BAG 10 : INSIDEN

Aisha menghempas bokong sedikit lebih keras di kursi kerjanya setelah berpisah tatap dengan ‘Om Modus' barusan. Gadis itu tahu benar jantungnya sedang tremor sekarang. Entah untuk alasan senang atau bimbang. Yang jelas kini ia gamang.

Dibuangnya pandang sekilas keluar jendela dan menemukan pemuda yang barusan masuk menemuinya sedang berdiri dengan gagah sambil menatap layar ponsel di samping mobil SUV ‘berlian' Wuling Almaz berwarna putih. Kaca mata hitam bertengger asal di samping lehernya yang membuat Aisha tak sadar menarik senyum kecil. Entah bagaimana tiba-tiba ia menyukai letak kaca mata itu di sana. Konyol! gumamnya kecil.

Sekarang adalah memikirkan bagaimana caranya menghindar dari pemuda yang baginya menyebalkan itu. Aisha sengaja berlama-lama di ruang kerja, kemudian pergi ke toilet lantai dua agar tak ditemukan Tara jika pria itu kembali.

Ponsel Aisha berdering ketika ia selesai dan membuka pintu kamar mandi yang sedang sepi. Fokus matanya terpaku pada layar ponsel ketika kakinya menginjak benda di depan pintu.

Allahu Akbar!” pekiknya keras seketika merasakan sakit cukup dahsyat di kaki yang belum menggunakan sepatu.

Ia meringis dan melihat ke kaki kiri yang sudah terjerat dalam jepitan besi.

Perangkap tikus?

Mata Aisha melebar tak percaya. Mengapa ada benda ini di sini?

“A-a! Tolooong!” pekiknya menahan sakit dan terhuyung.

“Tolooong!” katanya lagi yang kini sudah berjongkok memegangi kaki. Melihat itu, hatinya ikut terasa nyeri. Lalu rasa itu malah mendorong air matanya keluar dari lakrimal.

Apakah ada yang sengaja melakukan semua ini? Sebab tadi saat ia masuk ke kamar mandi tak ada benda ini di depan pintu.

“Toloong!” pekiknya lagi. Sambil menahan tangis ia bangkit dan bersusah payah agar bisa keluar dari sana.

“Mba Aisha!” panggil Kiki—seorang cleaning service—yang terkejut ketika melihat Aisha tergopoh keluar dari toilet. Ia berlari dan mencoba membantunya.

“Ya Allah, Mba! Kok bisa? Tolong! Tolong!” pekiknya juga meminta bantuan. Tak ada yang mendengar, segera ia meraih ponsel dan menekan tombol panggil ke nomor Niel yang kebetulan sedang berada di lantai satu. Tiga menit kemudian Niel sudah datang dengan wajah panik.

“Siapa punya kerja ini, Sha?” tanyanya keras. “Kurang ajar banget!” ucap Niel ikut meringis nyeri.

“Nggak tau gue Niel. Tolongin, sakit bangett!” rengek Aisha yang meringis menahan tangis memegangi kaki.

“Aduh! Aduh! Sebentar, sebentar,” kata Niel lagi khawatir dan bingung membuka perangkap tikus itu. Ia takut malah semakin melebarkan lukanya jika ia yang membuka.

Ia pun meraih ponsel dan mencari nomor seseorang di sana dengan segera.

***

Di luar gedung Duta Media Utama.  Alis hitam legam Tara bertaut ketika melihat ada nomor Niel memanggil.

“Hallo, Niel,” kata Tara menjawab panggilan.

Kapten Dokter! Tolong ke sini. Aisha, dia terkena perangkap tikus! Cepetan!”

Mata Tara seketika terbelalak. Sepersekian detik kakinya langsung berlari menuju titik yang dikatakan Niel. Tergesa-gesa ia naik ke lantai dua menuju koridor paling ujung.

“Aisha!” pekiknya keras penuh cemas melihat benda yang menjepit kaki gadisnya.

Ia langsung berjongkok memindai kondisi kaki Aisha. Jantungnya langsung bergetar tak terima dengan mata sendu. Namun, fokusnya sekarang adalah menyelamatkan Aisha.

