BAG 22 : SHORT TIME-A

Selamat bermalam minggu, Aisha-Tara akan menemanimu 😚

Aku update panjang lho. Jangan lupa votmentar-nya, yoooo 😍😘 hehe 😬😁

🔫🔫🔫

Perairan Tanjung Priok.

"Tanggal berapa Kopaska didirikan?!Kamu, Hiu!"

"13 Maret 1962!"

"Oleh siapa?! Kamu, Lobster!"

"Presiden Soekarno!"

"Untuk apa? Paus!" tunjuk instruktur pada seorang prajurit yang mendapat julukan ikan di lautan itu.

"Mendukung kampanye militer di Irian Jaya!"

"Apa tugas utama Kopaska? Kuda laut!"

"Menyerbu kapal, penyiapan perebutan pantai, menghancurkan instalasi bawah air--"

"Lanjut, Kerang!"

"Op-op-operasi ...."

"Huaaaa!" Sorak tawa berderai pecah membahana dari gerombolan peserta latihan Kopaska yang duduk melingkar.

Seorang prajurit yang mendapat julukan nama "Kerang" sontak mengusap tengkuk dan menggeleng kepala cengengesan. Ia kalah dalam berkonsentrasi kali ini.

Ya, wajar saja. Latihan demi latihan yang mereka jalani berhari-hari menguras seluruh energy. Hingga saking lelahnya, jelas menghilangkan konsentrasi. Jangan 'kan menjawab materi, nama asli diri sendiri pun bisa saja lupa saat ditanyai. Begitulah tuntutan latihan Kopaska yang tanpa ampun ini!

"Ambil posisi, Kerang!" perintah seorang instruktur diikuti kekehan samar.

Sesi kali ini memang sengaja dibuat santai untuk melenturkan otot-otot tubuh yang belakangan sudah sangat tegang. Nama-nama hewan laut memang sering dipakai dalam latihan Kopaska. Tak ada yang membawa nama, pangkat, maupun latar belakang mereka. Semua harus ditanggalkan dan sama-sama dimulai dari nol.

'Kerang' yang mendapat perintah langsung bangkit untuk menyanyikan lagu komando ala TNI AL dengan gaya riang gembira di tengah lingkaran.

Sesi demi sesi sudah banyak mereka lewati. Melewati waktu berhari-hari ada banyak prajurit yang mundur dan gugur dari latihan ini. Terbukti dari topi baja yang diletakkan di pinggir buritan kapal, sejumlah itu pula yang telah pulang dan dianggap gagal.

Hari ini. Di atas beberapa kapal karet bermuatan prajurit berpakaian renang hitam yang akan diterjukan ke air laut dalam keadaan terikat, sudah berdiri Letkol Herman sebagai kepala instruktur latihan. Kalau biasanya ini dilakukan di kolam renang, kali ini langsung di lautan.

Tara dan beberapa instruktur yang lain sudah siap sedia memberi arahan dan atau jika terjadi sesuatu.

"Ini bukan hanya sekedar latihan berenang dalam kondisi tangan dan kaki terikat. Tapi lebih ke menempah mental kalian agar bisa bertahan hidup dalam segala kondisi! Paham semua!" kata Herman di atas kapal karet melalui toa.

"Siap paham, Letkol!"

Beberapa prajurit yang sudah terikat tangan dan kaki diterjunkan ke air.

Melewati tiga menit kemudian, beberapa peserta terlihat kesusahan hingga tubuhnya semakin jauh ditelan ke dalam lautan.

Mengulum senyum miring, Tara langsung melompat ke air, diikuti Wahyu, salah seorang instruktur yang juga beralih ke peserta lain.

"Jangan panik. Tenang! Kalau kamu panik, ya, tenggelam!" seru Tara disela gerakan mengambang seraya mengayun kaki di dekat prajurit yang kepayahan dan tenggelam setelah sebelumnya menarik pria itu ke permukaan.

Menit kemudian, bukannya mengambang, prajurit itu malah kembali tertarik ke dalam. Tara sigap dan cepat mengambil oksigen di permukaan dan menyimpannya di paru-paru. Secepatnya itu juga ia menyelam untuk kembali meraih prajurit itu. Tubuh sang peserta berhasil ditarik Tara dan dibawa kembali ke permukaan. Begitu berulang-ulang.

Sampai titik peserta itu terlihat pasrah.

Tara melepas ikatan tali di tangan dan kaki peserta agar ia bisa berenang seperti biasa.

