BAG 20 : RIVAL

Apa kabar semua? Ketemu lagi dengan Aisha-Tara yang baru kedatangan orang ketiga. 😌😆🤭

Ada yang mau ketemu Aryan dan Monika nggak? Ada yang jadi tim mereka? Hihi.

Abis ini aku kudu getol cari sinyal dulu baru bisa update. Kalau lama. Update berarti aku nggak dapat sinyal. Wkwkwkw!

Boleh dikangenin entar, ya! Wwkwkwkw? Maksa. 😆

Jangan lupa vote dulu, ya.


Selamat membaca 🤗 semoga kalian suka. 🌹

🌹🌹🌹

Something, what is it?

Tanya itu makin menancap di dalam benak Tara. Terus menerus menggerogoti dirinya menuntut jawaban segera.

Pria dengan jaket kulit berwarna hitam itu sedang menunggu di luar ruang penyelidikan kantor polisi Jakarta Utara bersama Niel, sementara Aisha sedang berada di dalam.

Ia sudah mencoba menggali informasi dari Niel, namun sohib akrab Aisha itu hanya menggeleng lemah tanda ia tak tahu apa yang dimaksud Aisha.

Sepertinya, pria berambut sebahu yang sering disanggul itu sengaja menyembunyikan hal yang hanya Aisha yang boleh menjawabnya.

Pikiran Tara teringat kalimat Aisha malam itu tentang Sora. Ya. Sora. Mungkin Tara bisa medapat informasi dari rekannya itu. Segera, Tara berencana untuk menghubungi wanita itu.

Aisha keluar dari ruang penyelidikan saat Tara baru saja melangkah hendak keluar sambil menekan nomor Sora. Akhirnya ia kembali dan urung menelepon ke nomor dokter wanita itu.

"Gimana, Sha? Ada masalah?" tanyanya bersamaan dengan Niel yang diizinkan Utama menemani Aisha. Citra ingin ikut juga tapi tugasnya dalam program 'Cerita Nusantara' tak bisa ia tinggalkan.

Aisha menggeleng. "Tapi aku ragu Dicki bisa ditindak sesuai hukum. Dia bisa aja keluar dengan jaminan 'kan? Sultan mah bebas mau apa aja!" Aisha melirik sarkas.

"Gimana, Kapt?" Niel menatap Tara yang sudah lebih dulu mengajukan pertanyaan pada Aisha.

Mata Tara memicing. "Kamu mencium gelagat begitu?"

"Hmm." Aisha mengangguk kecil. "Dicki pasti juga menjaga nama baik dirinya di mata jajaran rekan bisnis mereka kan?"

Mendengar itu,Tara mencoba melangkah ke dalam ruang penyidik tapi tangan Aisha mencegah. Ia tak ingin Tara terus-terusan menolongnya.

"Udah deh, Dok," kata Aisha pelan.

"Sebentar. Saya mau bicara ke mereka. Kalian tunggu di sini."

Aisha pasrah saat mata tajam Tara meruntuhkan pertahanannya. Detik itu juga sebuah tanya menggema di dalam hatinya.

Tatapan itu  ... kenapa membuat Aisha melemah sekarang? Tak seperti saat mereka bertemu di Sulawesi dulu?

Entah apa yang dikatakan Tara di dalam sana. Lima menit kemudian ia keluar. "Kita akan tunggu berita selanjutnya. Kamu jangan khawatir. Saya bersedia terus hadir agar masalah ini cepat kelar."

"E-ehem!" Niel mengulum senyum meledek pura-pura terbatuk melihat Tara yang begitu intens menatap Aisha.

Gadis supel itu sempat melirik Niel kikuk sebelum mengangguk lalu mengajak mereka keluar.

"Mau langsung pulang atau balik ke DuMed, Sha?" tanya Tara sebelum masuk  ke mobilnya.

"Balik ke DuMed aja. Ya 'kan Niel?"

"Hmm. Motor kita juga masih di sana," jawab Niel yang melangkah di samping Aisha.

"Okay!"

Aisha masuk ke kursi tengah sedang Niel duduk di samping kursi kemudi. Bertepatan dengan itu, ponsel Tara yang masih berdiri di luar mobil berdering. Dahi Tara mengernyit. Lalu menjawab panggilan di luar mobil.