“Tahan, ya, saya lepas perangkapnya dulu. Tahan, ya  …, “ katanya lembut dengan guratan khawatir yang kentara di wajah.

Aisha sudah tak tahu lagi harus berkata apa. Mau tak mau ia menurut saja.

“Aa!” katanya histeris menahan sakit ketika perangkap itu berhasil lepas dari kakinya yang meninggalkan luka mirip gerigi gergaji besi.

“Ya Tuhan. Bagaimana bisa?” kata Tara ikut terluka. “Ayo, kita obati. Tapi jangan di sini.” Tara mengedar pandang.

“Di sana. Ayo. Di kursi itu,” kata Kiki. Ia kemudian membantu Aisha bangkit dan membopongnya ke sana.

“Tunggu di sini, ya. Saya ke mobil dulu ambil traumapack. Niel, Mba, titip Aisha, ya. Sebentar, saya kembali,” kata Tara seraya berlari keluar.

Empat menit kemudian ia sudah kembali. Lalu tanpa gengsi menekuk lutut di bawah kaki Aisha untuk mengobati lukanya.

“Dijahit lagi?” rengek Aisha disela isak.

Tara bergeming melihat wajah putih bersih yang memerah karena menangis sungguh membuatnya tak tega.

“Saya obati aja, ya. Nggak usah dijahit. Okay? Untung lukanya nggak dalam dan lebar,” kata Tara sambil membersihkan luka, memberi betadine dan membalutnya dengan kasa.

“Tadi gimana ceritanya? Kok bisa begini?” tanya Tara menginterogasi.

Aisha mengusap sisa air mata yang terjun di tebing pipinya. Lalu menceritakan kronologi. Mendengar bagaimana itu terjadi, rahang Tara mengeras menahan amarah.

“Artinya ada yang sengaja meletakkan ini di depan pintu itu,” katanya dengan mata serius.

“Bener, Sha. Berarti … jelas ada yang sengaja,” timpal Niel pula.

Tara bangkit dan berjalan menuju kamar mandi diikuti Niel. Pemuda bertubuh tegap yang tak bisa membiarkan kejahatan di depan mata itu mengedar pandang, memantau dan memindai setiap sisi kamar mandi untuk mencari jejak pelaku di sana.

“Gue yakin, orangnya udah nunggu waktu ini. Pas orang sudah pada pulang kerja. Pas Aisha ke kamar mandi sendirian!” ujar Niel. “Brengsek amat tuh orang!” katanya lagi keras.

Tara masih terpekur. Ia melangkah dan mendongak ke atas sisi koridor ujung tepat di depan toilet itu.

“Niel, ada CCTV di sini. Kita bisa lihat, pelakunya dari CCTV ini ‘kan? ” kata Tara menukik.

“Bener. Bener. Kenapa gue lupa ada CCTV di sini? Ayo. Kita ke ruang pemantau,” ajak Niel.

Tara dan Niel kembali ke dekat Aisha.

“Sha, gue sama Dokter lo ke ruang pemantau dulu. Kita bisa tahu siapa pelakunya!” ujar Niel dengan mata mengilat.

“Aisha, kamu di sini dulu sama Mba ini, ya. Saya akan cari tahu jejak pelakunya. Ini nggak bisa dibiarkan. Gimana kalau besok-besok dia berlaku yang lebih parah dari ini sama kamu? Perangkap tikus?” tandas Tara cemas dengan amarah yang tertahan hingga giginya bergemeletak. “Shit!” rutuk Tara dengan rahang mengeras.

 Sungguh, ia tak bisa terima jika melihat Aisha terluka. Apalagi dari akibat yang disengaja. Jika saja bertemu orangnya, ia tak akan diam sebelum memberi pelajaran!

Dadanya sudah bergemuruh tak sabar menemukan pelaku. “Kita akan beri dia pelajaran.”

“Ayo.” Niel sempat berlalu namun kembali ketika melihat Tara masih berdiam diri.

“Mba, titip Aisha sebentar, ya,” pintanya pada Kiki. Lalu berpindah menatap Aisha. “Kamu …,” ucap Tara cemas yang melihat Aisha mengusap air mata.

