BAG 11 : RUN

“Sha, masalah pelaku yang naruh jebakan tikus itu  … nggak ketemu. Pas kita cek, ternyata CCTV  bagian itu lagi rusak,” kata Niel kecewa.

“Oh, ya?”

“Hum. Putra ngabarin gue tadi,” jawab Niel yang getol mencari info tentang kejadian di toilet itu. Ia juga yang mengantar motor Aisha pulang bersama Citra kemarin.

“Saya yakin, itu artinya, pelakunya adalah orang DuMed juga. Dari mana dia bisa tahu kalau CCTV-nya lagi nggak on di situ?” timpal Tara geram.

“Jadi tadi kalian bicarain ini juga di CFD?” tanya Aisha.

“Hum. Olahraga sekalian bahas ini, bahas itu. Ya, apa aja yang bisa dibahas. Tapi yang ini, kayaknya kita nggak bisa nemu jejak pelakunya. Sorry, ya, Sha.”

“Kalau kamu punya cela, coba gali informasi lagi, Niel. Kali aja suatu hari bakal ketemu jejaknya.”

Okay! Akan terus kita selidiki.”

“Ya udah deh. Mau gimana lagi,” kata Aisha. “Biarin dah. Nggak bakal senang hidup tuh orang. Mungkin dia menang udah berhasil ngelukai gue, tapi secara dia nggak sadar dia itu sedang ngelukai diri sendiri. Karena semakin dia berusaha ngelukai orang lain, semakin batinnya rongsok. Ya nggak?”

“Bener tuh!” timpal Niel.

Tara tersenyum mendengar ucapan Aisha. Tak lama Niel berjalan ke depan saat ponselnya berdering. Ia pun menerima panggilan.

“Habis ini kamu juga harus hati-hati. Ingat udah pernah kejadian  begini. Jangan lengah, ya. Sama aja ngasi kesempatan orang nyakitin kamu,” kata Tara pula.

Aisha mengangguk kecil setuju.
Melihat Niel sedang menerima telepon dan sang Papa sedang ke kamar mandi, otak Aisha kembali mengingat tanya yang sejak kemarin bersarang di kepala. Di dalam, hatinya tersenyum girang dan begitu bersemangat akan melakukan sesuatu untuk Om Modus absurd itu!

Tunggu di sini, Om Modus! Gue kembali! Hihi!”

Sedikit pincang, ia ke dalam mengambil objek yang akan menjadi medianya.

Kemudian, dengan perlahan membawanya ke teras depan.
Dengan tenang, ia duduk di kursi tak jauh dari Tara dan menghadap ke meja.

Tara yang melihat kedatangan Aisha kembali dengan terong di baskom dan telenan bergidik. Mau apa gadis ini?

“Sha?” ujarnya lirih.

TAK!

Suara pisau beradu dengan terong di atas telenan. Tara semakin melihat Aisha dengan tatapan heran. Mengapa gadis mata biru ini harus memotong terong di depan sini? Kenapa tidak di dapur saja?

“Kamu kenapa?” tanya Tara sengaja menunjukkan senyum tenang. Di dalam hati ia sedang mengatur debaran akibat rasa geli.

“Nggak ada. Sambilan aja,” jawab Aisha ketus. 'Ini pembalasan gue buat lo, Om Modus!’ ungkapnya dalam hati girang bukan kepalang. Akhirnya ia menemukan cara untuk memberi balasan pada pemuda yang memodusinya selama kemarin.

Kena kamu kali ini, Tuan Dokter Tentara! Ha ha ha!” pekik hati Aisha tak sabar melihat ketakutan Tara. Bercampur dengan rasa lucu di hati yang tak habis pikir kekonyolan pemicu geli pemuda itu.

Melihat gelagat Aisha, pemuda yang sedang dalam lonjakan kortisol itu langsung menyadari sesuatu.
Tara mengambil napas dengan tenang dan membuangnya perlahan.

Berulang kali, hingga akhirnya level rasa geli antara 1-10 berhenti di angka 3. Ia pun tersenyum kembali menatap Aisha lekat.

