BAG 24 : AISHA ... TE AMO!

Aku udah baca votment kalian. Thanks so much semuanya,ya.
Kalau gitu, mari kita terus update selama Ramadhan. Ganbate! Wkwkw😁

Untuk scene Tara di perairan perbatasan Indonesia-Timor Leste, aku skip di sini, ya. Biar cepat ke scene yang kalian tunggu2. Wkwkwkwk

Entah iya entah nggak juga sih. Wkwkwkwk😂

Yang scene itu akan ada di buku (atau gimana nanti dengan editor). Mana tau, meminimalisir supaya bukunya nggak ketebalan. 😂
Ya, nggak jauh dari adegan action. 💪

Jangan lupa votment-nya untuk part ini, ya. Jika perlu unek-unek maupun harapan kalian untuk kisah ini. Okay!

Selamat membaca

🚢🚢🚢

"MATA lo cukup jelas terbaca, Sha. Masih mau denial?" ujar Niel datar di sebelah Aisha yang mematung menatap helikopter yang sudah menjauh. Kalimat itu seketika membuat Aisha merasa tertusuk. Gadis itu merunduk, menyembunyikan gugup.

"Ada apa dengan lo? Mana Aisha yang galak dan pemberani itu, ha? Mana Aisha yang langsung to the point saat ada pria yang ngelamar dia? Mana?" cecar Niel.

Tak ada jawaban. Hanya suara isakan samar yang malah terdengar dari gadis itu.

"Gue tuh, gemes, ya, ama lo! Dokter Tara itu bela-belain loh, Sha, curi waktu buat ketemu lo. Waktu dia nggak banyak. Gue pikir kelar deh hari ini. Kalian udah saling jujur dan terbuka. Tapi ... ish! Gedeg gue!"

"Lo yang ngerancang ini?" tanya Aisha tak menyangka dengan suara bergetar dan mata nanar.

"Iya! Kenapa? Udah cukup gue lihat dengan mata kepala gue sendiri arti dari tatapan lo itu! Tapi lo-nya masih aja membatu! Jangan terlalu keras sama diri lo sendiri, Cencalo! Melunaklah dikiiiit. Andai gue cewek, udah gue kekepin tuh Kapten Dokter iiih! Sebel gue!" ujar Niel sambil memukul lengan Aisha gemas.
"Entar ngeliat Dokter Tara ama Monika lo kebakar lagi! Mau lo? Mau? Entar nyessseeell! Kenapa sih lo nggak terbuka aja ama dia? Sama Mas Aryan, Dicki, semua cowok yang datang ngelamar, lo blak-blakan aja! Ini?" cerocos Niel bagai kereta api. Bahkan kata 'nyesel' terucap dengan suara s dan l yang tebal.

"Gue nggak siap, Niel!" jawab Aisha lemah akhirnya.

"Ck!" Niel berdecak. "Itu artinya lo cinta dia, Sha! Sadar! Sadaaar! Sadar ngapa, Cencalok! Gatel mulut gue pen bicara aja ke Dokter Tara. Masalahnya gue dah janji dan menghargai privasi lo. Tapi please, Sha. Lo tuh berhak bahagia!" pekik Niel lagi yang terlihat begitu menyeramkan ketika marah. Sikap pria-nya langsung keluar meski masih bercampur gestur kemayu.

Aisha tertunduk kembali mengambil duduk. Ia sendiri bingung, perasaan insecure ini begitu menghantui hingga ia takut mengatakan kenyataan.

"Memangnya kenapa kalau gue nggak mau bilang kekurangan gue? Hak gue 'kan? Toh gue nggak bakal maju. Hhhm? Buat apa?" timpal Aisha getir lagi-lagi mengeraskan hati. Ia melangkah kembali ke kursi.

Niel mengatupkan mulut hingga gigi-giginya merapat.

"Hu-uuum. Bener itu hak lo. Tapi, masalahnya lo tuh juga cinta! Kecuali kagak! Kalau gini terus lo nyiksa diri sendiri! Iih! Keknya lo butuh mandi dan makan kembang tujuh rupa deh. Abis itu nonton tuh film-film Korea yang romance-romance. Jangan berita politik negeri terus! Biar nge-feel dikiiiit lo, Sha! Hati lo tuh mungkin buta, nggak bisa ngerasa karena nggak pernah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, kek begini nih! Iih sebelnya gue!" Niel mengembus dan memukul meja keras seraya membuang pandang.