“Gue pengen pulang,” ucap Aisha disela isak.

Tara menghela napas merasakan sesak di dada. Ingin sekali ia mengusap air mata itu. Ia lalu menatap Niel lekat.

“Ya udah. Gue aja yang ke ruang pemantau. Dokter … bisa tolong antar Aisha pulang?” ucap Niel yang bernada permohonan.

Aisha melirik Niel tajam. Dengan tegas dibalas Niel dengan guyonan bernada gerutuan. “Apa? Lo mau pulang ama siapa lagi? Mau naek motor juga dengan kondisi kaki lo kayak begitu? Nggak usah makin nambahin penyakit deh lo, Cencalo!”

“Ya udah. Gue ke sana dulu. Mba Kiki, bantuin Aisha ke mobil Kapten Dokter ini, ya,” kata Niel lagi hendak berlalu.

“Niel, tunggu,” cegah Tara. “Kamu … atau Mba ini, bisa tolong temanin Aisha ikut di mobil saya?” ucap Tara yang mengundang rasa aneh di hati Aisha. Gadis itu bertanya entah untuk alasan apa, dan tak tahu jawabannya.

“Uhm, Ki. Lo bisa nggak?” tanya Niel.

“Maaf, Mas Niel. Kerjaan saya belum kelar. Nanti bisa kena marah Bos kalau ditinggal,” jawab Kiki tak enak. “Maaf, ya, Mba Aisha. Bukannya saya nggak mau.”

“Ya udah deh ah. Gue aja,” ucap Niel manja. “Nanti kita telpon aja si Putra buat lihat CCTV-nya.”

“Ya udah. Yuk, Mba. Saya bantu.”

Kiki membantu memegangi Aisha turun di anak tangga sementara Tara berjalan di belakang mereka berjaga.

Jika saja boleh, ingin sekali ia segera menggendong Aisha dan mengantarnya pulang segera. Niel menyusul setelah mengambil tas milik Aisha di meja kerjanya.

Dibantu Kiki, Aisha duduk di kursi tengah setelah sebelumnya Tara membukakan pintu mobil untuk Aisha.

“Udah nyaman duduknya? Pakai bantal ini mau? Biar lebih lega nyandar,” ucap Tara teduh dengan tatap memuja. Aisha menggeleng dan tersenyum sungkan.

“Terima kasih, Mba Kiki,” ucapnya tulus sambil merunduk kecil setelah Kiki berhasil membantu Aisha naik.

Di dalam hati, Kiki sedang menilai gelagat dan cara Tara memperlakukan Aisha sampai bagaimana berterima kasih padanya. Diam-diam ia sungguh terkesan dan mengulum senyum memuji. Perlakuan dokter itu pasti akan membuat gadis manapun merasa iri, gumam Kiki.

“Sha, motor lo biarin aja tinggal di parkiran, ya. Gue udah bilang sama security, motor lo malam ini ditinggal di sini,” kata Niel duduk di samping kemudi sekaligus menjadi guide menuju rumah Aisha.

Aisha mengangguk menuruti Niel. Mau bagaimana lagi.

Mobil SUV Wuling Almaz Tara membelah jalan. Melewati jalan tol, menuju ke Sakura Indah. Sampai di depan rumah Aisha. Ada Fauzi sedang menyiram tanaman. Ia berhenti ketika menyeksamai siapa yang datang.

Tara langsung turun dan berjalan memutar ke samping membukakan pintu untuk Aisha.

 Aisha turun dengan perlahan dan berjalan pincang.

“Bisa?” tanya Tara menahan diri.

Melihat itu Fauzi langsung bergegas menggapai putrinya dan membantunya masuk.

Assalamu’alaikum, Om,” ucap Tara merunduk sopan diikuti Niel yang juga menyusul ikut masuk.

“Niel, ini Aisha kenapa?” tanya Fauzi cemas.

“Nggak papa, Pa. Luka dikit aja.” Malah Aisha yang menjawabnya. Ia tak ingin Fauzi khawatir.

“Ada yang niat jahat sama Aisha Om. Untung ada Kapten Dokter ini,” jawab Niel tak bisa menahan diri.