“Eh, eh. Jatoh, Om, tolong  ambilin,” kata Aisha yang sengaja menjatuhkan terong ke bawah meja.

Tara mengulum senyum penuh arti. Melihat pola gadis itu, ia mulai bisa mengendalikan rasa geli. Hal yang membuat jiwa suka tantangan Tara menemukan muara. Hormon kortisol yang sempat meningkat tadi, kini sudah berganti menjadi endorphin yang mulai merubah rasa geli menjadi berani.

Untung yang buat begini kamu, Sha,” gumamnya senang. “Kalau nggak, mungkin beda ceritanya.”

Tara meraih terong ungu itu, lalu menyerahkannya ke Aisha.
Tangannya sempat merinding ketika bersentuhan dengan kulit si terong ungu. Meski perlahan, dengan mudah ia takhlukkan.

“Makasi,” kata Aisha sambil mencuri pandang mencari-cari ekspresi gelisah dari Tara seperti kemarin.

Kenapa sekarang dia berbeda?

“Kamu … lagi ngetes saya, ya?” kata Tara meledek dengan senyum khasnya.

“Ngetes apanya?” kilah Aisha pura-pura.

“Apa nggak ada tempat lain buat motong terong selain di sini?” tanya Tara bergidik.

Aisha menyembunyikan senyum. “Kenapa emangnya? Suka-suka aku dong!”

“Iya, iya. Buat aja yang kamu suka. Asal kamu bahagia.”

“Gombal!” potong Aisha.
Ia bangkit dengan baskom berisi terong ungu yang sudah dipotong-potong lalu pura-pura berjalan dan tersaruk.

“Aduh!” pekiknya histeris sengaja menerbangkan isi baskom hingga mendarat ke pangkuan Tara bagai siraman tempung tawar bunga-bunga.

Tara spontan menahan napasnya.

“Oh, oh. Maaf. Nggak sengaja gue, Om!”

Mata Tara terangkat, lalu beralih tajam menuju netra biru itu. Ia menghitung di dalam hati bahwa ia tak 'kan kalah lagi hari ini dengan si terong Ungu!

Menelan ludah, lelaki penyuka diving itu meraih baskom dari tangan Aisha dan memungut terong yang jatuh berserakan dengan rasa geli yang ia lawan sekuat hati.

Dengan gagah, ia menghadap ke Aisha, menyerahkan benda itu ke tangannya.

“Ck. Sha, kamu nggak perlu begini buat cari tahu tentang pribadi saya. Kamu tahu, tentu saja saya akan berbagi dengan senang hati semua hal tentang diri saya ke kamu andai kamu mau membuka diri. Hhhm?” ucap Tara menohok dengan tatap mata serius tapi tersenyum konyol.

“Ap-apa maksud kamu?”

“Iya, saya geli dengan sayuran ini. Tapi … ssst!” telunjuk Tara menempel di mulut sambil mengedar pandang ke arah belakang berharap Papa Aisha tak mendengar. “Jangan bilang Papa kamu. Nanti Papa jadi nggak enak hati. Hhhm?”

Aisha yang menatap setiap ekspresi dari wajah Tara spontan terbahak. Sampai-sampai ia memegang perutnya terpingkal-pingkal. Tara hanya bisa menatapnya tenang sambil memegang pinggang gemas dengan tingkah gadis itu. Benar dugaannya.

'Kali ini, kamu menang, Sha. Be happy and enjoy it sepuas kamu.’

Jika hal ini bisa membuat kamu se-welcome ini dengan saya kenapa saya harus menyesalinya? Bukankah ini jadi sebuah kesempatan bagus? 

Dengan tenang Tara kembali duduk seraya melukis senyum tanpa gengsi dan malu. Tak masalah baginya gadis itu menertawakan masalah ini. Ia malah menikmati gurat wajah yang terlukis di balik bingkai kerudung biru itu detik ini dengan bahagia.

“Duduk. Entar pendarahan berdiri terus,” kata Tara sambil menarik kursi dan meletakkannya di dekat Aisha.