Sementara itu di dalam mobil.

"Sha!"

"Hhm?"

"Lo ... sebenarnya ngerasa nggak sih? Dokter Tara itu ada hati sama lo?" tanya Niel dengan tatap menerawang Dokter Tara di luar sana.

"Kenapa?"

"Nggak papa. Mastikan aja. Kali aja lo nggak sadar. Jatuh cinta 'kan nggak ada di dalam kamus hidup Rumaisha! Tapi sekarang dia nggak terus-terusan denial!" gelak Niel samar.

Aisha tak menjawab, hanya salah tingkah menatap keluar.

"Lo nggak mau pertimbangin?"

"Ck! Paan sih Niel?"

Aisha menghempas tubuhnya lemah di sandaran kursi mobil Tara menghela napas yang tiba-tiba terperangkap dalam paru-parunya.

"Yakin?" Niel memalingkan wajah ke samping menatap rekannya serius. "Yakin lo nggak punya rasa sama dia juga, Sha?" tuding Niel tajam.

"Nggak Niel  ...."

"Yakin?" timpal Niel lagi-lagi tergelak dengan nada ledekan.

"Paan sih lo!"

Erangan sebal Aisha disambut Niel dengan kekehan.

"Coba pastikan dulu. Tanya hati lo bener-bener. Jangan sampai entar lo nyesel, Sha!" kata Niel lagi menatap ke Dokter Tara.

Aisha menghela napas. Ia sendiri bingung dengan perasaannya. Prinsip hidup tak 'kan pernah jatuh cinta lebih dulu membuatnya tak bisa merasakan dan membedakan apa yang terjadi pada dirinya belakangan ini?

Kenapa darahnya berdesir ketika pria itu tersenyum padanya.

Panas dingin setiap kali berada di dekatnya.

Canggung dan mendadak bodoh jika pria itu berdebat dengannya.

Bahkan matanya, sulit berpaling dan selalu mencari sosok tegap tinggi itu jika tak terlihat dalam jangkauannya.

Itu kenapa?

Jatuh cinta kah?

Tidak! Bukan!

Aisha menggeleng dengan senyum masam. Mana mungkin! Lagipula, ia sudah bertekad untuk menjauhi pria itu 'kan? Sebab itu Aisha tak mau mengatakan kekurangannya. Begitu 'kan? Pekik Aisha mengeraskan hati.

Mata Aisha melirik Tara yang kini berdiri di pintu mobil dekat dirinya. Lagi-lagi dirinya gelisah, salah tingkah padahal Tara sedang tak melihat dirinya.

Pria itu hendak membuka pintu masuk ke mobil ketika tiba-tiba saja ponselnya kembali berdering.

"Ya, Mom." Tara duduk di belakang kemudi sambil menerima panggilan dari Yona. "He-um. Mau ke Grand Masta abis ini. Kenapa?" Beberapa detik setelahnya nada suara Tara naik. "Apa? Di mana? Okay! Okay! Iya, Mom. Hhmm!"

"Ada apa, Kapt?" tanya Niel heran. Aisha di belakang menatap lekat tak kalah penasaran.

"Monika kecelakaan di jalan Sudirman. Kalian, mau cepat balik ke kantor nggak? Kita  ... bisa ke sana dulu?"

"Ya udah. Ya udah! Ke sana aja dulu. Nggak papa kok," jawab Niel panik.

Aisha yang mendengar itu juga mengangguk-angguk. Manik matanya berkedip cepat dan melebar secepat itu juga ketika Tara memalingkan wajah menatapnya dengan sorot tanya seakan belum puas jika Aisha belum menjawab dengan jelas.

Gadis itu mengangguk dengan senyum lirih. "Ke sana aja dulu, Dok. Kelamaan kalau ngantar kita dulu. Hhm?"

Setan apa yang sedang merasuki Aisha hingga ia bisa berkata selembut itu dengan Dokter Tentara yang ia juluki Om Modus Absurd itu?

Aisha sendiri bertanya heran seraya mencebik di dalam hati. Itu tadi, kenapa suaranya terdengar sedikit mendayu? Ada apa dengan Aisha?

