BAG 12 : AGAIN
Sudah tiga hari ini, Aisha meliput di dermaga tempat tim SAR mengevakuasi jatuhnya pesawat. Dan setiap hari juga ia bertemu Tara meski kini lelaki itu mulai bersikap biasa-biasa saja setiap bertemu dengannya.
Hal itu membuat ia lega, tapi bodohnya ada sisi lain hatinya yang tak terima.
Kalimat Tara masih terngiang-ngiang di benak Aisha. Satu sisi hatinya menjawab, ia pasti melakukannya. Namun sudut hati yang lain berkata, bagaimana kalau usahanya yang akan sia-sia?
Ck! Apa ini? Aisha mengerjap dan menggeleng pelan.
"Aku pasti bersembunyi, berlari menjauhi. Lagipula bukan impian aku jadi istri prajurit. Prajurit itu banyak wanitanya! Setiap tikungan ada. Tugas keluar kota, ada lagi istrinya. Wew!" kata Aisha mencibir sinis menegaskan hati setelah berpapasan dengan Tara ketika ia hendak menuju parkiran.
Tara sempat menatap Aisha sekilas lantas berlalu begitu saja.
Merasa ada yang hilang, tapi Aisha mencoba abai. Aisha segera menyalakan motornya. Ia sengaja tidak pulang bersama Delon karena hari ini akan ke rumah Paman Fendi, adik sepupu Fauzi. Mereka sedang menggelar acara pertunangan putri kedua mereka, Humaira.
Halimah dan Fauzi memintanya untuk menyempatkan diri bertandang ke sana pulang bekerja. Menurut, selesai dengan pekerjaannya, Aisha langsung meluncur ke Komplek Agung Premiere tempat kediaman Fendi dengan motornya.
Kedatangan Aisha disambut Humaira dengan bahagia.
"Huu, yang jam terbangnya tinggi. Gimana perkembangan evakuasi pesawat itu, Sha?" tanya Humaira prihatin.
"Sedikit demi sedikit jenazah korban mulai ditemukan."
"Kondisinya?"
Aisha menarik napas ringan. "Ini hari bahagia lo, Mai. Nggak usah bicarain itu ah. Okay," kata Aisha tersenyum.
Sebenarnya, hatinya tak tega melihat kondisi jenazah korban jatuhnya pesawat CT 163 itu. Lagipula, tak pantas baginya untuk membeberkan. Bahkan meski jasad itu sudah tak bernyawa, jiwanya akan tetap ingin diperlakukan sebagaimana layaknya. Begitu pikir Aisha.
"Gue, ke sana dulu, Mai. Selamat, ya. Lancar sampe hari H," ucap Aisha tersenyum pamit ingin menemui pamannya yang sedang duduk dengan Fauzi.
Humaira tersenyum dan mempersilakan sepupunya itu. Aisha melangkah mendekati Fauzi dan Fendi seraya menyalami mereka berdua.
"Udah makan, Sha? Makan dulu gih. Sana ketemu tantemu," kata Fendi ramah.
"Iya, Om. Aish--"
Deg!
Ada yang bedenyut di hatinya. Mengapa penyebutan "Om" pada pamannya sendiri malah membuat otaknya berkelana pada Om Modus absurd itu?
"Kenapa, Sha?" tanya Fauzi heran.
"Eng? Enggak, Pa. Aisha juga mau makan kok ini," jawab Aisha gugup. "Aisha, ketemu tante dulu," tandasnya lagi tersenyum dan berlalu.
Aisha melangkah ke sekumpulan ibu-ibu yang duduk di ruang keluarga rumah Fendi. Ia menyalami Sinta-istri Fendi-juga neneknya yang sedang duduk berdampingan.
Aisha, dengan ceria melempar sapa pada semua yang di sana.
"Sha, ini keluarga tante dari Surabaya. Yang waktu lalu pernah ketemu juga sama kamu di acaranya Juna. Inget 'kan?" Sinta mengerling ramah terkesan akrab.
"Iya, Tante. Inget dong," jawab Aisha seraya menyalami mereka juga.
"Nak Aisha ini reporter itu 'kan?" Seorang wanita yang Aisha tak ingat namanya bertanya. Ia hanya mengingat wajahnya karena pernah berjumpa di acara Juna, kakak Humaira.