Fauzi yang sudah berhasil mendudukkan Aisha di sofa ruang tamu menatap ke arah Tara yang  menyalaminya.

“Eh, ini? Kamu  …,” lirih Fauzi mengingat sesuatu.

“Saya Tara, Om.” Pemuda itu merunduk santun.

“Kamu … tentara yang kemarin sempat masuk berita itu ’kan, ya?” tanya Fauzi dengan mata mengilat.

Yang ditanya hanya tertunduk mengusap tengkuk tersenyum salah tingkah.

“Iya, Om! Om sempat lihat juga?” tanya Niel dengan mata melebar.

“Iya dong. Wah, kok bisa, Anak ini ….”

“Pa, nanti aja deh natarnya. Anak Papa lagi sakit ini!” rengek Aisha gemas yang diikuti kekehan kecil Niel dan Tara.

“Lah, tadi kamu bilang nggak apa-apa. Sekarang kok ngambek?” goda Fauzi seraya mengambil duduk di sebelah Aisha. “Ayo, Kapten. Niel. Silakan duduk,” kata Fauzi mempersilakan.

“Terima kasih, Om.”

“Siapa, Zi, yang datang?” Halimah, nenek Aisha keluar karena mendengar perbincangan di ruang depan.

“Ini, temen Aisha ngantar Aisha pulang. Ada yang niat jahat sama dia,” jawab Fauzi.

Melihat nenek Aisha, Tara bangkit diikuti Niel menyalaminya santun. “Ya Allah. Cucuku satu-satunya diapain?” pekiknya geram.

Niel lalu menceritakan kejadiannya. Sampai Aisha tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah sahabatnya itu. Sang nenek dan Fauzi meminta mereka menyelidiki siapa pelakunya.

Niel mencurigai seseorang.

“Tapi kita meski punya bukti kuat Niel. Nggak bisa asal tuduh orang begitu aja,” kata Tara menimpali perbincangan diikuti anggukan semua yang di sana.

Sebelum azan, Tara hendak pamit, namun dicegah Fauzi karena waktu sudah mendekati magrib. Akhirnya, Tara dan Niel tetap berada di sana hingga ba'da magrib. Usai salat bersama Fauzi dan Niel di musala komplek, Tara dan Niel diajak makan malam bersama lebih dulu sebelum pulang.

Merasa tak enak, Tara dan Niel menolak, namun tak bisa berbuat apa-apa setelah Fauzi mengatakan makanan sudah dihidang di meja makan.

“Tapi makan apa yang ada, ya,” ucap Fauzi jenaka.

Halimah mempersilakan mereka duduk dengan ramah. “Bi Murni, sambalnya jangan lupa dibawa ke sini,” katanya pada ART mereka.

Sedikit canggung, Tara duduk di samping Fauzi yang duduk di hadapan Aisha. Sementara di hadapan Tara ada Niel sedang tersenyum penuh arti. Tara sungguh tak menduga tapi juga bahagia. Niatnya hari ini hanya menemui Aisha tapi malah duduk semeja dengan keluarga untuk makan malam bersama.

Senyum Tara sempat terbit, dan tak sengaja bersitatap dengan netra biru gadisnya. Aisha melempar tatapan sinis, malah dibalas Tara dengan kuluman senyum menggoda.

“Ayo, ayo. Silakan,” kata Fauzi ramah bersamaan dengan Bi Murni yang meletakkan sepiring balado tepat di depan Tara. Sepiring lagi di depan Aisha.

Melihat isi piring itu, senyum Tara yang tadi merekah seketika pudar. Lelaki dengan senyum khas itu bergidik hingga bulu kuduknya meremang. Apa itu …. 🍆terong balado?

Deg!

Tanpa aba-aba, rasa bahagia yang membuncah memenuhi dada dan selera makan yang tadi bertengger seketika  terjun ke titik nol. Tara mengusap tengkuk gelisah. Ia … paling geli terhadap sayuran terong berwarna ungu itu.

“Terong bakar sama sambal terasi buat nenek mana, Bi?” tanya Fauzi yang melihat lauk kesukaan sang Ibu belum terhidang.