Mendengar itu Aisha terkekeh sumbang. "Apa hubungannya kembang tujuh rupa dan film-film Korea?" cecar Aisha.

"Tauk ah! Nyambung nggak nyambung, serah! Lo tau inti kalimat gue apa!" tandas Niel seraya menyuap hidangan, dan mengunyah dengan mulut mengerucut geram.

Aisha membuang pandang, menahan kelopak mata agar tetap terbuka dengan air mata menggenang di pelupuk mata. Berharap angin akan mengeringkan lakrimal-nya segera.

Ya. Niel benar. Mengapa ia harus menangisi kenyataan jika memang dia tidak cinta? Sampai tak siap untuk mengungkapkan kenyataan itu sendiri? Kenapa?

Aisha menatap gelang yang tadi diserahkan Tara. Hatinya bertanya-tanya. Bagaimana gelang yang sudah lama hilang itu bisa ada padanya? Buton? Aisha hanya sekali ke sana. Apa pria itu ... dia ...?

🌹🌹🌹

Pulau Buton 4 setengah tahun lalu.

Bukannya tergesa, tapi tanpa sengaja pundak Tara bertubrukan dengan seorang wanita di depan pintu masuk ruang kerja Bupati Buton yang tak lain kerabat jauh Adiwilaga.

"Maaf," ucap Tara cepat. Bersamaan dengan sang wanita yang mengangkat mata, berkedip pelan beberapa kali sambil merunduk lagi, membenahi letak tasnya dan pergi begitu saja.

Tara sempat terpaku menangkap mata biru itu untuk beberapa saat. Ia mengernyit aneh. Ada, ya, di Indonesia perempuan bak titisan Cleopatra?

Tara akan berada di pulau ini untuk beberapa hari sebagai libur kerja. Ia sudah berjanji akan bertemu dengan Pujo di sini untuk memancing dan berkemah di pantai. Hal yang biasa mereka lakukan saat liburan.

Setelah menemui Jatmiko--Bupati Buton--Tara duduk di tepi pantai menikmati senja. Darinya Tara mendapat info kalau reporter tadi mewawancarai Jatmiko untuk berita Pulau Buton yang kabarnya akan dijual negara.

Pulau yang masih asri dengan beberapa pantai tak banyak berpenghuni punya pemandangan cukup indah yang bisa dijadikan aset pariwisata. Mungkin karena belum banyak berpenghuni, negara berniat menjualnya untuk mendongkrak ekonomi negeri. Entahlah. Bupati Buton sendiri baru tahu saat reporter tadi hendak mewawancarai. Kabarnya pulau ini sudah terpajang di sebuah website jual beli lengkap dengan nilai yang ditawarkan.

Sedang menikmati indahnya pemandangan alam. Mata Tara menangkap seorang wanita berjalan di atas tebing tinggi dengan mata tertutup kain menuju bibir tebing.

Bibir Tara maju dengan alis mengernyit. Sedang apa?

Belum habis Tara menduga, gadis itu sudah melambung dan terjun bebas ke laut.

Tara terbelalak.

Jika dia berlatih berenang dengan tangan dan kaki terikat, perempuan itu malah dengan ... mata terikat? Yang benar saja! Latihan apa itu?

Bukan! Bukan! Ini pembunuhan!

Tanpa pikir panjang, Tara melepas sepatu, mengambil langkah ke air, menceburkan diri dan berenang mencari gadis itu. Cukup lama ia terombang ambing di permukaan, kembali menyelam, begitu berulang-ulang.

Beberapa menit kemudian, Tara berhasil menemukan tubuh gadis yang kini dengan ringan terayun-ayun gelombang dekat karang di kedalaman.

Tara berenang mendekat untuk meraih gadis itu. Saat ia berhasil mendapatkannya, aksi Tara terbentur karena pakaian gadis itu tersangkut dan ternyata robek hingga memperlihatkan sebagian auratnya. Ditambah sebagian kancing kemejanya pun ikut terbuka.

Tara membawa gadis itu ke permukaan dan meletakkannya di pasir pantai.

Rasa malu mendadak merasuki dirinya yang tanpa sengaja melihat sebagian aurat sang wanita.

Ia meraih jaketnya untuk menyelimuti gadis itu bertepatan menangkap banyak bekas luka sayatan di perutnya. Hati Tara spontan bertanya, itu kenapa?

Tara membuka ikatan di matanya dan terkesiap. Gadis ini? Gadis bermata biru tadi?