Aisha mengangguk dan tersenyum santun.
"Cantik. Lebih cantik aslinya, ya 'kan?" sambut seorang ibu lainnya.
"Aisha kapan nikah? Kayaknya seneng kerja terus, ya. Humaira yang lebih muda udah mau nikah. Kamu kapan lagi? Jangan terlalu milih ...."
Ada yang berdenyut lagi di hati reporter DuMed itu. Pertanyaan seperti ini yang sejatinya membuat ia malas untuk ikut kumpul keluarga. Selama ini, sudah berulangkali pertanyaan seputar ini jadi topik pembicaraan yang dilempar padanya. Kadang Aisha tegar tapi ada masa di mana ia lelah juga.
"Udah berapa sekarang usianya, Sha? Anak Tante Dini ada yang lajang tuh. Kalau mau biar dijodohkan. Ya nggak, Yu? Yang begini pasti banyak yang mau jadikan calon mantu," ucap seorang ibu lagi bercanda.
Ya. Aisha tahu semua kalimat itu adalah gurauan belaka. Basa basi pembuka cerita di saat lama tak jumpa. Namun kadang, entah mengapa semua orang seakan menganggap itu lumrah saja. Padahal, tahukah mereka, bisa saja ada hati yang teriris ketika kalimat-kalimat itu dilontarkan.
"Jangan tanya-tanya masalah gitu dengan cucuku." Suara Halimah menyahut sebelum Aisha menjawab. "Kalau udah waktunya nikah, nanti juga nikah. Memangnya siapa kita mau ngatur Tuhan? Jodoh, maut, rezeki 'kan udah ada yang ngatur. Nggak usah mendahului. Memangnya kalian bisa jawab, kalau ditanya kapan mati?" sahut Halimah lurus dan ketus.
Mendengar apa yang dikatakan neneknya, Aisha tersenyum. Neneknya memang orang yang begitu. Tak bisa menahan diri untuk sesuatu yang menurutnya tak benar. Aisha juga ingin menjawab demikian, tapi tentu saja rasa hormatnya masih ia dahulukan.
"Doakan aja, Tante. saya cepat dapat jodoh. Entar kalau udah waktunya jangan lupa datang dan hadiahnya loh," sambung Aisha dengan nada gurauan. Yang diajak bicara hanya terdiam tak menjawab apa pun lagi.
Aisha lega, saat ini ia sudah bisa menerima keadaan meski kadang masih ada saja perbincangan tak mengenakkan seakan kongenital, jodoh yang belum kunjung melamar, adalah kesalahan yang mutlak datang darinya.
Dulu sekali, ia bahkan sempat frustasi saat mengetahui kenyataan bahwa dirinya mengidap syndrome langka MRKH. Saking frustasinya, ditambah omongan sekitar yang mencemooh, membuat ia hilang kendali sampai melukai diri sendiri. Goresan acak bekas luka sayatan silet yang tertinggal di perutnya adalah saksi bagaimana dulu ia putus asa. Aisha bahkan nyaris bunuh diri saat melawan dirinya sendiri. Untungnya Fauzi sang ayah, begitu perhatian dan selalu membesarkan hatinya. Seiring berjalan waktu dan bertambah usianya, Aisha mulai bisa berdamai dengan takdir yang diberikan Tuhan. Kebiasaannya melakukan "Meditasi Om" juga menjadi salah satu cara dirinya untuk bisa tenang mengendalikan diri yang frustasi.
Pulang dari rumah Fendi, Aisha langsung mandi. Selesai mandi ia duduk dengan Fauzi dan sang nenek di ruang keluarga.
"Maafin nenek yang minta kamu ke sana, ya, Sha. Akhirnya kamu malah dengar yang begitu lagi," ucap Halimah kecewa.
"Udahlah, Nek. Mereka nggak tau kondisi Aisha dulu dan sekarang. Mana bisa kita salahkan." Gadis itu menarik seutas senyum.
Fauzi mengelus puncak kepala putrinya hangat. Ia bangga meski hatinya jauh lebih sakit dari yang dialami Aisha. Orang tua mana yang tak berduka melihat nasib tak enak yang harus diterima putrinya?
