BAG 21 : THE PROPOSAL

Ada yang nunggu kagak? 😆

Semoga aja ada. 😂ngarep 😅😂

Nih buat kalian yang sudah setia menunggu dan berkenan mampir. Aku update panjaaaaang. 🤗😚

Semoga suka, ya.

Eiiits! Jangan lupa vote-nya. 😆🤗

🌹🌹🌹

"Ac-nya terlalu dingin, ya, Sha?" Dengan pembawaan tenang, Aryan mencairkan suasana agar tak terlalu tegang.

Sore ini, berada se-mobil dengan wanita yang telah lama ia puja, sukses membuat jantungnya bergetar bagai irama senar.

"Dikit si, Mas!" Aisha meringis ceria tanpa ragu. Buatnya, sudah biasa bersikap welcome dengan pria segudang pengalaman di dunia penyiaran itu.

"Oh. Key. Kita kecilin aja deh kalau gitu." Ketika tangan Aryan menekan sesuatu di dasbor mobil, matanya melirik Aisha sekilas. "Kamu hari ini nggak bawa jaket?" tanyanya dengan alis mengernyit.

"He he. Bawa kok, Mas. Nih di tas," jawab Aisha seraya menepuk-nepuk tas jinjing di pangkuan.

"Kirain memang nggak bawa. Nggak biasanya," kata Aryan bersahaja.

"Males aja tadi mau ngeluarin sebelum pulang. Sorenya cerah. Lagian tadi harinya lumayan gerah!"

"Heleh. Bilang aja, berada dekat Mas Aryan mendadak adem gitu?" Aryan terkekeh dengan nada gurauan seraya matanya terus awas menatap ke jalan.

"Idih! Pede Mas Aryan emang nggak diragukan! Ha ha ha!"

Aryan tersenyum senang melihat Aisha yang bisa tertawa lepas seperti ini tanpa canggung. Sejujurnya, hal itu yang selama ini ia takuti akan hilang ketika Aisha tahu tentang keseriusan dirinya. Aisha berubah kaku atau malah menjauh tanpa ragu.

Bagi Aryan, jatuh cinta pada Aisha bukanlah yang pertama. Pria itu selalu berhasil jatuh cinta lagi dan lagi dengan gadis yang sama dalam waktu berbeda. Hal itu membuat sensasinya tak sama dengan jatuh cinta sebelum-sebelumnya pada wanita lain. Tiga tahun terakhir cukup membuatnya puas menikmati rasa cinta terpendamnya buat Aisha.
Namun, sikap terbuka gadis itu yang membuat Aryan selalu tak berhasil mendapatkannya.

Sudah beberapa kali ia mengatakan pada Aisha kalau ia bersedia menjadi suami gadis itu. Namun, semua perkataan Aryan hanya ditanggapi gelakan Aisha yang menganggap itu hanya gurauan belaka.

Di usia Aryan yang beranjak genap 33 tak urung membuat rasa cinta yang bersemayam di dadanya berdesir biasa saja. Mungkin harusnya cinta itu bisa mendewasa, tapi Aryan malah mendadak merasa heran sendiri kali ini. Bukan pertama kali, tapi di dekat Aisha, ada sesuatu yang membuat semangatnya menyala-nyala.

"Sha, sabuk pengamannya, please ...," ucap Aryan menunjuk ke samping Aisha di perempatan lampu merah dalam kondisi dijaga banyak polisi.

"Oh, iya, Mas! Widih! Banyak polisi, ya?"

Segera Aisha meraih sabuk pengaman yang lupa ia kenakan tapi gagal karena sabuk itu tersangkut. "Nyangkut deh kayaknya, Mas!" lenguh Aisha diikuti kekehan. Ia tak ragu untuk menunjukkan sikap persahabatan.

Bagi Aisha, Aryan adalah kakak senior di DuMed yang bisa diajak kompromi, berbagi solusi maupun sharing program televisi. Seperti dengan Niel, ia bersikap sama pada Aryan.

"Bisa?" tanya Aryan yang menjaga laju mobil di bawah 10 km/jam karena kemacetan sambil memalingkan wajah ke Aisha berulang. Sesekali mobil itu menyendat karena antrian yang padat merayap.

"Uhm. Lagi dicoba."