“Ini, Nek,” kata Bi Murni yang kembali dari dapur meletakkan terong bakar khusus buat nenek di meja.

Deg! Ada lagi? Lagi-lagi Tara bergidik mengusap tengkuknya.

“Ayo, makan sekalian bareng di sini,” ajak Halimah pada Murni.

“Nggak, Nek. Saya nanti aja di rumah bareng anak-anak,” tolak Murni ramah.

“Selamat makan semua. Mas ini yang kemarin ada di TV ‘kan, ya?” tanya Murni pada Tara memastikan.

Lelaki itu mengangguk kecil dan tersenyum ramah. Tak lama Bi Murni pamit ke belakang.

“Nak, Tara. Ayo,” kata Fauzi lagi mempersilakan.

Sementara Niel sudah lebih dulu menyendok nasinya sambil mengisi perbincangan hangat mereka.

Dengan lemah, Tara menyendok nasi. Di dalam hati ia berusaha menetralisir rasa geli dan gelisah yang semakin menguasai.

 Tara menertawakan dirinya sendiri. Ia merasa seakan sedang mendapat terapi flooding phobia.  Maka kini ia harus melakukan counter-conditioning agar tidak panik. Apalagi di depan calon istri, mertua dan neneknya juga? Oh Tidak!

Ya Tuhan. Kenapa harus dalam kondisi ini? Kenapa terong merusak suasana ini? Batinnya mengembus napas dan memejam mata.

“Kenapa Nak Tara. Nggak suka, ya, makan di rumah Aisha?” tanya Halimah yang menangkap kegelisahan Tara. Spontan semua mata melihat ke arahnya.

“Oh. Senang dong, Nek,” katanya berusaha setenang mungkin dengan senyum manisnya. Padahal di dalam hati, lagi-lagi ia menertawakan diri sendiri.

Aisha menatapnya lekat penuh tanya. Tara pura-pura saja tidak melihat tatapan gadis itu.

Tara mengambil ikan goreng, lalu sambil menahan rasa geli menggeser terong balado ke dekat Niel.

“Nak, udang, terongnya diambil,” kata Fauzi. “Terong balado buatan Bi Murni mantul lho. Kebetulan dari hasil kebun sendiri. Saya bercocok tanam untuk mengisi waktu kosong.”

“Oh, iya, Om. Iya,” ucap Tara cengengesan. “Om ngerjain sendiri, Om?” tanya Tara mengalihkan rasa gelisahnya.

“Enggak. Saya pekerjakan orang juga. Sebenarnya lebih banyak kebun sawit. Tapi ada sedikit yang ditanami, terong, cabai, melon, semangka.”

“Papanya Aisha, selain suka nonton berita juga suka bercocok tanam, Dokter Tara,” sambung Niel yang sudah lebih tahu banyak diikuti senyum kecil Fauzi.

“Saya pensiunan PT Wika. Sebelum pensiun kami udah nyicil beli tanah untuk masa tua.”

“Wah. Keren, Om,” puji Tara yang tertangkap Halimah memejam mata saat akan menyendok nasi ke mulutnya.

“Nak Tara kenapa? Kok kayak gelisah gitu?” tanya Halimah yang ternyata sejak tadi sudah meperhatikan gerak gerik Tara.

“Malu-malu kali, Nek. Ketemu ca… ohoks!” Niel tersedak ketika kaki Aisha menendangnya di bawah meja. “Maksud gue ketemu Nenek dan Om, kok!” tandas Niel mendelik jenaka ke Aisha.

“Ah, jangan malu-malu. Nih, nih, ambil ini,” Fauzi menyendok udang goreng meletakkannya ke piring Tara. Kemudian disusul tempe bacem, dan … terong balado juga sudah masuk ke piringnya.

Tara menelan saliva gelisah. Apakah ini sebuah penyiksaan, Tuhan?

“Kerupuk, ini, kerupuk ikannya, silakan diambil,” timpal Halimah juga.

Menahan semua rasa tak menentu di dalam dada, Tara berusaha makan dengan tenang ditemani pemicu geli di dalam piring. Bersusah payah ia mengatur sugesti bahwa dirinya pasti bisa melewati ujian ini.