Melihat respons Aisha, mata Tara mengilat lalu mengangguk dan langsung melaju dengan kecepatan tinggi.

Sampai di Sudirman.

Monika sedang duduk di pinggir jalan menahan sakit. Ada beberapa orang yang mengerumuni gadis berambut panjang itu.

Tara langsung turun diikuti Niel dan Aisha yang menatap penuh tanya.

"Monika!" panggil Tara khawatir.

Gadis itu meringis. Kaki dan tangannya berdarah.

"Pangeran kodok! Kok?" tanyanya lemah.

"Tadi Momy nelepon saya. Panik bilang kamu kecelakaan. Minta saya ke sini, di rumah lagi nggak ada kendaraan. Kamu gimana kok bisa gini?" tatar Tara dengan mata memindai kondisi Monika.

"Tadi Tante Yona minta tolong belikan sesuatu. Ya udah. Aku yang keluar. Rupanya ada mobil yang ugal-ugalan tadi di sini. Entah gimana nabrak aku dari belakang. Aku keperosok ke parit besar itu. Orang-orang ini yang nolongin naik. Terus aku minta mereka hubungi ke rumah."

"Ya udah. Ya udah. Kita pertolongan pertama dulu, ya!"

Tara bangkit menuju bagasi mobil mencari kotak perlengkapan medisnya. Ia kembali dan berjongkok di depan Monika yang meringis kesakitan. Melihat itu, orang-orang yang tadi menolong Monika paham, pria itu teman dekat korban lantas mereka perlahan bubar.

Cekatan, Tara membersihkan dan membalut luka.

"Pangeran kodok, aku haus," kata Monika lemah.

Tara meminta tolong Niel mengambilkan air mineral di jok depan mobilnya. Begitu Niel menyerahkannya, Tara membuka tutup dan menyodorkan pada Monika langsung ke mulutnya sebab tangan gadis itu penuh luka.

Rambut panjang Monika yang jatuh ke wajah, sibuk ia seka dengan kepayahan. Melihat itu, Tara bangkit dan berdiri ke belakang Monika, meraup seluruh rambut lurus itu setelah mengambil sapu tangan dari sakunya. Kemudian mengikat rambut Monika dengan sapu tangan itu cekatan.

Sementara tak jauh dari mereka. Niel tengah curi-curi pandang ke arah Aisha yang kini menatap semua adegan dengan ekspresi wajah tak biasa. Niel mengulum senyum lucu, ia bisa menebak dengan jelas apa yang sedang dirasakan gadis bermata biru di sana.

"Kita ke rumah sakit aja abis ini, ya. Kita nggak tau ada luka dalam atau nggak," kata Tara setelah selesai melakukan pertolongan pertama buat Monika.

"Gimana baiknya aja," jawab Monika pasrah.

Tara bangkit menatap Niel dan Aisha. "Niel, Sha, kita  ...."

"Iya, Kapt. Cepetan gih! Nggak papa. Entar lama-lama bahaya." Niel memotong langsung tahu apa yang akan dikatakan Kapten Laut itu.

Tara kembali menatap Aisha.

"Iya. Ke rumah sakit aja cepetan, Dok. Kita biar balik ke kantor sendiri aja. Ya, Niel?" kata Aisha dengan mata lekat agar Niel setuju.

"Hu-um. Dokter bawa Monika aja segera ke rumah sakit gih! Cepetan, Kapt!"

Sedikit tak enak, Tara menatap Aisha gamang. Separuh hati ia meninggalkan Aisha di sana. Harusnya, gadis itu diantar kembali olehnya kembali ke kantor, sebab dia yang tadi menjemputnya di sana. Namun melihat kondisi Monika, ia juga tak boleh bersikeras bukan?

Tara berterima kasih pada orang-orang yang berada di sana telah menolong Monika sebelum ia tiba. Setelah itu, ia membantu gadis itu berdiri, membopongnya ke mobil.

Kaki Monika terseok dan hampir jatuh sebelum Tara refleks menangkap pinggang Monika kuat. Aisha juga refleks ingin menolong di belakang Tara jika saja kedua insan yang cukup intern di mata Aisha itu tak lanjut jalan.

