BAG 2 : PAST

Bismillah. Ketemu kembali. 🤗
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komentar positif untuk injeksi spirit, ya. 😁
Ini buat kalian dari series ini 🌹🌹🌹🌹🌹🤗
Selamat Membaca

🌹Madam Rose Series🌹
SECRET ADMIRER


Tara baru saja tersadar dari disorientasi akibat efek suntikan obat tidur. Terhitung sudah hampir 37 jam ia tak terpejam pasca kejadian ledakan di gudang amunisi. Ia sudah dibawa ke Rumah Sakit Port Medical Center untuk mendapatkan perawatan lanjut. Dokter yang menanganinya akhirnya memberikan obat tidur agar Tara bisa terpejam demi memulihkan kesehatan.

Tara duduk memegang dahi. Ingatannya kembali ingin mengonfirmasi kondisi Pujo. Tak sabar, ia hendak melepas jarum infus di tangan kiri ketika Rendra datang mencegahnya.

“Kapt!” cegah Rendra cepat.

 “Saya mau lihat Pujo, Rend. Dia dibawa ke rumah sakit ini?”

 “Tidak, Kapt. Dia di Dintohardjo.”

“Oh. Kamu sudah dapat kabar? Bagaimana kondisinya? Dia sudah siuman?”

Rendra tertunduk dan sempat bergeming. Ia paham betul atasannya sangat mengkhawatirkan Pujo. Namun tak tega mengatakan kebenaran melihat kondisi Tara yang baru terbangun. “Dia sudah mendapat pertolongan medis terbaik, Dok. Anda yang melakukannya.”

 “Saya harus melihat Pujo.” Tara kembali hendak melepas infus.

 “… Kapt! Letnan Pujo ….” Rendra tertunduk sambil menimbang dan memilah kata.

Menangkap gurat lain dari wajah Rendra, Tara bisa langsung menebak.

“A-apa, Letnan Pujo?” katanya terbata menatap lekat Rendra. “Jangan bilang ….”

Tara berharap kabar baik yang akan dikatakan Rendra. Namun, Kelasi itu mengangguk pelan.

“Dia … berhasil menjabat gelar pahlawan negeri, Kapt. Dia sudah tenang dan nggak merasakan sakit lagi. Dia sedang dikebumikan di Kalibata. Maaf, tidak memberi kabar pada Kapten. Dokter Jeriko melarang membangunkan Anda karena Kapten baru bisa terpejam pukul dua malam tadi. Tapi saya sudah mencoba membangunkan dokter juga supaya bisa melihat Letnan Pujo terakhir kali. Tapi … Kapten … tak bangun juga.”

Mendengar itu. Tara terpaku seakan aliran darahnya membeku. Tanpa bisa ia cegah, hatinya terpukul bagai ada palu besar yang menumbuknya pilu. Tak mampu berkata apa-apa lagi. Netranya berkaca, memejam redam dan tubuhnya sedikit terhuyung. Efek obat tidur itu ternyata membuat ia sulit terbangun.

“Kapt!” Rendra menangkapnya cepat.

Akhirnya Tara pun tersandar di kepala ranjang menahan duka. Tanggap, Rendra pamit keluar untuk mengambil air minum.

Tak lama setelah kepergian  Rendra. Tara melepas paksa infus. Perlahan menurunkan gulungan celana panjang di paha. Lalu meraih jaket hitam di sisi kiri ranjang. Sebelum sampai ke pintu ia melihat ada topi hitam di atas nakas lalu meraihnya gegas. Pria yang belum full recovery itu pergi keluar rumah sakit tanpa ada sesiapa yang tahu. Masih dengan perban di dahi dan balutan di tangan dan kaki, ia melangkah pasti. Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata menjadi tujuannya kali ini.

***

Berteman gemelisik angin pukul 14.30 seorang lelaki berjaket hitam sedang terduduk lesu di atas pusara yang masih basah. Di bawah pusara itu beristirahatlah jasat Lettu Laut dr. Pujo Nugraha yang kematiannya cukup mengguncang Dokter Tara Adiwilaga. Sanak keluarga Pujo masih di sana ketika Tara sampai. Sementara upacara pemakaman sudah selesai. Tara mendekap tubuh Ayah Pujo duka dan meminta maaf, tapi tepukan hangat yang ia dapat.

“Terima kasih, Nak. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk Pujo,” ucapnya hangat, membuat duka Tara semakin terasa lamat-lamat.

“Pujo yang menyelamatkan saya, Pak,” akunya dengan genangan air mata.