“Nak Tara, tinggal sama siapa di rumah?”

“Di rumah ada Ibu saya, Om. Saya jarang pulang kalau sudah dapat tugas keluar kota,” katanya ramah.

Niel menatap lucu melihat Tara yang sedang ditatar calon mertua. Pria berhati lembut itu sudah biasa dan kenal keluarga Aisha sejak lama. Karena itu ia bisa santai saja makan bersama keluarga Aisha.

“Ayah?” tanya Fauzi lagi.

“Ayah  … sudah nggak ada, Om.”

Mendengar itu Aisha melirik Tara bersamaan dengan Fauzi.

“Uhm. Berarti tinggal Ibu, ya. Kalau Aisha malah udah nggak ada Ibu. Nggak papa. Umur, siapa yang tau, ya ‘kan?”

Tara tersenyum kecil. Tanya yang dari tadi sempat terlintas dibenakknya kini terjawab sudah. Nasib Aisha dan dia ternyata tak jauh berbeda.

Setelah makan. Niel, Fauzi dan Tara duduk di teras depan sambil berbincang. Aisha yang baru saja mengganti pakaian duduk di depan televisi bersama Halimah.

“Mereka bicaian apa, Nek?” kata Aisha begitu saja.

“Ya, nggak tau. Bicarain masalah pria kali. Sha, Tara itu tentara, ya?”

Aisha bergeming. Kenapa sang nenek malah membicarakan pemuda itu?

“Iya, Nek. Kenapa?”

“Kalian ada hubungan apa?”

“Hubungan apanya? Nggak ada apa-apa kok. Nenek ada-ada aja,” kata Aisha tertawa salah tingkah.

“Jadi cuma sekedar kenal aja. Bagus lah. Nenek pikir kalian ada hubungan. Makanya dia nganterin kamu pulang.”

“Ih, Nenek. Kebetulan aja tadi dia yang ada di kantor, Nek. Kenapa memangnya, Nek?”

“Nenek mau bilang aja, nggak srek sama tentara. Tapi kamu bilang nggak ada apa-apa, ya udah. Bagus lah. Cuma temenan, ya, kan. Ya udah,” tanda Halimah yang cukup vokal apa pun terkait dengan cucunya.

Aisha menarik senyum kecil yang sebenarnya ia paksakan.

Tak lama. Tara dan Niel pun pamit pulang. Aisha dan neneknya berjalan ke depan sambil berpegangan tangan.

“Terima kasih, Nak Tara. Niel. Udah ngantar Aisha ke sini,” ucap Fauzi ramah.

“Sama-sama Om.” Tara dan Niel menyalami kedua orang tua Aisha.

“Nak, Tara. Ini, ini, bawa pulang, ya. Kebetulan tadi sore abis ngutip di kebun. Sebagian diantar pekerja ke rumah,” kata Fauzi menyerahkan asoy berisi terong ungu dan cabai merah menghanturkannya ke tangan Tara.

Allahu!” pekik Tara bergidik.

“Kenapa?” tanya Fauzi aneh.

“Eng, nggak usah, Om. Nggak usah,” kata Tara tak enak hati sedikit mengambil langkah mundur.

“Ambil dong. Bawa. Bawa,” kata Fauzi seakan memaksa.

“Nial aja, Om.”

“Niel buat apa. Dia siapa yang masak. Sendirian di kosan,” kata Fauzi. Sementara itu Aisha menatap curiga dan menduga-duga melihat Om Modus di depannya.

“Bawa dong, Dok. Buat orang di rumah,” timpal Niel.

Ingin ia menjawab bahwa orang-orang di rumahnya tak ada yang menyukai terong. Namun tentu saja urung karena tak mau melukai perasaan keluarga Aisha.

Mau tak mau, Tara meraih juga asoy itu dengan bulu kuduk yang berdiri, lalu meletakkannya di bagasi. Melihat wajah Tara yang tak biasa, Aisha bertanya dalam hati. Ada apa dengan Om Modus absurd  ini?

