BAG 23 : SHORT TIME-B

Alhamdulillah. Update! 😍💪

Vote dulu untuk tanda cinta ❤

Part ini Looong!
Sampai aku potong takut kepanjangan 😬😁

Aku udah baca semua komentar kalian. Makasi banyaaaak mau jejak. 🤗😘
Bikin aku makin semangat ngetik lanjutan mereka.

Terkejut, ya, Tara itu duda? 😆

Siapa? Siapa? Cung! ☝😁😂😂😋

Lalu, Bella itu siapa pula? 😁Nah kalau misteri ini bakal terjawab di part-part selanjutnya, ya.

Happy reading. 😘

🌹🌹🌹

Menggunakan waktu semaksimal mungkin dengan fast and on time bisa dibilang menjadi tuntutan keahlian seorang prajurit khusus. Mungkin karena itu, dalam waktu singkat Tara sudah sampai di Marine Kafe dan menyerahkan kunci mobilnya ke resepsionis yang cukup ia kenal. Beruntung, rute tercepat yang ia tahu malam ini tidak padat. Apalagi pria itu mengambil kecepatan tinggi, dengan luwes memotong tiap mobil di lajur kiri bagai sedang beraksi di film laga.

Bukan tanpa alasan Tara memilih Kafe ini. Kafe yang pemiliknya adalah Purnawirawan Marinir Angkatan Laut yang juga dikenal Tara, punya semua ceklis untuk mendukung plan B-nya.

Selain tempatnya yang eksklusif, Marine Kafe juga memiliki lapangan khusus yang terletak di belakang Kafe yang sering digunakan untuk pendaratan helikopter karena yang datang ke sini termasuk para petinggi negeri ketika ada acara dan pertemuan khusus.

Kapal dengan jangkar bernaung topi putih khas Angkatan Laut menjadi iconic di atas gapura memasuki pintu utama. Di dinding dan beberapa sudut ruangan dihiasi dengan bermacam icon dari Marinir Angkatan Laut menambah kesan khas basic pemiliknya.

Tegas, langkah Tara menuju meja outdoor yang sudah ia booking dan dengan cepat langsung diatur pihak Kafe khusus seperti yang Tara pinta.

Jam di pintu menuju area outdoor menunjukkan pukul 19.30. Pria yang sudah siap sedia itu, duduk dan berbincang bersama manager Kafe di teras belakang dekat dengan area outdoor.

Sementara itu, di luar halaman Kafe.

"Cepetan, Sha!" seru Niel dengan suara manja karena melihat Aisha begitu santai memarkir motor dan belum juga beranjak.

"Ck! Ish! Sabar ngapa, Niel. Emang lagi dikejar-kejar Satpol PP?" gerutu Aisha bergurau seraya mencangklongkan tas setelah menutup bagian jok.

Niel yang mendengar kalimat itu mencebik. "Nanti ramai! Cepetan! Udangnya abis!"

"Yaelah nih anak! Nggak sabar amat mau nyantap seafood kesukaan. Nggak bakal abis! Stok mereka pasti banyak, Niel! Kafe segede ini gitu?"

"Ck! Udah deh. Usah banyak omel. Ayok! Mau ditraktir aja blagu!" tandas Niel mengangkat dagu.

"Ha ha ha. Iya, iya," jawab Aisha yang tak mencium gelagat berbeda. Mengapa tiba-tiba Niel mendadak mengajaknya makan masakan udang kesukaan mereka dan memilih Marine Kafe tempatnya.

Usai salat magrib di masjid tak jauh dari tempat mereka meliput, Niel langsung memberi ide ini. Aisha yang memang sudah lapar tak menolak karena Niel yang mengajak.

"Pesen gih! Cepetan!" perintah Niel tapi mata malah fokus ke ponsel.

Aisha membaca menu yang terpajang di samping mini bar tak jauh dari pintu masuk dan tentu saja memesan beberapa makanan seafood terutama olahan udang. Sama dengan Aisha, Niel juga memesan menu yang tak jauh berbeda.

Kepala Niel celingak celinguk seolah sedang memilih meja lalu mengatakan nomor meja yang dipilihnya pada pramusaji yang bertugas di mini bar. Nomor yang tanpa Aisha tahu sudah dikirim Tara lewat pesan watsapp ke Niel.