"Naik, ke kapal!" perintah Tara.

°°°

"Fast in, fast out! Paham semua?"

Begitu yang dipekikkan Letkol Herman dengan tegas dan berwibawa sebelum sesi kali ini dimulai.

Di atas helikopter yang terbang mengudara di atas air laut diikuti kapal karet di sekelilingnya, Tara dan Wahyu duduk di pintu heli yang terbuka dengan pakaian renangnya di mana Tara siap melakukan
helli water jump sebelum giliran peserta.

"Kapt, Anda ini seorang Dokter 'kan, ya?" seru seorang peserta dengan nada separuh pernyataan dan separuh pertanyaan. Ia masih heran dan ingin memastikan. Mengapa seorang Dokter bisa menjadi instruktur Kopaska?

Pria yang ditanya hanya menarik senyum miring khas dirinya sambil melirik penuh makna.

"Kalian pernah dengar Dokter Paska Super Gila 'kan? Ya, ini dia orangnya!" Wahyu menjawab dengan nada suara tinggi berlomba dengan suara baling-baling helli diikuti kekehan geli. Dagu dan matanya tertuju ke pria yang dipanggil rekannya Kapten atau Dokter Tara. Namun Kopaska seangkatan dengannya menjulukinya Dokter Paska Super Gila. Nama itu yang dulu tersemat padanya selama dan pasca ia menjalani pendidikan Kopaska.

Ia mengingat bagaimana dulu Tara berhasil lulus masuk pasukan elit dari Angkatan Laut yang langsung dikenal ketika latihan-latihan awal.

Tara, berhasil menjadi yang pertama tiba menyelamatkan sandera ketika berenang berkilo-kilo meter tanpa alat bantu renang khusus.

Ia juga mendapat acungan jempol ketika latihan Helli Water Jump hari itu.

Kerjar-kejaran nilai dengan Wahyu ketika terjun tanpa perlengkapan. Lalu terjun siang dan malam hari lengkap dengan perlengkapan tempur.

Hampir semua sesi, ia lewati dengan nilai tertinggi, bersaing dengan Wahyu. Untuk seorang dokter militer, tentu saja kemampuannya patut diacungi dan diapresiasi.

Tara berhasil membuktikan kalau dokter militer bukan hanya mampu mengobati dan melindungi. Tapi juga punya kemampuan militer yang cukup mumpuni. Apalagi masuk pasukan elit bukan main-main. Semua latihan dilaksanakan dengan keras dan tegas, tanpa ampun, bagai tengah mempertaruhkan nyawa sampai napas penghabisan.

Hoby-nya berlatih di masa sekolah sampai kuliah kedokteran benar-benar menunjang karirnya masuk militer dengan membawa basic kesehatan.

"Cuma satu yang Dokter Tara kalah saing!" kata Wahyu lagi dengan seringai miring jenaka.

"Apa itu, Ndan?" tanya seorang prajurit.

"Nasi komando! Ha ha ha!" Wahyu tergelak diikuti tawa prajurit lainnya di sana.

Tara melirik Wahyu bersama kuluman senyum. Pemuda yang mendapat nama julukan 'Zigot Nemo' waktu latihan Kopaska dulu masih ingat, kalau ia sempat muntah ketika menjalani ritual nasi komando. Lalu mendapat hukuman jungkir balik 50 kali karena muntah di lantai. Ia tak tega memuntahkan isi perutnya ke wadah tempat nasi komando yang akan disantap rekan setelahnya.

"Kalian siap?" kata Tara menyudahi kisah mereka.

"Siap, Kapt!"

"Okay! Yu!"

Tara mengacungkan jempol dan mengangguk sekali pada Wahyu yang bertugas menggilir peserta. Pria dengan rambut cepak itu mengangguk sambil mengancungkan jempol juga.

"Okay! Siap! Perhatikan semua! Setelah ini giliran kalian!" seru Wahyu.

Tara mengambil posisi seraya mengambil napas dalam, lalu melompat melakukan heli water jump dan masuk ke air laut dengan ringan. Sedetik tubuhnya tak terlihat di permukaan, lalu detik kemudian kepalanya menyembul dan bergeser karena ia sudah mengayunkan kaki untuk berenang menuju kapal karet.

Selanjutnya, prajurit-prajurit itu lalu satu per satu diterjunkan ke air secara bergantian di bawah instruksi Wahyu mengikuti apa yang Tara lakukan.

