BAG 17 : GRAND MASTA
Thanks buat yang terus mengikuti kisah ini. Jangan lupa vote sebagai apresiasi buat Author, ya. ❤❤
Komentar kalian juga mood Booster. 😁❤
Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan berkelimpahan. Aamiin
Selamat membaca.
🌹🌹🌹
Sukaku adalah milikmu. Sedang dukamu adalah milikku.
🌹🌹🌹
Aisha baru saja memarkir motornya di basemant Hotel Grand Masta pukul 18. 30 Wib.
Ia, Citra, dan Niel sudah saling berjanji akan berangkat bersama. Namun nyatanya, dua rekannya itu sudah berangkat lebih dulu karena ada tugas yang diberikan Teuku Utama untuk diantar ke Grand Masta.
Sedang Aisha baru selesai meliput pukul 16. 30. Ia pulang dulu ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian.
Hari ini adalah hari Ulang Tahun ke 15 tahun Duta Media Utama Jakarta yang akan dirayakan di Ballroom Hotel Grand Masta di mana Teuku Utama sebagai salah satu investornya.
Karena waktu sudah menunjukkan maghrib, Aisha melangkah ke musala dua lantai di halaman belakang Hotel dengan design Eklektik itu. Bagian bawah sengaja di-design menjadi toilet dan tempat wudhu. Lalu lantai dua disediakan tempat salat dengan dinding terbuka. Di depan tempat salat itu ada teras kecil yang mengarah ke taman.
Aisha baru saja selesai mengambil wudhu dan naik ke lantai dua. Hanya ada dua orang wanita di sana. Sepertinya di bagian shaf pria hanya ada empat orang saja. Sebagian orang, mungkin memilih salat di dalam hotel. Di beberapa lantai juga disediakan musala agar tak sulit untuk turun naik jika waktu salat datang.
Usai salat, dua wanita yang tadi di sana sudah pergi lebih dulu. Sedang melangkah ke teras musala, jantung Aisha dikejutkan dengan sosok seorang pria yang belakangan ini berusaha ia hindari tapi malah sering muncul sendiri. Gadis yang malam ini mengenakan terusan berwarna lembut dan tampak elegan ia kenakan itu berjengit.
Otak Aisha masih mengira hal yang sama. Ia menduga itu pasti hanya halusinasi saja. Menelan saliva, cepat-cepat ia melangkah hendak turun segera.
"Aisha." Lelaki dengan kemeja putih slim fit itu bersuara ketika Aisha sudah membelakanginya. Segera ia mengenakan jas hitam yang tadi masih ia pegang. Gadis di hadapannya menghentikan langkah dengan mata melebar. Kenapa dia tahu namanya? pikirnya heran.
"Kamu di sini?" tanya pria itu.
Kening Aisha berkerut.
"Tuhan. Ada apa denganku? Kenapa halusinasi ini sampai sejauh ini?"
"Sendiri, Sha?" Kali ini pria itu melangkah ke tangga pertama paling atas.
Ia berbalik badan untuk memastikan lagi dan disambut dengan wajah heran Dokter Tara. Kali ini Aisha mulai yakin. Ia sedang tak salah lihat dan bukan halusinasi. Senyum Aisha terulas lembut dan hilang secepat hadirnya.
"Mau ke mana?" tanya Tara lagi.
Aisha meringis masam. Rasanya ia ingin punya kekuatan magis untuk bisa menghilang sekejap mata dari sana.
"Sha? Kamu ... sehat 'kan?" goda Tara yang menyadari gelagat lawan bicaranya.
Aisha mengangguk cepat.
"Lalu? Kenapa mukanya kek jeruk purut gitu?"
"Apa?"
"Jangan diperas amat wajahnya. Sayang. Eh kasian!" ledek Tara konyol.
"Dokter ngapain di sini?" tanya Aisha ketus tak ingin menanggapi kalimat Tara.
"Saya ada tugas. Kamu sendiri?"
"Hum? Oh! Ada acara kantor malam ini di sini."