Langkah pria kemayu itu kemudian menuju ke area outdoor diikuti Aisha yang langsung setuju karena dirinya memang menyukai pemandangan langit malam. Duduk di sana, ia bisa dinner sambil memandang bintang-bintang.

"Eh, Udang!" pekik Niel latah ketika bertubrukan dengan seseorang di pintu menuju area belakang.

"Sorry." Suara bass dari seorang pria.

Jantung Aisha langsung menabuh kencang melihat pria bertubuh tegap di hadapan yang baru saja menubruk Niel.

"Dokter Taraa!" pekik Niel lagi.

"Sorry, Niel."

"Ohho! It's okay."

Niel dan Tara berbincang sejenak, sementara Aisha hanya berdiri diam sibuk menyembunyikan debar hatinya. Sungguh, ini seperti bukan dirinya. Gadis yang biasanya galak itu bingung mengapa sekarang setiap bertemu Om Modus absurd itu, lidahnya mendadak kelu dan tubuhnya kaku?

"Yok, Sha!" ajak Niel yang membuat Aisha lega karena ia tertolong untuk segera keluar dari sikon yang membuatnya mendadak dungu ini.

Aisha mengangguk mengikuti langkah Niel. Ketika melewati Tara.

"Aisha."

Deg!

Demi Tuhan, suara yang menyebut namanya itu membuat Aisha bergetar syahdu karena tanpa diinstruksi--dan tanpa ia sadari--tumpukan rindu yang mengendap di hatinya terkikis secara otomatis.

Gadis itu menghentikan langkah.

"Apa kabar?" tanya Dokter Paska yang hari ini terlihat cukup segar.

Aisha berbalik.

"A-ku ... baik." Aisha berhasil menarik selarik senyuman untuk menyembunyikan debaran.

"Tapi matamu menyiratkan kebalikannya." Pria yang mengenakan jaket hitam untuk menutupi seragamnya itu memiringkan wajah seakan tengah menelisik lawan bicara.

Aisha terkesiap mendengar perkataan Tara hingga ia mengangkat wajah dan menatap mata hitam legam pria yang kini juga menatapnya sarat makna.

Cepat-cepat gadis itu mengetatkan wajah. "Anda paranormal?" ucapnya pura-pura membuang pandang.

"Nggak sih! Tapi saya pria normal." Kalimat itu meluncur dengan nada gurauan. Matanya kembali melirik Aisha seraya mengangkat sebelah alis konyol, sedang tangan menelusup ke saku celana menyiratkan kesan cukup mempesona.

Ya. Penampilan Tara selalu berhasil menarik perhatian wanita. Jujur saja, Aisha mengakui itu tapi hanya di dalam hatinya.

Seketika Aisha melirik jenaka Tara karena merasa lucu dengan jawaban pria yang kini juga sedang tersenyum.

Manis.

Hal itu yang terlintas di benak si gadis bermata biru.

Benar-benar pria absurd! Lirih Aisha dalam hati. Lagi-lagi, tanpa ia sadari, bilik kosong yang belakangan tak pernah berhasil terisi siapa pun mendadak berpenghuni. Ruang itu seakan mengenali siapa yang pernah mengisi dan menanti orang yang sama untuk datang lagi.

Tidak! Ayo, Aisha! Jangan terpengaruh!

Otaknya mencoba membantah.

"Woi! Sambil duduk sini ngomongnya! Jangan berdiri di situ mulu! Ngalangin jalan tauuuk!" seru Niel menggerutu.

Aisha dan Tara sama-sama tersenyum kikuk dan melangkah menuju meja di mana Niel sudah duduk. Sebuah meja dengan lilin putih aroma terapi dan kain berwarna senada. Meja outdoor lainnya juga dibuat serupa.

Hal berbeda yang menurut Aisha tak biasanya. Mungkin, konsep baru. Gumam gadis yang mengedar pandang dan langsung suka.

"Gimana kasus di kantor polisi, Sha?" tanya Tara melanjutkan perbincangan mereka.

"Dicki masih di dalam. Tapi kayaknya bulan depan dia udah keluar. Uang jaminan yang bisa dia berikan tak sebanding dengan bayaranku supaya mereka proses kasus ini," kata Aisha dengan senyum yang sengaja ia buat tegar.