"Papa senang kamu sudah bisa menerima keadaan, Sha."
Aisha tersenyum manja. "Ini semua karena Papa dan Nenek, yang selalu suport Aisha." Gadis itu kemudian meletakkan kepala di pangkuan Fauzi.
"Anak Papa sekarang ada suka sama seseorang nggak?" tanya Fauzi setelah menit-menit berlalu.
"Idih! Papa kenapa nanya begitu? Papa tahu sendiri. Aisha nggak punya hati untuk jatuh cinta lebih dulu. Tahu diri aja. Daripada udah jatuh cinta malah ujungnya sakit karena dia nggak bisa nerima Aisha dengan alasan kekurangan putri Papa." Tawa gadis itu mengudara.
"Kamu terlalu keras dengan diri kamu, Sha. Cobalah buka diri juga, Sayang."
"Um! Um!" Telunjuk Aisha mengayun sebagai tanda tidak. "Aisha udah tegaskan ke hati sejak dulu. Kalau Aisha nggak akan jatuh cinta lebih dulu!" ucap Aisha dengan mulut yang maju.
"Kalau ... sama Dokter Tara?" kata Fauzi langsung saja seraya mata menangkap gurat apa yang terlukis di wajah putrinya.
Aisha bergeming. "Ke-kenapa dia?" katanya terbata.
"Nenek nggak setuju. Dia tentara!" sambung neneknya pula.
"Masa lalu udahlah, Bu. Apa salah Tara coba?"
"Tetap aja. Nenek masih trauma dengan tentara. Apalagi banyak yang nggak setia. Jangan gara-gara Aisha ini sulit mendapatkan jodohnya kita asal-asalan menyerahkan dia pada pemuda. Cucuku cuma satu-satunya! Nggak boleh asal pilih pria!" tegas Halimah lagi.
"Bukan Tara yang berperan dalam tragedy itu, Bu. Kenapa dia pula yang harus menanggung dosanya?" kata Fauzi meluruskan.
"Halah! Papamu ini, Sha. Ngeyel!" Halimah bangkit dan masuk ke kamarnya.
Aisha tersenyum lucu melihat tingkah Halimah. Ia tahu masa lalu masih memelihara trauma sang nenek.
Hatinya berbicara. Ia sendiri ... menolak Tara ... karena profesinya, track record pertama kali berjumpa sampai sekarang, dan juga, Aisha yakin, saat lelaki itu tahu kekurangan yang ada pada dirinya, ia pasti akan bersikap sama seperti pria lain yang pernah hendak melamar.
Mengalunkan itu semua di dalam benak, seketika ada yang bergejolak aneh bagai menjawab sisi berlawanan hatinya. Aisha bergeming, dan bertanya pada diri sendiri. Apa ini? Tanyanya bingung.
°°°
Pagi-pagi sekali Aisha sudah melaju ke kantor DuMed. Tadi malam ia mendapat pesan kalau pagi ini ada breafing dadakan di kantor.
Satu jam kemudian ia sudah berada di ruang rapat bersama tim lain.
"Aisha, ini berkas program 'Cerita Nusantara' untuk tanggal 1 dan 2 April, kamu yang konsep datanya 'kan?" tanya Utama dari tengah meja pertemuan ruang rapat DuMed.
Tugas itu memang sempat ia pegang, karena Citra dan Heni sedang keluar kota untuk urusan penting juga terkait program baru ini.
Namun tugas itu, ia serahkan pada Karina karena memilih untuk turun ke lapangan. Aisha, sengaja mengambil pekerjaan itu untuk menghindari insiden buruk lagi. Ia juga menolak untuk menjadi host acara baru yang segera di-realese dan juga akan mengangkat tentang "Madam Rose" itu.
"Ha, ya, Pak? Eng, itu ... itu. Bukan saya lagi, Pak. Udah di-handle Mba Karina. Saya serahkan ke dia. Karena saya milih tetap ngeliput di lapangan," jawab Aisha sedikit terbata karena membaca gurat kemarahan Utama.
"Turun ke lapangan atas perintah siapa?" tanya Utama datar.
"Saya udah koordinasi sama Mas Nicko, Pak."
"Kok saya nggak tau. Kamu 'kan udah saya minta nggak usah turun lagi ke lapangan. Kenapa masih turun juga?"