“Tapi kamu juga menyelamatkan dia sampai bertarung nyawa. Hanya saja, Allah ingin menjemputnya. Pujo pasti bahagia dan bangga telah melakukan hal yang menurut dia benar.” Ayah Pujo kembali menepuk-nepuk pundak Tara seakan ia juga darah dagingnya.

Tara sedikit terheran. Apa Ayah Pujo sudah tahu detail ketika ia menyelamatkan sahabatnya? Apa sudah ada yang bercerita?

Setelah itu keluarga Pujo pamit pulang lebih dulu.

 Bagi Tara, Pujo bukan hanya sejawat, tapi juga sahabat seperjuangan dalam arti sesungguhnya. Lelaki itu adalah adik kelasnya saat menimba ilmu di fakultas kedokteran. Meski Pujo adalah adik kelas, tapi kedekatan mereka tak bisa dianggap ‘cuma’. Tara dan Pujo pernah tinggal satu kosan. Mereka sering berbagi ketika salah satunya makan tak bergizi. Selalu hadir siaga saat salah satunya sakit. Hidup merantau, membuat mereka saling mengisi dan menghargai. Ikut merasai sakit saat masalah menghadang tak terperi. Tak pernah pergi saat masa terpuruk menjadi pengisi hari dan tak satu pun teman yang mau berada di sisi.

Lalu kejadian kemarin? Bagaimana hati Tara tak perih? Apalagi Pujo pergi karena menyelamatkan sahabat karibnya ini?

“Sahabat sejati, tak pernah ingkar janji!”

 Kalimat itu yang selalu diucapkan Pujo setiap kali menegaskan kalau mereka akan selalu ada untuk satu sama lain selama masih bisa dijangkau jarak sampai darah penghabisan. Dan Pujo, telah membuktikan kata-katanya sebagai seorang sahabat, kerabat, prajurit hebat yang akhirnya sukses melekat dalam ingatan berkelebat.

 Tara mengusap bulir bening yang mengaburkan pandangan netranya setelah memanjatkan doa untuk Pujo. "Thanks for being my Sob, Jo! Sahabat sejati, selalu di hati!"

Ia bangkit masih dengan keadaan hati berduka. Memorinya menambah luka itu kian terasa.  Bagaimana tidak? Tragedi yang menyebabkan kondisi harus kehilangan Pujo cukup menyakiti hati, sekaligus mengarit memori masa kecilnya yang tak terperi. Ketika harus kehilangan seorang Ayah yang ia kagumi. Malam di mana langit gelap berubah menjadi kilatan merah menantang yang siap runtuh menghujam setiap nyawa yang ada di bawahnya.

 Usianya enam tahun malam itu. Ia dan sang ayah sedang duduk di teras rumah ketika tiba-tiba suara dentuman besar menggema di pemukiman mereka. Tak lama bulatan-bulatan merah terbang melesat di udara tak beraturan dan jatuh mengenai sasaran secara acak. Warga yang merasa heran dan mencari kepastian ada apa gerangan berhambur keluar rumah. Tiba-tiba saja, satu mortir melesat di udara dan jatuh menghantam tepat di jalanan perumahan mereka. Lalu dengan cepat melahap semua orang yang berada di radius beberapa meter dari tempatnya.

Adiwilaga, Ayah Tara yang melihat bulatan api mendekat itu sempat lari menjauh dan berhasil selamat. Ia sendiri masih tak mengerti dari mana mortir itu berasal. Tak pikir panjang, ia meraih tubuh kecil Tara untuk masuk ke rumah.

 “Yona, cepat! Gegas bawa barang berharga. Kita pergi segera!”

“Ada apa?”

“Entahlah. Yang jelas kita tak bisa berdiam di sini sekarang!”

DUAM! DUAR! SET!

 Bagai pesta amunisi. Mortir, roket BM-14 buatan Rusia, Howitzer 122 mm, granat, peluru dan lainnya, bagai hujan api menghujam setiap tanah, bangunan, pemukiman yang dalam hitungan menit hancur berantakan.

Tara yang menyaksikan pemandangan itu terbelalak. Monolog hatinya berujar terpana seakan semua akan baik-baik saja. Prajurit yang berasal dari angkatan laut dengan sigap mengintruksi warga untuk mengungsi sementara. Menatap mereka, mata Tara berbinar bangga.

“Tara. Ayo!” pekik sang Ayah tegesa seraya menggendong tubuh berisi anaknya.

Ia pun dibawa berlari sambil sesekali, Adi dan Yona bersembunyi menghindari jika ada roket atau granat yang tiba-tiba menggelegar.