"Sha. Saya--"

"Kamu juga punya kerjaan, Tuan Dokter. Udah deh. Aku udah nggak masalah. Yang penting dia nggak ganggu aku lagi dan berita ini jangan tersebar ke media. Itu saja cukup buatku saat ini. Dan itu juga menguntungkan buat dia, pasti!"

"Eh, eh! Sorry! Motong perbincangan sebentar."

Tara dan Aisha menoleh Niel yang meringis sengklek secara bersama. "Gue ... pamit dulu ke toilet, ya!" kata Niel yang langsung bangkit meninggalkan mereka dengan gestur lucu. Diam-diam mengedipkan sebelah mata pada Dokter Tara diikuti acungan jempol pula.

Lirikan mata mengerti dari Tara cukup menjawab kode dari Niel.

"Sha," panggil Tara setelah menghela napas tegas seperginya Niel.

"Yaa." Gadis itu kini sedang sibuk mengedar pandang untuk mencairkan rasa gugup dirinya sendiri.

"Kamu tau saya menunggu jawaban pesan dari kamu. Hhmm?"

Aisha menggigit bibir. Ia memang sengaja tak membalas pesan Tara.

"Kamu sengaja 'kan?" ujar Tara lagi seakan tahu jalan pikiran Aisha.

Gadis yang malam ini mengenakan kerudung merah muda itu berusaha menarik senyum elegan seperti biasa. "Kenapa?" Ia malah balik bertanya.

"Harusnya saya yang tanya."

Aisha menjeda sambil mengetuk-ngetukkan jari beberapa kali di atas meja. "Karena kamu sudah tahu. Aku akui. Ya. Aku sengaja. " Gadis itu mengangguk dengan sorot mata meyakinkan.

Namun detik itu juga ada sorot lain yang Tara tangkap dari sana. Pria itu penasaran, apa yang sedang disembunyikan gadis itu?

"Okay. Sorry kalau saya ganggu kamu terus. Tapi ... please. Kali ini dengarkan saya sebentar aja. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan."

Tara menatap Aisha lekat.

"Dari sikap saya selama ini ke kamu. Kamu tahu betul tujuan saya ke arah mana. Saya ... juga sudah cerita ke Papa kamu. Cuma ... tinggal nunggu keputusan dari kamu."

Makin berdebar, Aisha sibuk mengendalikan hati. Ia tahu saat ini mungkin akan tiba, tapi tak tahu jika sekarang waktunya. Entah mengapa ada sisi lain hatinya yang tak siap menghadapi kenyataan.

"Aisha. Sa--"

"Tuan Dokter! Sudah aku katakan, berhenti saja. Anda ingat?" potong gadis itu cepat dengan gigi yang rapat seraya melebarkan kelopak matanya tegas. Aisha memberanikan diri mengangkat mata untuk bersandiwara dengan menunjukkan sikap elegan khas dirinya.

"Sudah saya jawab, gimana kalau saya nggak mau dan terus maju?" sambut Tara memicing, keras kepala.

Manik mata pria itu bercahaya menembus iris mata biru Aisha yang tanpa bisa gadis itu cegah melesat sampai jauh ke lubuk hati.

Nafas Aisha kian sesak seirama dengan desakan irama jantungnya. Sekuat hati ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bisa mengatakan alasannya. Namun lagi-lagi lidahnya kelu. Hal yang tak pernah ia rasakan ketika berhadapan dengan semua pria yang melamarnya.

Mengapa sesulit ini, Tuhan? Batinnya berteriak.

"Tolong berhentilah! Kamu, kenapa keras kepala sekali sih?" ujar Aisha gemas.

"Pantang bagi saya menyerah begitu saja!"

"Sudah jelas-jelas aku nolak!"

"Maaf. Tapi saya akan terus mengetuk, jika perlu mendobrak."

"Kamu kok maksa?!"

"Karena kamu orangnya!"

"What? Kamu nggak tahu semua tentang aku, tapi kamu bersikeras maju juga?!"cecar Aisha lagi seakan putus asa.

"Ya. Karena saya punya keyakinan."

Bagai sedang perang adu argumen
kalimat demi kalimat saling terlempar dari mulut kedua insan yang saling menatap itu. Yang satu tenang tapi membius, sedang sang wanita tajam tapi gamang.

"Keyakinan?" Mata Aisha bergerak-gerak mengejek.

