BAG 19 : HOT NEWS
Terima kasih dan selamat membaca. Jangan lupa vote dulu, ya. Danke 🔫🔫🔫pew! 🌹🌹🌹
°°°
Rasa penasaran yang tinggi masih menghantui benak Tara setelah kejadian tadi malam. Apa yang tak ingin Aisha untuk Tara ketahui? Dan apa yang ingin dikatakan Fauzi?
Tara pamit pulang setelah Aisha kembali keluar meminta Fauzi agar cepat istirahat, berterima kasih pada Tara dan memintanya pulang dengan alasan sudah larut malam.
Pagi ini. Tara yang sudah menggunakan kaus motif loreng untuk berolahraga di lantai bawah, melangkah ke kamar Bella yang ternyata sudah kosong.
Kaki Tara segera menginjak anak tangga menuju lantai satu rumahnya dan mendapati sedikit keramaian di ruang makan dekat mini bar dapur. Alis Tara terangkat satu, siapa gerangan yang pagi-pagi sudah bertamu?
"Le, sini, salim dulu sama Tante Mimi. Baru tiba tadi malam." Yona yang melihat tubuh tegap putranya datang langsung memanggil.
Kerlingan tak terduga di wajah Tara merekah. "Wah, Tant. Kok nggak kabar-kabari mau datang?" Tara mendekat dan menyalami Mimi, adik sepupu Yona.
"Udah. Sama Momy-mu. Lagian Tante tau kamu 'kan sibuk. Hhmm?" Mimi mengusap hangat pundak Tara yang memeluknya.
"Ah, Tant. Kalau cuma mendengar kabar kan masih bisa. Apa salahnya kalau Tara tau tante mau datang. Momy juga nggak bilang." Tara melirik Yona heran.
"Baru kemarin. Lagian kamu dari kemarin nggak di rumah. Tadi malam, Jam berapa kamu baru pulang coba?" Yona yang sedang sibuk dengan alat dapur memberengut lucu.
Benar, Tara baru tiba ke rumah pukul 02.00 pagi.
"Iya, maaf. Ada insident tadi malam."
"Insiden apa?" sambar Yona dan Mimi bersamaan.
"Hhm? Oh, nggak." Seringai tawa tertarik sengau di wajah Tara. Ia keceplosan. Bukan waktunya untuk menceritakan apa yang terjadi tadi malam pada keluarganya. "Nggak papa kok," sambungnya tersenyum tenang.
"Iyalah yang dokter militer super sibuk itu! Somboong! Somboooong! Nyapa aku aja peliitt!" Suara Monika yang duduk di sofa bersama Bella sarkastik. Tara mengalihkan pandang ke asal suara dan tersenyum jenaka.
"Memangnya kamu lebih tua dari Tante Mimi? Hhm!" ujar Tara melipat dua tangan di depan dada. Ia sudah melihat Monika tadi, tapi sengaja tidak menyapanya.
"Heleh, alesan! Dari dulu kamu selalu pandai bersilat lidah!" tandas Monika pula yang sebenarnya lebih muda dari Tara.
Pemuda itu tertawa, ia dan Monika memang sering adu mulut jika bertemu. Namun tetap dalam senda gurau belaka.
"Bukannya itu keahlian kamu, hhhm, Putri Tiduuur?" ejek Tara berkedik dagu mengulang panggilan masa kecil mereka.
"Ha ha ha! Heeei ... aku belajar dari kamu, Pangeran Katak!"
"Kapan? Yang ada kamu yang ngajarin saya sejak dulu!"
Monika tertawa seraya bangkit dan menumbuk lengan kekar Tara keras. "Wew! Ini lengan apa besi?" ucap Monika hiperbolis.
"Bella suka gantungan di situ!" sambar Bella tiba-tiba.
"Wow! Kalau ante yang gantungan di situ kuat nggak, ya?" Monika melebarkan mata bertanya ke arah Bella diikuti kuluman senyum lucu gadis kecil itu.
"Kalau kamu ngapain gantungan! Yang betul, gandengan!" Yona menyahut tak kalah ikut dalam perbincangan pula.
Monika tertawa menanggapinya, sementara Tara hanya terkekeh kecil tak ingin menanggapi lagi.
"Kamu mau ngapain?"
"Olahraga sebentar." Tara melangkah ke alat fitnes Treadmill Air Walker tempat Tara berolahraga biasanya. Bella menarik Monika dan mengambil duduk tak jauh dari Tara untuk bermain.
"Ada urusan, Mon, ke Jakarta?"