“Ya Allah. Kamu ternyata. Ha-ha-ha!” Pecah lagi tawa si gadis supel seraya menjatuhkan tubuh di kursi yang diberikan Tara tadi.

Tara memberi waktu hingga gadis itu lelah tertawa.

“Lucu aja, Om. Langka banget orang kek Anda ini!” katanya lagi memegang perutnya.

“Makanya cepetan diterima. Susah ‘kan cari yang begini!” kata Tara sengau.

“Apa?” tatar Aisha.

“Oh, nggak. Ya. Begitulah adanya,” kata Tara mengangkat dagu percaya diri.

“Jadi kemarin kenapa nggak nolak aja sih?”

“Nggaklah. Papa terlihat bahagia banget nawarin itu semua ke saya. Mana tega saya nolaknya. Yang ada bikin beliau terluka nanti.”

Mendengar itu, Aisha menghentikan tawanya perlahan. Tara mengatakan Papa. Bukan Om? Tanpa sadar ia merekam dan menilai dokter tentara itu.

“Kok bisa sih? Cuma terong doang gini!” cemooh Aisha geli.

“Kamu, kenapa bisa takut jarum suntik?”

Aisha bergeming dan memanyunkan bibir.

“Tapi gue masih wajar. Banyak yang takut jarum suntik. Dari tentara juga ada 'kan? Lah ini, masa terong? Ha ha ha!” kata Aisha lagi terbahak. Puas sekali ia menertawakan Tara hari ini.

“Saya bukan takut. Cuma geli. Lagian saya juga bisa mengatasi itu meski perlu waktu sejenak. Saya akan melakukan counter-conditioning ketika berhadapan dengan objek pemicu. Biar nggak panik.”

“Oh. Makanya kemarin bisa makan juga, ya, meski ada terong dalam piring Anda. Ha ha ha!”

“Jangan keras-keras. Nanti Papa dengar, nggak enak nanti,” ucap Tara melekatkan telunjuk di bibirnya.

“Kamu juga bisa melakukan itu ketika berhadapan dengan jarum suntik,” imbuh Tara lagi.

“Iya sih. Tapi 'kan nggak selalu berhadapan sama tuh benda. Tapi … bener juga. Sebenarnya bukan cuma jarum suntik sih phobia-ku,” kata Aisha tak sadar perlahan telah  membuka rahasia.

“Ada lagi?” tanya Tara.

Di dalam hati ia bersorak girang. Akhirnya Aisha mau membuka diri meski harus lewat terong ungu pemicu rasa gelinya itu dulu.

Ngadepin terong, terong lah! Yang penting Aisha jadi welcome! Yes!’

“Yang lebih parah sebenarnya kalau  ….” Aisha langsung bergidik ngeri. “Ya Allah. Ingetnya aja gue udah mual. Sesak!”

“Nggak usah cerita kalau kamu sedang nggak mau. Tapi jika mau kita akan coba mengurangi rasa takut itu. Dengan cara menghadirkan objek pemicunya dulu sih.”

“Aku … paling takut dengan. Astaghfirullah!” Aisha menutup muka yang seketika bergidik ngeri, merasakan mual di perut sampai mau muntah.

“Wew! Levelnya berarti 10 nih kayaknya!” ujar Tara jenaka. “Udah nggak usah cerita.”

Aisha membuka wajahnya perlahan lalu menatap mata Tara miris. Kemudian bangkit dan pergi meninggalkan Tara di situ.

Di belakang Tara, dan di halaman depan sana, dua orang lelaki tengah tersenyum geli melihat tingkah Aisha-Tara sejak tadi. Mereka sengaja menahan diri untuk tidak mendekat pada sejoli itu dengan alasan tertentu.

🌹🌹🌹

Setelah mengantar Niel ke kosannya, Tara langsung pulang ke rumah. Usai mandi, ia mencari Bella untuk bermain. Kini ia sedang berada di depan aquarium besar rumahnya, tempat kesenangan Bella. Gadis kecil berusia dua tahunan itu tertawa girang setiap kali Tara mengganggunya.