Malam hari setelah jam istirahat makan malam. Bersama Letkol Herman dan instruktur lainnya, Tara duduk di pinggir buritan untuk breafing santai.

Saat makan tadi, ia mendapat panggilan dari Mimi kalau Yona masuk rumah sakit.

"Besok kita akan merapat ke dermaga. Latihan selanjutnya, akan dilaksanakan di daratan. Loncat menara 250 kaki, ground training dan lainnya," kata Letkol Herman berwibawa.

"Siap, Letkol!"

Sahutan-sahutan dari instruktur lainnya saling sambut menyambut mengisi bagaimana tata laksana selanjutnya. Pikiran Tara yang pecah membuat pemuda itu hanya bisa menyimak saja sementara.

Yona, memang cukup mandiri selama ini tanpa Tara ada di sisinya setiap hari. Namun, jika mendengar ibunya itu jatuh sakit, fokus Tara pasti goyah. Hanya Yona yang benar-benar ia punya setelah kepergian Adiwilaga. Tara tak ingin ibunya itu terluka atau pun sampai kekurangan satu apa pun.
Karena itu Tara mempekerjakan beberapa ART, tukang kebun dan security di rumahnya agar Yona tak sendiri. Meski malam hari hanya ditemani satu orang ART dan babysitter Bella.

Meski Yona berhasil menjadi ibu tunggal yang sukses mendirikan dan mengembangkan perusahaan kosmetik miliknya, tak urung membuat Tara bisa membiarkan ibunya begitu saja bukan?

Sejak kepergian ayahnya, Tara tumbuh menjadi pemuda yang fokus pada cita-cita dan menjadi anak yang terus membanggakan orang tua.

Ia selalu berambisi memenuhi seluruh kasih sayang yang hilang untuk ibunya. Sebab semua itu juga dulu, ia tak menolak ketika Yona menjodohkan dirinya.

"Semua demi, Momy. Momy harus bahagia."

🌹🌹🌹

Perbatasan laut Indonesia-Timor Leste-Australia.

Sebuah kapal Coast Guard berwarna putih gading berlayar di ZEE Indonesia. Seorang pria berambut gimbal dengan kulit hitam mengilat akibat sengatan matahari sedang berdiri gagah menatap sinis jauh ke laut usai berhasil menyandera dua orang nelayan WNI dan satu prajurit Marinir.

Berita itu sudah masuk ke Lantamal VII Kupang lewat Personal Pos TNI AL (Posal) yang sengaja dihubungi penyandera itu lewat radio kapal. Yang dalam hitungan tiga puluh menit kemudian berita ini langsung sampai ke Pusat.

"Sandera dibawa berlayar. Kapal itu kini berada di ZEE Indonesia. Berita buruknya, ABK adalah orang-orang dari Timor Leste. Mengancam akan memasang bendera merah putih jika kita tidak membalas serangan!" lapor Mayjend Hanafi di ruang konferensi yang sudah dihadiri Menteri Pertahanan dan petinggi TNI AL lainnya.

"Maksudnya? Apa tujuan mereka?" tanya Menteri Pertahanan.

"Ngajak perang? Tidak mungkin hanya dengan Kapal Coast Guard. Mau cari mati?" imbuh Hadiawan selaku KAPOLRI.

"Mereka pasti punya maksud lain melakukan ini." Letjend Suprapto selaku Kepala Staf kenegaraan ikut berkomentar.

"Sejauh hasil komunikasi kita ke Lantamal Kupang. Ini merupakan gerakan diplomasi Timor Leste. Mereka sengaja terus menyerang agar kita terpancing untuk menyerang balik. Jika kita balas menyerang, ini bisa mereka jadikan alasan negosiasi dalam perjanjian internasional antara Timor Leste dan Indonesia.
Jika kita tidak menyerang, mereka akan memasang bendera merah putih di atas kapal dan mengebor migas milik Australia greater sunrise yang nilainya mencapai 64,5 miliar Australia. Itu tujuan mereka," tandas Hanafi lagi.

"Hhhm. Begitu, Mayjend?" ujar MenHan mengusap dagu berwibawa.

Seluruh yang hadir di ruang itu mengangguk-angguk juga.

"Jadi ... mereka membawa alat untuk mengebor migas? Di atas, perairan itu memang milik negara kita. Namun di bawah, migas itu milik Australia. Mereka seperti sedang mengadu domba, ya! Mereka yang mengambil migas, tapi kita yang jadi tersangka. Ini bisa jadi bumerang buat negara kita." Wajah MenHan RI mengetat.

