BAG 18 : AISHA
Terima kasih dan selamat membaca.
🌹🌹🌹
Kepala Tara yang tertunduk di tepi ranjang cepat-cepat terangkat saat mendengar suara Aisha mengerang lemah. Gadis bermata biru itu siuman.
"Aisha ...." Lembut suara Tara menyebut namanya.
Masih dengan duduk di lantai, Tara menanti reaksi gadis itu.
Manik mata biru itu terbuka, lalu terhentak dan langsung mengambil posisi duduk dengan wajah ketakutan.
"Aisha ...," panggil Tara lembut.
Aisha terhenyak dan menolak kasar hingga Tara terhuyung ke belakang.
"Jangan sentuh aku! Pergi! Pergiiii!" Aisha histeris dan menangis. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik dua lutut dalam posisi meringkuk gemetaran hebat.
"Aisha ...," panggil Tara lagi menenangkan.
"Menjaaauh! Menjauh dariku! Tolong! Aaa! Hwaaaa!"
Ia makin berontak, memekik pilu, melempar bantal ke arah Tara serampangan seraya bangkit dan berlari di kamar itu.
Melihat itu jantung Tara semakin berdenyut sakit. Tanpa sadar, sudah menggenang saja bulir bening di sudut kelopak matanya.
"Aisha. It's okay. Semua udah baik-baik aja. It's okay. It's okay," ucap Tara dengan tangan mengambang di depan dada menenangkan gadis yang masih memekik ketakutan itu. Manik mata birunya tertangkap Tara bagai selongsong kosong.
"Aaa!" Aisha menutup wajah, menyergah, histeris dan kembali menangis.
Sesak yang hebat kembali membebat dada Tara.
Dengan wajah duka, Tara mencoba mendekat untuk mengelus kepala gadis itu lembut.
"It's okay, Sha. It's okay. Kamu aman."
Namun usahanya sia-sia. Aisha masih terus tak mendengarkan Tara.
"Aisha, Aisha ...." Suara Tara bergetar.
Aisha lagi-lagi memberontak kasar. Seluruh tenaganya seakan ia kerahkan untuk melawan. Tara kewalahan menenangkan gadis itu.
Air matanya luruh. Pertahanannya runtuh. Ia tak tahu mengapa sesakit ini rasa sayangnya menerjang setiap sisi hatinya.
Aisha masih sibuk berlari memutar tak terkendali.
Berakhir naik ke ranjang lagi.
Sampai akhirnya Tara tak tahan lagi untuk berdiam diri. Sebuah dorongan kuat mendesak sisi 'melindungi' pria itu melangkah lebih jauh.
Dengan mulut terus menyebut nama gadis itu, Tara naik ke ranjang dengan sigap meraih tubuh gemetaran Aisha, lalu menenggelamkannya ke dalam pelukan agar gadis itu tak lagi serampangan.
Erat.
Otaknya kini berperang. Satu sisi mengatakan ini salah. Namun sisi lain sudah berteriak kalau ia tak bisa mengalah.
"Tenang, Sha. Tenang. It's okay. It's okay," ucap Tara hancur.
Aisha masih berusaha memukul-mukul dada Tara dengan sisa tenaga. Hidungnya menghidu aroma berbeda dari tubuh yang memeluknya, langsung merambat masuk ke paru-paru menimbulkan efek rileks dalam denyut nadinya.
Suara Tara yang terus melantunkan namanya sayup menelusup ke telinga gadis yang masih gemetaran itu. Meski terus memberontak dan menolak, kombinasi pelukan, panggilan dan aroma menenangkan, berhasil mengembalikan kewarasan Aisha.
Lalu kemudian. Setelah beberapa detik sempat terdiam.
Aisha terisak, sendu, pilu di dalam pelukan lelaki yang ia juluki Om Modus absurd itu.
Tangan Tara lembut berulangkali membelai kepala gadis itu perlahan.
"Maaf. Maaf. Maafkan saya," ucap Tara serak. "Kamu akan baik-baik aja, Sha. Kamu pasti baik-baik aja."