Setelah Tara dan Niel pergi, bersusah payah Aisha masuk ke dalam segera menuju ke meja makan.

“Aisha, kaki kamu sakit jangan lasak dulu!” ujar Halimah yang tahu benar cucunya tak bisa duduk diam.

“Pelan-pelan kok, Nek,” jawab Aisha sambil menatap meja yang sedang dibereskan Bi Murni.

Ia manatap piring bekas Tara. Di sana, masih ada terong balado yang tadi diletakkan ayahnya. Apa Jangan-jangan  ….

°°°

Aisha sedang menatap layar laptop  mengerjakan tugasnya ketika ada suara mobil di depan rumahnya. Kondisinya yang belum pulih membuatnya harus Work from home sejak kemarin. Hari adalah hari ahad dan masih sedikit gelap. Lalu, siapa yang datang sepagi ini?

Ia menatap keluar jendela kamarnya dan terbelalak mengetahui siapa pemilik mobil SUV Wuling itu. Tak lama turun dua orang pria. Niel? Om Modus?

Ngapain mereka pagi-pagi ke sini?

Tanyanya pun semakin bertambah ketika sang Papa keluar dari rumah, dan menyapa mereka. Kemudian naik ke mobil Tara ikut pergi bersama mereka.

What? Ada apa?

Ingin ia menelepon Papanya menanyakan hendak ke mana, tapi urung karena malu. Bisa-bisa dituduh kepo saja urusan para pria itu.

Pukul sebelas, ketiga pria itu baru kembali pulang. Aisha langsung keluar melihat mereka yang kini sedang duduk di teras depan.

“Pa, pada dari mana?” tanyanya basa basi. Padahal tak bisa menahan diri.

Netranya sengit menatap Tara yang kini tersenyum ramah.

Car free day. Sorry nggak ngajak lo, rekan Cencalo. Ini urusan para pria. Ya nggak, Om?” kata Niel tertawa.

Aisha mengerutkan dahi. “Oh gitu. Udah maen rahasiaan sekarang, Pa?” katanya bersedekap dua tangan di depan dada.

“Kamu ini. Kenapa kok cemberut gitu?”

“Cemberut? Siapa yang cemberut. Biasa aja,” bantah Aisha pula.

 Melihat tingkah Aisha Tara mengulum senyum geli. Gadis itu pasti terheran-heran pagi ini. Mengapa pria ini malah bisa pergi bersama sang Papa? Tara sendiri tak menyangka langkahnya mendapatkan Aisha bisa semulus dan semaju ini.

Batin Tara tersenyum semangat.

Jika kamu mengincar seorang wanita. Sasaran tembak pertama adalah servernya. Kemudian ... orang tuanya!”

“Papa penasaran dengan berita car free day yang di televisi. Jadi kemarin kami cerita-cerita tentang itu. Tara sama Niel ajak Papa ke sana. Ya pas banget. Papa sengaja nggak ngajak kamu. ‘Kan kakimu lagi sakit.”

“Oh. Papa nggak beli yang macam-macam di sana ‘kan?” tatar Aisha tajam. Papanya punya pantangan makanan.

Fauzi terkekeh kecil tak langsung menjawab.

“Nah kan. Ada yang aneh ini!”

“Udah deh, Sha. Urusan pria mau tauk aja,” ujar Niel gemulai.

“Oh iya, lo ‘kan pria,” ledek Aisha gemas. Yang diledek bukannya tersinggung malah berujar.

“Iya dong! Papalepapale!” kekeh Niel dengan tangan menari-nari.

Dengan kehadiran Om Modus di rumahnya hari ini. Tiba-tiba ada lampu menyala di otak Aisha. Ia bersedep dua tangan di depan dada memikirkan sebuah rencana.

Hhhmm. Ia tersenyum dan segera menyusun plan untuk mengetahui sesuatu.

Tunggu!

🌹🌹🌹

Wew! Ada yang punya rasa geli, gelisah, atau takut terhadap sesuatu secara berlebihan nggak di sini? 😂

Jika ada, kalian pasti tahu gimana rasanya jadi Aisha waktu dihadapkan jarum suntik, dan Tara yang  .... 😬🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top