"Jika kamu mau membuka diri. Saya akan membuat kamu jatuh cinta meski kamu nggak cinta saya detik ini, Nona," kata Tara tetap percaya diri.

Aisha terkekeh samar dan geleng-geleng kepala lalu menatap netra Tara sinis yang dibalas Tara dengan pancar penuh binar hingga Aisha tanpa sadar berhenti lama di sana.

"Andai aja saya bisa memberikan injeksi agar waktu berhenti. Aisha mematung, hingga saya bisa terus memandangi sorot mata biru yang menatap saya seperti ini."

Selarik senyum tertarik di hati Tara bersama gumaman yang hanya bisa didengar yang Mahakuasa.

"Kamu nggak perlu berkata lagi jika sulit bicara. Begini aja. Sudah cukup. Biarkan mata kamu yang bicara," ucap Tara tak bermaksud mengintimidasi bersama tarikan senyum bahagia. Lalu kepalanya sedikit meneleng menyeksamai wajah gadis di depannya.
"Jangan gitu amat mandangnya. Awas jatuh cinta!" ucap Tara menarik senyum meledek.

Seketika Aisha kikuk.

"Ka-kamu ter-lalu percaya diri. Terlalu yakin aku akan jatuh cinta dengan kamu secara pasti!" katanya membuang pandang gugup dan membodohi diri sendiri. Apa yang ia lakukan tadi?

"Okay. Kalau gitu kamu nggak perlu jatuh cinta. Biar saya aja. Kamu cukup bangun cinta, Sha. Bagaimana?"

"Oh god! Keras kepalanya pria ini!" gerutu Aisha menengadah jengah dengan sikap dokter tengil di depannya. "Aku sudah berlari dan sembunyi. Dan akan begitu lagi!" kata Aisha tajam.

"Larilah. Saya tidak akan melepaskan kamu!"

Auto kicep! Ya! Aisha kehabisan cara!

Kembali mata mereka beradu. Sorot mata Tara tajam tapi dalam, sementara Aisha datar tapi nanar.

Putri Fauzi itu kehabisan kata untuk mematahkan semua kata-kata pria menyebalkan tapi--demi Tuhan--tetap saja memesona. Nyatanya malah kalimat Aisha yang dipatahkannya.

Pendar mata itu kian menghipnotis hingga entah mengapa membuat Aisha kian gelisah dan terbius lemah. Tertarik, Aisha tak bisa berkutik. Bagai terhisap magnet yang menyedotnya untuk masuk ke kehidupan pria itu lebih jauh.

Perbincangan mereka terjeda ketika pramusaji datang mengantar pesanan lalu pergi ketika selesai.

"Sha. Dengarkan dulu. Setelah ini terserah kamu. Beri saya waktu cerita ini ke kamu."

Pria itu mencondongkan tubuh dengan siku bertumpu di meja dan mata menatap gadisnya sendu. Yang diajak bicara hanya bergeming tak tahu harus menjawab apa lagi.

Tara memundurkan tubuhnya dan bersandar tegak di sandaran kursi.
"Jujur saja. Saya ini pria single yang sudah pernah menikah." Lugas dan tegas kalimat itu meluncur dari mulut Tara.

Bagai tersengat aliran listrik, Aisha terperanjat karena tak menyangka akan mendapat informasi ini.

What? Jadi Om Modus ini? Sugar duda? Eh! Istilah apa itu?

Aisha tersentak sendiri.

"Sudah lama saya ingin cerita segalanya ke kamu, tapi selalu saja nggak ketemu waktu.

"Terserah kamu mau menilai saya apa. Beginilah adanya. Tapi ... nyatanya, cinta yang tertancap di hati saya, dulu dan sekarang berputar di wanita itu lagi. Dia lagi. Kamu lagi!"

Mata Aisha menajam. Gombal! Akal bulus! Itu yang terlintas di kepala Aisha.

Apa pria ini sedang membacakan puisi cinta bagai kumbang hendak menghisap bunga?

Jelas-jelas dia sudah pernah menikah dan mengatakan hanya mencintai satu wanita yang Aisha duga adalah dirinya. Tapi mengapa Tuan Dokter Tentara itu malah berkata ia hanya jatuh cinta pada satu wanita?

Bullshit!

