil buket lalu memindahkannya ke tangan Aisha yang berbinar ceria.

Saat netra Tara menangkap cincin di jari manis Aisha, netra keduanya beradu dan saling melempar senyum manis.

"Perfect!" bisik Tara memuji diikuti senyum lebar gadis itu.

Ketika mobil putih itu keluar dari parkiran DuMed, ada sepasang mata kecoklatan milik Aryan yang menatap datar pemandangan barusan. Hatinya menahan sesak yang tak berkesudahan setelah kemarin Aisha
memberinya keputusan dan meminta maaf tidak bisa menerima Aryan.

"Aku menghormati Mas Aryan lebih dari seorang kakak. Maaf, ya, Mas. Bukannya aku nggak yakin dengan perasaan dan niat Mas Aryan. Tapi aku nggak mau kasi harapan yang sebenarnya aku sendiri nggak bisa memastikan," ucap Aisha ketika mereka duduk berdua di ruang kerja Aryan. Gadis itu sengaja datang setelah sebelumnya meminta waktu pada Aryan untuk bicara. Aryan ingin datang ke ruang Aisha tali Aisha lebih memilih ia yang ke sana. Sebab tentu saja jika di ruang Aisha akan banyak yang mendengar. Dan itu sungguh tidak enak.

"Kamu belum kasi aku kesempatan, Sha," ucap Aryan mengernyit.

Aisha bergeming.

"Atau kamu memilih orang lain?" lanjut Aryan lagi.

Aisha sempat menjeda, tapi perlahan mengangkat wajah dan dengan tenang menatap Aryan. "Iya, Mas. Aku mencintai orang lain. Aku minta maaf. Aku udah coba membuka diri untuk membuat Mas Aryan itu lebih dari teman kerja, tapi ... tetap aja aku nggak bisa. Maafin aku, ya, Mas."

Kalimat itu terngiang di kepala Aryan. Lelaki itu memejam, mengembus kasar untuk melepas sesaknya dada akibat oksigen yang terperangkap dalam paru-parunya.

Bukankah ia tidak terlalu cepat mengatakan niatnya ini? Atau memang ia yang terlalu lambat memberanikan diri?

Aryan masih belum mau berhenti. Masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Ia yakin benar, Tuhan tidak pernah terlambat apalagi salah alamat. Jika memang Aisha itu jodohnya, ia pasti akan kembali. Ke mana pun tulang rusuk yang pergi akan tetap kembali pada tubuh itu lagi. Bukankah begitu?

"Kita lihat, Sha. Seperti apa rencana Tuhan selanjutnya. Selagi ijab qabul belum disambut sah saksi dan penghulu, masih ada kemungkinan kamu jodohku," lirih Aryan menegarkan hati.

🚢🚢🚢

"Nggak ada masalah kok, Sha. Operasi yang dulu kayaknya tetap bagus kok hasilnya sampai sekarang. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Itu calon suami kamu?" tanya Dokter Ayu Wardani menggoda Aisha.

Aisha mengangguk salah tingkah. "Doakan, ya, Dok."

"Dia  ... udah tau 'kan?" tanya wanita paruh baya itu yang langsung dipahami Aisha.

"Udah kok, Dok. Makanya dia ikut ke sini. Pengen tau gimana kondisi Aisha lagi."

"Iya. Ada bagusnya juga. Sebelum lanjut ke jenjang serius, pasangan harus saling terbuka kekurangan masing-masing. Biar kemudian hari nggak ada yang merasa saling dibohongi." Ayu tersenyum diikuti anggukan Aisha.

Aisha keluar bersama Ayu dan asistennya dari bilik USG lalu mengambil duduk di kursi konsul di mana Tara sedang menunggu.

Mata Tara menyambut Aisha dengan sorot penuh cinta diikuti senyum yang enggan lekang dari sana. Melihat itu Ayu paham benar. Oh, pemuda itu sedang kasmaran rupanya.

"Anda sudah tahu 'kan tentang kondisi Aisha?" tanya Ayu ramah.

"Belum lah, Dok. Kan Dokter belum jelaskan," jawab Tara bergurau.