Tubuh Aisha yang membelakangi Aryan masih sibuk menarik sabuk ketika Aryan sudah mencondongkan badan ke dekat Aisha untuk menolong gadis itu.

Aisha sempat bergidik hingga napasnya mendadak pendek-pendek. Gadis itu bergeming di posisi yang sama tak berani bergeser barang satu senti.

Aroma musk pria itu terhirup masuk ke hidung Aisha tanpa permisi. Sementara di sisi Aryan--yang sebenarnya sedang bertarung dalam benaknya sendiri--berulangkali mengaungkan tanya bingung dalam hati. Namun, hasratnya tak sabar menghalalkan Aisha untuk dirinya.

"Nah, bisa," kata Aryan lega ketika berhasil memasang sabuk pengaman buat Aisha. Apalagi kini mereka sudah hampir sampai di barisan depan lampu merah.

Aisha mengangguk canggung dan berterima kasih diikuti manik mata yang melirik kikuk.

Baru saja melewati lampu merah ponsel Aryan berdering.

"Ya, dengan saya. Hu-um. Iya. Okay. Okay."

Hanya sebentar panggilan terputus.

"Sha, kita mampir sebentar ke Pandawa Resto di depan itu boleh? Ada perlu sebentar. Nggak lama kok. Aisha, nggak buru-buru 'kan?" tanya Aryan meminta persetujuan wanita yang duduk di sampingnya.

"Sebentar aja, Mas?" tanya gadis itu menimbang.

"Hu-um. Sebentar aja. Nggak lama kok. Lagian udah mau magrib. Sekalian aja kita magrib di sana. Gimana?"

"Ya udah deh," jawab Aisha yang sebenarnya bimbang.

Sampai di Pandawa, Aryan mengajak Aisha duduk di meja bundar VVIP room beralaskan kain dan lilin putih di atas meja. Setiap sudut ruang dihiasi lampu kerlip berpadu bunga mawar putih. Resto yang mengusung konsep tradisional pedesaan itu juga banyak dihiasi dengan pohon-pohon kecil dan bambu hias horses tail yang menambah kesan estetika.

"Mau makan apa, Sha?" Aryan bertanya hangat.

"Minum aja deh, Mas. Entar lama kalau makan." Aisha tergelak menolak blak-blakan.

"Makan giiih. Sepiring pasti nggak bakal lama kok makannya. Atau Mas Aryanmu aja yang pesenin?" goda Aryan seperti biasa.

Mata Aisha melebar jenaka. Tanpa meminta persetujuan lagi Aryan memesan makanan untuk mereka berdua. Setelah itu ia pamit untuk menemui seseorang di ruang manager.

Ketika pesanan mereka tiba, Aisha baru saja selesai salat di musala. Ia bertemu Aryan yang juga baru selesai salat di area pria dan kembali ke meja bersama.

Sambil makan, alunan musik jazz klasik menemani suasana resto itu.

"Gimana kasus kemarin, Sha? Udah kelar?" tanya Aryan bersahabat.

"Kelar sih belum. Nunggu perkembangan aja gimana selanjutnya."

"Kamu kenal dia di mana sebenarnya? Sampai dia berani begitu?" lanjut Aryan lagi.

"Nggak di mana-mana. Dia-nya yang datang sendiri." Bibir Aisha mengerucut.

"Ngelamar kamu?" sambut Aryan tanggap.

Sejujurnya ia juga tahu bagaimana semua kronologinya dan latar belakang Aisha mengenal Dicki. Namun pria itu, tentu saja ingin memperpanjang waktu agar bisa terus bersama gadis humble itu.

Aisha mengembus lucu. "Mas nebak?" timpal Aisha tergelak.

"Nebak dan juga nembak!" Dahi Aryan sedikit terangkat bersama senyum optimis.

"Hhmm?" Mata Aisha melebar.

Aryan menghentikan aktivitas makannya. Mata kecoklatan pemuda itu terangkat tepat menuju manik mata biru Aisha yang menatap membola bagai boneka. "Kalau Mas Aryan ini yang melamar kamu, bagaimana?" tanyanya langsung pada tujuan utama.

Sedetik, dua detik, tiga detik. Ekspresi wajah Aisha menegang heran. Tiga detik selanjutnya tiba-tiba wajah itu berubah lucu dengan kekehan yang tertahan di mulut.