Tara panik karena gadis itu tak sadarkan diri. Ia sendiri merasa aneh, kenapa ia malah berdebar dengan kondisi ini, padahal ia biasa menghadapinya 'kan?

CPR. Tara harus melakukan tindakan pertolongan pertama.

Ada rasa canggung yang menelusup masuk ke hati Tara, tapi di sisi lain ia tak bisa diam saja. Saat gerakan memompa berlangsung bersamaan dengan itu juga ada rasa aneh yang tak bisa ia mengerti merambat cepat di dalam dada. Berulang-ulang Tara melakukan kompresi dada tapi gadis itu tetap tak sadarkan diri juga.

Nafas buatan!

Ya.

Tara sempat menelan ludah ragu. Berpikir panjang antara melakukannya atau tidak? Tapi ... tak ada pilihan.

Gugup. Tara mengangkat dagu sang wanita, menutup jalan udara di hidungnya, lalu menutup seluruh mulut sang wanita dengan mulutnya sambil mengembus. Begitu berulangkali, berganti dengan gerakan memompa jantung.

Setiap kali ia memberi nafas buatan, perutnya bergelenyar diikuti desiran darah ke sekujur badan. Meski belum pernah pada wanita, ia pernah melakukan pertolongan pertama ini pada boneka ketika latihan dan rekan prajurit pria di lapangan. Tapi ketika melakukannya pada gadis ini, mengapa ada sesuatu yang tiba-tiba tumbuh dan menjalar begitu cepat di dadanya?

Sensasinya aneh dan mendebarkan, mengusik sisi kejantanan pria dalam diri Tara. Bahkan beberapa hari setelahnya, bayang-bayang adegan itu terus menari-nari di kepalanya tidak jua mau pergi.

Seingat Tara, ia melakukannya dengan benar. Tapi kenapa sentuhan kulit bibir mereka terasa manis seolah sengaja tertinggal?

God! What going on? Gumam Tara dalam hati.

Gadis itu akhirnya terbatuk dan sadarkan diri. Tara lega dan menepuk-nepuk pipinya. Gadis itu masih lemas dan kembali memejam mata. Jantungnya sudah kembali berdetak. Tara pun memiringkan tubuh sang gadis dengan posisi pemulihan.

Tara berniat memantau kondisi korban dan memberi pertolongan lanjutan. Namun, tiba-tiba hujan turun. Ia memutuskan untuk menggendong gadis itu menuju goa yang sebelumnya ia tahu ada orang di sana.

Mbah Jum. Begitu wanita tua itu ingin disapa. Nenek tua berusia setengah abad yang memilih untuk hidup secara asketis di goa pantai itu.

"Nopo, Le? Pingsan?" (Kenapa,Le? Pingsan?)
Mbah Jum yang melihat kedatangan Tara terperangah.

"Iya, Mbah. Tadi tenggelam di laut."

"Ngiup sek kene. Ujan, Le."
(Berteduh dulu di sini. Hujan, Le.)

Tara meletakkan tubuh pasiennya di atas batu. Matanya tak henti menatap gadis itu dengan sorot khawatir dan menanti.

"Nona. Nona. Are you okay?" panggil Tara berulangkali untuk membuat gadis itu membuka mata. Tara cepat-cepat mengecek denyut nadi dan lega ketika denyutnya dapat ia rasai.

Mbah Jum membantu mengganti pakaian gadis itu dengan kaus lusuh yang ia punya. Sementara Tara mengumpulkan kayu bakar yang dikumpulkan Mbah Jum di mulut goa lantas membuat perapian.

Setelah itu Tara mengganti pakaiannya yang basah dengan jaketnya.

"Deknen meriang. Awak'e panas," (Dia meriang. Badannya panas,) kata Mbah Jum sambil mengompres dengan handuk hangat ke kening gadis itu sementara malam makin larut dan hujan belum reda.

Tak ingin berdiam diri. Tara meminta Mbah Jum menjaga gadis yang ditolongnya, sementara ia pergi untuk mencari pertolongan.

Namun, saat Tara kembali di pagi hari.

"De'en dijemput kawane mau. Omonge, ket wingi digolei. Ngilang," (Dia dijemput temannya tadi. Katanya udah dari kemarin dicarii. Ngilang,)
kata Mbah Jum tenang. Dari Mbah Jum Tara tahu kalau gadis itu siuman lewat tengah malam dengan kondisi masih demam.

Hati Tara kecewa. Ia belum tahu siapa nama gadis itu.