"Jadi kok kamu mau sama dia?" timpal Ayu menyeimbangi dengan nada intimidasi persis seorang ibu melindungi putrinya.

"Ya mau lah, Dok. Lama malah nunggunya."

Spontan, Aisha memukul lengan Tara gemas diikuti kerlingan Tara tak kalah gemas. Tanpa diduga tangan pemuda itu terangkat berpindah menggenggam tangan gadisnya hangat masih dengan sorot penuh cinta.

Melihat itu Ayu mengulum senyum.

"Syndrome MRKH di Aisha. Kamu udah tau 'kan?"

"Kalau yang itu udah, Dok."

"Terkait tentang syndrome itu, kamu sudah paham?"

"Paham seluruhnya belum, Dok. Tolong Dokter jelaskan ke saya lebih banyak jika berkenan," kata Tara dengan hormat. Ia ingin tahu lebih jauh dari ahlinya langsung meski sudah banyak browsing terkait syndrome ini.

Dokter Ayu Wardani mengambil poster gambar perbedaan rahim tanpa syndrome MRKH dan dengan MRKH.

"Ini kongenital. Penyakit Atresia atau Mullerian Agenesis, di mana wanita dilahirkan dengan rahim yang tidak berkembang secara normal. Namun secara kondisi fisik lainnya seperti, maaf, alat kelamin, payudara, tampak normal-normal saja.
Kalau dari luar penampakannya biasa aja. Kayak nggak ada masalah. Karena, ya  ... letak masalahnya ada di dalam. Seperti di gambar ini, jelas perbedaannya dengan yang normal 'kan? Dari luar tampak biasa. Karena itu belum bisa dideteksi sejak awal. Umumnya ini tidak disadari, jadi biasanya baru diperiksakan pasien setelah usia, 13-18. Ketika dia menyadari belum juga mendapat menstruasi pertamanya. Meski demikian, untuk ovariumnya, tetap berfungsi secara penuh."

Mendengar Dokter Ayu menjelaskan, Aisha hanya diam ingin Tara mendengar semua tentangnya. Jika saja pria itu ingin mundur, masih ada waktu sebelum terlambat. Meski mungkin dirinya bisa terluka. Sebab hanya Tara yang ia izinkan sampai sejauh ini untuk ia seriusi.

"Itu dulu yang terjadi pada Aisha. Dia bahkan sempat frustasi berat," jelas Ayu lagi.

Mendengar itu Tara mengangguk kecil dan mengerti. Sangat mengerti, karena ia sudah melihat sendiri efek dari frustasinya gadis di sampingnya. Tangan Tara makin erat  menggenggam tangan Aisha penuh kehangatan. Satu tangannya tak terduga malah mengelus punggung tangan itu sambil berpaling menatap gadisnya seakan mentransfer semangat.

"Penyebabnya sampai saat ini masih belum bisa dipastikan. Tapi ada yang mengatakan kelainan genetik tertentu
menyebabkan gangguan
perkembangan Duktus Mullerian saat masa janin. Beberapa ada juga yang mengatakan faktor lingkungan dari pajanan obat-obatan seperti thalidomide,
penyakit ibu saat hamil seperti diabetes gestational menjadi pemicu juga. Tapi, ya, masih belum bisa dipastikan."

"Kamu juga sudah tahu jelas 'kan, kalau  ... maaf, dengan berat hati saya katakan, Aisha ini tidak bisa mengandung?"

"Iya, Dok. Saya tahu."

"... kamu siap?" tatar Ayu.

"Saya siap, Dok. Tapi jika Aisha ingin punya anak juga saya akan bersikeras mencari jalan keluarnya," kata Tara tegas.

Mendengar itu Ayu tersenyum. Ia terharu dengan jawaban Tara. Sementara Aisha yang disampingnya bergeming menatap Tara. Ia malah yang khawatir Tara ingin punya anak darinya.

"Kalau bersikeras juga, jalan keluarnya ya  ... dengan ibu pengganti, surrogate mother melalui IVF. Atau ...
transplantasi," lanjut Ayu lagi. "Tapi  ... bukankah keduanya cukup berat? Dua opsi ini belum tentu bisa didapat."