"Hati-hati," kata Tara bersahabat meninggalkan Aisha yang urung menangkap Monika.

Detik itu juga Niel kembali memergoki wajah Aisha yang memerah seraya menelan ludah gelisah, meremat dan memetik jemari di tali tas yang ia cangklongkan di pundaknya.

Setelah membantu Monika naik ke mobil, Tara kembali.

"Sha, Niel. Maaf, ya. Saya  ...."

"Nggak papa, Kapt. Jangan merasa nggak enak gitu. Kita malah yang nggak enak jadinya. Ya 'kan, Sha?" kata Niel menggeser pandang ke arah Aisha.

"I-iya. Ki-ta nggak papa kok," timpal Aisha sedikit gagap.

"Maaf, ya. Kalian jadi ke kantor sendiri. Harusnya saya yang antar lagi."

"Udah deh, Kapt. Santaaai." Niel menepuk-nepuk pundak Tara bersahabat.

"Ya udah. Saya  ... duluan, ya. Kalian naik apa?"

"Gampang, grab banyak kok," kata Niel jenaka.

Tara mengangguk ragu dan pamit lebih dulu.

Saat langkah Tara berbalik menuju ke mobil.

"Ada yang kebakar! Kecium bau terbakar nggak, Sha?" bisik Niel mengendus dengan  ekspresi wajah serius di samping Aisha.

"Eng?" Gadis itu melenguh linglung. "Nggak. Bau bakar apa? Nggak ada yang lagi bakar-bakar kayaknya," kata Aisha bingung.

"Ada!" Niel mengendus-endus lagi. Kali ini bahkan dengan nada menghunus. "Hhm 'kan. Gue aja kecium. Masa lo nggak!"

"Ck! Mana?"

"Nih! Ha, dekat sini deh baunya!" ujar Niel lucu di samping Aisha.

"Ish! Paan sih!" Gadis itu menepuk pundak Niel geram diikuti gelak tawa Niel sempurna. Kenapa pula dirinya yang bau terbakar?

"Ada yang terbakar. Tapi yang punya hati nggak nyadar. Ha ha ha!" bisik Niel lagi menahan tawa yang hampir membahana.

Sontak, mendengar itu Aisha memberengut ke arah Niel. "Paan sih lo, Niel!" berangnya kesal dengan wajah yang ditekuk.

Bukannya ciut, pria yang lebih sering kemayu itu malah semakin melebarkan tawa tapi tertahan suaranya.

"Aishaaa! Nieeel!" Suara lengkingan seseorang dari mobil Avanza Vios tiba-tiba tertangkap telinga mereka.

"Mas Aryan?" ucap Aisha dan Niel bersama dengan sorot mata heran.

Aryan memarkir mobil di belakang mobil Tara yang baru menyala mesinnya. Pria yang sudah duduk di kemudi itu menatap dari spionnya mobil yang pernah ia lihat di parkiran DuMed itu.

Siapa?

Aryan yang turun dari mobil sempat tertangkap netra Tara. Pria itu mendekati Aisha dan Niel. Mata Tara menajam penuh firasat. Ia mencium gelagat cukup mencurigakan dari pemuda dengan potongan rambut brushed on top itu.


Pasalnya, Tara pernah melihat pria itu berbincang akrab dengan Aisha di drop zone Duta Media Utama. Gadisnya bukannya bersikap galak, malah terlihat sangat welcome dengan tawa merekah sempurna seperti saat bicara dengan Niel, Rendra, yang jelas selain dirinya.

"Pangeran kodok. Hayok buruan!" Erangan Monika membuyarkan fokus mata Tara. Ia menyadari Tara sedang memicing dan memikirkan sesuatu.

"Okay! Okay!"

Pemuda yang rahangnya mulai mengeras itu sempat melirik ke kaca spion kanan dekat pintu penuh firasat dan siasat sebelum pergi. Saat bersamaan Aryan juga menatap wajah Tara dengan senyum penuh arti hendak masuk ke kursi kemudi.

°°°

"Mas Aryan kok bisa di sini?" tanya Aisha dari kursi belakang.

"Ada perlu tadi keluar kantor sebentar." Aryan menjawab dengan tenang dan senyum mengembang. Sementara Niel yang duduk di sebelahnya berpikir sumbang.