"Ya udah, Mbah. Yang penting udah ada yang nolongin. Suwun, yo, Mbah. dah jagain dia tadi malam."

Mbah Jum tersenyum ramah. "Uduk pacarmu toh, Le?"
(Bukan pacarmu, Le?)

"Ha?" Tara tertawa. "Yo bukan, Mbah. Wong baru ketemu kemarin ini."

"Lah. Tak piker pacarmu. Koe perhatian eram ngono kok." (Mbah pikir pacarmu. Kamunya perhatian sekali gitu kok.)
Mbah Jum terkekeh.

Tara tersenyum. Benarkah sikapnya terlalu kentara sampai Mbah Jum saja bisa membacanya?

Sayangnya, kesempatan itu tak 'kan lagi tiba. Tidak. Mata Tara tiba-tiba menajam.

'Saya bisa mencari informasi tentang dia. Reporter DuMed? Hhm. Pasti dia punya akun sosmed!'

Senyum Tara terbit lagi lalu pamit pada Mbah Jum.

Saat langkahnya sampai di depan pintu besar goa. Tak sengaja mata Tara menangkap rantai mungil. merasa tak asing, segera Tara meraih benda berbahan emas putih itu. Sebuah gelang dengan beberapa dolphin tergantung menghiasi. Di badan beberapa dolphin itu terukir kata. Aisha ❤ Papa.

Mata Tara berbinar. Tuhan seakan mendukung dengan menjawab tanyanya hingga mengizinkan benda itu tertinggal dan ia temukan.

🌹🌹🌹

Dengan perasaan tenang Aisha menutup mata dalam posisi meditasi pagi ini. Gadis itu mengambil nafas dalam dan mengembus perlahan dengan membuka mulut menyebutkan huruf A-U-M di tiap sesi embusan berulang nafasnya.

Selain mendekat pada sang Khaliq, meditasi Om sudah menjadi terapy bagi Aisha dalam menenangkan diri sendiri untuk meredakan frustasi pasca divonis MRKH.

Gadis itu mengulang sekali lagi urutan meditasi. Namun tiba-tiba saja seutas bayangan melintas di kepala.

"Hoooh!" Ia mengembus kencang dan menggeleng-geleng cepat. Matanya pun mengerjap-ngerjap.

Apa ini? Mengapa wajah Dokter Tara muncul begitu saja?

Gadis itu meraup wajah dengan dua tangan dan mengerang dengan nada rengekan.

"Tenang, Aisha! Rileks!" Ia mengembus pelan seraya tangan terangkat di depan dada. "Okay, okay ...."

Setelah mengulang berulang kali, ia mandi dan berangkat kerja setelah sarapan bersama Fauzi dan Halimah.

"Yong, dicariin Mas Aryan tuh!" ujar Citra di kubikel sebelah saat jam makan siang datang.

Pandangan Aisha beralih ke pintu yang tak ia sadari sudah ada Aryan berdiri di sana sambil tersenyum dengan melipat tangan di depan dada.

"Tadi Mas telpon kamu, tapi gak ada dijawab. Ya udah langsung ke sini aja. Keluar, yuk! Makan siang bareng." Aryan melangkah mendekati meja Aisha.

"Tapi ... aku tadi rencananya mau makan bareng Citra, Mas. Ya 'kan, Cit?" jawab Aisha meringis.

Citra yang tentu sudah tahu gosip antara Aisha dan Aryan langsung tanggap dan malah menjawab.

"Huum sih. But, gue it's okay aja kok kalau lo mau pergi makan sama Mas Aryan. Ngerti kok gue. Ngertiii!" kata Citra mengangkat dagu dan melempar senyum persahabatan pada Aryan yang tentu saja direspon pemuda itu dengan seringai yang sama.

Pemuda yang lebih tua dari mereka itu melirik Aisha dengan sorot meminta.

"Kalau gitu sekalian aja Citra ikut. Boleh 'kan Mas?" kata Aisha pula.

"Oh! Oh! Oh!" Tangan Citra terangkat dua-duanya. "Kalian aja. Nggak usah khawatir. Pergi aja deh, Yong. Lo mau nyuruh gue jadi obat nyamuk? Ogah lah gue!" Citra cemberut. "Gih! Gih! Sana gih! Jangan sampai keburu waktu istirahat abis!"

Citra berdiri dan menarik Aisha hingga gadis itu kini berdiri dan bergeser ke dekat Aryan, membuat wajah Aisha meringis sungkan.