Mendengar itu tubuh Aisha yang sudah berhenti gemetar kini melentur. Namun bahunya naik turun karena isakan yang makin hancur.
Ia menyadari satu hal.
Pria ini, lagi-lagi hadir di saat genting
hidupnya. Bagaimana ia harus mengatakan kalau usahanya menjauhi pemuda itu gagal, tapi ia bersyukur dalam waktu bersamaan. Jika saja Tara tak datang, bagaimana beban moral yang akan ia tanggung esok hari? Tuhan masih menyayanginya, dengan mengirim Tara menyelamatkan kehormatannya sebagai wanita.
Aisha memejam dalam kembali mengeraskan hati.
Kalau: apapun itu, Aisha takkan bisa menerima lelaki ini. Ia bukan kriteria Aisha. Tidak. Bukan. Kali ini batin Aisha membantah. Bukan itu tepatnya. Hatinya menjawab kalau ia tak 'kan tega membuat pria itu ikut menanggung takdir yang bagai kutukan seumur hidup ini.
Ia mencoba menghentikan isak. Kepalanya terasa benar-benar pengar. Tapi aroma dari tubuh Tara kembali menghipnotisnya. Ia menyukai percampuran aroma parfum maskulin dan keringat pria itu.
Aisha masih sesenggukan saat Tara merenggangkan pelukan. Tara merunduk memastikan gadis itu benar-benar sudah tenang. Lalu ia mundur perlahan dan turun dari ranjang.
"Maafkan saya, Sha. Maaf." Kali ini suara isak malah terdengar dari sisi Tara. Ia tahu jika saja dalam keadaan biasa Aisha akan memarahi--atau bahkan mengeplak kepalanya habis-habisan--yang lancang memeluk gadis itu. Namun Tara tak punya pilihan lain dalam kondisi tadi. Ia tak tahan melihat Aisha dalam kondisi terendah di hadapannya. Hal ini seakan menjadi kelemahannya.
Rasa yang ia pun tak tahu bagaimana bisa hadir tanpa diundang saat pertama kali bertemu gadis itu. Dan ternyata, rasa itu masih saja sama. Bahkan kini makin bertumbuh saja.
Aisha mendongak melihat wajah lelaki itu. Lalu kembali merunduk menarik selimut malu.
Untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. Tak ada satupun dari mereka yang membuka suara. Tara berbalik dan berdiri dekat jendela kaca menghadap ke balkon untuk menyembunyikan wajah dukanya. Mulut Tara terbuka saat menghela napas diikuti mata yang terpejam dalam. Setelah yakin dengan kondisi dirinya ia berpaling menghadap Aisha.
"Kenapa kamu di sini?" Masih dalam posisi duduk meringkuk di balik selimut Aisha melirik sayu Tara tanpa menggeser kepala.
"Saya ... melihat kamu masuk ke kamar ini. Lalu langsung menyadari kamu dalam bahaya, Sha. Maaf."
Mendengar itu, jantung Aisha berdesir. Ia menutup kelopak mata dalam, bersyukur pada Tuhan mengirim Tara dalam kondisi ini untuk menolong dirinya. Jika tidak, bagaimana nasibnya detik ini?
"Sa-saya ... meminta pelayan untuk pura-pura datang ke sini agar bisa memastikan, lelaki atau wanita kah yang menarik paksa kamu saat membuka pintu. Dan setelah pintu berhasil terbuka, saya langsung masuk dan mendapati kamu sudah dalam kondisi pingsan dan ... dan ...."
Tara menelan ludah, menghela napas sambil melenguh lemah.
Air mata Aisha menetes lagi.
"Kenapa kamu sebaik ini, Dokter? Kenapa kamu selalu ada buat aku? Kalau kamu begini terus, sulit bagiku menghindar dari kamu. Berhenti, berhentilah peduli padaku. Aku nggak tau apakah sanggup berdiri sendiri jika nanti harus kehilangan kamu saat hatiku sudah sepenuhnya milik kamu!" pekiknya sendu di dalam hati.