“Jadinya nanti kamu tugas di mana, Le?” tanya Yona yang duduk di sofa sambil membaca buku.

“Mintoehardjo, Mom. Tapi ini masih menunggu instruksi dari Letkol Arya.”

“Jadi sekarang ini?”

“Masih masa istirahat abis dari Sulawesi kemarin,” kata Tara sambil menyodorkan boneka beruang ke Bella.

“Hhmm. Baguslah. Semoga aja segera. Momy lebih tenang kamu tugas di sini,” ucap Yona bernada pengharapan.

Malam hari, ketika hendak tidur. Tara membuka ponsel dan menemukan pesan dari Rendra, Yoga, Cito dan Hendru dalam grub khusus mereka dengan nama Syabas Combat Medic. Tara terkekeh kecil membaca setiap kekonyolan orang-orang yang ada di grub itu. Dari bertanya kabar, hingga bualan-bualan. Keempat prajurit itu dulu sama-sama bertugas dengan Tara di kapal perang perbatasan Laut Natuna. Kemudian kemarin di KBRS dr. Suharso 990. Saat ini keempatnya  sedang berada di Surabaya.

Ada juga yang menyinggung bagaimana perkembangan perjuangan Tara mendapatkan hati Aisha? Ia teringat ke malam terakhir di KBRS ketika Aisha akan kembali ke ibukota. Atas bantuan mereka semua lah, Tara bisa bertemu dengan Aisha malam itu. Untungnya Niel turut ikut membantu. Darinya juga ia mendapatkan nomor kontak pribadi Aisha hingga bisa kembali menemuinya di Duta Medium Jakarta.

Kalau ditanya. Mengapa ia sampai sebegitunya mengejar gadis itu? Tentu saja ia punya alasan sendiri.
Tara bangkit, membuka sesuatu di laci lemari. Meraih sebuah kotak berwarna biru dan membukanya. Ia raih benda yang ada di dalam box. Sebuah gelang berhiaskan mainan lumba-lumba kecil. Di sana terukir.

AishaPapa.”

Sudut bibir Tara tertarik melengkung. “Andai kamu mau membuka pintu lebih lebar lagi, akan aku ceritakan semuanya tentangku, Sha. Tanpa terkecuali,” gumamnya kecil.

Suara notifikasi kembali terdengar dari ponselnya.

Madam Rose 🌹 1 message from Sky B

Sky B

How are u, Sea?

---
Senyum manis terbias dari wajah berahang persegi itu. Tenang, ia membalas pesannya.


Sea
Fine. U?


Sky B
Suntuk.


Sea.
😃😀Saya pikir kamu sudah nggak pakai aplikasi ini lagi. Gimana experiencing nya?


Sky B
Hampir kelar. Kenawhy?

Sea
Nothing. Kalau dah kelar bakal tupkun pastinya ya kan?

Skt B
Aku akan bilang ke kamu jika mau tupkun. Setelah itu mgkin kita g bakal ketemu lagi di udara, ya? Begitukah?

---
Tara tersenyum. Sky B cukup menemani dan mengisi kekosongannya selama ini. Jika boleh jujur, ia masih punya aplikasi ini di ponselnya karena alasan Sky B.

Namun, begitupun Tara masih belum mau memberi nomor pribadinya atau meminta sebaliknya pada Sky B.

Sea.
Hum. Entahlah. Saya memang sudah berencana tupkun Sky B.

Sky B
Serius? Tunggu! Tunggu, ya. Abis gue selesai ama aplikasi ini. Please 🙏. Abis itu kita sama-sama tupkun. Itu pun kalau kamu nggak keberatan dan nggak mengganggu waktu.

---
Tara menjeda tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak dan mengetik sesuatu.
---

Sea.
👌Okayy. Take your time.

Sky B
But. Kita sepakat g akan saling berbagi nomor pribadi setelah itu?  Serius?

Sea
Menurutmu?