"Yuk!" kata Aryan merunduk diikuti seringai bahagia. Akhirnya mau tak mau Aisha menurut juga.

"Have fun, yaaa!" seru Citra tertawa melepas kepergian mereka.

"Mau ke mana kita, Mas?" tanya Aisha sebelum naik ke mobil Aryan di parkiran.

"Kafe terdekat. Yuk. Ikut aja dulu." Aryan membukakan pintu mobil untuk gadis itu.

Tak banyak perbincangan antara mereka selama di perjalanan. Hanya seputar pekerjaan yang sesekali jadi pembahasan. Sampai di Kafe pun sama. Aryan meminta Aisha makan dengan tenang. Begitu juga Aryan hingga selesai.

Sikap Aryan itu membuat Aisha merasa bingung. Benarkah Aryan mengajaknya bertemu secara pribadi hanya untuk makan siang saja?

"Kenapa wajah kamu begitu?" tanya Aryan akhirnya diikuti gelengan Aisha. "Tenang. Mas Aryan cuma mau punya waktu kebersamaan aja sama kamu. Belakangan kita sama-sama sibuk. Ya 'kan?" Aryan menarik senyum hangat.

Aisha mengangguk pelan sesekali melirik Aryan.

"Kayaknya kita meski sering begini, Sha. Cari waktu untuk menghabiskan waktu berdua. Biar kita bisa saling terbuka satu sama lain. Hhhm? Gimana menurut kamu?"

"Eng? Emang kita punya banyak waktu?" ucap Aisha sarkas dengan maksud kalau jam kerja mereka sama-sama berbenturan.

"Kalau gitu langsung aja, mau?" tantang Aryan pula menyorot dengan tatapan jenaka tapi memaksa. Bukannya ia tak mengerti maksud kalimat Aisha, tapi dia ingin to the point saja.

"Apanya?"

"Nikah!"

"Hah?" Mata Aisha membulat diikuti tawa Aryan.

Pemuda itu mengaduk minumannya dengan sedotan. "Kok terkejut sih? Gemes tau lihat ekspresi kamu yang begitu," goda Aryan. "Tenang. Aku tau kamu belum berani bilang 'iya'. Bener kan?" tembak Aryan dengan seringai percaya diri sebelum meneguk minumannya hingga tandas. Gadis yang dilamarmya itu memang jarang menjawab telepon atau membalas pesannya jika bukan untuk keperluan tertentu. Sikap Aisha itu dianggap Aryan hal biasa meski ia kehilangan sikap terbuka Aisha yang biasanya. Mungkin mereka butuh waktu untuk bisa lebih dekat lagi secara pribadi.

"So. Don't worry. One month, two month. Atau bahkan berbulan-bulan lagi. It's okay. Take your time. I'll waiting until you ready to say 'yes'."

"Mas--"

"Ya. Untuk kamu aku rela, Sha." Aryan menutup perbincangan mereka dengan tatapan lurus dan tulus. Hingga Aisha semakin gamang dan bimbang harus mengambil keputusan apa untuk masa depannya.

🌹🌹🌹

Beberapa hari setelah itu.

Aisha baru saja selesai menutup laptop ketika Niel datang ke ruangnya.

"Dah siap, Cencalo?" tanyanya yang sudah siap untuk pulang.

"Hum. Nih gue mau pulang." Aisha membereskan meja dan langkahnya terhenti ketika ponsel-nya berdering. Nomor tak dikenal.

"Hallo."

"Senang bisa lihat kamu lagi, Sha."

Jantung Aisha serasa mau loncat ketika mendengar suara di seberang sana.

"Ini siapa?" kata Aisha ketus bersandiwara seakan menyalahi diri sendiri tebakan di dalam otaknya itu salah.

"Coba deh, lihat keluar jendela."

Aisha menahan debar. Pelan-pelan ia menggeser pandang keluar. Di parkiran sana, ada seorang pria berjaket hitam dengan kaca mata hitam di leher sedang berdiri di depan mobil SUV Wuling berwarna putih. Yang membuat Aisha semakin terbelalak lagi, di depan kaca mobil ada kertas hitam lebar bertuliskan.

"AISHA, TE AMO!"

Tak sengaja gadis itu menelan ludah kental. Dan tiba-tiba saja suara ricuh terdengar di luar ruang kerjanya.