"Kok kamu sendiri?"
"Yang lain udah duluan. Karena udah waktu magrib dan ini yang terdekat, jadi aku ke sini aja."
Tara tersenyum seraya melipat tangan di depan dada.
"Kebetulan yang menganehkan. Ya 'kan?" kata Tara senang.
Aisha mencebik samar dengan hidung yang mengerucut. Bagaimana caranya agar tak berhadapan dengan wajah Dokter Tara lagi? Ia malu untuk menghadapi lelaki itu setelah apa yang terjadi kemarin.
"Aku pergi dulu." Aisha melangkah.
"Tunggu! Aisha, kamu dah buka isi chip-nya belum?" Tara mengulum senyum lagi-lagi menggoda gadis itu. Agaknya dia bisa menebak kalau Aisha pasti sudah melihat isi chip itu. Sebab itu ia bersikap aneh begitu bukan?
Membelakangi Tara, Aisha memejam lemah. Itulah hal yang tak ingin Aisha mau ada dalam perbincangan ini.
"Em? Be-belum." Aisha langsung turun tanpa berpaling.
Melihat itu, mata Tara sudah mengedar pandang ke sekitar yang sedang sepi. Lalu dengan segera ia melompat dari teras lantai dua terjun ke bagian bawah, memutar dari pagar pembatas di antara lantai itu dan melompat ringan melakukan pendaratan ke tanah sebelum Aisha sampai ke tangga paling bawah. Lalu begitu gadis itu hampir menginjak anak tangga terakhir matanya terbelalak diikuti pekikan kaget.
"A? Om-om. Kenapa udah di sini? Yang tadi itu?" katanya memelotot menunjuk ke atas polos.
"Apa? Siapa? Om siapa?" kejar Tara mengernyit pura-pura dan cukup menggoda.
"Ta-tadi. An-da di atas." Aisha mendongak menunjuk ke lantai dua. Lalu tersadar kalau pria di hadapannya pasti melompat lebih dulu.
Wajah Aisha berubah sinis.
"Mau nakut-nakutin aku? Nggak mempan! Minggir!" kata Aisha ketus.
"Nggak, Sha. Kamu tuh kok suudzon terus sih sama saya?"
"Soalnya aku pernah dimodusin!"
Aisha melangkah tegas meninggalkan Tara yang menatap Aisha dengan kuluman senyum khasnya sambil menggeleng-geleng kepala konyol.
Ia ingin melangkah mengikuti gadis itu ketika ponsel-nya berdering.
"Ya. Laksamana! Saya salat di halaman belakang. Okay. Saya segera ke sana!"
Tara melangkah hendak kembali menuju ruang pertemuan khusus antara petinggi Korp Rumah Sakit Amerika Serikat dengan Korp Rumah Sakit Angkatan Laut Indonesia yang juga dihadiri oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Bukan hanya karena menjabat menteri, konon karena MenKes juga berasal dari TNI.
Acara ini sudah berlangsung sejak siang tadi.
Tara, Kimo dan beberapa prajurit lain diminta untuk mengawal MenKes sampai ke halaman depan setelah MenKes pamit lebih dulu. Setelah itu ia memilih salat di halaman belakang karena waktu salat sudah datang, sedang para rekannya berpencar.
Langkah Tara tegas masuk ke loby hotel ketika melihat Aisha berbincang dengan seorang pria. Dari postur tubuhnya yang berdiri beriringan dengan Aisha, tinggi pria itu tak lebih tinggi dari gadisnya. Apalagi Aisha kini sedang menggunakan high heel. Dari cara pria itu menatap Aisha, Tara membaca gelagat tak biasa. Lalu ketika Aisha berlalu tatapan itu berubah liar dan ... binal?
Kakinya melangkah mendekat sambil mata menatap misterius. Pria itu kini masuk mengekori Aisha masuk ke ballroom.
Tara menduga, pria itu adalah bagian dari DuMed atau tamu undangan.