Benarkah Aryan datang ke sana hanya sebuah kebetulan?

"Ooh. Ketepatan banget lihat kita di situ. Kita juga mau balik ke DuMed tadi!" seru Aisha senang.

Tak ada yang bersuara menjawab. Hanya gumaman dari Aryan terdengar samar.

Sampai di DuMed. Aisha dan Niel langsung kembali ke ruang kerja setelah berterima kasih.

Aisha membereskan pekerjaannya yang tertunda dan pulang ketika jam sudah menunjukkan pukul 17.30.

Menuju parkiran motor, sontak Aisha melenguh kasar ketika tahu ban motornya kempes. Pasrah, akhirnya ia memutuskan melangkah ke pos security melapor kalau motornya ditinggal di DuMed malam ini.

Berjalan menuju drop zone di depan pintu utama DuMed sambil membuka aplikasi grab online. Sebuah avanza berwarna silver berhenti di depan Aisha.

"Sha? Kenapa?" tanya Aryan merunduk setelah membuka kaca pintu mobil sebelah kiri.

"Ban motor gue kempes, Mas. Mau pesen grab aja."

"Oh, ya? Yuk, sama Mas aja. Mau pulang 'kan?" tanyanya lagi ramah.

Aisha mengigit bibir bimbang. "Iya sih. Tapi  ...."

"Udaaah! Yuk ah! Sekalian jalan kok. Hhm!" Aryan membuka pintu di samping kemudi mempersilakan Aisha naik.

Gadis itu, akhirnya menurut. Tentu saja hal itu membuat senyum dalam hati Aryan terlukis sempurna. Usahanya untuk pulang bersama Aisha sore ini terlaksana sesuai rencana.

Begitu mobil Avanza Aryan keluar dari pintu gerbang DuMed, Niel baru saja melintas hendak keluar juga di jalur sepeda motor. Matanya menangkap ada Aisha di mobil Aryan.

"Aisha? Sama Mas Aryan pulang bareng?" gumamnya sumbang. Niel yakin, ada sesuatu dari sikap Aryan.

Keluar dari pagar DuMed ponsel-nya berdering.

Kapt Tara.

"Sssh! Panjang umur nih, Dokter. Baru juga ngebatin, eeeh, dia nelpon," celetuk Niel dengan mulut maju.

"Hhmm, ya, Kapt!" jawab Niel menyelipkan ponsel itu di antara telinga dan helm lalu kembali melaju pelan.

"Udah. Kenapa? Aisha udah pulang malah sama Mas Aryan. Ati-ati, kena tikung lo entar!" jawab Niel asal karena gusar Kapten Tentara yang ia dukung mendapatkan Aisha itu belum juga berhasil menaklukkan hati keras Aisha.

Di seberang sana, mendengar itu mata Tara kembali menajam. Kali ini hatinya mulai tak keruan.

Aisha pulang dengan Aryan? Kenapa tak naik motor seperti biasa?

Apa karena itu Aisha tak menjawab panggilannya? Bahkan pesannya juga tak kunjung dibalas gadis incarannya pula.

Apa   ....

Agh! Begitu banyak tanya berkelebat dalam hatinya bagai sesak yang berkesumat.

Tara yang masih di rumah sakit bersama Monika memejam dalam. Ternyata firasatnya benar.

🌹🌹🌹

"Hello, Dokter. Kenalkan, saya Aryan Permana. Apa kita mengincar gadis yang sama? Saya rasa demikian. Ayo kita bersaing secara sehat. Tapi maaf jika saya telah mencuri start! Yang jelas, saya lebih lama bersama Aisha dari pada Anda." 👉😉

🌹🌹🌹

Wew! Gimana menurut kalian keberadaan Aryan ini? 😂🤭

Ada yang mau jadi tim dia kagak? 😍

Apa tetap setia jadi tim solid Tara?

Komentar, masukan kalian aku nantikan 😚

Hei, hei, jangan lupakan keberadaan Monika juga, ya. 😁 Ada yang mencium gelagat mencurigakan nggak dari gadis berambut panjang ini dengan  orang tua Tara? 😬


"Hai, I'm Monika." 😉👉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top