"Eng, itu, Pak. Saya ... kan belum bilang iya, Pak."
"Kamu mau bantah saya?" kata Utama dengan nada sedikit tinggi.
"Lihat ini." Utama menunjuk layar cukup besar di belakangnya. "Ini nggak ada menariknya kalau jadi topik pertama di program Ini. Ini program baru kita hlo. Jangan sampai ada yang rusak. Kita harus bisa menarik perhatian banyak penonton dari awal tayang. Kalau asal-asalan, kalian mau menjatuhkan imeg DuMed?" kata Utama lagi dengan mata menyapu semua yang hadir di ruang breafing satu per satu.
Melihat murka di wajah Utama hati Aisha sempat menciut. Ia tak menduga rapat pagi ini akan memojokkan posisinya. Tak biasanya Utama marah. Namun jika ia sudah marah, itu pertanda bahaya.
Aisha mengedar sekitar mencari wajah Nicko selaku penanggung jawab lapangan di bawah Utama. Namun, kali ini ia tak hadir pula.
Ia yang kemarin menyetujui pilihan Aisha untuk tetap turun ke lapangan. Dan berjanji akan mengonfirmasi masalah itu segera pada Utama. Namun, kemurkaan Utama pagi ini menjawab keadaan sebenarnya.
"Maaf, Pak. Saya nggak tau bakal jadi begini. Semua data sudah saya kerjakan dan serah terima dengan Mba Karina," kata Aisha santun.
"Iya. Tapi saya memakai data yang kamu serahkan kok, Sha. Yang di layar itu. Nggak ada ditambah atau dikurangi," sambut Karina membela diri.
"Tapi data yang saya kasi berbeda dari itu, Mba," jawab Aisha membela diri juga.
"Halah. Udah begini berkilah. Bisanya nyalahin orang. Atau jangan-jangan insiden di toilet akal-akalan kamu aja? Biar nggak masuk kerja. Terus menghindar, sibuk meliput ke lapangan untuk cuci tangan, lepas tanggung jawab. Alibi yang cukup cerdas!" kata Riana menyindir. "Ujungnya kita di sini entar yang disalahin."
"Jaga bicara lo, Na. Ngapain juga Aisha nyiksa diri sendiri? Asal aja lo kalo bicara! Pen dikeruwes tuh mulut!" balas Niel menahan emosi.
"Kok lo yang ngomong Niel? Aisha punya mulut buat bicara. Sejak kapan lo jadi juru bicara dia? Dibayar berapa lo memangnya?" balas Riana lagi tak mau kalah.
"Udah! Cukup! Cukup! Tolong jaga bicara kalian! Ini ruang rapat!" sentak Teuku Utama marah. "Jaga sopan santun kalian di depan saya kalau masih mau panjang bekerja di sini!"
Baik Niel, Aisha, Riana dan semua yang di sana akhirnya menutup mulut. Aisha sudah menahan gemuruh dengan sekuat hati agar tidak emosi. Sungguh ia tak membayangkan, kalau keputusannya menyerahkan konsep data untuk program baru 'Cerita Nusantara' pada tangan lain sementara Heni dan Citra keluar kota akan begini jadinya.
"Jadi Aisha. Apa kamu punya penjelasan?" Utama memberi kesempatan agar Aisha menjelaskan.
"Ya, Pak. Saya pastikan file yang saya masukkan bukan yang ini Pak. File yang saya kasi itu tentang pesatnya platform E-Dingo mendominasi pasar jual beli belanja online sebagai trend masa kini. Bukan bobrok moral pemain game online di platform E-Dingo."
"Jadi, maksudnya ada yang ganti data itu? Mana mungkin! Kan dari tangan kamu langsung ke Mba Karina. Nggak ada di-edit ulang. Ya 'kan Mba Karina?" Suara Riana sarkas.
Karina yang ditanya hanya menjawab dengan anggukan bingung. File itu, ia serahkan pada Utama kemarin sore tanpa memeriksa apa pun lagi sebab yakin sudah selesai dari tangan Aisha.
"Sudahlah. Sekarang saya mau temui lagi petinggi platform itu. Liput ulang."
"Mba Karina, Bos?" Riana mengerling kecil.