Beribu-ribu orang tumpah ruah di jalanan. Kendaraan pun memenuhi badan jalan. Sementara dentuman maha dahsyat kembali, berulangkali, lagi dan lagi terbang bebas di udara dengan jarak beberapa meter di atas kepala. Jatuh menghantam  dan melahap apa saja di sana tanpa pandang siapa. Siap menikam, menghujam, orang-orang yang berlari, jatuh, bangkit lagi, tiba-tiba tiarap jika roket itu datang dan kembali berdiri, lari berhamburan tak tentu arah ke mana tujuan. Pemandangannya persis bagai berada di tanah pertempuran medan juang.

Setiap kali ledakan berdentum, bumi pun terasa berguncang. Tanah tempat mereka berlarian menggetarkan setiap kaki yang berpijak. Langit malam itu tak lagi gelap. Berganti dengan gemerlap yang seakan siap runtuh meluluh lantak.
 
Kedua orang tua Tara memilih berlari daripada harus ditelan kemacetan jalan jika mengungsi dengan mobilnya. Mereka sedang berlindung di emperan toko ketika suara roket melesat bebas di udara dan ternyata jatuh tepat di samping toko. Adiwilaga yang sudah memperkirakan itu lari menghindari dan menginstruksi Yona juga. Mereka pun terpisah. Masih dengan menggendong Tara ia berlari tapi kecepatan roket itu mengalahkan langkahnya. Adi tersungkur dengan Tara terpental beberapa hasta. Ayahnya bangkit, saat tiba-tiba sebuah roket kembali datang dan menghantam tanah tak jauh dari mereka.

Allahu Akbar!” pekik ayahnya seraya menyambar tubuh Tara agar anak itu selamat dari efek ledakan. Benar saja, Tara selamat. Namun ayahnya sekarat. Wajah Adiwilaga yang bercucuran keringat dengan raut menahan sakit sempat Tara tangkap. Lelaki kecil itu memekik memanggil Ayahnya. Selanjutnya, sang ayah mendapat pertolongan prajurit berseragam loreng sementara ia berpindah ke gendongan seorang lelaki tegap berseragam loreng juga sebelum menemukan Yona. Akibat kejadian itu, ia harus kehilangan sang Ayah.

Kejadian itu menjadi sejarah tak terlupakan bagi siapa saja yang ada di sana. Dari investigasi, ledakan berasal dari gudang amunisi milik Korps Marinir Angkatan Laut yang menyimpan banyak amunisi dan bahan peledak. Ketika langit malam runtuh. Begitu orang-orang menjuluki tragedy hari itu.

Ingatannya tentang sang Ayah dan Pujo masih memenuhi kepala. Langkah Tara segera menuju ke sebuah Coffe Shop. Ia butuh pasokan dopamine saat ini.

Dua puluh menit setelah itu. Ia sudah duduk di Marine Café bersama segelas cokelat panas. Senyumnya terukir sengau. Lagi-lagi ayahnya begitu banyak meninggalkan cerita meski kebersamaan mereka hanya beberapa tahun saja.

“Anak laki-laki nggak boleh terlalu lama bersedih. Karena di pundak lelaki ada banyak tanggung jawab yang harus terus kita perjuangi,” ucap Ayahnya ketika mereka duduk berdua di sore hari, setelah Tara merajuk dan menangis karena bertengkar dengan temannya ketika pulang mengaji.

“Sedih, boleh. Berlarut-larut jangan. Kita laki-laki, meski pandai mengolah sedih kita menjadi bahagia agar syukur tetap terus bersemayam di dada. Dengan begitu, tanggung jawab kita tetap terus terjaga.”

 Tara menajamkan telinga, agar setiap wejangan dari sang Ayah dapat ia cerna.

 “Ayo minum. Daripada sedih terus. Mending santai minum ini,” kata Adiwilaga seraya menyeruput gelasnya. Ayahnya tadi memang datang dengan dua gelas di tangan yang kemudian diletakkan di atas meja.

“Ini apa?”

Cocholate. Cobain. Pasti sedihmu pergi.”

 Dengan mulut mengerucut. Ragu, Tara kecil meraih gelas miliknya. Detik kemudian rasa cokelat panas itu tercecap di lidahnya.

 “You know, Tara. Cokelat bisa merangsang pelepasan endorphin.”

 En-dor-Phin. What is it?”

“Salah satu hormone bahagia yang ada di otak.”

 Tara lagi-lagi menajamkan pendengaran dan beralih melekatkan mata menatap netra sang ayah. Ayahnya yang paham kecenderungan anaknya tentang rasa penasaran akan hal baru melanjutkan.

