Apa kabar? Gimana ramadhan-nya? Semoga makin lancar, ya.
Part ini lanjutan kemarin. Ayo, kita angkat Dokter Tara dari dalam laut dalam kondisi apapun. 😬
Selamat membaca, jangan lupa tanda cintanya, Kakaaaa ❤❤❤
Virtual Shoot 😉pew! 👉🔫🌹
🚢🚢🚢
"Kamu hanya akan menambah masalah kalau ikut lompat!" rutuk seorang pria yang Aisha tak tahu siapa.
"Toloong! Toloong diaa!" Mata Aisha memelas dan luruh karena lemas. Yang terlintas di kepalanya adalah kejadian di Buton saat ia bunuh diri dulu. Bagaimana kalau tidak ada yang menolong Om Modus?
Pria tak dikenal itu melangkah ke tepi tebing dan mendongak ke bawah.
Saat bersamaan, tak ingin kalah cepat. Aisha bangkit setelah mengumpulkan seluruh tenaga, meraih ponsel dan tasnya lantas berlari segera.
"Hei, Nonaa!" Pria itu memanggilnya dan mengambil langkah gegas untuk menyusul.
Aisha turun dan berhenti di tepian pantai yang mulai redup karena senja, mengedar pandang nanar ke segala arah.
"Dokter Taraaa!" jeritnya keras.
Dengan tangan bergetar tremor, ia meletakkan tasnya begitu saja. Saat bersamaan ponsel-nya berdering.
Melihat nama Niel, gadis itu menjawab diiringi isakan.
"Nieeel! Toloong!"
"Lo di mana?" Suara Niel terdengar cepat.
Aisha mengatakan keberadaannya dengan frustasi. Setelah itu, ia mencampakkan ponsel itu ke dekat tas begitu saja dan berlari ke air.
Beberapa orang yang ada di tepi pantai menatap Aisha heran.
"Dokter Taaraaa!" jeritnya lagi yang tak gentar meski separuh tubuhnya basah ditendang ombak.
"Hei! Ini hampir gelap, Nona. Biar penjaga pantai yang mencarinya!" Pria yang mengejar Aisha tadi kembali menarik gadis itu agar berbalik.
Aisha histeris teramat frustasi.
"Toloong! Toloong diaaa. Hwaaa!" Gadis itu merintih setelah berulangkali mencoba memberontak tarikan pria itu.
"Sadar, Nona, Sadar! Kendalikan dirimu. Iya, iya! Penjaga pantai akan ke sini dan mencari pria itu segera. Kalau kamu ikut masuk ke air yang ada malah nambahi tugas kami!" cerocos pria itu lagi.
Aisha kembali luruh membiarkan tubuhnya basah ditendang ombak.
Ia masih menangis menatap jauh ke lautan.
Tak lama Niel datang.
"Aisha!" Pria itu membantu Aisha bangun dan membawanya menjauh dari bibir pantai.
Aisha masih tersedu dan menghapus jejak air matanya serampangan.
"Niel, Dokter Tara jatuh dari tebing karena nolongin gue! Hwaaaa!" pecah lagi tangisnya. "D-dia terlepas dari ta-ngan gue Niel. Gue nggak berhasil menarik dia naik. Di-dia, terlepas." Aisha menceracau lemah menunjuk tangannya yang tremor. Masih terekam kuat dalam otaknya bagaimana tangan Tara ia cengkeram dan tangan itu malah terlepas bebas.
"Dia masih di sana Niel! Tolongin dia," ceracau gadis itu lagi.
"Iya, Iya. Itu para penjaga pantai udah coba bergerak cari dia." Niel menepuk-nepuk pundak Aisha menenangkan. Gadis yang tersedu itu berulangkali menunjuk ke pantai dan lagi-lagi mengusap wajah serampangan.
"Nieeel ... gue ta-kut dia kenapa-kenapa, Niel. Gi-mana kalau hal buruk terjadi, ha?"
"Khawatir juga lo, kan? Lo sih bebal! Coba lo nggak bersikeras, nggak usah denial!" jawab Niel di dalam hati.