"Hhmm? Nggak. Cuma mau main aja ke sini. Mama kangen katanya."
"Oh--"
"Hilih. Emang Mama aja? Monika apa nggak kangen?" celetuk Yona dari dapur memotong kalimat Tara membuat Monika tersipu.
"Le, hari ini kamu mau ke mana? Temenin Monika sama Tante Mimi keliling Jakarta bisa?" tanya Yona.
Tara berpikir sejenak tak langsung menjawab. Hari ini ia berencana ke kantor polisi mendampingi Aisha, setelah itu ke Grand Masta. Meski bukan peserta, ia tetap ke sana untuk memantau kegiatan.
"Kalau besok aja gimana, Tant? Hari ini Tara sudah ada jadwal. Nggak mau buru-buru 'kan?" kata Tara yang masih melakukan gerakan lari di tempat.
Yona dan Mimi saling lirik. "Kalau sore?" seru Yona lagi belum mau menyerah agar putranya berinisiatif meluangkan waktu.
Tara mengernyitkan dahi. "Tara belum bisa janji, Mom. Belum tau gimana sikon nanti."
"Besok juga nggak papa deh, Tant. Waktunya lebih panjang. Ya, nggak, Pangeran?" ujar Monika semangat.
"Sorry, ya, Mon. Kamu dateng saya keluar. Kalau mendadak gini susah. Kamu sih, nggak ngabar-ngabarin mau dateng. Jadi saya 'kan bisa atur waktu. Tadi malam siapa yang jemput?"
Tara turun dari alat fitnes, melakukan push up. Bella yang sudah biasa duduk di atasnya meminta Monika menaikkan tubuh kecilnya ke punggung Tara.
"Huu! Gadis kecil ini. Tunggu. Tunggu. Ante naikkan!" ujar Monika seakan tak punya kesempatan menjawab pertanyaan Tara. Padahal ia memang sengaja.
Sambil tertawa menggoda Bella, Monika menaikkan gadis kecil itu ke atas tubuh Tara.
"Ante mau ikut naik?" ujar Bella polos.
"Ha? Ante mana boleh. Bisa penyet entar Pangeran ini!" Monika tergelak lucu menanggapi kepolosan Bella.
Gestur yang sengaja ia tampakkan agar suasana tak menjadi canggung dan kaku. Dan memang karakter dirinya seperti itu. Namun, tanpa Tara tahu Monika diam-diam mencuri pandang ke arah Tara mencari ekspresi apa yang ada di sana.
Celotehan Bella membuat interaksi Tara dan Monika semakin intern. Mereka yang memang sudah dekat sejak kecil tanpa malu saling melempar tawa, gurauan dan ledekan.
Mimi dan Yona yang melihat kekompakan mereka bertiga diam-diam tersenyum penuh arti tanpa mereka ketahui.
Yona mengambil duduk di sebelah Mimi seraya meneguk teh hangatnya. Lirikan matanya tertuju ke arah Tara dan Monika lalu berganti ke Mimi dengan senyum tak biasa.
°°°
Sementara itu di Duta Media Utama.
Aisha melangkah menuju ruang kerjanya diiringi tatapan-tatapan aneh, bahkan mencibir, dari setiap orang yang ia lewati. Aisha mengerutkan dahi tak mengerti. Memangnya ada apa?
Tanyanya masih mengiang saat masuk ke ruang kerja dan mengambil duduk di kubikelnya hingga Citra datang tergesa.
"Yong! Hape lo mana?" cecarnya dengan napas terengah.
"Ada. Kenapa?" Aisha mengerutkan dahi aneh. Sejak tadi malam, ponselnya berada di dalam pouch, lalu pagi tadi segera ia pindah ke tas kerja sebelum pergi. Sampai detik ini Aisha belum membuka ponsel-nya sejak tadi malam.
"Serius ada? Apa jan jangan udah lo buang? Ha? Jatoh nggak di jalan? Aduh! Lelah hayati calling tuan putri satu ini dari tadi malam, tapi nggak lo angkat juga. Gue pikir lo ditelan bumi! Rupanya, sehat walaifiat datang ke kantor pagi ini. Mana pake wajah nggak bedosa gini pula lagi!" cerocos Citra geram menunjuk wajah Aisha dengan ekspresi wajah gemas.
"Yaelah! Gue pikir cuma orang-orang di kantor yang aneh. Rupanya lo juga lebih parah! Paan sih? Ada apa?" kejar Aisha datar.
"Oh god!" Citra memukul dahinya gemas. "Ada berita beredar lo ngamar sama laki-laki di malam ultah DuMed kemarin! Lo dengar nggak, haa?" Mata Citra memelotot.