"Maaf, Bos. Saya nggak biasa turun ke lapangan. Nanti jadi makin brabe pula."
"Biar saya aja, Bos. Lagian ini jadinya ... masih tanggung jawab saya," ucap Aisha menengahi.
Utama menarik napas.
"Ya sudah. Kerjakan ini segera, Sha. Tugas meliput di dermaga serahkan sama Riana dan Delon. Saya nggak mau nama DuMed jatuh gara-gara masalah ini. Lagian kita sudah punya hubungan baik dengan Mr. Tanu. Jadi tolong ikut jaga ini. Mengerti semua?"
"Mengerti, Pak," jawab semua yang di sana kompak.
Selesai breafing semua yang di sana keluar. Aisha sempat menatap datar pada Riana yang tersenyum penuh arti padanya. "Apa, Sha? Gitu amat ngeliatinnya? Kek mau nagih utang!" Riana berlalu dengan mulut ketus.
"Sha, maafin, ya. Gue nggak tau bakal jadi begini." Merasa tak enak, Karina datang mendekati Aisha guna menjelaskan.
"Udahlah, Mba. Entah kenapa gue yakin. Ada yang sengaja menukar file itu. Entah untuk tujuan apa. Menjatuhkan DuMed, atau menjatuhkan salah satu di antara kita. Untung aja masih sempat Bos periksa. Kalau langsung tayang, makin parah kita kena sembur!" kata Aisha dingin.
"Kek gue banget lo. Untung mulu bawaannya. Udah sempat celaka juga," sela Niel sarkas diikuti tawa kecil Aisha.
"Mba simpan file-nya di mana?" Aisha kembali mengarahkan tatapan ke Karina.
"Di meja gue."
"Bisa jadi ada yang menukarnya saat Mba nggak di meja."
"Gemes gue ama si nenek sihir itu! Jan jangan dia punya andil di sini!" kata Niel dengan mulut maju juga sarkas.
"Kita nggak punya bukti Niel. Bahkan rekaman CCTV kejadian toilet aja kita nggak punya untuk jadi buktinya," Aisha menghela napas.
"Keknya ada yang sengaja manfaatin kondisi CCTV kantor lagi rusak," ujar Niel.
"Udah deh. Sekarang kita langsung nemuin sumbernya aja. Di mana bisa jumpa?"
"Citra lagi nggak aktif. Udah gue coba," jawab Karina.
"Biar gue coba telepon dulu Pak Sakti, mau jumpa Mr. Tanu Wijaya melalu dia," kata Niel menengahi. Ia yang waktu itu merekam Citra mewawancarai sumber informasi.
Niel keluar menelpon. Bertepatan dengan itu, suara musik dari komputer ruang itu sedikit mendominasi. Dengan kening berkerut, Niel mencatat alamat yang ditujukan oleh Sakti.
"Nih. Kata Pak Sakti, Mr. Tanu sedang di sini hari ini. Dia minta kita temui dia ke sini pukul 16.00 nanti. Kepaksa deh dua kali kerja kalo begini," ceracau Niel.
"Udah deh. Mau gimana lagi. Kita ke sana hari ini. Tapi Niel, liput kantor mereka besok aja bisa? Gue ada janji ama Papa jam lima sore nanti. Ini kita persiapkan dulu apa saja yang perlu kita persiapkan sebelum bertemu beliau. Okay!"
"Okay. Kan memang udah jam pulang kerja jam segitu. Lo kira gue mau ngajak lo lembur?" sambut Niel berlalu.
Aisha bangkit menyusul Niel seraya pamit pada Karina menuju ruang kerjanya.
Pukul 15.00 bersama Niel, Aisha menuju ke alamat yang tertera. Begitu sampai, keningnya berkerut.
"Lo serius di sini Niel?" tanya Aisha. Mereka berdua menatap ragu di hadapan pagar seng yang bertuliskan Babayu's Cold Storage.
"Gitu sih tadi. Apa mungkin Mr. Tanu punya bisnis ini juga, ya?" Niel mengerutkan hidungnya.
"Yakin nih?"
"Kagak! Telpon lagi aja, ya," kata Niel pula. Ia menekan tombol panggil ke nomor Sakti. Namun tak ada jawaban.