"Udah. Sekarang yang bisa lo lakukan berdoa! Minta sungguh-sungguh supaya dia selamat," kata Niel yang juga harap-harap cemas.
Aisha semakin menangis dan menutup wajahnya. "Dokter Taraaaa. Maafin aku. Tolong jangan pergi. Kembaliii. Se-lamatlah. Kumohooon," rintih Aisha lemah disela isaknya.
Beberapa saat Niel dan Aisha melihat dua orang penjaga pantai masuk ke air dan berenang mencari korban. Dua orang lainnya berkeliling ke sekitar.
"Udah, lo tenang. Terus berdoa. Semoga dia balik biar lo nggak nyesal!" gerutu Niel.
Aisha makin terisak. Terlihat dari bahunya yang naik turun menahan sesak.
"Bantu doa Nieeel."
"Iya, gue juga doain, Sha. Tapi lo janji kalau dia kembali lo harus jujur. Jangan denial dan keras kepala lagi."
Bulir bening itu kembali jatuh ketika kelopak mata Aisha memejam dalam. Gadis itu terus sesenggukan.
Saat waktu magrib hampir menjelang dan langit tak lagi dengan cahaya menantang. Beberapa petugas penjaga pantai mendekati mereka.
"Kami nggak bisa menemukan dia. Apalagi hari mulai gelap. Menyelam pun susah ngeliat," lapor salah seorang pria dengan lemah.
Spontan, bahu Aisha merosot. Gadis itu menutup wajah penuh penyesalan dan kecewa tak berkesudahan. Rasa bersalah semakin menelan dirinya ke lubuk penderitaan.
"Nggak! Nggak! Nggak mungkin! Kalian pasti belum mencarinya secara maksimal! Aku yakin dia pasti selamat. To-long, tolong lihat lagi. Lihat benar-benar," kata Aisha terbata dengan nada memelas.
Namun hanya gelengan menyerah sebagai jawaban yang Aisha dapat.
"Hwaa, jadi gimana sekarang? To-long lakukan sesuatu. Tolooong!" rintih gadis itu lagi.
"Sekarang kita cuma bisa menunggu. Lagian waktu mulai magrib. Nggak baik terus mencari di waktu ini," ujar penjaga pantai lainnya.
Aisha hanya bisa tersedu menatap jauh ke lautan penuh kehilangan.
"Dokter Taaraaaa." Aisha terisak lagi. "Apa yang kamu lakukan? Kenapa lagi-lagi kamu nyelematin aku? Dan kali i-ni. Hwaa ... aaa! Tolong jangan begini. Ini sakit se-kali. Aku baru mengatakannya pa-damu. Tapi detik itu juga aku harus kehilangan? Ha? Kamu, kamu ja-hat! Hwaaa ... aaa!"
Gadis itu menceracau bersama isakan mirip saat ia terperangkap di ruang pendingin.
"Dokteeer. Ka-mu di mana? Hwaaa! A-aku, aku nggak mau kehilangan kamu. Hu hu huuu!"
Aisha tertunduk, menekuk lutut, menyembunyikan wajahnya di ujung lutut dengan dua tangan terlipat.
"Serius kamu nggak mau kehilangan saya?"
Deg!
Suara bass seorang pria yang Aisha kenali. Ia merasa sedang tak salah dengar. Tangisnya sempat terjeda diikuti dengan gadis itu mengangkat kepala dan mencari asal suara.
Ia terperanjat, terkejut hebat bagai jantungnya mau loncat. Kemudian ia pun berlari cepat menuju sosok yang terbias di netranya.
"Do-dokter? Ini kamu?" Aisha menatap saksama pria tegap di depannya yang masih menggunakan pakaian yang sama. Ia memegang tubuh itu dengan sorot mata tak percaya sambil menepuk-nepuk dan terakhir mencubit pipinya sendiri.
Sakit.
"Hoh, benar ini kamu!" Sorot matanya berubah berbinar.
"Bodoh! Keras kepala! Kenapa kamu melepas pegangan, ha? Untung kamu ... aaaa!"