"Apa?" Kali ini mata biru Aisha pula yang terbelalak tak percaya.
"Seluruh orang DuMed udah dengar, Yong! Gila!"
"Terus lo percaya?" kejar Aisha tak terima.
"Kagak lah! Makanya gue nelponin lo! Mau konfirmasi berita ini. Ada apa sebenarnya?"
Aisha mendesah dan memejam kecewa. "Ini berita dari siapa? Siapa tangan pertamanya?"
"Nggak tau gue, Yong. Yang jelas udah nyebar ke seluruh DuMed."
"Ck! Sial! Kerjaan siapa ini?" decak Aisha geram.
"Okay! Okay! Tenang. Ambil napas. Minum dulu. Cerita ke gue. Okay!" ujar Citra yang sejatinya butuh minum juga.
Aisha meraih dan meneguk botol mineral yang diberi Citra dengan pasrah.
"Lo dengar dari siapa?" tanya Aisha setelah itu.
"Si Kiki. Nanya ke gue. Gue mana tau. Malah gue juga terkejut. Memang malam itu lo ngilang gitu aja sampe selesai acara. Lo ke mana?"
"Ck!" Aisha mendesah lelah. "Gue ditipu, Citra. Gue dijebak!"
"Maksud lo? Jadi? Ini beneran?" Citra memelotot dengan mulut menganga.
"Ck! Nggak! Bukan gitu. Dengarin gue."
Aisha akhirnya menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya pada Citra sampai polisi datang dan pelaku dibawa ke kantor polisi.
"O em ji, Yong! Tamu kita itu 'kan?"
"Hhm! Dia juga pernah ngelamar gue. Dia juga yang mundur. Kayak biasalah, Cit. Tapi kekurangan gue dia jadikan keuntungan untuk dirinya sendiri." Aisha meremat tangan geram hingga giginya bergemeletak.
"Jadi lo gimana sekarang?"
"Udah sehatan gue."
"Mental lo?" kejar Citra.
Aisha tertegun, tak menjawab pertanyaan Citra. Iya sendiri bingung. Semoga dirinya memang sudah baik-baik saja. "Semua akan baik-baik aja, Citra," jawab Aisha melenguh lemah. Ia teringat pada Tara. Pria itu, sudah banyak berjasa untuknya. Berkat keberadaannya insiden kemarin tak berakhir dengan semakin hancur kisah hidupnya.
"Shaaaa!" Niel datang dengan napas terengah.
Aisha yang melihat itu bisa langsung menebak. Niel datang pasti dengan maksud yang sama dengan Citra semula.
"Itu nggak benar Niel! Itu gosip aja. Gue udah duga kalau ada yang tau, pasti bakal kek begini. Bener kan? Siapa yang punya andil menyebar gosip nggak bener ini?" kata Aisha geram memegang dahi dengan sesal bukan kepalang.
"Gue udah tau! Gue ke sini mau liat kondisi lo. Gimana?" tanya Niel yang sejatinya sudah mendapatkan kronologi cerita dari Tara.
Tak langsung menjawab, Aisha memandang Niel lemah. "Ya gini."
"Syukurlah. Jadi pelaku udah diproses polisi?"
"He-em. Nanti siang gue izin sama Bos mau ke sana lagi."
"Baguslah, Sha. Sekarang kita meski klarifikasi ini. Gosip ini nggak bener!" kata Niel geram.
"Gue harus gimana memangnya?"
"Udah. Tenang. Serahkan itu ke kita. Niel, kita yang akan klarifikasi ke anak-anak DuMed. Hhm!"
"Okay lah!" kata Niel. "Lo barusan dipanggil Bos ke ruangnya. Keknya Bos juga udah dengar. Ada Mas Nicko juga di ruang Bos. Ke sana cepetan gih!" perintah Niel.
Aisha mengangguk. "Thanks, ya, Niel, Cit. Gue ke sana dulu."
Aisha melangkah bersamaan dengan anggukan Citra dan Niel menuju ruang Utama. Di sana, benar saja. Utama menanyai perihal insiden kemarin. Ia tahu dari pihak hotel. Nicko juga tak menduga istrinya jadi alasan untuk menjebak Aisha.
"Saya kecewa pada Dicki. Selanjutnya, kita nggak akan pakai jasa mereka kalau ada pembangunan lagi di DuMed. Saya lega sudah dengar dari kamu langsung, Aisha." Utama berujar wibawa.