"Kok ketawa?" tanya Aryan tenang. Ia tahu benar, Aisha pasti lagi-lagi tidak percaya.

"Nggak lucu, Mas! Udahan ngapa becandanya. Kayaknya udah berapa kali Mas Aryan candain aku begitu. Ish! Nanti aku tersipu malu!"

"Bagus dooong! Tersipu aja. Aku suka. Abis itu pastikan kamu terima, ya!" Aryan menegakkan pundak ke sandaran kursi diikuti tatapan yang sengaja ia pasang seserius-seriusnya. Agar kali ini Aisha percaya bahwa perkataannya bukan main-main belaka.

Alis melengkung Aisha bertaut masih tak percaya. Ia menyedot lemon tea dari gelasnya seakan tak peka. Tatap matanya tiba-tiba jatuh pada sesuatu yang terekat di bawah tekukan sedotan kertas. Dahinya tambah mengernyit seraya menyeksamai benda itu.

Sebuah ... cincin?

Detik itu juga, tiba-tiba lampu resto mati. Hanya menyisakan lampu tumblr dan lilin di atas meja. Alunan musik pun kini berganti dengan instrumen irama musik 🎻biola dan piano 🎹 melantunkan lagu At My Worst.

Aryan menarik senyum hangat begitu melihat Aisha berhasil menyadari keberadaan cincin itu. Pemuda itu bangkit ke sebelah Aisha, membantunya melepas cincin itu dari sedotan. Pria yang punya karakter periang itu kemudian menekuk satu lutut menghadap gadis berkerudung peach dengan kemeja senada. Tangannya mengacung bersama cincin permata dalam apitan jemarinya.

"Aku serius, Aisha. Please. Marry me."

Seketika itu, angin terasa berembus menderu. Aisha terpaku. Bibirnya seketika kelu, karena itu ia pun sempat membisu.

Kejutan demi kejutan datang silih berganti. Kemarin pelecehan, sekarang lamaran yang berhasil membuat mata Aisha terbelalak penuh kejutan.

Sungguh cara Tuhan mengatur hidup manusia tak bisa diremehkan.

°°°
[Bebarapa hari ke dpan saya berada di laut untuk latihan. Ada apa2 maslh di kntor polisi, trus koordinasi ke saya, ya. Keep healthy and spirit, Sha]

[Please answer my calling, Sha.]

[Bisa kita bicara?]

Beberapa pesan terakhir Tara yang terbaca Aisha lewat notifikasi ponsel terlihat di layar paling atas ketika gadis itu sedang duduk di sebuah taman menunggu waktu liputan bersama Delon. Gadis itu tahu jelas, ada banyak deretan pesan di atas pesan itu. Sungguh, semua itu benar-benar mengusik hingga hatinya tergelitik ingin membalas. Namun, seakan dinding tinggi--entah siapa yang membangunnya--dalam hati Aisha makin membatasi. Hingga jangankan membalas, membuka pesan saja urung ia lakukan. Agar Tara tak berharap pesan itu akan terbalas. Panggilan demi panggilan tak jua Aisha respons sama sekali selama beberapa hari ini. Gadis itu bingung, dan merasa ingin menyepi.

Ia bersandar sambil mendongak ke langit menggerayangi hati. Matanya memejam seraya menggigit bibir ke dalam.

Ingatannya tentang lamaran di Pandawa beberapa hari lalu kembali melintas di kepala.

"Mas Aryan, apa udah pikir baik-baik? Mas Aryan udah tau 'kan, kalau aku ...."

"Syndrome MRKH? I know that's, Sha. Bukan satu dua hari aku kenal kamu. Aku rasa, kita sudah banyak saling mengenal dan tau satu sama lain 'kan? Jadi nggak banyak yang perlu kita pertimbangani. Waktu yang kupunya sudah cukup over untuk menyatakan ini. Kamu nggak pernah percaya kalau Mas Aryan-mu ini bilang sih. Dan kejadian kemarin, membuat aku nggak bisa menahan diri lagi. Cukup! Tolong bukalah diri kamu untuk bisa menerima seorang Aryan menjadi suami yang akan merubah status kamu, menaikkan derajat kamu sebagai seorang wanita bersuami dan menghentikan pelecehan orang-orang berengsek seperti Dicki. Aku benci itu, Sha. Aku nggak tahan lihat kamu terluka."