Aisha berjongkok kembali menangis saking merasa akalnya hampir gila.
Tara yang sudah menyaksikan tangis pecah dan cecacau gadis itu beberapa saat lalu menekuk lututnya di samping Aisha.
"Ternyata sedalam ini perasaan kamu buat saya?" ucap Tara dengan seringai tengil khas dirinya.
Mendengar itu Aisha mengangkat kepala, mengusap jejak air matanya serampangan.
"Makanya, kalau iya, ya, iya. Enggak, ya enggak. Jangan iya-iya, enggak-enggak. Kalau cinta bilang cinta. Benci bilang benci. Jangan bilang benci tapi sebenarnya cinta."
Mata Aisha menajam diikuti mulut yang mengerucut. Aisha merasa ada yang tak beres di sini. Apalagi ketika menangkap seringai yang tersungging di wajah Tara. Menyebalkan!
"Jadi kamu ...? Ini?"
Di sana, Niel dan beberapa penjaga pantai tertawa sengau. Mereka saling melempar senyum hebat seakan semua berjalan sesuai rencana. Melihat itu wajah Aisha menegang.
Jadi aku di-prank?
"Iii! Dasar Kapten menyebalkan! Dokter gila! Om Modus! Nggak habis-habis akal kamu modusin aku! Haaa? Rasakan ini! Rasakan! Awas kamu! Nggak lucu!" Aisha memukuli Tara penuh ambisi merasa kali ini ia di-prank habis-habisan. Sementara pria itu melindungi diri dengan tangan untuk menangkis pukulan demi pukulan.
"Aw! Aduh! Ampun! Aw! Ampun!" ucap Tara mengaduh sesekali terkekeh samar.
"Puas kamu ngerjain aku? Haaa?"
"Tunggu, tunggu. Saya nggak ngerjain kamu kok?" kata Tara membela diri.
"Jadi apaaa?!" cecar Aisha kencang hingga matanya memejam.
"Aku cuma bantu kamu, Sha. Biar bisa ngungkapin perasaan kamu sendiri," jawab Tara sambil melindungi diri dari pukulan Aisha.
Mendengar itu, Aisha berhenti dan menatap tajam diikuti kekehan kosong penuh kemarahan.
"Iiiih!" Gadis itu maju lagi terus melepas pukulan.
"Aduh! Ampun! Ampun!" kekeh Tara lagi.
"Gimana, sekarang sudah lega 'kan?" ucap Tara disela pukulan.
Aisha berhenti. "Lega apanya?! Yang ada aku pengen bunuh kamu! Pingin tak hiiiiih! Aku hampir gila gara-gara ini!" Gadis itu memejam, meremat geram diikuti kaki yang menghentak-hentak tak terima.
"Nah, itu. Artinya kamu nggak rela kehilangan saya. Iya 'kan? Karena kamu cinta. Hhhm?"
Aisha memberengut.
"Maaf. Maaf," Tara terkekeh. "Kamu sih. Susah banget ngungkapin perasaan sendiri. Denial mulu!"
Niel yang masih di sana ikut terkekeh.
"Saya udah coba mengetuk. Tapi pintunya nggak kebuka. Ya ... jadi terpaksa saya dobrak. Begitu lah cara pasukan khusus beroperasi agar yang di dalam selamat. Harusnya nggak pake ngetuk, langsung dobrak malah. Dalam hal ini, saya sudah menyelamatkan perasaan yang kamu kurung dan siksa habis-habisan. Harusnya saya dapat tepukan tangan atau ucapan terima kasih dong! Bukan pukulaaan," kata Tara panjang bernada pembelaan.
Lagi-lagi Aisha memberengut, dan memicing miring. Ia tak habis pikir dengan pemuda ini. Caranya 'mencintai' Aisha sungguh di luar nalar! Bahkan hampir tak diterima akalnya. Tak terduga, dan cenderung ekstrim pula. Sungguh-sungguh pria menyebalkan tapi jelas tak bisa ditolak pesonanya. Berat! Cukup berat untuk lari dan sembunyi dari kejaran pria ini.