"Hoo? Sudah pulang si Kapten?" kata Niel yang mendongak keluar jendela di sebelah Aisha. "Jangan lupa ucap syukur, Sha. Dia kembali lagi dengan selamat. Hhm!" ledek Niel tergelak. Pria itu menepuk pundak Aisha sebelum melangkah keluar.

"Kamu ngapain?" ucap Aisha ketus lewat ponsel.

"Nunggu kamu. Cepetan turun, ya. Saya mau nagih janji."

"Kapan aku janji?"

"Kemarin sebelum saya pergi," jawab Tara tanpa dosa.

"Aku nggak jawab iya!"

"Memang sih kamu nggak jawab dengan kata, tapi mata kamu langsung jawab 'ya'."

Di luar sana Tara melebarkan senyumnya dan melambai tangan. Tingkah pria itu, bagi Aisha sungguh benar-benar menyebalkan, tapi bodohnya mengapa belakangan tanpa sadar malah ia rindukan?

"Dasar pria keras kepala!" rutuk Aisha.

"Okay. Sebut saja saya begitu. Jadi, biarkan pria keras kepala ini njerit panggil nama kamu, kalau kamu nggak mau turun ke sini. Jika perlu
... pakai toa sekalian. Aisha ... Tara Aishiteru, Saranghae, Te Amooo!" seru Tara sedikit menaikan nada suara di ujung kalimat yang sontak membuat Aisha celingak celinguk cepat ke semua arah, khawatir ada yang mendengarnya.

Keras kepala, nyentrik, menyebalkan, itu kamu, Tuan Dokter! Aisha menggerutu di dalam hati. Namun tanpa sadar senyumnya terukir di ujung bibir.

Dengan perasaan gamang tapi juga senang, Aisha turun ke parkiran. Langkahnya tak lagi diiringi sorak sorai seperti dulu saat pertama kali Tara datang ke DuMed. Yang ada hanya tatap tanya dari siapa saja yang Aisha lewati.

Sebenarnya, siapa pria yang punya ikatan khusus dengan jurnalis ternama itu? Mas Aryan atau tentara di parkiran sana?

Sampai di mobil Tara. Gadis itu langsung menarik kertas di depan kaca mobil dan merematnya geram.

"Ck, Om! Jangan gini dong! Malu diliat orang!" cerocos Aisha keras.

"Yuk ikut!" Bukannya merespons apa yang dikatakan Aisha, pemuda itu malah membukakan pintu untuknya.

Aisha terkekeh kosong, mengangkat wajahnya seolah minta tolong untuk menghadapi Dokter tengil itu.

"Ke mana?" Kali ini ia memasang wajah heran tapi penuh ketegasan. Pria ini benar-benar punya berjuta keberanian.

"Ikut aja, Nona. Please."

"Aku mau pulang, Om!"

"Iya, nanti saya antar. Motor kamu tinggal aja dulu di sini. Sebentar aja. Besok-besok belum tentu ada waktu."

Meski sungkan, entah bagaimana Aisha sulit menolak. Menurut, ia masuk ke mobil Tara.

Dengan bahagia, Tara melajukan mobilnya. Sebelum mobil itu hilang dari parkiran, di ruang kerja Aisha, ada Citra yang menatap datar pemandangan barusan. Dan di depan drop zone DuMed, ada Aryan yang baru keluar gedung dan seketika menahan nyeri di dalam hati melihat wanitanya pergi dengan pria yang ia waspadai. Kenapa pria itu bisa tiba-tiba muncul hari ini?

Sementara, tak jauh dari pintu masuk DuMed ada Niel yang langsung menyalakan mesin motor ketika melihat mobil Tara pergi untuk ia ikuti.

🌹🌹🌹

Kamis, 15-04-21

🌹🌹🌹

N/A

Asketisme : pertarakan. Suatu gaya hidup yang membatasi aspek-aspek dunia luar. Menikmati hidup menyendiri.

🌹🌹🌹

Aisha mau dibawa ke mana, Kapten Dokter? 😃😂

Part 25 udah ada draft-nya. Ada yang mau nggak? 😬

Vote, spam komen sebanyak-banyaknya dan jika perlu bagikan cerita ini, ya.
Boleh, unek-unek, kritikan, masukan, kesan dan harapan kalian untuk Aisha-Tara atau siapa pun dalam kisah ini. 😁

Menembus 70 vote atau 200 koment (salah satunya) part 25 aku posting entar malam. 😁😉😚

Te Amoooo

Aishiteru

Saranghae

Gumauyo

Pew! Pew! Pew! 👉🔫❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top