Aisha mencibir di dalam hati tak percaya. Stereotip-nya tentang tentara kembali mengisi kepalanya.

"Dari kamu semua ini berawal, dan padamu juga saya mau ini kembali," kata Tara lagi.

Aisha bergeming, menelisik kalimat barusan.

Puisi apa lagi itu?

Tara menarik nafas sebelum melanjutkan.

"Saya type lelaki yang sibuk dengan dunia profesi saya sebagai tentara Kopaska. Jangankan menggoda wanita, jatuh cinta saja entah bagaimana tak terjadi pada diri saya saking fokusnya pada tujuan hidup waktu itu. Ibu saya single parent. Saya tidak ingin mengecewakannya dengan bersungguh-sungguh mencapai cita. Boro-boro punya pacar, cari satu saja untuk saya seriusi jadi istri nihil." Tara terkekeh samar mengenang bagaimana ia dulu.

"Tapi Tuhan berkata lain. Saya ternyata jatuh cinta juga ketika bertemu seorang gadis di sebuah pulau. Tapi sayangnya, kami tak sempat berkenalan apalagi mengucap salam perpisahan. Dan saat dipertemukan lagi, kondisinya sudah berbeda. Sa--"

"Stop, Tuan Dokter! Aku nggak percaya. Bagaimana mungkin kamu mencintai satu wanita saat ini? Nyatanya kamu sudah pernah menikah bukan? Jadi, kamu mencintai istri kamu atau wanita lain sebenarnya? Ha? Itu lucu!" ujar Aisha sarkastik, merasa ia sedang dikibuli.

"Saya belum selesai bicara, Nona. Mengenai mantan istri, dia ... sudah meninggal," ucap Tara pelan.

Aisha tak cukup terkejut.

"Dan satu wanita itu tentu dirinya! Iya 'kan? Lalu kamu mengejar wanita lain sekarang? Hei! Ngapain sih ngaku-ngaku cinta satu wanita! Dongeng apa ini?" cecar Aisha dengan nada menghakimi sambil mengaduk jus dari gelasnya yang ditangkap Tara kalimat tak terima.

Meski nada menghakimi, tapi hal itu tak menciutkan nyali Tara. Ia malah tersenyum tenang mendapati karakter asli gadis itu. Galak, blak-blakan! Namun, satu hal yang masih membuat Tara penasaran. Sesuatu yang dengan tegas dicegah Aisha saat Fauzi ingin mengatakannya pada Tara. Itu apa? Mengapa untuk hal ini gadis itu tidak mau blak-blakan saja?

Sialnya semua orang yang dianggap Tara tahu tak mau membuka mulut sedikit pun. Termasuk Niel dan Sora. Mereka semua menyerahkan kembali pada Aisha. Hanya gadis itu yang bisa membuka suara. Setelah menceritakan semua tentangnya ia akan langsung bertanya. Pasti!

"Bukan gitu, Sha. Kamu suudzon dengan saya."

"Apa?" sambar Aisha melebarkan mata sarkas.

Tara menghela napas. Ia tak ingin terkesan membela diri tapi tak membenarkan dugaan Aisha juga.

"Kami dijodohkan setelah pertemuan saya dengan seorang wanita di Buton, dan sebelum saya menemukan wanita itu lagi di Natuna."

Aisha mengerutkan dahi hingga alisnya bertaut.

Buton?

Natuna?

"Tanggal pernikahan sudah ditetapkan. Jadi, saya tidak bisa mengejar gadis itu meski baru bertemu lagi. Akhirnya saya menikah. Tapi ...."

Tiba-tiba pekikan seorang pria dari meja teras belakang memutus apa yang ingin dikatakan Tara.

"Sayang! Kamu kenapa? Tolooong!" jerit pria itu panik yang sontak mengundang kerumunan.

Melihat itu Tara melempar pandang dan sepertinya tak bisa berdiam diri ketika menangkap tubuh wanita itu jatuh ke lantai secara tiba-tiba.

Insting Tara menajam. Belum lagi sampai ke korban sudah banyak kemungkinan diagnosa yang bertebaran di kepalanya.

Netra Tara yang merasa tak enak jika langsung pergi sempat saling tatap dengan Aisha. Namun secepat mata Tara bertanya, secepat itu sorot mata Aisha sudah memintanya segera bertindak.