"Kami pikir, beritanya benar, Sha. Anak-anak DuMed udah pada heboh sama berita kamu itu. Ada yang liat kamu keluar dari kamar hotel berdua dengan pemuda katanya. Kamu dicari di acara nggak ada," sambung Nicko.
"Maaf, Mas. Saya udah kacau banget malem itu. Yang bantu saya malam itu udah coba hubungi Niel dan Citra. Tapi mereka nggak terima panggilan. Mungkin karena nggak dengar. Kalah sama suara di ballroom malam itu," jawab Aisha.
"Ya udah. Kapan kamu mau urus ini ke kantor polisi bilang aja, ya. Saya izinin kamu break waktu kerja untuk urus ini. Okay." Utama menatap Aisha teduh.
"Makasi, Bos. Mungkin nanti siang. Tapi ... Bos tadi tau dari hotel. Kalau Mas Nicko tau dari mana?" tanya Aisha penasaran. Barangkali Nicko tahu dari pihak selain Utama.
"Dari Delon. Dia bilang, dia tahu dari Riana."
Deg!
Mata Aisha menajam. Ia harus mencari tahu lagi tentang penyebar berita ini.
"Nanti kita akan bantu klarifikasi, Sha. Kejadian aslinya 'kan bukan kayak yang digosipin. Biar nama kamu nggak jelek. Hhm?" ujar Nicko bersahabat.
"Makasi, Mas."
Aisha pamit pada Nicko dan Utama, lalu kembali ke kubikelnya dengan amarah yang bergemuruh hingga giginya bergemeletak.
"Ck! Gue udah duga ini kerjaan lo! Tapi gue nggak punya bukti! Aagh!" gerutunya sebal meremat jemari tangan.
Citra dan Niel yang melihat itu sudah meletakkan satu paper bag berisi makanan di atas meja Aisha.
"Nih, Sha. Nih! Kunyah! Kunyah! Biar reda marah lo!" ujar Niel kemayu tapi lucu.
Masih menahan amarah. Tanpa pikir panjang, Aisha meraih sebungkus roti sobek, lalu mengunyah geram seakan meluapkan kekesalannya pada roti itu.
"Kesel banget gue! Apa sih untungnya dia nyebarin gosip kek gini! Kenapa nggak cari tahu dulu kejelasannya! Oh-oh! Nggak perlu sama dia mah. Yang bikin gue sakit, pokoknya itu dia lakuin! Dasar! PINGIN TAK HIIIIH!" ujar Aisha meremat geram hingga roti sobeknya ikut penyet tapi dengan cepat berpindah juga ke mulutnya.
Melihat itu Niel dan Citra saling melirik kecut tapi menahan tawa lucu. Mereka tahu benar bagaimana makhluk bernama Rumaisha Azzahra itu bereaksi jika sedang marah.
"Puas dia, ha? Bikin nama gue jelek begini? Puas? Apa salah gue sama tuh orang? Dari planet mana sih dia?" kata Aisha lagi masih menceracau geram.
Setelah marahnya mulai reda dalam kondisi perut kenyang. Aisha duduk menekuk wajah dan memicingkan mata. "Kalau aja gue punya bukti, gue datengin tuh orang!" ujarnya panas.
"Udah reda belom? Belom? Makan lagi, makan lagi nih, Cencalo. Masih ada nih! Atau kita nongkrong nyok. Yang deketan aja. Ngafe, yuk yak yuuuk!" Niel bersikap kemayu seperti biasa ingin meredakan marah rekannya.
"Sssh! Udah deh Niel. Ngaco! Jam kerja begini."
"Gue go food-tin aja? Gimana? Lo yang bayar tapi, ya!" kata Niel lagi tertawa.
Gadis itu tertawa samar melihat apa yang dilakukan Niel. Rekannya itu tahu benar jika sedang marah makanan adalah pelampiasan pertamanya.
"Ck! Lo emang paling tau gue Niel. Ha ha. Boleh juga ah!" Aisha meraih ponsel menuju aplikasi go food.
"Uhm. Sekalian ame kita juga boleh, Cencalo!"
"Ide bagus tuh!" sambung Citra.
Aisha melirik sengklek. "Ya udah. Cepetan! Mau apa? Biar ada temen gue makan!" katanya tertawa samar.
"Nah ... gitu dong, Cencalo. Jangan merengut mulu. Gue ... samain aja sama lo."
"Gue juga!" sambung Citra.
"Ini dalam rangka apa kok mau samaan? Gue pesen martabak mesir nih. Mau?"
"Maaaauu!" jawab Citra dan Niel bersamaan.