"Coba masuk aja deh, Sha. Tanya dulu di dalam."
Aisha mengangguk. Sampai di halaman dalam tidak ada orang yang bisa ditanya. Tanpa sengaja Niel dan Aisha berpisah untuk mencari orang yang bisa ditanyai.
Aisha melangkah ke arah kanan sedang Niel ke kiri lorong. Langkah Aisha berujung di sebuah ruang pendingin. Aisha mendengar sesuatu terjatuh di dalam. Artinya di sana ada orang. Ia melangkah masuk untuk bertanya.
"Permisi ... Pak," panggil Aisha seraya melangkah. Tak ada sahutan. Ia mengedar pandang ruang pendingin yang berisi kotak-kotak besar itu.
Aisha mencoba memanggil lagi, tapi tak ada sahutan juga. Yakin tak ada orang, Aisha berbalik hendak keluar. Namun tak disangka pintu baja ruang itu kini tertutup dan sulit dibuka.
Aisha bergidik seraya menggerak-gerakkan engsel pintu itu tapi tak ada reaksi.
"Ada orang di luaaar!" Aisha menjerit mencoba mencari pertolongan.
Tiga menit berlalu dengan kondisi masih sama. Belum habis akal, Aisha melangkah sekitar untuk mencari jalan keluar lainnya. Nihil. Hanya ada satu pintu keluar di ruang itu.
Ia meraih ponsel untuk menghubungi Niel. Namun sinyal ponselnya ini juga menghilang. Ia sadar. Ruang ini kedap udara. Sinyal juga tak tertangkap masuk ke sini.
Bagaimana ini?
Aisha mulai panik ketika netranya menatap ke monitor temperatur yang kini menunjukkan 5°C. Aisha mulai merasakan tubuhnya kedinginan bukan main. Apalagi ia tak menggunakan jaket hari ini.
"Ya Tuhan. Bagaimana ini?" Aisha mencoba lagi menggedor pintu baja sekuat tenaga. Meski kini tenaganya mulai berkurang setiap geraknya.
Belum menyerah, Aisha berlari ke sekeliling dan menemukan CCTV. Ia berharap CCTV menyala.
Ia sibuk melambai tangan ke sana dan menjeri meminta pertolongan. Menit-menit berlalu, ia merasakan sesak dan sulit bernapas. Kakinya bahkan mulai terasa kaku. Seketika ia ingin menangis ketika temperatur turun ke 3°C.
Kembali Aisha menjerit dan berlari menggedor pintu.
"Nieeel! Siapapun di luar. Tolong buka pintunya!" jeritnya keras. Namun, tak ada respons apapun.
Niel, ia berharap, pasti sahabatnya itu sedang mencarinya juga. Aisha menggedor pintu agar jika ada orang yang lewat ruang itu akan melihat pergerakan pintu bahwa ada yang terkunci di dalam.
Menit-menit berlalu tanpa ada sinyal bantuan, sementara tubuhnya mulai lemas kedinginan.
"Ya Tuhan. Apa umurku akan berakhir begini?"
Tubuh Aisha melorot lemas berusaha bisa tetap bernapas.
Air matanya mulai jatuh. Lemas, terseok, Aisha kembali menghadap ke CCTV yang ada di ruang itu.
Tak ingin buang waktu. Kali ini ia meracau duka seakan memberi wasiat pesan terakhir sebelum pergi selamanya. Lalu perlahan semuanya terasa menggelap. Aisha kehilangan seluruh kesadaran.
°°°
Pukul 17.15 Fauzi mondar mandir di depan Mall Of Indonesia dengan tangan memegang ponsel sibuk menghubungi Aisha. Sudah sejak satu jam lalu putrinya itu tak bisa ia hubungi. Mereka sudah berjanji akan bertemu di sini untuk quality time berdua. Entah mengapa, hal itu membuat Fauzi gelisah. Ia takut putrinya sedang dalam masalah.
Sementara itu, Tara yang masih bertugas di dermaga Tanjung Priok menatap heran saat orang lain yang datang meliput ke dermaga dari Duta Media Utama. Meski sejak kemarin ia bersikap cuek pada Aisha, tapi tetap saja perhatiannya menuju pada setiap gerak gerik gadis itu. Lalu tak mendapatinya hari ini membuat tanya bersarang di hati Tara. Ada apa dengan Aisha?