Tara bangkit diikuti Aisha. Pria itu meminta kerumunan mundur untuk memberi ruang udara.

"Siapa kamu?" tanya suami pasien siaga.

"I'm a doctor. Sorry. Biar saya coba periksa."

Ia berjongkok di samping pasien dengan mata memindai dan tangan sigap mengecek denyut nadi. Lalu matanya bergeser ke atas meja, kembali memindai menu yang tersaji di sana.

"Kenapa? Apa jangan-jangan makanannya beracun! Ha?" pekik pria itu keras.

Gurat wajah Manager, dan beberapa orang pihak Kafe yang di sana langsung mengetat tak terima. Hal yang tidak mungkin terjadi.

"No! No! Jangan asal tuduh dulu, Bro. Kopi. Itu punya istri Anda? Dia barusan minum kopi itu?" tanya Tara serius.

"Yaa!" Pria itu mengangguk.

Melihat kondisi pada pasien dan jawaban barusan membuat Tara yakin benar apa yang sedang terjadi dan apa yang harus ia lakukan.

"Dokter Tara. Bagaimana?" tanya Manager Kafe cemas.

Bersamaan dengan itu Tara sedang bergegas mengedar pandang mencari benda tajam. Dapat! Ia melangkah gegas ke meja sebelah dan meraih pisau dari sana. "Tolong ambilkan saya sedotan baru!" ujarnya pada sang Manager.

"Cepat! Cepat!" Belum lagi mulutnya memberi perintah pada pramusaji, Aisha sudah berlari ketika melihat ada tempat khusus sedotan di dekat meja mini bar bagian belakang.

Ia kembali dari berdiri di samping Tara, menyerahkan sedotan yang dipinta. Sementara Tara tengah tertunduk penuh fokus pada pasiennya.

"Dokter!" seru Aisha. Tara mendongak dan tersenyum tulus tanpa memecah fokus.

"Thanks, Sha!" ujarnya, kembali tertunduk siap melakukan pertolongan.

"Sudah panggil bantuan rumah sakit?" tanya Tara mengingatkan tanpa menggeser pandangan.

"Sudah, Kapt! Dalam perjalanan!" jawab sang Manager.

Combat doctor itu membuat sayatan vertikal, dan sekali sayatan melintang di bagian dalam.

Setelah itu, ia memasang sedotan di sana dan mengisap hingga darah naik masuk ke dalam selongsong. Tak sampai ke mulutnya, karena beberapa senti saja darah naik, wanita itu langsung terbatuk mengeluarkan darah dari mulut.

Tara memegang kepalanya dan mengelus di sana. "It's okay. It's okay. Kamu akan baik-baik saja. Hhmm? "

Semua pemandangan itu sontak mengundang kelegaan. Karena semua wajah tegang yang menyaksikan kini berubah meregang. Entah bagaimana, tanpa diinstruksi sorak sorai tepuk tangan hebat terdengar begitu saja. Aisha yang menyaksikan reaksi tak terduga itu tak kalah berbinar. Diam-diam ia mengagumi aksi pria itu yang terbukti dari sorot matanya kini.

Sang suami yang duduk di sebelah pasien langsung berucap.
"Ya Tuhan. Syukurlah. Sayang kamu okay. Kamu okay," katanya hangat menatap istrinya yang kini membuka mata. "Makasi, Dokter," ucap pria itu tulus.

"Sama-sama," Tara menepuk pundaknya. "Segera bawa ke rumah sakit untuk dapat pertolongan lanjut. Luka sayat ini harus dijahit. Hhm?"

"Okay! Okay!" Pria itu mengangguk-angguk cepat tanda menurut.

Tara bangkit dan hendak berbalik.

"Dokter!"

Langkah pria itu terhenti.

"Terima kasih," ucap pasiennya barusan yang dibalas Tara dengan senyuman.

"Keep healthy, ya. Lain kali kali minum kopi jangan berlebihan. Apa kamu juga minum pil kafein?" tanya Tara mengintrogasi pasien yang kini dipindahkan ke sofa oleh suaminya.

"Ya, Dok," akunya lemah.

"Wow! Ditambah minum kopi lagi? Itu bahaya buat keselamatan jantung kamu. Kasiani dong jantungnya," kata Tara bergurau.

"Iya, iya." Wanita itu mengangguk lemah dan berusaha menarik senyum ramah.