Sky B
Hhm. Mungkin lebih baik begitu, ya. Biar kamu bisa terus nyimpan aku dalam benakmu sebagai pengagum rahasia selamanya. Eaaaa 😂😅

Sea
😆😂 Gitu juga kamu. Hhm? 😉

🌹🌹🌹

Selesai sarapan pagi, di depan televisi, Tara menyimak sebuah berita nusantara.

Pesawat CT 163 dikabarkan hilang kontak setelah beberapa menit landing dari bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya. Sementara ini, tim SatGas  menunggu info lanjut dari menara EPIRB untuk menemukan keberadaan pesawat terkini.”

Berita duka tersiar di pagi rabu dengan cuaca hujan di Jakarta. Semua media televisi kini menyiarkan berita tentang pesawat CT-163 milik salah satu maskapai swasta di Indonesia.

Di grub wattsup khusus komando Letnan Arya sudah ramai membicarakan siapa saja utusan yang akan membantu evakuasi pesawat. Selang beberapa menit saja, sudah ter-share list nama prajurit dari kesatuan mereka yang akan ditugaskan ikut membantu tim SAR di TKP. Tara menatap saksama list itu. Ada namanya masuk di sana. Tak lama, panggilan dari Letkol Arya masuk ke ponsel Tara.

“Halo, Letkol!”

“…”

“Siap!” ucap Tara tegas seperti biasa.

Setelah pamit pada Yona dan mencium Bella, Tara langsung menuju Lanal III Jakarta Utara untuk bergabung dengan prajurit lainnya. Setelah waktu zuhur mereka semua sudah siap di Dermaga JICT, Tanjung Priok Jakarta.

Ada seribu orang lebih prajurit yang diutus untuk membantu tim SAR mengevakuasi korban jatuhnya pesawat. Termasuk di dalamnya penyelam dengan pengalaman tak diragukan, CSAR, SB, juga CM.

Tara mendapat tugas untuk stay di Dermaga Tanjung Priok. Sebagian lain diberangkatkan untuk menuju perairan Kepulauan Seribu setelah mendapat info dari menara EPIRB bahwa pesawat diduga jatuh di perairan itu.

Hingga keesokan harinya, beberapa pecahan badan pesawat berhasil ditemukan dan dievakuasi ke Dermaga. Tara yang kebetulan mendapat shif stay di Dermaga siang hari sedang sibuk membantu proses evakuasi ketika satu kantong jenazah menyusul ke Dermaga. Jenazah itu kemudian langsung diangkat ke ambulans dan dibawa ke rumah sakit POLRI Jakarta.

Angin laut tengah berembus cukup kencang siang ini. Sengatan matahari cukup menggigit kulit yang terjemur di bawah sinar itu. Sedang sibuk dengan proses evakuasi ini, mata Tara menangkap sosok seorang wanita yang cukup ia kenali.

Batinnya mendesah, apakah ia sudah sehat benar sampai turun juga ke sini?

Sementara itu di sana.

Aisha sedang berjalan sambil mengisi suara dalam rekaman Delon. Angin laut yang kencang cukup bisa menggoyang kerudung dan blusnya hingga sedikit berkibar.

Aisha melangkah ke dekat Dermaga dan mememui Letkol Prama selaku kepala SatGas prajurit di sana. Selesai mewawancarai beliau, Aisha kembali menyisir ke sekitar area yang dibolehkan dan menginfokan kondisi terkini hingga perkembangan evakuasi.

Selesai dengan liputannya siang ini. Delon mematikan rekaman kamera dan pergi mencari minuman.
Aisha sedang berjalan mencari tempat berteduh dari teriknya sinar matahari ketika tak sengaja hampir bertubrukan dengan seorang pria berseragam loreng dengan Red Cross di lengan kiri.

“Kamu? Di … sini?” ucap Aisha dengan kelopak mata yang melebar.

“Hhm. Kenapa? Terkejut ketemu lagi dengan saya?” kata Tara meledek.

Sejak hari Ahad itu, mereka memang tak saling kontak. Tara yang tak ingin membuat Aisha jengah, dan Aisha yang tentu saja tak memberi celah.

“Nggak! Biasa aja,” jawab Aisha sinis.

Tara mengulum senyum.