"Iya, Dok. Itu ... akan kami bicarakan nanti. Tapi  ... menurut Dokter gimana? Aisha baik-baik aja 'kan?"

"Hu-um. Nggak ada masalah kok. Dulu Aisha udah pernah menjalani proses Vecchetti di Singapore. Kombinasi metode Frank dan operasi. Saya yang rekomendasikan dia ke Dokter Kyleen Li dari Amerika. Untungnya, di Aisha adalah syndrome type 1.  Cuma menyerang organ reproduksi. Nggak sampai ke organ lainnya. Ada kasus jenis type ke 2. Abnormalitas bukan hanya organ reproduksi tapi juga organ lain seperti ginjal, tulang belakang, telinga, jantung dan lainnya. Karena Aisha masih ke type 1, jadi nggak ada masalah lagi kok."

"Alhamdulillah." Tara mengucap syukur, lega. Genggaman tangannya semakin erat di tangan Aisha. Gadis itu ingin memberontak tapi malu jika Dokter Ayu melihat pertengkaran absurd mereka di ruang ini.

"Kemarin udah cek lagi setelah beberapa tahun 'kan, Sha?" tanya Ayu mengalihkan pandang ke gadis yang sedang mereka bicarakan.

"Udah, Dok. Mereka suruh cek setelah 8 tahun. Hasilnya, kata mereka bagus. Tapi, ya, saya nggak bisa pastikan juga. Karena 'kan ...."

Aisha canggung memilih kata hingga bola matanya bergerak-gerak bimbang.

"Belum dipakai?" ujar Tara spontan memperjelas kalimat Aisha.

Gadis itu memelotot salah tingkah dan mendengkus tajam.

"Ohoh." Menyadari sesuatu, Tara juga jadi salah tingkah. "Bu-bukan gitu, Sayang. Maksudnya  ... jelas aja kamu belum bisa rasakan jelas gimana hasil operasi itu. Karena 'kan kamu sendiri belum pernah berhubungan intim. Be- Begitu 'kan, Dok?" Tara mengalihkan pandang ke Dokter Ayu meminta pembelaan.

Ayu mengulum senyum geli. Duo sejoli yang sedang konsul dengannya ini cukup mengelitik hati. Khususnya sang pria. Transparan dan  ... ya, peduli. Meski kalimatnya kadang langsung to the point. Ayu maklum, pria itu juga seorang Dokter dengan basic militer. Tentu saja ia lebih cenderung langsung pada intinya.

Ayu bisa lihat begitu perhatian dan pedulinya calon Aisha dari sorot mata dan gestur Tara menjaga Aisha sejak awal tiba.

"Iya, benar. Saya anggap kalian sudah sama-sama paham." Ayu menatap lucu keduanya bergantian.

Usai konsultasi Tara dan Aisha pamit.

"Alhamdulillah, Sha. Udah nggak ada masalah lagi. Selanjutnya, kita bisa ke rencana pernikahan aja, ya. Oh, ini kita ketemu nenek aja dulu buat minta restu. Abis itu saya bicara ke Momy untuk cari waktu buat lamar kamu segera. Hhhm?" ujar Tara diiringi seringai ceria sambil memasang safety belt-nya.

Mata Aisha berkaca diikuti senyum haru melihat kesungguhan pria itu.

"Dok, kamu  ... serius nggak ingin punya anak lagi?" tanyanya masih khawatir.

"Sssst! Saya udah jawab 'kan? Lagian kita udah punya Bella. Hhm? Kamu mau 'kan jadi ibunya?" Netra mereka beradu.

Aisha tersenyum hangat setelah itu, mengangguk setuju.

"Please, jangan bicarakan ini lagi. Saya nggak mau ini jadi beban pikiran kamu. Fokus ke pernikahan aja. Okay?"

Mobil SUV Wuling melaju. Seperti biasa, Tara membuka sunroof mobilnya.

"Panas nggak?" tanya Tara bersahabat.

"Nggak kok. Aku suka."

"Sama saya?" sambar Tara.

Aisha tergelak samar. Masih bersandar, ia memalingkan wajah menatap pria yang baginya kini begitu mempesona. Sempurna dan melengkapi separuh jiwanya.