Setelah itu ia melangkah ke lantai dua untuk bergabung kembali dalam acara.
Tara sedang berdiri di depan pintu lift saat ada Citra menyapa. Gadis itu baru saja masuk dari arah loby.
"Dokteerr Tara?" sapanya dengan mata berbinar. Ia tak menduga akan bertemu Dokter Tentara yang sejak kemarin tak membalas pesannya. Citra baru saja menemui pihak hotel di ruang manager terkait acara DuMed malam ini.
"Hmm. Ya."
"Dokter di sini? Ngapain?"
"Sa-ya ada pertemuan," jawab Tara sungkan. Tak lama datang beberapa prajurit yang dikenal Tara akan naik menggunakan lift juga.
"Dok. Saya mau ucapin terima kasih yang kemarin. Kenapa Dokter nggak mau jawab pesan saya?"
Tara menjeda dan berdehem kecil, sebab kalimat Citra mengundang tatap penuh arti rekannya bersama deheman-deheman kecil.
"Oh. Sudah saya jawab iya 'kan. Lupakanlah itu. Saya sudah tidak mengingatnya."
"Tapi saya ingat, Dok. Nggak mungkin lupa pokoknya," Citra bergumam dan terkekeh samar.
Senyum Tara tertarik kecil dan hilang secepat itu juga saat rekan-rekannya berujar jenaka. "Pepeeet Terooss! Apalagi, Kapt!"
Tara hanya tersenyum kecil menanggapi. Tak lama pintu lift terbuka. Rekan Tara masuk, dan lift itu berbunyi ketika Tara masuk tanda over muatan.
Menyadari itu Tara mengalah dan melangkah keluar.
Citra tersenyum samar menganggap ini sebuah kebetulan yang menguntungkan. Ia masih bisa berbincang lagi dengan dokternya.
Tara tak berkata apapun saat rekannya kembali meledek. Hal itu malah membuat hati Citra makin berbunga-bunga.
"Dokter Tara. Maaf, ya. Saya dapat nomornya dari dokter yang di rumah sakit. Anda juga yang sudah membayar biaya pengobatan. Kalau berkenan. Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas?" tanya Citra penuh kebahagiaan.
"Nggak ada, Citra. Oh. Citra 'kan nama kamu?" Tara mengernyit penuh telisik. Seingatnya gadis itu mengatakan nama itu di dalam chat-nya ketika mencoba menghubungi Tara.
Pesan-pesan Citra hanya dibalas Tara dengan kata "sama-sama". Setelah itu Tara tak pernah membalas pesan apa pun lagi yang dikirim Citra.
Mendengar namanya disebut, Citra semakin berbinar. Ia senang Tara mengingat namanya. "Hu-um, Dok. Betul." Senyum Citra semakin merekah sempurna.
"Citraa!" Suara lengkingan seorang wanita menggema.
Citra berpaling dan menemukan Heni.
"Lo ditungguin di ballroom. Cepetan!" Heni memelotot lucu.
"Ck! Iya. Iya!" Citra memonyongkan mulutnya dan pamit pada Tara.
Tara tiba di lantai dua ketika Kimo sedang berdiri di depan ruang pertemuan.
"Kapt! Dari mana?"
"Halaman belakang, Kim."
"Anda tadi dicari Letkol Arya," kata Kimo ramah, merangkul pundak Tara agar mereka bisa masuk bersama.
Tara mengangguk dan masuk menuju meja di mana Letkol Arya berada bersama Kimo.
Malam ini, hanya tinggal acara dinner.
"Kapt Tara, kemari. Ayo makan bersama."
Tara mengambil duduk di samping Letkol Arya yang duduk di samping Martin dan Kyle. Ada petinggi lain juga di sana. Kimo duduk di sebelahnya. Mereka saling melempar cerita memecah suasana.
"Jadi, Laksamana. Siapa perwakilan dari kita yang akan dikirim ke Amrik untuk ikut pelatihan medis dari kita?" tanya Letjend Handoko disela perbincangan pada Laksamana Wahyu.