"Iya, Dok. Lain kali saya yang akan mendisiplinkannya. Saya tidak tau istri saya meminum itu."

Tara menepuk pundak suami pasien bersahabat. Tak lama ambulance datang dan pasien dibawa ke rumah sakit.

Tara dan Aisha kembali duduk di meja mereka.

"Yang tadi itu tindakan apa?" tanya Aisha penasaran.

"Krikotirotomi. Untuk membuat jalan napas," jawab Tara bersahabat.

"Kamu dokter bedah?" tanya Aisha lagi dengan wajah imut ingin tahu.

Melihat itu membuat Tara gemas. Begini, Aisha terlihat lebih jinak dan penurut.

"Bukan spesialis sih. Tapi kami dituntut bisa melakukan ini apalagi disaat genting. Perang, atau seperti tadi misalnya. Kalau tidak segera, pasien bisa tewas karena nggak bisa bernafas. Maka tindakan ini dilakukan sebagai jalan terakhir yang bersifat sementara sebagai pertolongan pertama." Pemuda itu tersenyum.

Gadis yang bertanya tadi pun mengangguk-angguk kecil.

"Thanks untuk bantuan tadi. Kamu hebat!" seru Tara memuji apa yang dilakukan Aisha tadi. Spontan gadis itu tersipu tapi segera merunduk menyembunyikan malu. Hanya hal kecil yang menurut Aisha biasa saja. Tapi mengapa saat Tara yang mengatakannya terasa berbeda?

Tara menatap arloji ketika ponsel-nya berdering yang mengundang sorot tanya Aisha.

Kapten 👮Dirga.

"Ya, Kapt! Siap! Okay!" jawab Tara datar.

Panggilan terputus. Pria itu menghela nafas, tiba waktunya untuk pergi. Sementara urusannya di sini belum usai. Agaknya butuh waktu seharian, dua hari bahkan berhari-hari untuk membuat Aisha buka mulut dan Tara mengisahkan semua. Namun setidaknya, Tara sudah mengisi waktu berharga ini dengan bicara pada gadisnya.

"Sha, maaf. Saya harus pamit," kata Tara pelan.

"Eng?" Mata Aisha melebar.

"Saya hanya punya waktu satu jam untuk bertemu kamu. Saya pikir, waktu ini cukup untuk menceritakan semua ke kamu. Tapi ...." Pria itu mengangguk-angguk samar. "Nyatanya belum."

Aisha bergeming, menatap nanar pria itu.

"Masih ada yang belum saya ceritakan. Dan ... saya rasa, kamu juga."

Aisha terkesiap.

"Ada yang ingin saya tahu dari kamu. Yang sepertinya hanya bisa dan boleh dijawab oleh kamu." Mata Tara berpendar. Begitu saja sudah membuat Aisha berdebar.

"Sha. Jawab saya. Nanti ketika saya kembali, kita akan bertemu dan bicara lagi semuanya. Okay! Kamu mau 'kan?" tanya Tara penuh harap.

Mata Aisha bergerak-gerak bingung akan menjawab apa.

"Sha. Please, answer me. Waktu saya habis." Tara bangkit membuat Aisha makin bingung.

Suara helikopter terdengar mendekat dan mendarat tepat di lapangan khusus belakang Kafe yang memang sering digunakan untuk pendaratan heli.

Pemuda itu melangkah ke meja tak jauh dari mereka bicara pada Manager Kafe entah apa. Tara sempat melambai tangan pada Niel yang kini berdiri menatapnya begitu tahu waktu pergi sudah tiba.

"Thanks, Niel," ucap Tara pada Niel yang sudah mendekat. Rekan Aisha itu mengangguk bersahabat.

Tara kembali, dan langsung mendekat ke Aisha yang langsung berdiri melihat tatapan pria itu.

Mata mereka saling tatap, detik itu juga Tara meraih tangan Aisha dan meletakkan sesuatu di sana.

"Ini alasan kenapa saya terus menginginkan kamu. Ada cerita di balik gelang ini. Kamu mungkin nggak ingat. Nanti, akan saya ceritakan ke kamu, okay. Tunggu saya, Sha. Kamu mau janji?"

Aisha menatap benda yang diletakkan Tara. Ia terperanjat ketika melihat gelang itu. Lalu kembali menatap Tara yang tersenyum. Manis sekali.