Sore ini, Tara mengambil izin untuk pulang ke rumah sebentar mengambil perlengkapan. Sudah sejak hari pertama ia stay di lapangan.
Ketika melewati Mall Of Indonesia, matanya tak sengaja melihat ada Fauzi yang mondar-mandir gelisah di trotoar tepat di depan gedung itu. Menangkap kegelisahan Fauzi, ia segera menghentikan mobil.
"Om? Kok di sini?" sapa Tara yang mendekati Fauzi setelah keluar dari mobil.
"Tara." Fauzi terkejut. "Saya dan Aisha janjian di sini, tapi sudah lebih dari satu jam terakhir dia nggak bisa dihubungi. Saya ... takut ada apa-apa," jawab Fauzi menjawab tanya Tara.
"Coba hubungi Niel Om. Hari ini Aisha juga nggak meliput di dermaga."
"Benarkah? Harusnya kan ...." Wajah Fauzi makin khawatir.
Tara segera meraih ponsel dan mencari nomor Niel. Panggilan itu segera terjawab dengan kalimat.
"Dokter Tara. Gue lagi sibuk cari Aisha ini. Dia ngilang gitu aja. Nomornya nggak bisa dihubungi," kata Niel khawatir.
Tara tak mau membuang banyak waktu. "Kalian di mana?" tanyanya tegas dengan wajah mengeras.
Niel memberi alamat Cold Storage tempat yang ia datangi dengan Aisha. Tanpa pikir panjang, bersama Fauzi, Tara langsung melajukan mobilnya ke sana.
Sampai di sana. Mata Tara menyapu sekitar dan membaca lapangan dengan langkah gegas menuju ke dalam halaman.
"Dokter Tara!" seru Niel memanggilnya. Ia kemudian menceritakan kronologi bagaimana ia dan Aisha terpisah.
Tara yang menangkap semua cerita langsung bergegas meminta pekerja di sana mengecek CCTV tempat itu. Sementara Fauzi menahan kalut takut putrinya kenapa-napa.
"Gue udah minta dari tadi, Dok. Tapi mereka nolak terus. Mohon-mohon gue tetep aja mereka nggak mau!" gerutu Niel yang hampir putus asa.
Fauzi yang berdiri di sana tak henti mengucap doa di dalam hati agar Aisha baik-baik saja.
Dengan rahang mengeras, Tara maju mendekati pekerja itu lalu melakukan hal yang tidak bisa dilakukan Niel.
Akhirnya, pekerja itu mau melakukan hal yang dipinta Tara setelah sebelumnya mendapat tekanan dari Tara, tentu saja.
Fauzi lega ketika pekerja itu setuju dan membawa mereka ke ruang pemantau CCTV.
Dari sana terlihat Aisha berbelok ke kanan berhenti di ujung koridor.
"Itu ruang apa?" tanya Tara.
"Pendingin, Pak."
Tara bergidik. "Buka CCTV yang di ruang pendingin!"
Menurut. Pekerja itu membuka rekaman CCTV ruang pendingin. Dan mereka semua terperanjat ketika melihat ada Aisha di layar meminta pertolongan.
Tanpa menunggu intruksi atau aba-aba apa pun, Tara langsung berlari menuju ruang itu dengan hati yang bergetar tremor.
Di belakangnya ada Fauzi, Niel dan pekerja tadi ikut berlari menyusul.
Sampai di depan pintu ruang pendingin. Tara mencoba mendobrak pintu itu seakan kehilangan kendali.
"Aisha!" pekiknya keras dengan hati bagai diremas-remas.
"Pintu itu pakai kode, Pak!" kata seorang pekerja.
"Buka!" perintak Tara keras.
"Saya nggak tau kodenya, Pak!" jawab pekerja itu. "Pintunya terkunci otomatis kalau tertutup."
Kewarasan Tara seakan sudah sampai batas ubun-ubun.
Tak mau kalah cepat. Persetan dengan apa pun! Ia meraih sebatang kayu di sana hendak mengayun merusak pintunya.
"Hei! Nanti pintunya rusak!" cegah pekerja itu.