"Kamu lupa, Sha. Dokter Tara ini tentara? Pasukan khusus pula. Kalau cuma terjun gitu doang dia mah jagonya," kata Niel tertawa.
Aisha memicing dengan mulut cemberut. Mana ia tahu Tara sejago itu. Yang ia lihat selama ini hanya seputar pria itu beraksi mengobati pasien dan menyelamatkan nyawa. Bukan aksi militernya.
"Jadi lo juga udah tau Niel?" tanya Aisha sengit yang dijawab tawa lebar Niel.
Mulut Aisha membulat dengan embusan kosong. "Penjaga pantai tadi?" tanyanya lagi.
"Iya juga. Mereka sudah kami mintai kerja sama." Niel masih tertawa.
Aisha semakin berang. Ia seperti ingin menerkam.
"Kaaliaaaan! Iiihh, pingin tak hiiih!" Gadis itu meremat geram dan kembali mengejar Tara hendak mengeplak kepalanya.
Pria itu pura-pura ketakutan, meminta ampun. Sengaja kalah agar Aisha mendapatkannya. Dan ketika Aisha berhasil meraihnya, Tara menghindar, dengan mudah berkelit, menangkap gadis itu masuk dalam dada bidangnya.
"Ehem, ehem!" Niel yang paham pura-pura menutup mata dan langsung pergi meninggalkan mereka.
Aisha sempat memukul berulang di dada Tara, tapi pelukan pria itu membuatnya lega. Gadis itu kembali menangis tapi bersyukur di saat bersamaan. Kemudian menenggelamkan kepalanya lebih dalam.
"Te Amo, Aisha," bisik Tara di telinganya.
Tak ada kata yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya kekehan kosong yang memenuhi samudera kebahagiaannya.
Ia melentur dengan perasaan syukur yang melebur.
°°°
"Masih marah?" tanya Tara usai shalat bersama di musala pantai. Ia sudah berganti pakaian. Begitu juga Aisha yang kini mengenakan setelan baju olahraga milik Tara.
Sekarang, mereka sedang duduk di taman tak jauh dari musala.
Aisha hanya memberengut tak menjawab.
Tara meletakkan kotak P3k yang baru ia ambil dari mobil di samping Aisha. Meminta izin dengan mata, dan meraih tangan Aisha yang terluka.
"Maaf, ya. Karena saya kamu jadi berdarah. Kalau yang ini di luar rencana," ucap Tara pelan sambil mengobati tangan Aisha.
"Emang rencananya apa?"
"Nggak sampai berdarah. Karena di pohon itu ada tali. Tapi sengaja dibuat genting. Tapi reaksi kamu ternyata lebih ekstrim. Bukannya mencoba cari bantuan, malah langsung mau ikut terjun." Tara mengulum senyum. Jelas, guratan kebahagiaan tergambar nyata di wajahnya.
"Jadi memang sengaja jatuh?" tanya Aisha.
"Enggak sih. Tergantung respon dari kamu. Tapi, saat kamu malah tersandung, saya langsung mengambil kesempatan agar kamu berbalik dan saya yang terperosok. Plan awalnya saya terjun langsung, nggak pakai drama berdarah dulu." Tara meringis.
PLAK!
"Aduh!"
Aisha mengeplak lengan Tara geram.
"Dasar gila! Kamu gila, Dokteeeer!"
"Gila-gila gini tapi kamu cinta 'kan? Lagian aku gila juga gara-gara kamu," jawab Tara berkelit dengan alis yang bertaut.
"Moduuus!" seru Aisha mendengkus lucu. Kali ini rasa bahagia sedang merambat di hatinya.
"Kamu jangan menghindar lagi, ya. Please, jadikan saya suamimu."
"Kamu nggak nyesal memperistri wanita kayak aku?"
"Eum-eum!" Tara menggeleng yakin. "Malah saya akan menyesal jika tak berhasil memperistri kamu."
"Hilih! Gombal!"
"Saya nggak nyangka Sky B itu kamu, Sha. Serius."
"Aku juga. Makanya begitu tau aku terkejutnya nggak tau bilang!"