"Nanti kita putuskan, menurut kamu siapa yang cocok, Letkol Arya?" Pertanyaan itu dilempar pada Arya.
Arya tersenyum dan mengangkat wajah santai. "Saya belum punya kandidat. Kalau dari Letkol Bima gimana? Kimo kayaknya juga baru abis tugas dari Maluku 'kan?" tatar Arya bersahabat.
"Hhm. Ya." Letkol Bima tersenyum bersahaja.
Kimo menatap wajah semua yang duduk di sana tenang. Ia harus bisa membuat Dokter Tara saja yang pergi.
"Saya ikut perintah. Akan dengan senang hati saya emban kesempatan baik ini. Tapi Letkol Arya, saya masih harus kembali ke Maluku dalam waktu dekat ini bukan? Kalau tak ada masalah lagi di Maluku, saya bersedia menerima kesempatan ini," ucapnya sopan penuh kewibawaan. Ia harus pura-pura menerima agar imeg dirinya naik di depan seniornya.
Mendengar itu insting Tara mencium aroma tak baik di sana.
"Kalau Kapt Tara gimana? Bukannya saat ini belum menetap kan tugasnya?" tanya Bima. "Kalau tak salah Tara akan ditugaskan di rumah sakit 'kan? Pas itu. Sebelum tugas tetap di rumkit dapat pelatihan dulu di Amrik.
Senyum Arya melengkung miring. Ia tak menduga Bima tahu Tara akan ia tugaskan di rumah sakit TNI AL.
"Kamu bersedia, Kapt?" tanya Arya setelah acara malam ini usai. Mereka sedang berdiri di depan ruang pertemuan yang sudah sepi.
Tara menjeda. Biasanya ia akan senang hati dikirim keliling tempat di dunia sesuai hoby-nya. Tapi kali ini ada sesuatu dari sudut hatinya yang menolak. Ia ingin menetap dulu di sini untuk saat ini.
"Saya ikut perintah, Letkol," jawab Tara akhirnya.
Arya mengangguk berwibawa. "Nanti kita lihat lagi kondisi ke depan, ya. Kamu setelah ini mau ke mana?"
"Nggak ada, Letkol."
"Ayo, temani saya ke undangan sebelah. Saya dapat undangan dari DuMed. Sebentar aja."
"Siap!"
Tara tak menyangka Letkol Arya dan Utama punya hubungan baik. Dari cerita Letkol Arya, Utama adalah sahabat lamanya sejak SMA.
Sampai di ballroom mereka disambut Utama dan diajak duduk bersama di meja bundar paling depan dekat ke panggung. Arya dan Utama saling bertukar cerita.
Sementara Tara mengedar pandang mencari wanita galak yang pernah mengerjainya dengan terong sebagai balasan. Detik itu, ia melihat Utama bangkit dan bersalaman dengan pria yang tadi dilihat Tara bicara dengan Aisha di loby. Mereka berpelukan sebelum pria itu pamit pergi.
Suara menggema terdengar dari pembawa acara. Tara masih saja sibuk mencari sosok Aisha dalam ruang besar itu. Hatinya berdesir ketika berhasil menemukan gadis itu sedang duduk di meja belakang bersama Citra dan Niel.
Tak lama, ia melihat seorang pelayan berbicara padanya, lalu Aisha bangkit pergi keluar.
Tara izin pada Arya untuk keluar hendak menyapa Aisha. Pria dengan jas hitam itu mengerutkan dahi ketika melihat langkah Aisha terus pergi masuk ke lift.
Tara melihat tujuan Aisha dari monitor yang tertera di atas pintu lift. Lantai 5.
Merasa sesuatu yang aneh, ia memencet tombol di depan lift sebelah dan ikut naik ke lantai 5.
Begitu Tara keluar dari lift, Aisha terlihat sedang berdiri di depan pintu kamar hotel memencet bell kamar.