Ingin hati Tara mengejar informasi dari mulut Aisha tapi ia tahu ini bukan saat yang tepat. Kali ini ia hanya ingin Aisha lega dan tenang. Gadisnya baik-baik saja. Sudah. Itu saja.
"Pri-pri, pria itu?" tanya Aisha tersedu.
"Dia sudah diamankan security. Akan dibawa ke kantor polisi. Kamu sudah aman." Jeda hening kembali mengisi kecanggungan.
Kebisuan di antara mereka terpecah ketika pihak hotel dan pengamanan datang memastikan kondisi korban.
Tara mendampingi Aisha menjawab beberapa pertanyaan. Dari sana ia tahu Aisha ke sana karena dipanggil istri Nicko yang ternyata hanya tipuan dari Dicki.
Tara memastikan kalau pelaku akan diproses sesuai hukum berlaku. Beberapa bukti dikumpulkan untuk keperluan penyelidikan.
"No! Don't take my picture!" cegah Aisha keras ketika seorang berpakaian biasa--yang Aisha duga media(bukan dari DuMed)--hendak mengambil gambar wajah Aisha.
Sejak kapan pria itu di sini?
Tara mengerti, sebagai penggiat pers, Aisha paham betul berita ini akan jadi hidangan empuk di tangan yang bisa saja memanfaatkan keadaan.
"Ini untuk keperluan penyelidikan, Mba!"
"Lie! I know who you are!" sergah Aisha keras.
"Lakukan apa yang dia minta!" perintah Tara tegas pada polisi tapi mata mengintimidasi pria yang Aisha duga media. Tara juga, tentu saja tak ingin berita Aisha ini tersebar ke seluruh nusantara.
"Kalian bisa ambil bukti kondisi di sini. Saya, juga pelayan hotel tadi sebagai saksi. CCTV diujung koridor lantai ini juga bisa kalian cek. Jangan ambil gambar wajah korban. Kalian sudah bisa lihat sendiri. Jika kalian butuh. Besok. Saya yang akan memberinya lewat persetujuan Aisha, tapi hanya sesuai keperluan. Tolong jangan sampai ini tersebar luas. Proses secara hukum saja pelakunya. Kalian juga tahu kan Aisha ini orang media. Jangan main-main! Kalau ada berita yang tak seharusnya beredar di media, kami akan menuntut balik!" kata Tara tegas.
Mendengar itu Aisha sungguh-sungguh lega ada Tara di sana yang secara tak langsung menjadi tempat ia bersandar dan mempercayakan semuanya.
Pihak hotel meminta maaf, dan meminta Tara untuk bisa hadir ke kantor polisi jika sewaktu-waktu diperlukan. Tara menyanggupi semuanya. Lalu mereka dibolehkan pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.15.
"Kita pulang, ya. Kamu harus istirahat, hhmm?" tawar Tara menatap sayu ke netra biru Aisha.
Gadis itu menunduk canggung. Belum lagi ia bergerak, Tara sudah membuka jas dan mengenakannya untuk menutupi gaun Aisha yang robek.
"Motor kamu, besok biar saya yang tangani. Niel sudah saya kabari. Tapi mungkin belum buka ponsel. Kamu mau--"
"Kita langsung pulang aja," potong Aisha dengan tatapan kosong dan lelah.
Tara mengangguk pelan. Lalu membimbing Aisha menuju parkiran. Sampai di mobilnya Tara membukakan pintu mobil untuk Aisha yang membuat gadis itu terlihat canggung. Setelah itu, tak lupa, Tara menelepon Letkol Arya meminta maaf dan menceritakan sedikit kejadiannya.
Di perjalanan pulang, Aisha hanya duduk diam menatap keluar jendela mobil nanar. Tara tak membuka suara agar Aisha tak terganggu.
Di pertengahan jalan.