Tara tersenyum menahan lucu melihat ekspresi tak terduga di wajah Aisha yang biasanya hanya terlihat jika bersama orang terdekatnya.
"Setelah ini jangan ada lagi masalah yang kamu pendam sendiri, ya. Kalau kamu mau, kita langsung atur pernikahan."
"Ambisi bener!"
"Iya dong! Berapa tahun saya menanti. Memupuskan mimpi. Dan kini dikasi kesempatan lagi, nggak akan saya sia-siakan."
Aisha terdiam ragu.
"Kenapa?" tanya Tara yang dengan cepat membaca gelagat Aisha.
"A-aku ... masih takut."
"Takut apa? Coba jelaskan ke saya. Supaya kita cari jalan keluarnya. Hhmm?"
"Kamu bakal ilfeel lihat aslinya aku, Kapt. Aku ini dulu wanita frustasi dan depresi. Aku nggak bisa terima kenyataan vonis dokter. Lalu orang-orang sekitar yang tau itu pada mencibir aku. Bahkan, seorang pria di rumah sakit, sempat melecehkanku saat medical check up. Tapi aku nggak cerita ke Papa. Menahan itu semua, aku ingin bunuh diri aja. Lalu setelah kejadian di Buton, semua itu sampai juga ke Papa. Akhirnya kami pindah ke rumah yang sekarang. "
Tara bergeming, tapi tangannya terus menggenggam jemari Aisha.
"Aku ... pu-nya ba-nyak bekas luka. Kamu nggak akan kuat melihat wujud ngeri dari aslinya istrimu!" kata Aisha lagi.
"Kamu ... sedang mencoba menolak saya lagi?" kejar Tara. "Dengan alasan wujud ngeri tadi?" Tara menyeringai diikuti senyum samar. "Nggak mempan! Karena saya nggak peduli." Tara mengerutkan dahi, masa bodo.
Mata Aisha mengerjap dan hidung mengembus kencang. "Ak--" Ia hendak bersuara tapi terpotong oleh Tara.
"Maksud kamu ... banyak bekas luka sayat di perut kamu. Iya?" Tara mengangkat mata dan tajam menembus netra Aisha.
Bagaimana pria ini bisa tahu? Luka itu adalah luka sayatan yang ia buat sendiri saat depresi dulu. Jumlahnya cukup banyak karena terlukis lagi dan lagi saat luka lama belum kering sendiri.
"Saya sudah lihat. Bahkan lebih dari itu," ujar Tara mengingat adegan ketika ia memberi napas buatan untuk Aisha yang terus terngiang-ngiang dalam benaknya setelah itu. Diikuti sensasi yang mengusik sisi kelelakian-nya.
"Karena itu saya nggak rela kamu dipegang dokter pria selain saya. Kecuali, jika ada urgent, dan saya memang nggak bisa tangani sendiri."
"Jadi yang di KBRS waktu itu? Beneran modus 'kan?" Aisha mendengkus dengan mata menghunus.
Pemuda dengan alis tebal itu hanya mengernyit dengan bibir miring, membuat Aisha semakin berang tapi juga sayang.
Jeda hening menemani perbincangan mereka.
"A-anda nggak ngeri lihat banyak bekas luka itu?" tanya Aisha malu.
"Enggak. Biasa aja." Tara mengangkat bahu.
Sampai di sini, pemuda itu tahu. Aisha punya insecure yang tinggi karena semua ini. Sebab itu, yang harus Tara lakukan adalah terus menyemangati dan menjaga kepercayaan diri gadisnya.
"Aku bu-kan wanita i-daman."
"Sha. No Sky too high. No Sea too rough," kata Tara mengutip ungkapan dalam sebuah film action militer yang pernah di tontonnya. Iris matanya tajam menembus lurus netra biru Aisha.
"Tidak ada di antara Sky dan Sea yang lebih unggul. Keduanya sama punya kekurangan dan kelebihan. Sama-sama punya masa depan. Kalau kamu berpikir langit dan laut nggak akan bersatu. Maka Sea yang mengagumi Blue Sky ini akan mencari cara agar kita bisa saling terhubung. Kamu tahu? Langit dan laut mungkin tak bersatu, tapi mereka punya cakrawala yang akan menghubungkan mereka."