Aisha menelan ludah gelisah. Ia masih tak menyangka kalau Aryan serius untuk pernyataannya tentang ini dari dulu.

"Nggak semudah itu juga, Mas. Aku--"

"Kamu ragu? Ya, aku maklum itu. Tapi yang jelas. Aku tegaskan. Mas Aryan-mu ini nggak masalah dengan masalah kamu nggak bisa mengandung atau kekurangan lainnya. Aku terima kamu satu paket, Aisha. Lengkap dengan kekurangan kamu. Apa pun itu."

"Mas yakin, nggak bakal pengen punya anak suatu hari nanti? Lihat orang memeluk anak mereka, aku yakin, Mas pasti punya keinginan untuk itu juga. Pasti!"

"Kita bisa adopsi bukan? Apa masalahnya?" tandas Aryan mengangkat bahu meyakinkan.

Aisha mengangkat mata menatap Aryan yang membalas tatapannya memuja. Ia menemukan ada kejujuran di sana. Hatinya bertanya, apakah benar Aryan adalah pria yang dikirim Tuhan untuk melengkapinya dalam sebuah ikatan halal?

"Jangan jawab sekarang. Kamu pikirkan saja dulu. Bicarakan dengan orang tua kamu. Okay ...."

Begitu kalimat terakhir pria itu.

Namun, sampai detik ini, Aisha belum mau menceritakan hal ini pada Fauzi untuk alasan yang ia sendiri belum bisa meyakini.

Mengapa ia harus memilih maju?

Nyatanya lidahnya kaku untuk mengatakan 'iya' pada Aryan.

"Sha! Yuk! Dah waktunya nih." Suara Delon memecah ingatan Aisha yang berkelana. Pria dengan tinggi 190 cm itu menunjuk arloji di tangan kiri. Aisha mengangguk, lalu bangkit menyusul Delon yang sudah menunggu.

Sementara itu di perairan Tanjung Priok.

Sebuah KRI 🚢 berlayar diikuti satu helikopter yang terbang bebas di udara memantau prajurit Kopaska dalam latihan pasca pemberian teori di Grand Masta.

Di ujung galangan kapal, prajurit berbaris siap diterjunkan ke air untuk berenang ke arah tepian laut tanpa alat bantu dalam rangka melepas sandera. Dua orang instruktur berdiri di antara mereka sebagai petugas pengatur giliran prajurit kopaska.

Di antaranya juga ikut berlatih prajurit combat medic yang bertugas sebagai tim medis jika saja terjadi kecelakaan latihan di lapangan.

Di tengah rute menuju sandera, sudah diletakkan beberapa kapal karet yang dibuat terbalik untuk para kopaska berehat sejenak. Jumlahnya yang tak banyak membuat para Kopaska meski berebut dan bergantian naik agar bisa bertahan sampai ke tujuan setelah berehat sejenak.

Di antara kapal karet itu, beberapa instruktur siap memberi instruksi dan siaga jika terjadi sesuatu pada prajurit yang latihan hari ini. Tara berada di antara instruktur itu bersama Kolonel Herman di atas kapal karet.

"Go! Go! Go! Prajurit Kopaska tidak ada yang lemah! Yang tidak sanggup, silakan mundur! Angkat tangan kalian dan kembali ke kapal!" pekik Herman tegas lewat pengeras suara.

Detik itu juga, Tara melihat seorang prajurit sibuk mencapai permukaan tapi kembali tenggelam setelah berulang kali mencoba sampai ke kapal karet terbalik yang sudah dipenuhi prajurit yang kelelahan.

Sebagai instruktur, tanpa pikir panjang, Tara melompat terjun ke air dan berenang cepat menuju sasaran. Kepalanya sesekali menyembul untuk mengambil oksigen di permukaan. Sementara dari atas helikopter terlihat samar hanya gerakan tubuhnya saja yang melesat bagai ikan hiu yang mengincar mangsa. Sigap, cepat dan tepat, Tara meraih prajurit yang tenggelam dan nyaris kehabisan napas, segera menariknya ke permukaan. Wajar saja. Dalam hal ini, latihan menjadi pasukan elit tertua Indonesia, Kopaska, memang tak semua orang mampu melewatinya.