Melihat itu mulut Aisha ternganga dungu sejatuh-jatuhnya. Mereka berdua ini menghibur rekan atau kesempatan?
"Noh. Udah gue pesen!" ujar Aisha seraya meletakkan ponsel di atas meja.
"Sha, yang nyebarin berita ini tuh ternyata ... Riana," ucap Niel dengan wajah kecewa.
"Kalian yakin?" sambungnya menanggapi info dari Niel.
"Hhmm! Kami udah tatar ke orang-orang di sana sini. Dan lagi tadi ... waktu kita cari info, nggak sengaja dengar perbincangan Putra ama Riana. Dia yang liat lo keluar dari kamar hotel sama laki-laki. Dia juga yang nyebarin gosip ini," kata Citra.
"Tuh nenek sihir emang, ya! Kebangetan! Pengen dikeruwes mulutnya!" Niel meremat tangan geram.
"Udah gue duga. Nggak heran mah kalau dia. Yang gue nggak nyangka, kenapa dia bisa lihat gue keluar dari kamar hotel bareng laki-laki dalam kondisi malam itu? Nggak pakai konfirmasi dulu juga langsung ngegosip aja! Aagh!" Aisha memejam mata dalam dan lagi-lagi meremat geram.
Tiba-tiba suara gerusukan terdengar dari luar pintu.
"Ada yang mau ice cream?" Aryan berdiri di pintu memegang se-cup ice cream di tangan kiri.
"Ice cream? Heleh, Mas Aryan bawa cuma satu! Buat apa nawarin!" ujar Citra sarkastik melirik manyun pada switcher--di masa program Aisha's traveller--yang sekarang menjabat Penanggung Jawab Siaran di DuMed.
"Kagak kok. Mang! Sinih!" Tangan Aryan terangkat memanggil Mang Odi yang memeluk jar berisi ice cream.
"Wew! Seriusan! Dalam rangka apa ni, Mas?" Niel yang melihat itu mendekat.
"Nggak ada. Bagi-bagi rezeki aja. Taruh sinih, Mang." Aryan menunjuk nakas di samping pintu dekat dispenser.
"Siapa aja boleh ambil." Aryan berbalik mencuri pandang ke arah Aisha yang masih duduk diam menatap jar itu berbinar.
"Nggak ada yang mau nih?" ujar Aryan yang melihat Aisha tak beranjak juga pura-pura hendak membawa pergi kembali jar yang dibawa Mang Odi.
"Mauu! Maaauu!" Aisha bangkit mendekati Aryan. "Maaau!" Gadis itu kini memeluk jar berisi ice cream. Melihat tingkah Aisha Aryan tersenyum jenaka.
"Puasin gih makannya. Biar marah kamu reda. Hhmm?" bisik Aryan di telinga Aisha lantas berlalu begitu saja.
Masih memeluk jar. "Iiih. Mas Aryan care banget sih! Tau aja kita lagi pengen yang dingin-dingin. Hihi."
Citra dan Niel yang melihat itu saling lirik dengan senyum penuh arti.
Sementara Aisha langsung meraih paper cup dan sendok di samping jar. Ia adalah orang pertama yang menikmati ice cream gratis dari jar itu.
"Hei! Kalian nggak mau?" tanya Aisha duduk menyuap ice cream yang diambilnya seakan lupa dengan kemarahannya. "Rasa coklat!" Kini tawanya melebar sempurna.
Di luar pintu, Aryan tersenyum hangat melihat tingkah gadis itu seraya menyuap sesendok ice cream ke mulutnya juga.
"Be happy, Sha. Nikmati ice cream-nya."
Ia tahu apa yang terjadi pada gadis itu kemarin dan gosip yang tersebar di DuMed hari ini. Pemuda dengan rahang persegi yang kebiruan setelah habis bercukur itu yakin benar, Aisha tidak mungkin berbuat demikian dan gadis itu pasti sedang marah besar.
Karena itu ia berinisiatif membeli satu jar ice cream dari toko sebelah mengingat moment tak terlupanya dengan gadis itu yang melahap ice cream saat marah disela program acara yang mereka handle bersama.
"Mungkin sudah waktunya, Sha," lirih hatinya bahagia.
°°°
31 Maret 2021
🌹🌹🌹
Ada yang mau ice cream?
😁🍧🍨🍨🍧🍨🤭
Bisa ke kantor DuMed. Eaaaa 😂😅
Gimana menurut kalian part ini, punya feeling sesuatu nggak? 😁
Semoga kalian suka. Ngetiknya sambil diuber-uber dan dicicil-cicil 😬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top