Mendengar itu, manik mata biru Aisha terpaku, merasakan ada bongkahan besar dalam dadanya terangkat perlahan.
"Saya punya cakrawala yang akan mengeratkan kita." Tara merunduk dan mencondongkan tubuh ke wajah Aisha.
Dahi Aisha mengernyit.
"Nanti kamu juga tahu. Dan apa yang ingin kamu tahu lagi tentang saya, silakan tanyakan. Mungkin ada yang terlewat." Senyum manis pun terlukis di wajah teduh pria itu.
"Uhuks! Uhuks! Dunia berasa milik berdua, euy!" Suara Niel mengintrupsi perbincangan mereka. "Mau di situ terus?"
Tara tersenyum. Ia pun bangkit mengajak Aisha ke kumpulan penjaga pantai yang sedang duduk bersama setelah menaruh kembali kotak P3K di mobilnya.
Aisha terperanjat. Di sana, para penjaga pantai tadi sedang berpesta api unggun dan memanggang sesuatu.
"Ada apa?" tanya Aisha bingung.
"Pencapaian gemilang meski dirayakan 'kan?" ujar Tara mengangkat bahu samar. Ia memang sudah merencanakan ini bersama Niel dan para penjaga pantai yang tak lain juga teman Tara.
Aisha tergelak kosong dengan mata melirik sengklek. Sebahagia ini ternyata tim solid ini?
"Ayok, duduk!" seru Niel yang sedang mengipasi sate ayam.
Mereka yang sedang berdiri di depan perapian memanggang ikan mengangkat dagu dan tersenyum melihat dua sejoli yang baru tiba.
Beberapa orang ada juga yang memanggang sate bersama Niel. Dua orang wanita paruh baya datang dari resto terbuka dekat pantai yang tak lain istri dari penjaga pantai.
"Kamu mau makan apa?" tanya Tara.
"Terserah."
"Mau sate, atau mau sate-rusnya sama saya?" goda Tara jenaka. "Saran saya, pilih keduanya. Hhm!" Tara mengerling.
"Ck, Ih!" Aisha menepuk lengan Tara tersipu lalu mendengkus gemas diikuti tawa pemuda itu.
"Eum. Kapt. Aku belum bilang ke Papa lho. Kita jangan malam-malam, ya." Aisha meringis cemas.
"Jangan khawatir. Saya udah pamitan ke Papa kok. Sebelum insiden tadi malah." Tara menarik seringai percaya diri sementara Aisha melongo tak percaya.
"Masa?" Matanya melebar.
"Nggak percaya? Saya VC, ya?" Tara langsung memencet panggilan VC begitu saja. "Atau kita jemput aja Papa ke sini gimana?"
Tak lama panggilan VC diterima.
"Hallo, Nak Tara. Gimana? Sukses?" tanya Fauzi bersahabat. Pemuda yang ditanya itu mengusap tengkuk konyol dan tersenyum salah tingkah.
"Papa?" Aisha yang melihat perbincangan kedua pria tanpa hubungan darah tapi terlihat akrab itu mendesah kasar. Tidak disangka, benar sang Papa ikut andil dalam drama hari ini.
Ponsel Aisha berdering memampangkan nama Mas Aryan yang sempat terbaca oleh Tara. Aisha melirik Tara sungkan dan membasahi bibir bimbang dan urung menjawab panggilan.
Setelah Fauzi menutup VC.
"Sha, kamu sama Citra deket, ya?" tanya Tara tak ingin membahas Aryan tapi tentang sejauh apa hubungan Aisha dan Citra, ia penasaran.
"Hu-um. Kami udah dekat sejak kuliah sampai sekarang."
"Kalau deket sejak lama. Berarti sering curhatan dong, ya?"