Detik itu Tara memalingkan wajah juga, mengangkat alis dan tersenyum.

"Gitu amat mandangnya. Awas jatuh cinta!"

"Ha ha ha. Ya, aku jatuh cinta pada pria menyebalkan ini. Om Modusku, my Admirer yang kini tak lagi jadi Secreeet!"
Aisha terkekeh sendiri. Kalimat macam apa itu?

Mendengar itu tak bisa Tara pungkiri, jantungnya bergetar bagai ada letupan kembang api.

Ia mengangkat tangan kiri dan mengelus kepala Aisha sayang. "Saranghae, My Secret Admirer. My little Sky B, My little dolphin. Klak!" Tara mengacungkan telunjuk dan jempol membentuk shoot sign diikuti satu mata memicing dan suara 'klak' sekali.

Melihat itu lagi-lagi Aisha tergelak. Dasar pria konyol.

"By the way, kamu memang suka laut juga, ya?"

"Hhhm. Gitu deh. Karena dolphin ada di sana. Aku suka pemandangan bawah laut. Makanya suka snorkeling dan diving. Mungkin itu juga yang membuat aku nggak takut terjun ke laut waktu mau bunuh diri. Aku nggak panik. Ringan aja tubuh ditelan air sampai ke kedalaman. Tapi aku juga suka pemandangan langiiit!"

"Don't do that a gain, ya! I'll angry! Remember it!" Mata Tara mengintimidasi.

"Ha ha. Iya. Iya. Udah sembuh aku kok. Apalagi ada kamu."

Tara mengulum senyum mendengar itu.

"Cerita laut. Jadi keinget berita KRI Nanggala," ujar Aisha prihatin.

Mendengar itu, hati Tara jauh lebih sedih. Meski prajurit memang harus siap menghadapi kondisi apa pun. Tetap saja ada rasa sedih yang terpaut di hati dengar berita ini.

"Hhmm. Siapa dari DuMed yang ngeliput ke sana?" tanya Tara.

"Eza sama Lintang," jawab Aisha tegas.

"Itu kira-kira gimana, ya, Kapt? Kamu pasti sedikit banyak tau 'kan kemungkinan yang terjadi?"

Tara menjeda. Ingatannya terbang ke masa tugas khusus dirinya bersama tim pilihan ketika bertugas dalam misi penyelamatan sandera di perairan perbatasan Timor Leste-Indonesia-Australia.

"Sejauh ini dugaan sementara, KRI tenggelam melewati 700 meter ke dalam. Ada juga dugaan tangki minyak retak karena ditemukan bekas minyak di sekitar kordinat hilangnya KRI 402. Bisa jadi karena terjadi blackout sehingga kapal tidak bisa terkendali. Akibatnya kapal nggak sempat melakukan prosedur darurat karena tombol darurat untuk mengembus supaya kapal bisa timbul ke permukaan nggak menyala. Bisa juga terjadi medan magnet yang menarik kapal tenggelam semakin dalam. Masih spekulasi sih."

"Blackout apa?"

"Listrik di kapal mati total."

Aisha bergidik ngeri. "Keluarganya pasti harap-harap-harap cemas, ya," kata Aisha iba.

"Pasti. Tapi sudah jadi tuntutan keluarga prajurit harus siap dengan kemungkinan terburuk. Jika ia gugur di medan juang akan jadi kehormatan buatnya dan keluarga yang telah berjuang demi membela negaranya."

Aisha terdiam. Otaknya mencerna dan membayangkan sesuatu.
Melihat netra Aisha, Tara mengerti. "Artinya kamu juga harus siap untuk kondisi seperti ini, ya, Sha. Hhm?"

Sebelum melanjutkan Tara menjeda dan menarik napas. "Gimana kalau saya yang ada di dalam kapal itu?" tanyanya menatap netra biru itu.

Tak langsung menjawab. Aisha membuang pandang, menggerayangi hati.

"Nggak mau bayangin ah! Baru juga aku bahagia, jangan paksa aku kehilangan kamu. Kamu udah tau gimana reaksi aku kalau kamu kenapa-napa."

Tara tersenyum. Ia paham, apa yang dirasakan Aisha.

