BAG 16 : FAMILY

Ketemu lagi 🤗🤗😁

Ada yang nunggu kagak? 😆

Semoga kalian dan keluarga selalu dalam keadaan sehat dan berkelimpahan,ya. Punya keluarga yang hangat dan bersahabat merupakan rezeki besar. ❤

Alhamdulillah, meski punya takdir kongenital, Aisha punya seorang Papa yang care dan bersahabat banget. 🤗❤

Btw ada yang fans sama Om Fauzi kagak? 😆

Selamat membaca ❤

°°°

Akhir pekan ini dimanfaatkan Aisha bersama Fauzi menghabiskan waktu pagi di CFD. Aisha yang sudah pernah kecolongan sang Papa malah lebih dulu pergi ke sana bersama Dokter Tara dan Niel bersikeras mengajak Fauzi ke sana untuk quality time. Sejujurnya, Aisha sedang bingung dengan dirinya sendiri. Jadi, ia ingin lebih sering bersama sang Papa untuk masa--yang baginya--rumit ini.

Papa dan anak itu jalan bergandeng tangan mengitari area CFD sampai berkeringat.

Sedang asik menikmati pagi, Aisha menyapu pandang ke sekitar dan terhenyak ketika melihat sosok tubuh tegap tengah berlari melewati mereka. Tak sengaja ia bergumam.

Om Modus?

Aisha mengerjap cepat. Mata birunya membola gelisah salah tingkah.

"Kenapa, Sha?"

"Om?"

"Siapa?"

"A-a." Aisha tergagap dan tersadar. "Nggak ada apa-apa, Pa." Aisha mengusap dahinya salah tingkah. "Yuk jalan lagi, Pa. Biar sehat. He he." Aisha menarik tangan Fauzi untuk lanjut jalan.

Melangkah ke depan, mata biru Aisha kembali terhenyak ketika melihat seorang pria sedang melakukan gerakan olahraga taekwondo di hadapan barisan rekannya. Dahi Aisha lagi-lagi mengernyit heran. Kenapa Om Modus kini sudah ada di situ dan berganti pakaian? Lalu tadi? Bukankah barusan dia lewat sambil lari maraton?

Aisha tak habis pikir lalu mengerjap cepat. Kembali memastikan wajah yang baru ia lihat. Ternyata ia salah. Itu bukan Dokter Tara. Ia menggeleng dan mengusap kepala dengan ekspresi kecut, heran dengan dirinya.

"Duduk dulu, yuk. Papa lelah," ajak Fauzi. Aisha menurut. Mereka pun duduk di pinggir jalan CFD.

"Kemarin Papa sama Dokter Tara dan Niel duduk di situ, Sha," kata Fauzi menunjuk penjual bubur ayam.

"Jadi Papa lihat juga?" sambut Aisha tak nyambung dengan perkataan Fauzi menanyakan apakah Fauzi melihat wajah Dokter Tara tadi. Jelas ia salah dengar apa yang diucapkan Fauzi.

"Lihat apa?" Fauzi mengedik dagu tak mengerti.

"Itu tadi  ...." Aisha menunjuk ke belakang.

"Apa?"

"Do--" Lalu Aisha tersadar kalau ia sudah salah berkomentar. "I-itu, tadi tukang bubur ayam." Aisha menarik senyum salah tingkah menyembunyikan kekonyolan dirinya. Lalu meringis masam saat Fauzi menoleh ke arah yang di tunjuk Aisha.

"Ini Sha tukang buburnya. Yang di sana tukang lontong sayur." Fauzi menegaskan kalau mata tuanya tak lebih sehat dari mata Aisha bukan? Lalu kenapa gadisnya bisa salah melihat seolah minus matanya lebih tinggi dari sang Papa padahal tulisan di gerobak mereka jelas terbaca.

"Oh! I-iya, Pa. Iya. Hehe." Aisha menggaruk kepala cengengesan diikuti gelengan kepala Fauzi.

Di CFD ada pedagang yang berjualan di sebagian area. Aisha menangkap basah sang Papa sedang melirik penjual aneka masakan lontong sayur, mie dan gorengan.