Batin Tara bertanya-tanya, Aisha mau apa? Siapa yang ingin ditemuinya?
"Aish--" Tangan Tara baru saja terangkat hendak memanggil gadis itu saat Aisha menjerit ketika ada tangan yang menariknya masuk secara paksa.
Insting waspada Tara menyala.
Ia yang melihat itu langsung menarik kesimpulan bahwa itu adalah kondisi di mana Aisha pasti dalam bahaya. Ia berlari dan berhenti di pintu nomor 47 yang sudah tertutup. Gamang ingin mengetuk, menutup mulut kalut dan mondar mandir menimbang.
Siapa tadi? Kenapa Aisha menjerit? Kenapa pula gadis itu mau ke sini?
Aisha!
Batin Tara berteriak panik. Namun tak ingin gegabah, otaknya berpikir keras agar ia tak salah bertindak.
Ada dua kemungkinan, jika orang yang menarik Aisha adalah wanita, ia pasti akan mempermalukan diri sendiri jika mengetuk pintu. Tak ingin terlambat, Tara mengambil langkah berlari mencari pelayan secepatnya.
°°°
"Lepasin!" Aisha menghempas keras tangan pria yang tadi menariknya paksa masuk ke dalam kamar nomor 47.
Mata biru Aisha memelotot geram saking marahnya. Di detik ini ia sadar kalau dirinya sedang ditipu. Seorang pelayan yang tadi memberi kabar padanya berkata kalau istri Nicko meminta ia datang ke kamar nomor 47 di lantai 5 meminta bantuan. Aisha tahu kalau istri Utama dan Nicko menginap di sini sejak kemarin dari Citra. Lalu ia percaya ketika tadi melihat Lulu keluar ruangan lebih dulu.
Dan kenyataan yang ada di sini bisa Aisha simpulkan bahwa ini bukan kondisi baik-baik saja.
"Kenapa kamu yang di sini!" Aisha langsung menaikkan nada suara ke tingkat tinggi. Mendapati keberadaan Dicki di kamar ini kewaspadaannya langsung menyala.
Jangan-jangan pria ini ....
"Sssh ... kamu galak banget, Sha. Aku suka. Santai. Jangan marah-marah dulu. Silakan duduk." Seringai aneh tertarik di ujung bibir Dicki. Ia tadi baru pamit pada Utama untuk pulang lebih dulu. Sebagai pengusaha Readymix dan Property ia dan Utama punya hubungan bisnis terkait pembangunan gedung DuMed sejak lama.
"Mau apa kamu?"
"Ck! Duduk dulu, Sha."
Ekspresi menahan amarah dan penuh kewaspadaan masih tergurat di wajah putih Aisha. Ia mundur dan mengambil duduk jauh dari Dicki dengan tatap penuh selidik.
Dicki menuangkan minum, lalu menyodorkannya ke gadis itu. Aisha membuang wajah. Melihat itu seringai liar dari wajah Dicki terurai. Diletakkannya gelas itu di atas meja di depan Aisha begitu saja. Sementara ia mengambil duduk di tepi ranjang.
"Minum dulu, Sha."
Aisha melempar tatap tajam menuju wajah Dicki. "Nggak. Usah basa basi! Aku mau cepat pergi dari sini!"
"Ck! Sikap kamu ini. Bikin aku makin gemas, Sha. Dokter Sora benar. Kamu wanita yang penuh data tarik tinggi. Sayangnya kita nggak jadi menikah."
"Cih! Basi!" Semakin kesal, Aisha merutuk kenapa dia bertemu Dicki di sini hari ini. Pria ini tadi juga sudah menyulut emosinya ketika bertemu di loby terkait masalah pembatalan pernikahan kemarin. Dicki bermanis mulut dan merayunya.
Aisha bangkit tak ingin berlama-lama meladeni pria aneh yang baginya kini bukan orang baik. Ia berlari ke pintu tapi tangan Dicki sudah berhasil meraih tangannya lebih dulu.