Prajurit yang mulai terkulai lemah itu dinaikkan ke kapal karet dekat Herman.

"Gimana, Bro! Nyerah? Mau jadi Kopaska memang harus gini, Bro! Ini masih permulaan!" kekeh Herman menepuk pundak prajurit itu.

Ia lalu berdiri menghadapkan toa di mulut menatap perenang yang berebut kapal karet terbalik untuk bisa mengambil kesempatan berehat.

"Ayo! Jangan kelamaan rehatnya! Gantian itu sama temen yang udah mulai cengap-cengap! Gimana mau lakukan perebutan pangkalan dan pantai kalau berenang segini aja udah Ka-O! Belum lagi latihan akomodir pendaratan kekuatan amfibi. Jumping dari heli. Kopaska bukan hanya kuat di laut, tapi juga mampu ditugaskan di darat dan udara! Sebab prajurit Kopaska bukan hanya punya keahlian demosili bawah air saja. Paham!"

"Siap Paham, Kolonel!" jawab prajurit di atas kapal karet.

"Lanjuut! Lanjut! Cepat!" Tangan Herman mengayun di depan dada memerintah segera.

Tara yang sudah kembali naik, duduk di tepi kapal karet menatap hamparan laut berisi prajurit berseragam renang hitam.

"Ada berapa perwira dari kedokteran yang ikut latihan masuk Kopaska kali ini, Kapt?" tanya Herman santai.

"Dua orang, Kolonel!" jawab Tara tegas.

"Hhhmm! Ayo kita lihat. Apa sama dengan Kapten Tara dulu?" Herman memiringkan pandang ke Tara dengan senyum dikulum seraya menepuk pundak Tara hebat. "Aku masih ingat, saat kondisi yang sama seperti ini, ada seorang prajurit yang memilih lanjut berenang tanpa singgah di kapal karet dan menjadi orang pertama yang sampai ke sasaran!" seru Herman dengan mata mengilat.

"Hei, kamu! Kamu tau siapa orang itu?" tanya Herman pada prajurit yang tadi ditolong Tara dan dijawab gelengan diam seribu bahasa.

"Ituh! Yang tadi menolong kamu!" tunjuk Herman dengan dagu, bangga.

Prajurit yang duduk masih dengan napas tersengal itu menatap ke arah Tara berbinar. Namun, pemuda yang ditunjuk hanya menarik senyum samar biasa saja. Memang begitu tuntutan Kopaska.

"Sayangnya, combat doctor yang kami juluki Dokter Paska super gila ini, mau pensiun dari Kopaska." Herman melirik Tara. "Mau fokus cari calon istri dulu, ya, kayaknya!" Herman tergelak. Ia juga tahu benar kalau pria berpangkat Kapten yang juga Dokter itu tidak agresif dalam mendapatkan jodoh meski usianya kini sudah tak belia. Ia lebih sibuk menikmati profesinya sebagai perwira dari kedokteran, mengabdi selama dua tahun lebih di kapal tempur ujung tombak Indonesia Laut Natuna Utara, setelah itu berhasil masuk pasukan elit Kopaska bertempat tugas masih di sana.

Mendengar itu Tara yang sedang meregangkan otot jemarinya menarik senyum miring penuh makna. Ingatannya semakin menajam memikirkan Aisha. Gadis itu belum juga menjawab pesan dan panggilan darinya. Apa karena kini dia punya hubungan dengan pria bernama Aryan?

Tara mendesah gusar. Tuntutan tugasnya berhasil memenggal niatnya terus maju memperistri Aisha, si gadis yang berhasil merangkul hatinya sejak pertemuan pertama di sebuah pulau. Keputusannya meminta pindah tugas pada Arya ke ibukota--demi menuruti Yona--ternyata membawanya kembali pada Aisha.

Mata Tara memicing. Tak sabar ingin segera pulang. Ia belum sempat menceritakan semua yang ingin ia ceritakan pada Aisha.

Semoga masih ada kesempatan. Setelah Aisha tahu tentang gelang milik Aisha yang ada di tangan Tara, terserah keputusan apa yang akan dikatakan gadis itu.

"Tunggu saya kembali, Sha ...."