Tiba-tiba, ponsel Tara berbunyi lagi. "Ya, Kapt! Okay!"

"Wait me." Tara tersenyum dari melangkah pergi.

Aisha ingin mengatakan sesuatu tapi otaknya mendadak dungu. Akhirnya ia hanya bisa menatap langkah gegas yang membawa Tara menjauh dengan tergugu.

Separuh jalan menuju heli, Tara menghentikan langkah dan berbalik kembali menatap gadisnya setelah melihat dinding kaca sebuah pos yang tepat kebetulan menghadap ke Aisha.

Aisha bertanya-tanya ketika pemuda itu melangkah kembali.

"Boleh pinjam parfum kamu?" tanyanya yang mengundang tanya aneh di kepala Aisha.

"Ha?"

"Cepat!"

Aisha tergagap dan menurut begitu saja, meraih tas dan mencari parfum miliknya lantas menyerahkannya ke Tara.

"Buat saya, ya!" ujar Tara sambil menggoyang botol itu terangkat di depan dada yang sontak membuat Aisha memelotot aneh.

Ada apa dengan pria ini?

Tara terkekeh kecil melihat ekspresi Aisha detik ini.

Ada dorongan kuat yang membuatnya ingin sekali memeluk. Namun tentu saja ia alihkan. Tapi tangannya tak bisa ia cegah untuk mengelus puncak kepala Aisha sayang diikuti tatapan hangat.

Setelah itu, Tara langsung berbalik, kembali berlari.
Ia pun mendekat ke pos yang ia lihat tadi.

"Aishaaa!" pekiknya keras mengalahkan suara baling-baling heli di sana seraya tersenyum lebar meski senyum itu mungkin tak terlihat Aisha karena area itu sedikit gelap. Pria itu terlihat menyemprotkan parfume Aisha di permukaan kaca, membentuk sebuah pola lalu mengacungkan mancis dan menyalakannya tepat di pola yang barusan ia buat.

Dum!

Api kecil dari mancis menyambar dengan cepat mengikuti pola yang kini dengan jelas dapat terlihat.

Love ❤

Pemuda itu melukis pola itu!

Ya Tuhan! Aisha sungguh kehabisan kata-kata.

Bahkan hatinya entah sudah menabuh dengan irama apa. Karena nyatanya Aisha juga sudah tidak mengenali sensasi aneh yang kini ia rasa.

Dari pancaran cahaya yang tercipta di pola dapat Aisha tangkap. Tara meletakkan ujung tangan di samping dahi kanan. Kemudian menghentak maju tangan itu sekali bersama seringai tengil, percaya diri. Aisha mengerti, pesan apa yang tersirat dari tindakan absurd pria itu.

Gadis yang tak sadar sudah melangkah kecil mengikuti kaki pemuda itu sejak tadi kini hanya bisa memandang ke mana pria itu berarah. Bergetar, jantungnya berdebar.

"Dokter Tara. Aku tahu benar prajurit tak masuk dalam kriteria pria yang kuingini. Aku tahu benar, tekadku memerintahkan agar aku menjauhi kamu. Tapi ... mengapa sulit sekali mengabaikanmu, ha?"

"Bahkan saat ada pria lain yang melamarku, tetap saja aku tak bisa mengatakan "Ya" padanya. Padahal kutau dia mau menerima kekuranganku sebagai wanita. Sementara kamu? Sekeras kepala ini ingin bersamaku, padahal belum tahu kekurangan wanita ini. Kalau kamu tahu, Dokter. Bagaimana kalau kamu malah mundur?" lirih Aisha di dalam hati terus menatap helikopter yang membawa tubuh Dokter Tara pergi.

Gambar buat pemanis, ya. 😁

Yang ini soundtrack part ini 😆😚

🌹🌹🌹

Senin 12-04-21

Ini ngetiknya kemarin. 😂😂 wkwkwk! Tapi baru sempat publish hari ini. Selamat berpuasa di hari pertama buat yang menjalankan, ya semua. Mohon maaf lahir batin dari keluarga besar Aisha-Tara. 😁🙏Semoga amal ibadah kita dilancarkan, ya. 🙏

Selama bulan puasa, kalian mau Secret Admirer tetap tayang, atau break aja?

Kali aja tayang nggak ada yang baca. 😬

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top