"Tapi memang begitu tuntutannya, Sha. Nanti kalau kita menghadap ke kesatuan, itu pasti ditanya."

"Iya, aku tau. Bukan aku nggak mau terima. Kalau kamu gugur karena berjuang aku sakit. Aku nangis. Tapi ... aku juga bangga. Pasti. Tapi tetap aja, rasa nggak mau kehilangan itu pasti tetap ada, Kapt." Aisha menatap keluar jendela menyembunyikan kesedihannya. Entah mengapa hatinya mendadak melo terkait perbincangan ini.

Hati Tara menghangat. Combat Doctor itu lagi-lagi menghadiahi elusan di puncak kepala Aisha. Entah mengapa ia senang melakukan ini sekarang.

"Tapi, Dok. Kamu tugasnya di mana?"

"Sebenarnya saya udah minta Letkol Arya supaya ditugaskan di Mintohardjo aja. Saya pensiun dari pasukan khusus. Biar bisa fokus ke Momy, Bella dan kamu. Tapi ... agaknya masih belum terealisasi. Letkol Arya masih menunggu posisi kosong. Dan belakangan, ada  ... aja tugas lain yang menuntut saya harus ikut."

Aisha mengangguk paham. Kali ini rasa takut kehilangan Tara merayap di dadanya.

"Semoga KRI Nanggala 402 ditemukan dalam keadaan baik-baik aja, ya. Nggak ada yang nggak mungkin buat Tuhan 'kan?" ucap Aisha kali ini menatap Tara.

Pemuda itu mengaamiinkan diikuti  senyum hangat. Bukan ia tidak punya spekulasi lain. Tingkat kekhawatirannnya untuk kapal itu jauh lebih memprihatinkan. Namun ia tidak mungkin memaparkan seluruhnya pada Aisha, takut gadis itu menaruh khawatir lebih jauh padanya.

Bagaimana tidak, melebihi 72 jam di dalam air, bagaimana dengan cadangan oksigen mereka? Harusnya dalam waktu beberapa 3-6 jam kapal harus ke permukaan untuk mengganti oksigen. Apalagi dengan tingkat  kedalaman itu biasanya malah bisa meremukkan badan kapal. Tara hanya bisa berharap dan berdoa. Semoga Allah menolong dengan caraNya.

🚢🚢🚢

Pukul 21.30 malam, Yona mengetuk pintu kamar Tara yang belum turun sejak sore. Ia khawatir, karena putranya belum makan malam ini.

"Le, kamu tidur?" ucap Yona di depan pintu.

Berulangkali ia mengetuk tak ada jawaban dari dalam. Akhirnya Yona membuka handle dan menemukan Tara tergeletak di meja kerja dengan laptop yang masih terbuka.

Yona masuk dan mencoba membangun putra semata wayangnya.

"Le, makan dulu gih. Nanti sakit lo."

Tara masih tak merespon dengan napas yang teratur. Yona membereskan beberapa berkas yang berserakan di meja dan jatuh ke lantai. Tak sengaja ia melihat ke kertas yang barusan ia pegang. Ada nama Rumaisha Azzahra di sana.

Yona membaca berkas itu perlahan. Keningnya berkerut diikuti sebuah tanya di dalam hati. Makin penasaran, ia melihat ke layar laptop yang masih menyala. Yona membacanya, masih berkaitan dengan informasi di lembar hasil konsultasi yang ia pegang. Pupil mata Yona sedikit melebar, bergeser ke wajah putranya yang masih tertidur lelap. Yona menelan ludah gelisah, benarkah apa yang sedang dibacanya?

Sabtu, 24-04-21

🌹🌹🌹

Pray for KRI Nanggala 402.
Dengar berita ini ikut berduka. Pasalnya ini ada ngena ke kisah Aisha Tara. Aku punya outline misi penyelamatan sandera Tara dan tim khusus ke perairan perbatasan Timor Leste kemarin dengan kapal selam. Kalau nggak ada revisian dari editor bakal ada di buku.

Yuk sama-sama doakan. Semoga seluruh prajurit yang ada di KRI Nanggala 402 segera ditemukan dalam keadaan selamat, ya. Aamiin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top