"Makasi banyak, Dokter Tara. Kalau kamu nggak di sana tadi. Entah apa nasibku sekarang," ucap Aisha lemah tanpa memalingkan wajah.
"It's okay. Saya malah akan makin menyesal jika saja tidak di sana tadi," jawab Tara bergetar.
Genangan air mata mengaburkan pandangan Aisha. Dadanya penuh dengan jejalan kenyataan menyesakkan yang bersikeras ia terima dengan ikhlas. Lalu pria di sampingnya, membuat ia makin menangis pilu meratapi takdir ini.
"Makasi. Makasi." Suara Aisha serak lalu menghapus air mata yang jatuh ke pipinya serampangan.
"Kamu mau kita bilang apa ke Papa nanti?" tanya Tara mencari persetujuan info apa yang gadis itu mau sampai ke telinga orang tuanya jika melihat kondisinya nanti sampai di rumah. Tara menduga, Aisha tak mau papanya khawatir.
Mendengar itu Aisha terkekeh sengau.
Kenapa pria ini sepengertian ini, Tuhan?
Bukannya menjawab, Aisha membetulkan duduk, memalingkan wajah melirik pria itu.
"Dokter kenal Dokter Sora 'kan?"
"Hmm. Ya. Kenapa?"
"Dari dia aku kenal pria brengsek tadi. Tapi aku tahu Dokter Sora tidak tahu kalau Dicki sebejat ini."
Tara bergeming.
"Kalau boleh tahu. Seperti apa hubungan kalian sebenarnya?" tanya Tara hati-hati tak ingin membuat Aisha terlukai. Ragu but curiosity. Ia ingin mendengar jawaban dari sisi Aisha seperti apa. Bukan Dicki saja.
"Dia mau melamar aku. Tapi dia juga yang mundur." Aisha tergelak sengau.
"Lalu, kenapa ...."
Aisha kembali terisak. Lalu menghempas padangan jauh keluar dengan amarah yang membuncah, merutuki nasibnya sendiri. "Semua itu karena aku! Takdirku yang begini!" ujar Aisha nanar.
Ingin ia menjerit, mencakar wajah pria yang telah berniat tidak baik padanya. Tapi percuma. Balasan mendekam di penjara akan membalaskan sakit hatinya.
"Maksud kamu?" kata Tara hati-hati.
"Yaaa! Laki-laki itu tahu kekuranganku sehingga, se-hing-ga dia layas ke aku! Dasar brengsek! Dia brengsek!" pekik Aisha memukul dasbor mobil geram.
Melihat itu Tara memberhentikan mobil ke kiri. Ia memiringkan badan menatap Aisha nanar.
"Kamu tahu kenapa dia berani gitu ke aku?" lanjut Aisha lagi menumpahkan sesal di dada.
"Itu karena aku, a-a--" Aisha tergagap ketika otaknya tak sinkron dan kembali mengendalikan emosi antara ia sanggup mengatakannya atau tidak.
"Kenapa, Sha? Maksud kamu apa?" tanya Tara bingung.
Aisha menelan ludah kental saat mata Tara beradu dengan netranya. Ia heran.
Kenapa di depan pria ini lidahnya kelu untuk mengucapkan kondisi dirinya yang terlahir konginental?
Memgembus kuat, Tara melenguh spontan. Ia tak ingin menekan gadis itu untuk bicara. "Tenangkan diri kamu, Sha. Take your time. Hhm?" Alisnya terangkat, dengan mata menatap hangat.
Wajah itu, mengabur karena tertutup genangan air mata Aisha. Tangan Tara meraih tisu di atas kepalanya. Hatinya tak tahan melihat kondisi gadis itu menangis lagi hingga kembali kalah mempertahankan diri. Perlahan tangannya menyentuh lembut kepala Aisha, lalu tangan kanan menghapus jejak air mata di pipinya.
Aisha terpaku, terlebih saat Tara berkata.
"Don't cry. Andai kamu mau, Sha. Dukamu itu, biarkan menjadi milik saya, dan seluruh suka milik saya adalah milikmu."