"Papa mau?" Aisha tahu benar apa yang diinginkan sang Papa. Di sana, ada sate kerang, bakso tusuk dan juga sate jeroan kesukaan Papanya. Aisha sedang mempuasakan Fauzi dari itu semua. Karena takut kolesterol Papanya kembali naik.

"Nggak!" elak Fauzi pura-pura.

"Hhhm. Bukan Aisha nggak ngasi Papa beli itu, Pa. Kalau Papa nggak punya pantangan darah tinggi, kolesterol dan penyakit jantung, Aisha bakal belikan buat Papa. Aisha juga yang bakal nawarin lebih dulu," sambung Aisha lagi. "Masalahnya, kita nggak tau minyak dan bahan yang lain itu aman nggak buat Papa. Biasanya sih, minyaknya sudah berulangkali pakai. Mana mungkin dua kali pakai sisanya dibuang. Penjual juga nggak mau rugi kan."

"Papa tau, Sayang."

"Makanya tadi pagi Aisha minta Papa sarapan lebih dulu," kata Aisha lagi cerewet. Pasalnya, baru kemarin ia membawa Fauzi menemui Dokter Sora untuk cek kesehatan karena Fauzi yang mengeluh pusing dengan tengkuk yang kaku. Hasilnya, tekanan darah Fauzi sedang tinggi. Fauzi juga punya riwayat penyakit jantung. Jadi saat ini Fauzi harus banyak menjaga pantangan makanan.

"Ya, kalau Papa sakit, kita bisa minta obat lagi ke Dokter Sora," lirih Fauzi samar.

"Ngapain pula ke Dokter Tara?" timpal Aisha diikuti kernyitan Fauzi.

"Dokter Sora. Bukan Dokter Tara. Kamu ini?" Fauzi tertawa membuat Aisha salah tingkah.

"Oh. Aisha kira Papa nyebut Dokter Tara." Kini Aisha tertunduk malu.

"Telinga kamu salah tangkap. Tapi  ... Dokter Tara pun juga nggak papa."

"Ngapain pula ke dia?" sambut Aisha mendengkus.

"Papa yang mau. Nggak papa 'kan? Lagian kemarin waktu kami ke sini, dia itu tanggap banget. Tanya dulu ke ke Papa sebelum mau beli makanan. Papa punya pantangan makanan apa. Dia juga yang milih makanan yang lebih aman dan sehat. Papa senang cara dia memperlakukan Papa." Fauzi meneguk air mineral dari botol yang sengaja mereka bawa dari rumah.

Sementara gadisnya sedang bingung ketika merasakan debar jantungnya sudah tak normal dan mulai nyeri. Ya Tuhan. Apa ini? Rintihnya dalam hati.

"Sha. Kayaknya Dokter Tara punya feeling lho ke kamu."

"Uhuks!" Aisha yang sedang meneguk air mineral tersedak. "Paan sih Papa nih ah! Suka, ya, bikin anaknya kesedek," sungutnya mengalihkan pembicaraan sehingga mengundang kuluman senyum Fauzi.

"Nih, nih." Fauzi tersenyum seraya menyerahkan sapu tangan.

"Kayaknya kamu dah tau, ya? Atau  ... udah kamu cut duluan dia-nya?" tatar Fauzi lagi.

"Huum!"

"Kenapa?" Fauzi mengejar alasan.

Aisha terperanjat saat Fauzi mengejar ekspresi di wajahnya. "A-a-apanya, Pa?"

"Kamu udah langsung nolak dia, ya?"

"Ck! Papa. Kok malah cerita dia sih?"

"Kamu udah cerita ke dia masalah kekurangan kamu?" kejar Fauzi lagi.

"Ck! Belum. Dia belum tau, Pa. Aisha udah jauhi dia duluan. Aisha yakin, kalau dia tau, dia bakal mundur juga kayak yang lain. Laki-laki mana yang mau menikah sama perempuan yang udah jelas nggak bisa mengandung anaknya?" kata Aisha membuang pandang jauh. Hatinya pasrah dan berusaha menegarkan diri.