"Sementara, prajurit kita yang di sana hanya mendapat perintah berjaga. Kita tidak bisa menyerang, Jendral," imbuh Hanafi lagi.

"Kita tidak boleh terpengaruh dan masuk dalam taktik mereka," kata MenHan lagi dengan mata memicing.

"Lalu bagaimana kita menyelamatkan sandera? Kita tidak bisa mengabaikan warga negara kita begitu saja," sambut salah seorang pejabat negeri lainnya.

"Kita akan bentuk tim khusus!" sambut Hanafi yakin.

"Bagus! Tapi jangan gegabah. Tim mana yang akan kita kirim dalam tugas ini? Kita harus cepat bertindak. Jangan sampai terjadi sesuatu." Menteri Pertahanan menuntut kerjasama semua yang hadir di sana.

"Kita akan jemput personel terbaik dari Kopaska, Denjaka kita. Bagaimana, Pak?" tanya Hanafi pada MenHan.

"Hhmm. Segera hubungi tiap pangkoarmada. Siapa yang benar-benar kompeten dan bisa kalian andalkan kirim segera. Kita tidak punya waktu lama. Jangan sampai mereka sempat mengebor migas di sana. Hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia sedang dipertaruhkan di sini! Bagaimana kelanjutan nanti segera koordinasi ke saya. Pak Presiden kita juga menunggu informasi selanjutnya dari kita. Beliau sedang berada di luar negeri saat ini," kata MenHan setuju penuh kewibawaan.

"Siap, Jendral!"

🌹🌹🌹

Komplek Sunter Mediterania, Jakarta.

"My little combat baby," ujar Yona dengan seringai bahagia ketika melihat Tara masuk ke kamar dan langsung memeluknya yang sedang duduk di tepian ranjang.

"Mom. I worry you. Gimana sekarang? Masih pusing kepalanya?" tanya Tara.

"Udah. Udah. Momy dah enakan kok." Yona merangkum dua pipi putranya sepenuh sayang dan tersenyum hangat. Melihat senyum itu tertarik di wajah Yona, sungguh Tara lega. Ibundanya sudah mulai pulih dan ceria.

"Kamu memang udah selesai tugasnya, Le?"

"Tara izin. Karena tahu Momy sakit. Letkol Herman langsung paham. Lagian latihan mereka selanjutnya udah banyak yang bakal handle," jawab Tara. "Udah. Sekarang jangan mikir itu. Yang penting Momy sehat. Okay ...."

"Momy udah sehatan kok. Ada Monika dan Tante Mimi di sini, Momy jadi makin senang. Kemarin cuma kelelahan aja. Abis ngecek pembukuan perusahaan sampe larut malam. Jadinya gini."

"Makanya Momy ingat-ingat waktu juga dong. Jangan dipaksa terus. Usia Momy udah nggak bisa diajak begadang."

Yona menarik senyum kecil. "Karena itu Momy mau bicarain sesuatu ke kamu, Le. Biar Momy bisa pensiun urus perusahaan."

"Hhm? Apa?" tanya Tara menggenggam jemari Yona hangat.

Yona membalas genggaman itu dengan meletakkan tangan kiri di atas tangan Tara. Ia menatap lekat manik mata hitam putranya hangat dan berkata. "Menurut Momy, kamu sudah waktunya menikah lagi, Le."

Mendengar itu, Tara menarik senyum tersipu. Bagai gayung bersambut, kalimat itu menjadi lampu hijau buatnya agar segera memperistri Aisha.

"Ya. Momy benar," jawab Tara mengangkat bahu dengan mata berbinar.

"Kamu mau?" kejar Yona semangat dengan tatapannya.

"He-um!" Combat Doctor itu mengangguk, sontak makin mengundang kilatan di mata Yona.

"Momy doakan, ya. Tara bisa segera memperistri--"

"Pasti!" potong Yona. "Kalau kamu udah setuju, nggak usah lama-lama lagi. Segera aja kita atur!"

"Maksud Momy?" Dahi Tara mengerut.

"Momy udah punya calon buat kamu!" seru Yona semangat.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia melewati setengah abad itu tersenyum semakin mengeratkan genggaman. Tara yang mendengar itu terdiam merasa arah perbincangan ini tak lagi menjadi berita baik untuknya.

"Monika. Menikahlah dengannya. Ya?"