Akhirnya kalimat itu terucap juga secara nyata di depan Aisha yang kini menahan desiran panas dan debaran jantung di atas normal. Otaknya seakan sudah ikut tak berjalan pada porosnya.
Lalu bagaimana sekarang?
°°°
Fauzi terperanjat begitu melihat kondisi Aisha yang kacau. Halimah keluar dan langsung melempar tatap memerah ke arah Tara sebagai sorot tak suka.
"Ada apa dengan cucuku? Kamu apakan dia, ha?" Halimah meraih Aisha segera menjauh dari Tara.
Pemuda itu hanya diam tak langsung memotong. Ia paham, khawatirnya kedua orang tua Aisha itu.
Fauzi langsung menengahi dan mengambil posisi di tengah mereka. "Bu, tunggu. Tanya dulu mereka jangan langsung marah-marah."
"Nek. Bukan Dokter Tara yang jahatin Aisha. Malah dia yang nolongin Aisha. Semua udah diproses polisi. Pelakunya juga udah di sana. Aisha mau istirahat. Biar balik waras!" Gadis itu berucap lemah dan masuk ke kamar setelah berterima kasih pada Tara.
Mendengar itu, Halimah tak melanjutkan kalimat. Fauzi memintanya istirahat agar ia yang menangani. Halimah menurut dan masuk.
Kini hanya tinggal Fauzi dan Tara.
"Nak, Tara. Ada apa?" tanya Fauzi yang sudah duduk berhadapan dengan Tara di ruang tamu.
Tara menceritakan apa yang terjadi pada Aisha saat di hotel. Fauzi berang dan tak menduga Dicki pelakunya.
Setelah panjang lebar berbincang tentang kejadian tadi. Fauzi menyandarkan tubuh ke sofa dan memejam dalam. Mengapa kejadian ini terulang lagi?
"Nak Tara. Boleh saya bertanya?" tanya Fauzi setelah mengambil napas yakin.
"Ya, Om. Silakan."
"Maaf. Kalau saya lancang. Apa ... Dokter Tara menyukai putri saya?" tanya Fauzi menatap Tara siap menangkap raut apa yang tersirat di wajah itu.
Netra mereka saling menatap lekat. Dari sana Fauzi bisa melihat, sorot mata Tara menyiratkan keteguhan dan ketegasan. Pemuda itu merunduk malu tapi jelas tak ada ragu.
"Ya, Om. Saya ... punya niat untuk melamar Aisha menjadi istri saya. Ma-maaf. Harusnya ini tak dikatakan dalam kondisi ini. Dan lagi pula i-ini terkesan terburu-buru. Tapi ...."
"Tak apa. Tak apa," kata Fauzi yang sejak tadi sudah menyimpan senyum lega di dalam hati begitu mendengar jawaban dan raut wajah Tara yang cukup gentle buatnya.
"Tapi ... ada satu hal yang perlu kamu tahu. Hal ini juga yang menurut saya membuat Dicki berani bertindak tidak sopan pada Aisha. Tapi, Nak Tara, saya anggap Anda pria bermoral yang meski sudah tahu kekurangan seorang wanita, tapi tetap menghormatinya."
Tara menelisik tiap kalimat Fauzi.
"Aisha itu ...."
Menatap lekat netra Fauzi, Tara siap mendengar kalimat selanjutnya.
"Pa!" Tiba-tiba Aisha yang sudah berdiri di belakangnya menghentikan kalimat Fauzi.
Kedua anak beranak itu saling melempar tatap nanar, sementara Tara, menanti dengan tatapan heran.
Ada apa?
🌹🌹🌹
Medan. 29 Maret 2021
🌹🌹🌹
Akhirnya bisa up juga.
Jangan lupa vote-nya, ya. Hehe
Biar terus semangat up. 💪💪
Guys, Kira-kira nih, kalian ingin apa dari alur cerita Aisha-Tara ini? Tinggalin komentarnya, ya. Danke 🌹😚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top