"Ssh! Kamu cukup menantang, Sha. Aku pikir kita akan saling membagi cerita dulu. Lalu ...."
Aisha berhasil mendaratkan sebuah tamparan ke wajah Dicki. Gadis itu sudah tak punya pikiran positif lagi. Jelas ia sedang dalam kondisi tak aman di sini. Apalagi ketika melihat binal di sorot mata Dicki ketika berhadapan dekat dengan wajahnya.
"Kurang ajar kamu! Lepasin gue!"
Tak menggubris pekikan keras Aisha, Dicki malah menarik senyum dan sorot mata liar. Ia menyukai reaksi gadis itu.
Segera ia menarik dan mendorong Aisha ke dinding lalu menguncinya dengan dua tangan. Embusan napas Dicki bisa Aisha rasakan di kulit wajahnya.
Gadis itu membelalak marah. Namun tatap amarah Aisha malah semakin membuat hasrat Dicki semakin membumbung tinggi.
"Jangan khawatir, Sha. Aku akan meralat penolakan kemarin. Aku bersedia menikahi kamu. Hhmm?" Manik mata Dicki memipih sejenak lalu melebar secepat itu juga merayu gadis dalam kunciannya.
"Aku nggak sudi nikah sama orang kayak kamu!" Aisha menghardik kasar. Perlakuan Dicki detik ini padanya, membuat ia bersyukur tak berlanjut ke jenjang yang lebih serius dengan pria itu.
"Jangan munafik, Sha! Mau sampai kapan kamu menanti terus-terusan. Ha? Selagi ada pria yang mau menikahi wanita dengan kasus kongingental kayak kamu, harusnya kamu langsung ambil kesempatan itu. Bukan jual mahal!"
"Apa kamu bilang? Kurang ajar banget mulut kamu itu! Ha? Mending aku melajang seumur hidup daripada harus nikah dengan lelaki hidung belang kayak kamu! Aku bersyukur Tuhan menolong aku lewat pembatalan kamu kemarin! Karena kamu nggak pantas mendapatkan aku!"
Kekehan sengau Dicki mengudara.
"Kamu cukup percaya diri juga, ya. Tapi, ya ... kamu memang cantik sih. Karena itu aku berubah pikiran. Ayo kita menikah. Kita lewati dulu malam ini bersama dengan suka cita. Hhmm?"
"Lepasssssiin!"
"Ssh! Ssst! Jangan meradang lagi. Itu buat aku semakin ingin ...."
Dicki mendekatkan wajahnya mengikis jarak wajah mereka.
"Cuih!"
"Aagh! Brengsek!" Dicki mengerang geram memegang wajah melepaskan kunciannya ketika Aisha berhasil meludah tepat ke wajahnya.
Segera ia mengejar Aisha yang kembali berlari ke pintu untuk keluar. Aisha berusaha keras menggoyang handle pintu sedang mata sibuk mencari card pembuka kunci.
"Kamu nggak akan bisa lari!" Dicki menarik lengan Aisha keras hingga merobeknya.
Aisha terperanjat dengan netra terbelalak semakin meningkatkan kewaspadaan.
"Ke sini kamu!"
Aisha menjerit minta tolong ketika Dicki berhasil menariknya paksa lalu menghempasnya di atas ranjang.
"Lepaas!"
PLAK!
Tangan Dicki melabuhkan tamparan ke wajah Aisha. Gadis itu terjerembab dan menangis tersedu.
"Aku akan menikahi kamu! Dengar! Jangan sok jual mahal. Tapi temani aku dulu malam ini. Jangan menolak!" Dicki menarik kembali Aisha yang tersedu dan memekik.
"Lagian, kenapa kamu khawatir. Apa yang kamu khawatirkan sekarang? Ha? Kamu akan mendapat suami. Dan kamu ... juga nggak bakal hamil kalau kita melakukannya sebelum pernikahan bukan? Hhm? Kamu setuju 'kan?"