°°°

"Saatnya Hellweek!" seru seorang instruktur di depan seluruh prajurit yang sudah berbaris usai apel pagi.

Wajah para prajurit yang mengikuti latihan pendidikan itu bergidik.
Pasalnya, hellweek adalah hari menyeramkan buat Kopaska. Sebagai mana artinya, hari-hari mereka akan berada seakan dalam neraka.

Tanpa pemberitahuan, dan bersifat dadakan. Tak ada yang tahu kapan perencanaan dilakukan.

"Ada yang tahu hellweek? Ya! Seperti neraka. Cukup sekali seumur hidup!" ujarnya lagi diikuti seringai miring.

Tanpa ba-bi-bu, sudah terhidang nasi komando (hasil blenderan nasi, lauk pauk, telur mentah, minyak ikan, terasi) di depan mereka semua yang diletakkan dalam satu tempat.

"Semua prajurit harus makan hanya dari satu tempat ini. Jika ada yang muntah, silakan muntah di sini. Yang dapat giliran setelahnya, tak ada kompromi, habiskan nasi komando sampai tandas. Mari kita lihat, sejauh apa kalian bisa menghidupkan jiwa korsa kalian di sini. Paham?"

"Siap, paham, Komandan!"

Ritual makan nasi komando berjalan. Diisi dengan drama jijik, bahkan sampai muntah dan prajurit yang mendapat giliran setelahnya yang mendapat imbas. Tentu saja. Ritual ini tak senikmat menyantap nasi padang sambil lesehan.

Jika nasi padang biasa dimakan berteman dengan jus atau teh manis dingin sebagai minuman, nasi komando dipasangkan dengan minuman brotowali yang pahitnya tak kalah jauh dengan latihan keras yang akan diterima dalam latihan Kopaska ini. Barangkali, jamu paling pahit di dunia meski digadang-gadang sangat menyehatkan.

Setiap harinya, tingkat porsi tekanan akan makin bertambah hingga memaksa prajurit harus mampu bertahan sampai titik maksimal. Habis-habisan! Siapa yang tidak kuat dipersilakan berhenti! Tak ada paksaan sama sekali. Orang-orang yang gugur dan pulang sebelum usai, akan meletakkan topi baja mereka dipinggir buritan untuk melihat berapa orang yang mundur dan berhasil lulus dalam latihan ini.

Hari ini, di atas helikopter, Tara bertindak sebagai instruktur bersama Martin memberi aba-aba pasukan CM dalam misi penyelamatan di air.

Dua orang prajurit sengaja diterjunkan ke laut sebagai objek sasaran. Selang beberapa menit kemudian, dua prajurit diinstruksi turun menggunakan tali untuk mengevakuasi korban.

Beberapa menit kemudian korban berhasil diikat ke tali dan anggota CM yang lain menarik tali membawa korban ke heli. Begitu berulang-ulang pada setiap kelompok penugasan.

Usai itu, di buritan kapal setelah latihan tadi dan istirahat sejenak.

Tara baru saja memberi simulasi cara membedah luka tembak dalam waktu singkat yang akan dibutuhkan dalam kondisi perang.

"Sebagai tim medis pilihan, kita juga harus mampu melakukan pertolongan pertama pada prajurit terluka agar bisa bertahan meski kita pun sedang terluka. Bagaimana caranya, peluru keluar dari tubuh korban dengan tepat, pasien kalian tetap bisa berperang dengan luka bekas tembak di badan. Misal, jika luka tembak di kaki. Bagaimana caranya, kalian harus bisa tetap membawanya berlari. Boleh membopong atau lainnya. Yang jelas saling bahu membahu menghadapi kondisi genting. Tim CM harus siap menanggung beban berat. Di dalam operasi militer, kita harus siap siaga, sigap ikut berperang sambil membawa perlengkapan MOR ataupun trauma pack lainnya untuk menghadapi kondisi genting. Tapi saat bersamaan kalian juga harus tetap selamat. Paham semua?!" seru Tara tegas dengan sorot mata tajam penuh kewibawaan.

"Siap, paham, Kapten!"

°°°

Duta Media Utama.

Aisha tengah menatap layar laptop dengan wajah kusut. Fokusnya buyar sejak beberapa hari ini. Sekian hari terlewati tanpa ada lagi pesan yang dikirim Kapten DoRa(Dokter Tara)--barangkali--menciptakan ruang kosong di dalam hatinya. Hal itu kah yang sepertinya tak disadari Aisha?