“Bagus dong kalau gitu. Artinya, respons tubuh kamu mulai bisa mengenali dan berteman dengan saya,” kata Tara tertawa yang dijawab ekspresi cibiran Aisha. “Kamu udah baikan? Kenapa turun ke lapangan?”

“Nggak betah gue ngerem mulu di rumah. Udah baikan kok lukanya, Dok.”

Tara menatap ke kaki Aisha yang mengenakan kaus kaki dan sendal gunung, bukan sepatu sport seperti biasa.

“Udah deh. Berhenti khawatirin gue!”

“Ketemu kamu lagi hari ini di sini membuat saya semakin yakin dan percaya, Sha.” Senyum khas pemuda itu tertarik kecil di sudut bibirnya.

“Apa?”

“Biar Tuhan aja yang jawab,” ucap Tara dengan sorot mata penuh arti diikuti kerutan di dahi Aisha.

“Dokter maunya apa sih?”

“Kamu,” sambar Tara tajam menatap tanpa berkedip. “Kamu sudah tahu itu.”

“Halah. Ngapusi! Entar nyesel kalau udah tahu semua tentang aku!” elak Aisha lelah.

Tara mengernyit dahi. “Saya malah berharap kamu mau membuka diri, Sha.” Kali ini sorot matanya penuh pengharapan.

Aisha menjeda, menatap mata hitam Tara. Sungguh ia tak yakin dan tak mau menggantungkan pinta. Jadi … karena perbincangan sudah begini, mungkin cut and stop sampai di sini saja. Agar Tara tak perlu lagi datang menemuinya apalagi ke rumah orang tuanya.

“Dok. Aku tahu arah pembicaraannya ke mana. Tapi  … kali ini aku tegaskan, berhenti saja sampai di sini. Okay!” ucap Aisha serius.

“Kalau saya nggak mau dan terus maju gimana?” Tara menarik senyum seraya melipat dua tangan di depan dada dan menatap Aisha menantang.

Aisha mengambil napas. Ia tahu hatinya menolak, termasuk … begitu juga sang nenek. Jadi, Ia tak ingin ini berlanjut dan semakin jauh.

“Coba kamu pikir. Hampir ribuan  prajurit yang stay di sini, tapi kenapa malah kamu lagi, kita lagi, yang bertubruk temu hari ini? Hhmm?” kata Tara sarkastik.

Aisha menelan ludah gelisah. Kemudian menarik napas lemah.

“Itu kebetulan! Jadi … saranku, mundur aja, Dok,” ucapnya tak berani menatap mata Tara.

Kamu nggak akan punya masa depan jika bersama aku.”

“Percuma Anda berusaha. Semua usahamu itu akan sia-sia. Lagipula … aku nggak pernah minta Dokter ada buat aku ‘kan?” kata Aisha lagi mengeraskan hati.

“Kalau gitu, coba aja lari, sembunyi dari saya. Lakukan itu, Aisha,” kata Tara tersenyum dingin seraya menyerahkan sebotol air mineral ke tangan Aisha.

Tapi perlu kamu tahu. Sekeras apa pun hati kamu berlari, beribu kali, upayamu menjaga hati dan menghadang rasa ini. Tetap saja jantungmu  akan mendebarkan nama yang sama jika memang nama itu yang bertahta atas izin-Nya. Lakukanlah, Aisha. Karena saya, sudah melakukannya. Sekarang mungkin giliran kamu.”

Tara melangkah misterius, meninggalkan Aisha yang terpaku, menatap punggung tegap yang menjauh itu dengan membisu.

🌹🌹🌹

Alhamdulillah sampai juga di part ini. Aisha kalau ngomong kadang 'gue' kadang 'aku', ya. 😁

Ya. Dia suka bilang gue kalau ke Niel,Citra atau sahabat lainnya. Ke Tara cukup bilang aku. Tapi kadang keikut juga pake 'gue' karena biasa ngomong sama Niel dan Citra.

Jadi jangan risih kalau kadang Aisha suka nggak konsis masalah ini, ya. Hehe 😁






























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top