Bukannya mengiyakan, Fauzi malah melempar pertanyaan. "Kenapa kamu belum cerita juga?" tatar Fauzi lagi.

"Ya-ya-ya, males aja. Pasti hasilnya sama lah!" Aisha mengangkat bahunya tegas.

Fauzi tersenyum ketika menangkap gurat di wajah gadisnya ketika mengatakan itu. Mulut bisa menyangkal, tapi mata, ekspresi wajah dan gestur tubuh tak bisa denial. Ia jelas bisa mengartikan apa yang disembunyikan gadis kesayangannya itu.

"Kamu persis Mama, Sha. Dulu mama juga kayak kamu. Nolak Papa terus-terusan. Tapi akhirnya, lihat. Ada kamu sekarang. Ha ha ha." Fauzi tertawa mengenang kisahnya bersama Zahra, istrinya.

"Cieee yang mengenang masa lalu. Ceritakan lagi ke Aisha, Pa. Kayak apa Mama," kejar Aisha menatap mata Papanya mengalihkan perbincangan.

"Kamu ini. Papa udah banyak cerita tentang mamamu. Kali ini cuti dulu." Fauzi tertawa. "Eh, itu  ... dokter Tara, Sha!" Fauzi mendongak, melempar tatap jauh ke seberang mereka.

"Ha?" Aisha langsung terbelalak salah tingkah tak berani mengikuti arah mata Papanya. "Ki-kita jalan lagi yuk!" ajaknya cepat.

"Hum? Kenapa? Biar dia ke sini. Papa panggil, ya!"

"Ja-jangan!" Aisha memekik salah tingkah menyilangkan tangan di depan dada berulang-ulang.

"Dokter Ta--"

"Paa!" Tangan Aisha segera membekap mulut Fauzi seraya gelagapan mengedar pandang ke arah yang dilihat sang Papa. Lalu dahinya mengernyit, yang di sana itu wanita.

"Papa! Mana?"  katanya sebal.

Fauzi mengulum senyum. "Nyari juga kaaan?" Telunjuk kanan Fauzi tertuju ke wajah Aisha dan tertawa.

"Iih. Papa! Apaan sih? Nyebeliiinnn!!" Aisha memukul-mukul kecil lengan Fauzi manja diikuti tawa papanya.

"Sekarang Papa tau, Sayang. Kamu nggak berani bicara kekurangan kamu karena nggak siap kalau respons pemuda itu sama dengan yang lain. Kamu nggak rela dia akan mundur. Kamu terus-terusan  menyangkal, padahal nggak sadar kalau sebenarnya hati kamu menolak denial. Okay. Papa tau, apa yang harus Papa lakukan," lirih Fauzi dalam hati bersama kuluman senyum lucu menatap putrinya yang jingkrak-jingrak memukul lengannya sebal.

Setelah puas menghabiskan waktu di CFD, mereka pulang ke rumah. Sedang menuju parkiran, ponsel Aisha berdering.

"Bentar, Pa."

Aisha meraih dan melihat siapa nama di layar.

"Citra?"

Gadis supel yang cukur modis itu segera menekan tombol hijau. "Ya, Cit? Hm? Gue di CFD ama bokap. Kenapa? Bentar lagi kita pulang. Huum. Iya."

Panggilan terputus.

"Kenapa Citra?"

"Mau main ke rumah katanya, Pa."

"Oh. Ya udah. Yuk buruan pulang." Aisha mengangguk setuju.

Sampai di rumah, sudah ada Citra duduk di teras rumah mereka bersama Halimah. Citra menyalami Fauzi santun. Setelah itu, bersama Aisha ikut masuk ke kamarnya.

"Tumben! Pagi-pagi lo udah nangkring di teras rumah gue. Rajin amat!" ledek Aisha tertawa.

Gurauan itu tak digubris Citra. Ia hanya menghempas tubuh ke ranjang milik Aisha, lalu merangsekkan tubuhnya di balik selimut dan bantal.