Citra sedang tak di ruang kerja. Gadis yang sering memanggilnya dengan sebutan "Yong" itu sedang sibuk di ruang Heni.

Untuk memancing inspirasi, ia berjalan ke mini bar dapur DuMed hendak menyeduh kopi. Tak sengaja matanya melihat sosok Riana di sana.
Langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap Riana menyebut namanya.

"Ya, mungkin Aisha itu cantik, prestasinya di DuMed juga cukup mumpuni. Dikenal sebagai reporter dan jurnalis ternama nusantara. Tapi ... ada tapinya. Gue nih, ya! Yakin! Aryan melamar dia pasti, ya ... cuma karena yang tampak luar itu aja. Yakin deh gueee!"

Riana meneguk kopi yang dibuatnya diikuti kekehan senyum Putra yang juga meneguk kopi yang dibuatkan Riana.

"Lo kayaknya masih anti sama dia, Na?"

"Anti apanya? Biasa aja. Cuma nggak suka aja! Udah! Gedeg gue ama keberadaan dia. Apa-apa dia dulu yang disodorkan. Giliran dia nolak, baru deh ke kita-kita. Emang kita rakyat jelata? Toh kerjaan kita sama 'kan?" gerutu Riana dengan mulut maju.

"Terserah kamu deh, Na." Putra tersenyum hangat.

"Gosip dia dilamar Aryan keknya mulai nyebar deh di DuMed. Ha ha. Biarin deh. Nggak salah 'kan kalau gue ngabarin kabar bahagia mereka?" Mata Riana membulat mengilat.

Putra yang melihat itu hanya terkekeh geleng-geleng kepala. Entah mengapa ia menyukai sikap judes gadis itu hingga buta kalau apa yang dilakukan Riana itu salah.

Aisha menghela napas keras. Sejujurnya ia belum mau orang-orang DuMed tahu tentang ini. Pantas saja, sejak kemarin banyak ledekan singgah ke telinganya tentang sorak sorai lamaran Aryan. Ia sudah mengonfirmasi pria itu, yang menjawab belum cerita ke siapa pun karena Aisha belum menjawab. Dari sini, Aisha tahu siapa pelakunya. Aisha tak heran, Riana memang yang paling getol mengurusi masalah hidup Aisha bagai ia itu musuh yang juga ikut mengasuh.

Tarikan miring di sudut bibir gadis itu menegaskan kesan elegan. Kali ini ia tak ingin marah. Aisha yang urung ke dapur DuMed meraih ponsel dari saku mencari aplikasi go food dan memesan sesuatu. Lalu kembali ke kubikel.

Satu jam kemudian pesanannya datang. 1 box lasagna dan 1 nasi goreng Fountain dengan ayam presto kalasan.

Bersama senyum tenang, Aisha melekatkan kertas di atas lasagna dan meminta Mang Odi memberinya pada Riana. Setelah itu, ia menyantap nasi goreng dengan suka cita dan syukur yang ia sematkan dalam hati bahagia. Tak masalah orang menceritakan dirinya. Bukankah itu sebuah keberuntungan?

Iya tidak?

Di ruang kerjanya. Wajah Riana mengetat dengan mata melebar sampai tak bisa berkedip ketika membaca sebuah pesan di atas kertas lasagna yang baru diserahkan Mang Odi. Ia merasa, Aisha sengaja memberi lasagna sebagai perumpamaan Riana yang makan daging bangkai saudaranya.


"Makasi banyak, Na. Sudah sukarela mentransfer pahala buat gue selama ini tanpa gue minta. Sebagai balasannya nih buat kamu. Maaf kalau telat. Dimakan, ya. Spesial gue pesan ini buat Riana yang cantiknya ke mana-mana. Keep healthy terus, ya, Na. Nggak boleh sakit! Kalau kamu sakit, entar yang nyakitin gue siapa?" 😉

°°°

Ada yang tau nggak? Itu Aisha mengcopy kata-kata siapa?
😆

Ada yang rindu, tapi yang punya hati terus-terusan denial mulu. Malah nggak sadar keknya tuh! 😂😂😂

Menurut kalian? 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top