 “There are four primary chemicals in our brain that effect happiness. Dophamine, endorphins, oxytocin and serotonin.”

Tara mengernyit tak paham.

“Ingat saja semua nama itu. Suatu hari akan Ayah jelaskan lagi fungsi dari keempatnya. Oh, bukankah nanti kau akan menjadi dokter seperti Ayah ‘kan?” ledek Adiwilaga memancing argument Tara.

“Tapi Tara suka prajurit, Yah. Mereka terlihat keren!” jawab Tara kecil jenaka yang kini sudah lupa dengan kesedihannya.

 “Oh, anak Ayah ternyata sudah pandai berargument sekarang?” Adiwilaga mengacak sayang puncak kepala Tara yang disambut kekehan jenaka bocah lelaki semata wayangnya.

  Mengingat itu, Tara menghela napas berat. "Saya kini menjadi keduanya, Yah. Andai Ayah ada saat ini. Kita bisa minum cokelat panas berdua di sini."

Tara meneguk perlahan cokelat panas pesanannya. Sempat ia menangkap beberapa orang yang duduk tak jauh darinya sedang berbisik, seakan membicarakan dirinya. Abai, dia tak ingin menghiraukan hal itu.

 “Ledakan gudang amunisi Jalasveva Jayamahe milik TNI Angkatan Laut kini dijaga ketat. Menurut investigasi pasca kejadian, selain karena banyak menyimpan peluru. Ledakan dahsyat itu terpicu dari TNT[1] atau Trinitrotoluena di gudang amunisi yang menyebabkan api dari arus pendek dengan cepat menyambar. Ledakan ini terdengar hingga radius berkilo meter. Sampai saat ini telah tercacat, 98 orang terluka. Dan empat orang meninggal dunia. Para korban dari tentara dan sipil kini dirawat di Rumah Sakit Tentara Angkatan Laut Dintohardjo, Rumah Sakit Port Medical Center dan Rumah Sakit  Sukmul Prima Medika. Letak markas ini cukup strategis karena jauh dari pemukiman warga. Karena itu sebagian besar korban berasal dari prajurit yang ada di sana. Pulau ini hanya berjarak sekitar 500 meter dipisahkan jalur pelayaran penting yang juga menjadi lokasi galangan kapal di sisi barat. Letaknya yang strategis, memagari jalur pelayaran utama dari Pelabuhan Sumpah Palapa terutama jalur pelayaran tiga kota maritim pokok Indonesia selain Jakarta.”

Suara bass seorang pria penyiar berita terdengar dari televisi besar yang ada di kafe. Tara menyimak berita itu dengan saksama dan sorot mata sendu. Empat orang meninggal. Apa itu artinya …? Lalu penyebab ledakan di gudang?

Suara dentingan lonceng di pintu masuk kafe bergemerincing. Seorang wanita berhijab merah muda dengan blazer senada melangkah masuk ke sana. Tak sengaja mata Tara menoleh ke asal suara. Dan seketika itu juga, jantungnya berdegup—tanpa sengaja—bahagia. Seakan Four primary chemical dari cokelat panasnya pecah. Kali ini bahkan gempuran itu bertambah.

“Yong, abis ini lu temenin gue ke Astra, ya!” Seorang gadis mengekori wanita yang dilihat Tara. Oh, rupanya ia tak sendiri. Mereka mengambil duduk di salah satu meja di sudut utara. Tara mencuri pandang ke arah mereka. Batinnya menduga, kalau mereka sedang memburu berita. Tentang ledakan kemarin, bisa saja.

Lonceng kembali bergemerincing. Masuk seorang wanita yang Tara kenal. Namun kali ini ia ingin menghindar. Tak disangka, wanita itu melangkah pada dua gadis di meja tadi lalu berbincang sejenak. Selagi mereka focus di sana, segera Tara menghabiskan cokelatnya dan meninggalkan uang di bawah gelas. Kemudian bangkit dan merapatkan topi hitam di kepala.

“Aksi heroik seorang tentara sempat terekam kamera lewat akun social media dengan nama Candra Satria. Saat kejadian berlangsung, Satria yang tak lain adalah petugas kebersihan di markas TNI AL Galapaga sedang berada tak jauh dari gudang amunisi. Dalam video ini, terlihat seorang tentara keluar dari kepulan api dan asap gudang amunisi yang meledak sambil membopong korban dan sigap melakukan pertolongan pertama. Setelah itu, seakan tak takut mati, prajurit yang tampaknya juga terluka itu kembali berlari menyambar api untuk menolong satu korban yang keluar dari gudang dengan api di sekujur badan. Prajurit itu dengan heroiknya mengeluarkan korban dari kepulan asap menggunakan selimut lalu kembali membopongnya dan memberi pertolongan.”