"Ya ampun. Mau numpang tidur doang?"

"Iya! Boleh 'kan?" rengek Citra.

"Lo dari mana semalam emangnya?"

"Minggat gue!"

"Nah kan. Gue dah nebak."

"Kenapa?"

"Yaaaa, secaraaaa gitu. Masa sih lo lebih milih tempat tidur gue yang tak lebih empuk dari tempat tidur lo yang seharga anak sultan itu?" ucap Aisha penuh retorika. "Ada apa lagi?" kejarnya.

"Biasalah. Bokap ketauan selingkuh. Sekarang mama balas Bokap juga. Ribut, saling meninggikan harga diri. Sebel gue! Sakit pala gue di rumah itu! Kek neraka! Mending gue ngekos aja, ya, Yong! Ngekos di sini keknya enak. Asik ada kawan cerita yang humble dan smart kayak lo. Ya nggak? " kata Citra landai.

"Sewanya mahal kalo di sini. Apalagi banyak plus-nya kek yang lo bilang itu." Aisha terkekeh mencoba menyeimbangi agar Citra tak terlarut sedih.

Ia memang sudah sering mendengar curhatan Citra tentang keluarganya. Citra dua bersaudara. Kakaknya, Genta, kini berada dalam penjara karena terjerat narkoba. Kedua orang tuanya termasuk crazy rich di Jakarta. Pebisnis mancanegara. Keluar negeri sudah seperti naik bus ke sekolah setiap hari.

Sejak kecil. Citra berjuang sendiri untuk tetap berada di rule dan circle yang positif. Meski tak pernah kekurangan materi tapi ia kurang mendapat perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja.

Tiba-tiba suara isakan Citra terdengar di balik punggungnya yang turun naik menahan isak.

Aisha mendekat dan mengelus pundak sahabatnya. "Lo harus kuat, Citra. Jangan mau ngalah. Lo buktikan lo bisa jadi orang hebat meski lo nyimpan dendam. Ubah kesal dan sakit hati lo dengan prestasi."

"Ngak ada gunanya. Mau gue berhasil atau kagak, mau gue jadi orang atau nggak, atau gue mati sekalian mungkin mereka nggak bakal peduli. Mereka cuma mikirin diri sendiri. Cuma mikir cari duit!"

"Buat lo juga 'kan?"

"Gue lelah, Sha. Gue udah muak berada di rumah itu. Gue pengen pergi aja jauh sekalian. Biar mereka lupa kalau punya anak gue ini. Kali aja abis itu sadar, selama ini mereka ke mana aja? Pernah nggak lihat perkembangan hidup gue? Peduli dengan apa yang gue lakuin! Apresiasi hasil kerja gue! Apa gue jadi anak rusak aja kek Genta? Biar mereka itu mikir!" geram Citra.

"Hush! Yang ada mereka malah makin nyalahin lo, Cit. Lo juga yang malah rusak. Siapa yang rugi?"

"Kalau mereka nyalahin tinggal di balik aja dong! Salah mereka sendiri nggak pernah peduli ama apa yang anaknya lakuin? Giliran kesandung masalah, tinggal nyalahin anak aja!"

"Citra! Lo nggak boleh ngomong gitu. Gimana pun mereka kerja buat lo."

Citra kembali terisak. "Gue keknya mikir enak jadi lo, Sha. Meski nggak punya mama, tapi lo dapat kasih sayang penuh dari Papa lo dan nenek. Gue punya keduanya tapi kayak nggak punya keduanya. Yatim piatu gue! Ada tapi tiada keberadaan mereka. Kalau masalah uang, sekarang gue juga udah bisa cari uang sendiri!" Citra merangkul guling dan terisak lagi di sana.

"Lo dah dewasa, Cit. Bukan anak anak lagi. Biasanya yang begini tuh masa remaja. Nah lo?"

Citra bangkit dan menegakkan badan menatap Aisha tajam.