"Pria gila! Mm!" Aisha kembali berusaha melepas tendangan sekuat tenaga ke arah Dicki namun lagi-lagi pria itu berhasil menguncinya di bawah tubuhnya.
"Ck! Aisha. Please jangan gini dengan calon suami. Aku tadi mau bicara baik-baik ke kamu. Tapi kamu yang maksa aku berbuat kasar begini."
"Tolooong! Tolooong!" Aisha menangis lemah.
"Njerit aja sekuatnya. Nggak bakal ada yang dengar!" Dicki terkekeh samar dengan seringai binal.
Ia menekan tubuh Aisha di bawah tubuhnya mengikis habis jarak mereka dengan penolakan kuat gadis itu sekuat tenaga.
Tiba-tiba suara bell di pintu mengacaukan aksi Dicki.
Ia berdecak geram. Siapa pula yang datang ke kamarnya?
Segera ia meraih sapu tangan dalam kondisi Aisha masih dibawah kendalinya. Dengan kasar ia mencoba mengikat sapu tangan di mulut gadis itu.
Tak disangka Aisha lagi-lagi memberontak dengan membenturkan kepalanya ke wajah Dicki.
"Agh!" Dicki mengaduh, tapi hal itu malah memicu amarah Dicki hingga ia menampar keras mengakibatkan Aisha terpelanting dan membentur sudut nakas hingga tak sadarkan diri.
Dicki mengembus kasar. "Ini lebih baik," pikirnya beringas.
Dicki bangkit lalu mengintip di kaca cembung kecil yang melekat di pintu. Petugas pelayanan hotel.
Ia merapikan penampilan dan membuka pintu itu setelah yakin semua terkendali.
"Ya. Ada apa?"
Tara yang siaga menangkap siapa orang di dalam sudah berdiri di samping pintu langsung bergetar sakit ketika mendengar suara itu.
Pria ini?
Lalu Aisha?
Ia langsung berbalik dan mendorong secara pelan tapi cukup kuat hingga Dicki tak bisa menahan karena kekuatan Tara ternyata tak sebanding dengan gerakan tubuhnya yang kini mengeras.
"Hei! Apa ini?" karena Dicki aneh.
"Maaf. Saya mencari wanita yang masuk ke sini."
Tara terus mendorongnya dan melangkah masuk. Kewaspadaannya meningkat ketika menemukan Aisha tergeletak dengan mulut terikat di atas ranjang kamar.
Mata Tara terbelalak dengan hati hancur melihat kondisi pakaian Aisha yang sudah robek. Emosinya langsung naik ke tingkat tinggi tanpa peduli meraih kerah baju Dicki dengan rahang mengeras dan mata memerah.
"Kamu apakan DIA!" Tangan Tara mengepal siap melepas bogeman.
Melihat itu, pelayan hotel pergi memanggil bantuan.
"Siapa kamu? Berani ganggu waktu kami!"
"Kami kamu bilang! Kami? Siapa kamu buat gadis itu, ha?"
"Saya calon suaminya! Apa hak kamu ikut campur?!"
Mata Tara semakin memerah tajam menembus netra Dicki dengan gemuruh yang besar di dada.
Tentu saja ia tahu lelaki itu bersandiwara!
Tara mengayun kepalan tangan berhasil melepas pukulan bebas ke wajah Dicki.
Dicki terpelanting membentur dinding. Tak terima, ia maju hendak membalas. Tapi Tara sudah lebih dulu maju dan melepas kembali pukulan demi pukulan ke rahangnya.
"Brengsek! Sok jagoan? Siapa kamu?" berang Dicki sambil mengusap jejak darah di ujung bibirnya.
"Kamu apakan Aisha! Ha? Kamu apakan dia? Kurang ajar! Ambil ini. Kamu pantas mendapatkan ini!"
Tara semakin meradang, kembali melepas pukulan seakan tak terkendali, berulangkali, belum mau berhenti seiring dengan sakit di dalam hatinya yang berdenyut melihat kondisi Aisha.
"Agh!" Dicki mengerang sakit tak mampu melawan.