Senyum Yona tertarik sempurna. Berbanding terbalik dengan putranya yang langsung kehilangan senyum di wajah sekandas-kandasnya.

"Eum-eum-Mom? Mo-nika?" Suara Tara bergetar dan tergagap. Garis wajah yang mirip Adiwilaga itu mengangkat alisnya bertanya.

"Yaaa! Kalian sudah dekat sejak kecil. Lagian Monika bisa bantu Momy di perusahaan. Momy akan jadikan dia tangan kanan Momy kalau kamu setuju. Gimana menurut kamu?" Yona menatap Tara dengan sorot mata sarat makna dan keyakinan.

Tara yang tak ingin Yona kecewa menarik tubuhnya sedikit menjauh tanpa melepas genggaman tangannya.

"Gimana, Le? Monika itu baik. Cantik, juga cerdas. Dia lulusan UI. Sopan lagi anaknya. Nggak ada yang kurang."

Tara menelan ludah lalu memaksakan senyumnya.

"Mom. Bukan gitu. Monika itu ... ya, sesuai yang Momy bilang. Tapi ...."

"Apa?" cecar Yona.

"Tara punya calon sendiri, Mom. Dia juga nggak kalah baik, cantik dan juga cerdas. Momy pasti juga menyukainya," kata Tara tidak putus asa.

Mata Yona bergerak-gerak menyeksamai wajah putranya yang bisa diartikan Tara bukan tanggapan positif.

"Nanti akan Tara kenalkan, ya. Beri Tara waktu, Mom. Cukup yang dulu saja. Kali ini, tolong beri Tara kesempatan memilih sendiri. Hhhm?"

Mata Tara teduh menembus manik mata ibunya. Sementara Yona bergeming tak menjawab iya atau pun tidak.

Harapannya menjadikan Monika menantunya mungkin terlalu tinggi hingga ia tak siap dengan kondisi ini.
Batinnya bertanya-tanya.
Wanita lain? Siapa dan seperti apa wanita itu?

🌹🌹🌹

Keluar dari kamar Yona, Tara langsung meraih ponsel dan mencari nomor Niel. Ia butuh bantuan rekan Aisha itu sekali lagi. Tak menunggu waktu lama, panggilan langsung tersambung dan terjawab pria yang juga gemar merawat diri itu.

Usai bicara dengan Niel, mata Tara bergerak tajam dengan otak terus bekerja. Senyumnya terkembang secepat pikirannya melayang.

"Frogman! Kapan datang?" Monika berdiri di belakang Tara memecah hening.

"Oh, baru aja. Langsung ke kamar, Momy. Makasi, ya, Mon, udah jaga Momy selama saya nggak di sini," kata Tara datar, entah mengapa kali ini terdengar canggung di telinga keduanya.

"Biasa aja kali! Kamu udah siap tugas?" kata Monika mencoba mencairkan suasana agar terdengar akrab seperti biasa.

Tara menggeleng. "Gimana kabar kamu? Luka kemarin dah baikan?"

"Uhm. Udah kok! Nih aku dah bisa loncatan ama Bella malah!" Monika tertawa.

"Maaf, ya. Rencana nemenin kamu keliling Jakarta ketunda. Kamu baikan saya yang malah nggak bisa."

"Nggak papa. Tapi janji. Kalau kamu udah kelar dengan tugas yang ini, temenin aku keliling, ya. Ya! Ya! Ya!" kejar Monika menunjuk Tara dengan jari telunjuknya.

Inginnya Tara ikut menanggapi dengan kekehan atau gurauan juga. Namun itu semua tak terealisasi karena ponsel Tara kembali berdering.

Letkol Arya.

"Ya, Letkol!" jawab Tara cepat dengan tangan mengambang di depan dada meminta maaf pada Monika.

Beberapa menit hanya suara samar dari ponsel Tara yang terdengar di telinga Monika. Gadis itu sempat mengembus kecut dengan mulut yang mengerucut.

Entah apa yang sedang dibicarakan Tara. Namun dari garis wajah yang terlukis di wajah pria yang ia panggil Pangeran Kodok sejak kecil itu menyiratkan sesuatu yang penting dan menuntut keputusan segera.

"Saya di rumah. Hu-um. Momy ... mulai baikan, tapi masih harus banyak istirahat."

"Ya, Letkol. Timor Leste?" Tara menutup sebagian wajah dengan tangan kanan sementara sorot matanya penuh pertimbangan. "Dari sekarang?" Pemuda itu menatap arlojinya. "Baik, Letkol. Siap! Siap!" jawab Tara tegas sebelum panggilan terputus.