Suara bass seorang pria pembawa berita kembali terdengar dari televisi kafe. Tara yang mendengar itu langsung melihat ke arah TV. Di sana terlihat potongan video yang sempat—dikatakan—terekam itu. Batin Tara terkejut hingga matanya tak berkedip melihat berita tersebut. Hah? Itu?

“Aksi prajurit ini mendapat respons dan banyak pujian dari netizen. Bahkan tak sedikit yang juga memuji ketampanan wajahnya. Sampai hari ini, video itu langsung beredar di dunia maya dan telah ditonton tujuh ribu kali.”

Tara yang sudah berdiri hendak pergi merasa kali ini banyak pasang mata kembali tertuju padanya. Tak ingin dipergoki, ia merunduk seraya menarik topi ke bawah agar bisa menutupi wajah. Cepat-cepat ia melangkah sebelum ada yang menyadari keberadaan sosoknya kali ini.

“Abang itu! Pangeran hero! Eh, pangeran katak!” Seorang pengunjung kafe berdiri mendekat sambil menunjuk Tara yang baru melangkah hendak pergi. “Eh, abang ini yang tadi di berita ‘kan? Wah. Iya bener! Masih beperban!”

 Spontan pekikan itu semakin mengundang banyak mata. Termasuk tiga wanita di meja sudut utara. Tak ingin mengonfirmasi. Cepat-cepat Tara berbalik ke arah kamar mandi. Namun ….

  TAP!

Seseorang berhasil menarik pundaknya hingga ia berbalik. Tara menangkis tangan itu dengan tangan kiri, tapi tangan kiri lawan berhasil masuk ke samping kanan pipi dan mencengkeram kerah jaketnya kuat.

“Kapt! Benar ini kamu! Heh, kamu harusnya di rumah sakit!”

Tara tertunduk dan menyentak tangan yang mencengkeram jaketnya. Namun tiba-tiba tangannya mendadak lemas. “Aa!” Ia meringis, luka di tangannya seketika nyeri.

“Hei! Bandel! Balleek!” pekik wanita itu lagi, yang tak lain adalah Sora. Salah seorang dokter di rumah sakit Dintohardjo yang juga sahabat Tara. Batin Tara sempat merasa geli mendengar kata ‘baleek’ dari mulut Sora. Persis seperti tokoh ‘Kak Ros’ di kartun Malaysia.

“Iya. Ini saya juga mau balik!” balas Tara sengit.

 Citra dan Aisha yang tadi duduk bersama Sora ikut berdiri ketika dokter wanita itu bangkit dan berlari memergoki Kapten yang wajahnya tadi ada di layar televisi.

“Hhmp, Bang. Boleh minta foto sebentar nggak?” Seorang pelanggan kafe berujar malu tapi mau.

Aksinya itu bukannya mendapat ejekan, malah disambut kericuhan dukungan. Tara bergidik dan tersenyum masam. Sungguh ia tak menyukai kondisi ini. Begitu pun Sora yang menyapu sekitar dengan enggan.

Aisha yang melihat sosok tegap bersama Sora hanya memasang ekspresi datar tapi batinnya menggerutu. Ck! Wajah ini lagi!”

Memangnya apa yang salah dengan wajah Tara?

Di dalam hati ia mencibir malas sambil memutar bola mata. Kemudian mengajak Citra segera pergi menjahui kerumunan. Tangannya hendak meraih kemeja Citra. “Ay—“

“Dokter Sora! Izin sebentar dong. Boleh minta foto bareng sama abang ini? Dapat wawancara apalagi. Ide bagus itu!” ucap Citra yang sudah menjauh dari Aisha sambil cengengesan girang bukan kepalang di samping Sora yang menatapnya sengklek.

“Hoh? Kamu pun nggak mau kalah juga?” ledeknya sarkastik dengan mata mendelik.

Aisha yang melihat aksi Citra itu spontan ternganga dungu dan meringis gemas. "Citraaaa!"

🌹🌹🌹

Ada yang mendadak terkenal, tapi bukan artis bawaan. 😬😁

 
Note untuk part ini.

[1] TNT singkatan dari senyawa kimia dengan nama IUPAC 2,4,6-Trinitrotoluene dan rumus kimia C6H2(NO2)3CH3.  Senyawa ini berwana kuning pucat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top