"Gue masih akan gini terus, Yong! Ada Citra kecil yang terluka di dalam sini. Dia berontak terus-terusan. Dia sendiri di suatu tempat gulita, nungguin orang tuanya jemput dan meluk dia!" ucap Citra yang sebenarnya cenderung manja. Namun sifat itu mulai tertutup pekatnya kisah hidup yang ia jalani. Kehidupan membuatnya menjadi anak mandiri yang kadang sering bertindak di luar nalar.

"Okay! Gue udah nggak berharap. Tapi gue muak dengan drama hidup mereka berdua. Lo tau? Bokap, ketauan main di madam dan sempat kencan dengan beberapa cewek dari sana. Tuh cewek hubungi gue dan nyokap, bilang dia lagi hamil. Pen teriak 'bangsat' gue!"

Aisha tertegun mendengar semua curhatan Citra. Kali ini ia sengaja hanya mendengar tanpa menyela. Kadang seseorang memang butuh hanya didengarkan.

"Gue? Anaknya? Ngeriset aplikasi itu, mendadak mual, Yong! Pen muntah gue liat kelakuan bokap sendiri! Kapan mereka puas kek gitu? Haa? Malu gue!"

Mata Aisha berkaca-kaca  menatap sahabatnya. Sejak lama, begitulah Citra. Gadis nekad dengan tingkat keberanian ekstrim itu untung tak pernah salah pergaulan mengingat orang tuanya melepas begitu saja pergaulan Citra baik atau tidaknya.

Aisha dan Citra sudah berteman sejak masa kuliah. Lalu sama-sama meniti karir di DuMed sebelum tamat kuliah.

"Sssh! Sssh!" Aisha mengusap pundak. Citra. "Lo harus cari jalan keluar yang benar. Bukan onar. Nanti lk yang rugi, Citra."

Aisha mengela napas lelah. Ia sendiri pernah frustasi karena takdir dirinya dan sampai depresi berat. Ia tak ingin Citra mengalami hal yang sama dengan dirinya.

"Tenangin diri lo, Citra. Ambil wudhu gih? Mau ikut meditasi bareng gue nggak?" tanya Aisha bersahabat.

Citra mengangguk lalu bangkit setelah mengusap jejak air mata di wajah kusutnya menuju kamar mandi Aisha.

Sementara itu di Hotel Grand Masta. Tara baru saja keluar dari lift setelah bertemu dengan Letkol Arya dan beberapa petinggi kesatuan mereka.

Ia sedang ikut cek lapangan untuk mempersiapkan acara konferensi Combat Medic dari Amerika Serikat bekerja sama dengan Indonesia esok hari. Sampai di loby, ponselnya berdering. Tara segera menekan tombol hijau begitu melihat nama yang tertera di sana.

"Assalamu'alaikum, Om. Ya. Saya sedang di Grand Masta ini, Om. Alhamdulillah baik. Om gimana, sehat 'kan? Nenek gimana?"

"Sehat. Kita semua sehat. Aisha juga sehat," jawab Fauzi menyebut nama yang tak ditanya Tara. Agaknya pria itu cukup tanggap membaca arah pertanyaan Dokter Tentara itu.

"Nak, Tara. Maaf menganggu nih. Kapan ada waktu. Bisa kita bertemu?"

Mata Tara menajam bersama desir memburu. Ia menduga ada hal serius yang ingin Fauzi bicarakan sampai khusus menelpon dirinya. Tara langsung mengosongkan semua jadwal kecuali meng-handle acara di Grand Masta. Ia tak ingin janji temu khusus yang satu ini terlewati dan tak sabar ia sambangi. Tentu saja. Baginya ini istimewa.

🌹🌹🌹

Hayo. Tebak deh. Kira-kira Om Fauzi mau apa nemuin Tara? 😁

Menurut kalian Aisha itu kenapa waktu di CFD? 😆

Makasi yang sudah mampir.

Jangan lupa vote, ya. 🌹

Komentar membangun kalian juga yang paling bikin aku terhuraaay dan semangat up😍

Nih virtual shoot buat kalian 🔫 pew! Pew! Pew! 🔫👉🌹🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top