"Dibilang sering, nggak sih. Waktu kita berdua sering kebentur waktu kerja di DuMed. Jadi meski satu ruang, kita jarang ketemu. Lagian dia sering di ruang Mba Heni sekarang. Bahkan chat pun juga seadanya. Sibuk masing-masing sih sebabnya. Tapi kami, ya, maklum aja. Kalau ada waktu senggang, paling nongkrong bareng di kafe. Kenapa tanya dia?"
"Oh. Nggak papa. Nanya aja." Tara menggeleng dan tersenyum sarat makna. Ia menahan diri untuk tidak cerita, kalau Citra cukup gigih mengirimi ia pesan yang tak pernah sempat Tara baca karena kesibukan. Lagipula belum tentu gadis itu menyukainya 'kan meski Tara membaca gelagat ke arah sana? Diam agaknya lebih baik, daripada bicara malah merusak hubungan dekat Aisha dan Citra.
Ponsel Aisha kembali berdering masih panggilan dari nama yang sama ketika Tara bangkit ikut mengipasi sate dekat Niel.
Melihat itu, Tara berdiam diri tak membahas apa pun lagi. Sementara Aisha berulangkali menatap ponsel dengan gelisah.
"Panas banget, ya!" seru Tara sumbang dengan nada gurauan pura-pura mengibas-ngibas kemejanya. Niel yang melihat itu melirik penuh tanya.
"Apa baranya nempel di badan lo, Kapt?" celetuk Niel tertawa dijawab Tara dengan ekspresi mengibas kerah mengusir gerah.
Dering berulang-ulang yang tak kuat dijawab Aisha membuat Tara mengulum senyum mengerti.
"Angkat aja," ujar Tara akhirnya dengan tangan masih mengipasi sate tanpa menggeser pandang.
Aisha yang melihat respons itu jadi makin merasa tak enak.
Tara menelan ludah getir dan mengangkat mata.
"Angkat aja. Kalau nggak dia pasti telepon terus. Selesaikan baik-baik urusan kamu dengan Aryan. Saya nggak akan ikut campur," kata Tara teduh dan menangkap sorot bimbang di netra Aisha.
"Tapi satu yang boleh kamu tahu. Jujur, saya cemburu setiap kali melihat kamu berhubungan atau pun bersama dia. Tapi ... ya, kamu masih punya hak untuk berhubungan dengan Aryan seperti rekan kerja. Saya belum punya hak untuk melarang kamu sepenuhnya." Tara tersenyum hangat.
Sementara itu di apartement Citra.
Seorang gadis sedang menatap lekat layar iPhone di tangan. Ada beberapa potret seorang pria berseragam loreng terbias dari hasil tangkapan screenshot. Kemudian tangannya membuka vortal berita, memutar kembali berita tentang heroiknya seorang prajurit dalam sebuah ledakan gudang amunisi. Ingatannya juga mengulang kembali perjumpaan mereka di Marine Kafe, Bandara Soetta hingga ke rumah sakit dan terakhir di Hotel Grand Masta. Meski pemuda itu tak pernah membalas pesan Citra secara akrab, tapi Citra masih menyimpan harapan untuk bisa bersamanya.
Citra mengembus napas lemah. Ia tak menyangka kalau dokter tentara yang dimaksud Niel saat menggoda Aisha dalam kebersamaan mereka dan selentingan gosip di kantor kalau ada dokter tentara yang menyambangi Aisha di parkiran Duta Medium itu adalah Dokter Tara. Pendengarannya menangkap hanya Dokter Tentara. Bukan nama orangnya. Dua kalimat yang nyaris sama tapi berbeda makna. Dan kebetulan, entah bagaimana setiap mereka berjumpa tak pernah sempat saling cerita tentang ketertarikan mereka pada pria. Hanya bercerita tentang keluhan Citra pada orang tuanya, dan Aisha yang selalu menjadi pendengar setianya.
🌹🌹🌹
Pukul 21.15 Tara mengajak Aisha pulang agar tak terlalu malam sampai ke rumah Fauzi. Niel juga bersiap untuk pamit juga. Tara mengucap banyak terima kasih pada Niel dan penjaga pantai.