Tinggi tubuhnya yang hanya sampai di dada Tara dengan mudah terangkat menggantung ketika Tara meraih kerah bajunya hanya dengan tangan satu.
"Lepaass!" jerit Dicki sedikit tercekik mencoba melepas tendangan ke tubuh Tara.
Bagai tikus kecil, Tara membawanya ke balkon mendekatkannya ke pagar pembatas seakan ingin mencampakkan tubuh boncel itu ke bawah sana saat itu juga. Dicki terhenyak.
"Jangan! Jangan!"
Ia tak menyangka. Pria ini lebih gila darinya.
Ya. Tara bagai sudah gila. Sakit hatinya melihat Aisha di sana membuatnya tak bisa diam saja.
Tara bertanya, kenapa Dicki berani berlaku demikian pada Aisha, padahal pakaian Aisha cukup sopan. Apa hubungan Dicki dengan Aisha sebenarnya?
"Kamu mau mati di sini, apa di penjara? Ha? Katakan! Kenapa Aisha bisa sampai pingsan? Kamu apakan dia?" cecar Tara emosi menyelidiki apa yang terjadi pada gadisnya.
"Okay! Okay! Aku berniat tak baik padanya. Aku menamparnya. Dia terbentur dan pingsan." Dicki berucap ketakutan.
Mendengar itu hati Tara teremas-remas. Ingin sekali ia menghabisi lelaki itu detik itu juga jika tidak menahan diri.
"Kenapa kamu lakukan ini padanya? Ha? Apa salah Aisha denganmu?
"Nggak ada. Nggak ada. Aku cuma mau curi kesempatan! Di-dia, pernah berencana aku lamar. Tapi aku juga yang membatalkannya!"
Tara mengerang kasar semakin mencekik kerah Dicki tak tahan mendengarnya. Namun akalnya segera ia kendalikan agar tak gegabah. Ini sudah cukup untuk memberi Dicki pelajaran.
Lelaki bertubuh atketis itu menurunkan Dicki dan mengikat pria itu di balkon.
Dengan perasaan hancur dan mata berkabut ia mendekat ke Aisha.
"Aisha ...." Lembut, ia buka sapu tangan yang menutup mulut Aisha. Hatinya teriris ketika melihat ada luka lebam di dahi dan bekas cap tangan di pipi. Seluruh keberanian yang tadi memicu amarahnya menghajar Dicki kini melebur menjadi kelemahan ketika menghadapi gadis itu. Sungguh ia tak sanggup melihat Aisha terluka sampai demikian.
Cepat-cepat ia meraih selimut menutupi tubuh gadis itu. Kemudian meraih beberapa bantal dan meletakkannya di kaki Aisha agar letak kaki lebih tinggi dari letak kepala.
"Aisha, Sha ... buka mata kamu. Kamu sudah aman. Ayo banguun." Tak henti mulutnya berucap bagai mengigau.
"Maafi saya yang terlambat, Sha. Maaaf ....," katanya tak henti.
Pelayan hotel kembali dengan security. Dicki diamankan untuk dibawa ke kantor polisi.
Tara meraih ponsel menekan tombol panggil ke nomor Niel dan Citra. Namun tak satu pun dari mereka yang menjawab. Tara maklum. Mungkin pengeras suara di ballroom membuat mereka tak mendengar panggilannya.
Kemudian ia luruh ke lantai di samping ranjang sambil menatap wajah lembab Aisha dengan terluka.
Hatinya berteriak seakan bisa masuk ke alam bawah sadar Aisha. Matanya kembali berkaca-kaca.
"Saya bersedia, Sha. Seluruh suka milik saya adalah milikmu. Dan seluruh dukamu itu adalah milik saya. Maukah kamu membaginya dengan saya? Bangun, Sha ...."
🌹🌹🌹
(26 Maret 2021)
🌹🌹🌹
Fiuuhh!
Cukup ngos-ngosan ngetik part ini. 😖
Gimana menurut kalian part ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top