"SAYA YANG GANTI!" balas Tara keras dengan rahang mengeras tepat menuju mata pekerja yang seketika membisu.
Batin Tara merutuk. Apa harga pintu sebanding dengan nyawa seorang wanita yang ada di dalam sana?
Shit!
Ia menghantam keras bagian box pengunci otomatis. Berulangkali, tak mau berhenti sampai akhirnya pintu itu terbuka juga.
Fauzi yang melihat itu segera ikut melangkah masuk mencari keberadaan Aisha.
Mereka semua terperanjat ketika mendapati Aisha sudah tergeletak lemah di sana.
"Aisha!" pekik Fauzi.
Tara yang menyaksikan itu tak kalah hancur.
"Om. Ayo bawa Aisha keluar," instruksinya gegas.
Fauzi segera menggendong putrinya keluar ruangan. Di depan ruang pendingin, dalam pangkuannya Aisha tergeletak lemas hilang kesadaran. Panik, Fauzi mengusap-usap telapak tangan putrinya seraya terus memanggilnya.
Tara segera mengecek jalan napas dan denyut nadi gadis itu. Masih ada detakan di sana.
"Sebentar, Om," ucap Tara.
Gegas, ia berlari keluar gedung menuju mobilnya dan kembali dengan oksigen portable serta warm emergency blanket di tangan.
Segera ia memasangkan oksigen portable ke mulut Aisha, lalu meminta Fauzi membantunya memakaikan Aisha blanket pencegah hipotermia itu.
Sementara menunggu Aisha siuman, Tara terus memanggil-manggil Aisha sendu sambil menepuk-nepuk ringan tubuh dan wajah Aisha. Fauzi yang melihat semua aksi Tara berdecak mengharu biru. Entah bagaimana detik itu juga hatinya melangitkan sebuah pinta yang hanya menjadi rahasia dirinya dan yang Maha Kuasa.
Setengah jam kemudian Aisha siuman. Wajah-wajah tegang tadi kini berubah tenang.
"Aisha ...," panggil Fauzi lega.
Aisha menangkap wajah sang Papa dengan suka cita. Segera ia bangkit dan memeluk erat Fauzi dengan isakan air mata.
"Maafin Aisha, Pa."
"Udah. Udah. Kamu udah selamat."
"Tapi ... kenapa Papa bisa di sini?" Mulai menyadari sesuatu, Aisha melepas pelukan dan mengedar pandang.
"Panjang ceritanya. Untung ada Dokter Tara. Dia yang nolongin kamu," kata Fauzi yang menunjuk Tara di belakang Aisha.
Gadis itu menggeser pandang pada pemuda itu.
Pemuda ini? Di sini?
"Te-terima kasih, Dokter," ucap Aisha tulus.
Kemudian Fauzi membantunya berdiri. Atas permintaan Tara, mereka keluar gedung, menunggu di mobilnya. Sementara Tara menyelesaikan urusan terkait insiden barusan di dalam.
Setelah selesai, ia pun menyusul ke mobil dan mengantar Aisha pulang ke rumahnya.
Sampai di rumah Aisha, Tara langsung pamit tak masuk ke dalam. Aisha yang merasakan ada yang berbeda mendekat ke Tara sebelum pria itu masuk ke mobil menyusul Niel.
"Dokter, makasi banyak sekali lagi," ucap Aisha sungkan.
Melihat itu, dengan senyum khasnya, Tara menatap Aisha yang tertunduk salah tingkah. "Ternyata kamu pandai juga ngucapin terima kasih," ledek Tara jenaka seraya memiringkan kepala.
"Ck! Jangan gitu dong, Dok! Aku 'kan juga ...."
"Apa?" potong Tara. "Ternyata ... begini cara kamu lari dan sembunyi dari saya? Lalu hasilnya?" ledek Tara lagi dengan alis mengernyit dan senyum miring seperti biasa.
Hal itu membuat Aisha sedikit murka. Namun kali ini entah bagaimana ia tak bisa membalasnya karena mulutnya kelu seketika.
Hanya debar hatinya saja yang mampu bicara. Meski wajahnya melukis gurat sebal tak gentar, tapi hatinya tanpa sadar tersenyum bagai bunga baru mekar.
🌹🌹🌹
Ada yang mekar 😆 uhuks
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top