Sebelum Aisha beranjak, dua penjaga pantai menyalakan kembang api 🎇 untuk merayakan hari ini. Aisha tak mampu membuat penolakan, tak juga membuat kalimat penerimaan. Gadis itu hanya menikmati dengan senang hati apa yang dilakukan Tara hari ini untuknya. Kembang api meluncur jauh dan pecah di langit pantai. Suara ricuh dan sorak bahagia saling mengisi kebersamaan mereka malam ini.
Di perjalanan pulang, Tara sengaja membuka sunroof mobilnya agar Aisha bisa menatap langit malam selama dalam perjalanan. Pemuda itu mengghentikan mobil di atas bukit tempat orang-orang bisa melihat pemandangan malam kota dari sana.
Tara mengajak Aisha turun.
"Indah, ya!" seru Aisha bahagia.
"Sama kayak kamu."
Aisha berbalik memalingkan wajah melihat Tara. Saat bersamaan pria itu sudah siap dengan kamera dari ponsel-nya untuk menangkap pemandangan.
"Ih! Curaang!" pekik Aisha gemas.
Tara tertawa dan dengan cepat menyimpan ponsel-nya ke dalam saku.
Aisha dan Tara saling melempar tawa. Combat Doctor itu lega dan bahagia bisa melihat Aisha yang ceria dan terbuka dengannya.
Sambil berbincang Tara membuka ponsel mengirim pesan pada seseorang.
Lalu, pemuda itu berdehem dan meminta Aisha melihat ke arah perkotaan.
Tak lama, suara kembang api kembali menyala dan pecah membentuk tulisan di udara.
"Marry me, Aisha."
Gadis itu terbelalak dengan sorot terpana. Tak habis-habis pria ini menghujaninya dengan kejutan demi kejutan.
Tara bersandar ke pagar besi menghadap gadisnya sambil tersenyum dan sorot menunggu.
Aisha yang dipandang makin berdebar salah tingkah karena dipandang demikian tajam dan menghanyutkan. Melihat itu Tara mengerti.
"Kamu makin lucu dan gemesin kalau begitu," kekeh Tara. "Please, jangan denial lagi deh. Entar nangis lagi ...." ledek Tara yang mengajak Aisha masuk ke mobil setelah itu karena tak ingin membuat Aisha canggung.
Sebelum melajukan mobil.
"Sha."
"Hhhmm."
"Saya nggak mau menunda-nunda lagi. Sekarang kamu sudah tahu niat dan segala tentang saya. Jadi .... " Pria itu meraih sesuatu dari saku dan membuka kotak merah maroon berisi cincin di hadapan Aisha.
"Please. Marry me."
Aisha terpaku. Bola matanya berbinar dengan buncahan rasa bahagia yang berderai-derai.
"Kamu nggak usah jawab jika belum juga siap. Bawa cincin ini. Dan pakai jika kamu siap saat kita bertemu lagi nanti. Hhm?" Mata pria itu meneduh.
Dan sepanjang perjalanan menuju rumah Aisha. Sengaja, Tara menyalakan lagu yang baginya menggambarkan hatinya hari ini.
"Ini buat kamu." Tara mengedipkan sebelah mata cukup menggoda yang membuat jantung Aisha makin berdebar penuh bunga-bunga.
Yo Te Amo.
Bahwa kamu akan menjadi istriku.
🌹🌹🌹
Maklum, ya. Dokter Tara anak zaman old taunya lagu zaman old juga. 😂🤣
Maklum juga, Dokter Paska satu ini sukanya yang ekstrim. 🤭 Jadi, gitu deh cara dia membuat Aisha buka mulut supaya jujur. 😆
Salut sama kalian yang yakin Tara mah, kayak mainan aja terjun dari tebing 100 kaki. 😆 Artinya kalian mengenal karakter Dokter Tara di sini dengan baik. Eaaaa. 😍😍 Syaaabaaas! 👍👏👍👏👍👏🎉🎉🎉🎉😁😁😘😘😘
Makasi untuk semua yang sudah jejak votment. Baca komen kalian menghibur aku . 😘😘😘
Ketemu lagi di part selanjutnya, ya. 😉
Te Amo, Saranghae 👉🔫❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top