BAG 1 : EXPLOSION

Hanya fiksi tanpa maksud menyinggung instansi atau kelompok tertentu. Nama, tokoh, karakter, sifat hanyalah karangan penulis semata.
Semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen, atau cerita ini akan dihapus. Wkwkwk.
#ketawajahap
#canda

Ini, 🌹🌹🌹🌹🌹 buat kalian dari series "Madam Rose" ini. Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan berkelimpahan. 😉👍

Love dulu buat part ini biar makin semangat lanjut tulisan. ❤ Danke

Ketemu Dokter Tara 😍


  “Train like you fight! Go! Go! Go!”

Begitu kalimat itu selesai. Suara derap langkah memburu, langsung terdengar berkejaran di lapangan tembak gudang amunisi Jalasveva Jayamahe, Galapaga. Yang telah di-design dengan susunan drum  dan sekat dinding setinggi kepala. Detik kemudian berganti suara pintu kayu didobrak paksa. Empat orang prajurit berpakaian hitam masuk dengan hati-hati sambil menodong senjata laras panjang mereka. Kedatangan mereka langsung disambut dengan suara desingan peluru dari arah berlawanan.

Tara yang berada paling depan melompat cepat dan bersembunyi di balik drum. Sedang tiga bawahannya juga sudah bersembunyi di balik drum berbeda. Netra Tara dan Cito saling melempar tatap penuh ambisi. Tara memberi kode dengan dua jari ke mana arah mereka akan berpencar. Sekali anggukan, hitungan detik, mereka pun bergerak.

Langkah pencar mereka sigap berderap untuk mengalihkan focus sasaran rival. Tara yang beralih ke arah utara, bersembunyi di balik dinding kayu sambil memindai dari mana asal tembakan. Begitu yakin, ia langsung membidik dan melepas tembakan ke arah sana.

Dor! Dor! Dor!

Suara desingan peluru bersahutan.

Sementara itu, Rendra dan Yoga mengambil langkah menyelinap tak jauh dari kedua atasannya. Target mereka adalah, menyelamatkan korban yang ada di tengah area. Tara menatap tajam Letnan Cito, Kelasi Rendra dan Kelasi Yoga, mengirim kode perintah lewat mata dan anggukan berani. Sorot mata itu, seakan menyuntikkan endorphin auto injeksi[1] pada orang di bawah komandonya hingga mereka merasa adrenalin di dalam darah semakin mendidih.

Mereka berempat pun kembali bergerak. Tara berlari acak sambil melepas tembakan untuk mengecoh lawan. Cito mengambil langkah sama, tapi tak jauh dari Rendra dan Yoga guna siaga melepas tembakan jika ada ancaman datang. Sedang Rendra dan Yoga berlari cepat menuju dua korban di tengah zona bahaya.

Begitu Rendra dan Yoga berhasil mencapai titik tempat korban terbaring. Cepat, Kelasi Rendra dan Kelasi Yoga, menyilangkan dua kaki dan melipat kedua tangan korban di depan dada, lalu mengangkat tubuh korban bagian atas dari belakang sambil menyeretnya bersembunyi ke area yang lebih aman. Aksi mereka itu berjalan mulus tak sampai satu menit!

Good!” lirih Tara dengan sorot mata dan seringai menantang.

Berhasil meraih dan membawa korban bersembunyi, Rendra, Yoga, segera mengecek kondisi dan menemukan luka tembak di tangan dan paha korban. Dua Kelasi itu segera meraih Medic Operator Ransel, mengambil kasa pembalut, melilitkannya di kulit terbuka, tepat di sisi atas luka dengan posisi yang lebih dekat ke jantung. Lalu dengan hitungan tujuh belas detik telah selesai memasangkan Tourniquet[2] di sana. Selanjutnya adalah membawa korban keluar area.

Cukup dengan tatapan tajam dan saling menghitung, mereka kembali bergerak bersama seperti tadi. Tara berada di garda depan melindungi aksi. Sudut bibirnya tertarik miring menimbulkan kedutan kecil hingga tahi lalat di atas bibirnya ikut berkedut setiap kali adrenalinnya naik ketika melepas tembakan demi tembakan. Sesekali ia pun melakukan gerakan salto untuk menghindari peluru.

“Wuu!” Tak sadar mulutnya berseru senang. Bagai ia sedang beraksi dalam  game online.

Pundaknya mendarat di balik drum. Kembali netranya bersitatap dengan Cito dan saling melempar seringai tengil mereka.

“Come! Come! Come!” Aba-aba dari Kyle keras ketika Rendra dan Yoga berhasil membawa korban keluar area.

 “Oveeeer!” teriak Martin yang berdiri di atas drum sambil menatap stopwatch di tangan kanan. “How minute you need?” katanya landai, menatap Yoga dan Rendra.