Sisi lain hatinya langsung cemas, bagaimana dengan rencana yang baru ia bicarakan dengan Niel? Namun secepat datangnya cemas, secepat itu juga otaknya gegas memikirkan solusi dan strategi yang harus segera ia proyeksi. Hatinya melambungkan doa agar kesempatannya kali ini tak lari pergi bersama tugas ini.

"Ada apa?" tanya Monika care sekali.

"Panggilan tugas lagi," jawab Tara menggoyang ponsel yang dipegang berdiri di tangan kiri beberapa kali.

Dari gestur tubuhnya terlihat senang-senang saja, namun sebenarnya hatinya gelisah dan otaknya sedang berkerja merancang plan B. Karena plan A yang ia sepakati dengan Niel tadi jelas tidak akan bisa terealisasi dengan kondisi saat ini.

Monika mengangguk paham. "Gitu deh kalau jadi pria panggilan. Paham deh. Pahaam!" ujar Monika terkekeh.

"Pria panggilan?" Tara melirik jenaka dengan alis terangkat satu.

"Iya. Kayak kamu ini. Tapi aku suka."

Ekspresi Monika seketika menegang. Ia keceplosan!

"Eng, maksud-nya ... suka aja lihat pria yang punya dedikasi dan tanggung jawab tinggi. Panen pahala terus deh pasti! He he," imbuhnya lagi ketika Tara melirik kembali dengan sorot aneh.

"Ooh!"

Tak ingin berlama-lama, karena fokusnya sekarang berada di tempat berbeda. Tara menatap arloji di tangan kanan lalu melangkah masuk ke kamar Yona meninggalkan Monika.

Ia harus merencakan semua dengan cepat dan tepat mengingat waktu yang ia punya cukup singkat.

Usai bicara dan memeluk Yona, Tara ke kamarnya untuk bersiap.

Langkahnya yang tergesa mengundang sorot penuh tanya dari Monika.

"Pangeran Kodok! Ada yang bisa aku bantu? Aku tau kamu tergesa. Barangkali ada barang atau apa yang bisa kusiapkan biar kamu bisa siapkan yang lain yang kamu butuhkan?" tanyanya menawarkan diri membuat Tara yang sedang fokus menelpon Niel ketika menaiki anak tangga menuju kamarnya menoleh.

"Enggak ada kok. Makasi, Mon. Saya mau ke kamar dulu." Tanpa mendengar jawaban Monika Tara melangkah sambil terus bicara dengan orang di seberang lewat ponsel-nya.

"Thanks, ya, Niel. Saya berhutang padamu," ucap Tara dengan senyum mengembang setelah mendapat jawaban kepastian dari Niel.

Matanya berbinar mengilat kembali segar. Sungguh ia mensyukuri keberadaan rekan Aisha yang cukup tanggap dan mendukungnya di segala aksi dan misi mendapatkan Aisha itu. Apalagi dalam kondisi waktu yang sesingkat ini, peran Niel tak bisa dipungkiri sangat-sangat membantu.

Tara lagi-lagi menatap arloji, ia masih punya waktu dua jam setengah terhitung dari detik ini.

Tak ingin membuang waktu, pemuda yang sebenarnya dalam kondisi lelah itu segera meraih handuk dan menuju kamar mandi.

Waktu lima belas menit cukup baginya untuk bersiap. Sebelum turun, ia tak lupa meraih kotak kecil berwana merah maroon di dalam laci lemari dan membawa perlengkapan lainnya.

Setelah pamit pada Yona, Bella dan orang-orang di rumah, Tara langsung berangkat.

Mobil Tara telah membelah jalan. Matanya menajam menatap lurus ke depan. Detik itu juga ponsel-nya berdering. Tertera di layar nama kontak 'Kapten👮Dirga'.

Segera, Tara menjawab dengan yakin.

"Marine Kafe, Kapt! Kita bertemu di sana. Okay!"


°°°
Saturday, 10-04-21

🌹🌹🌹

Kira-kira apa yang sedang direncanakan Tara dalam waktu yang sesingkat ini?

Bakal ada kejadian apa, ya? 😬😁

Menurut kalian gimanaa?

Sungguh pengen tahu deh tanggapan reader Aisha-Tara tercintaaaa 😍😍❤ Pew! 🔫👉🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top