Suara sorak memicu semangat terdengar samar dari belakang. Aksi mereka tadi juga disaksikan oleh prajurit-prajurit lain yang ikut dalam latihan Combat Medic guna penugasan di KBRS[3] dr. Soeharso bulan depan. Mereka pun diminta berkumpul. Tara dan Cito bangkit sambil melempar tawa hebat lalu melakukan tos bersama.

Sedang melangkah untuk menuju barisan.

“Go to hell!” teriak Letda Pujo yang hendak ikut ke barisan seraya berpura-pura melepas tembakan tepat menuju ke Tara dan Cito. “Du du du du dus!” katanya lagi memburu. Pujo berada dalam barisan penonton tadi.

  Tara dan Cito menyambutnya dengan tawa. Kemudian, “yeah! I did it!”  teriak mereka balik dengan seringai tajam sambil pura-pura melepas tembakan juga. “Du du du du dus!”

  Ketiga pria dari satu kesatuan itu tertawa lepas seraya memberi kepalan tangan saling membenturkan khas salam hangat ala mereka.

“You doing it kece, Man! Syabaaas!” seru Pujo dengan bahasa campuran. Posisi Tara tadi memang atas permintaan Tara yang mengajukan diri untuk step latihan terakhir agar ia yang mendampingi Rendra dan Yoga. Sebagai dokter tentara, ia sangat mencintai profesinya ini. Ia bahkan sudah banyak melakukan latihan fisik sebelum resmi menjadi TNI. Sudah begitu banyak waktu, tenaga, pikiran yang ia habiskan demi dedikasi tinggi karena kecintaannya pada work ini. Tekad dan semangat yang berhasil mengalahkan hasratnya untuk mencari calon istri.

Setelah evaluasi, latihan selesai. Mereka menyalami hebat Martin dan Kyle, dua pelatih yang sengaja diundang dari Korps Marinir Amerika Serikat (USMC).

Para prajurit dari Kopaska itu tengah duduk beristirahat di atas rumput tanpa alas tak jauh dari gudang amunisi. Tara baru saja melepas Kyle dan Martin ketika melihat petugas membawa senapan yang mereka gunakan latihan tadi untuk disimpan kembali ke gudang amunisi. Tanpa ragu, Tara mendekat untuk membantu.

  “Biar kami saja, Kapt!

“Tak apa, tak apa.” Tangan Tara mengambang di depan dada. “Sekalian, saya mau bertemu Letkol Arya di dalam.”

Dua Sersan itu menyambut senang. Sejujurnya mereka juga tahu betul tabiat Combat Doctor dengan senyum khas itu. Ringan tangan dalam hal membantu. Sampai di dalam, box senjata itu diletakkan di meja penjaga yang sedang sepi. Tara menatap arloji di tangan kanan, “apa ini jam pergantian shif jaga?” gumamnya. Petugas tadi pun pamit keluar. Sementara Tara tinggal di tempat untuk mencari Letkol Arya.

Ia mendongak ke dalam gudang. Tak sengaja, samar ia mendengar suara bisikan beberapa orang.

 “Cepat! Letakkan senjata di depan sana. Orang gudang yang mengecek akan mengira, prajurit yang latihan hari ini yang membawa senjatanya.”

 Naluri Tara tergelitik mendengar itu hingga tak sengaja dahinya mengernyit dengan senyum miring. Sesuatu yang mengundang fitnah baru? Tara melangkah dalam senyap sambil telinga merekam setiap kalimat yang kembali ia tangkap.

   “Begitu gudang tutup nanti sore, langsung ke rencana A.”

 Tiga lelaki berseragam loreng itu meletakkan box di posisi—yang menurut mereka—aman. Kemudian terperanjat ketika berbalik dan menemukan Tara sudah berdiri lima hasta dari mereka.

  “Kapten Tara!” sapa Lettu Tio datar. Namun aura canggung dari gurat wajah mereka dapat Tara baca. “Anda … ada perlu apa ke sini? Mari saya bantu.” Tio melangkah pasti dan mendekat hendak merangkul pundak bidang Tara. Dalam hati ia merutuk. Kenapa pria itu yang ada di sini?

“Tidak. Saya hanya mengantar perlengkapan latihan ke sini. Sekaligus mencari Letkol Arya,” jawab Tara tenang.

“Oh. Letkol Arya. Dia mungkin ada di luar. Ayo, saya antar,” ujar Tio bersandiwara.
    
Tara tahu betul lelaki berwajah oval itu sedang pura-pura beramah tamah padanya. Wajah Tio yang berpaling memberi kode pada dua bawahannya dengan jelas ditangkap Tara tanpa mereka tahu. Semakin ke sini, semakin ia mengerti ada ‘permainan’ di sini.

Tenang, Tara pun menarik senyum kecil. “Saya tidak menemukan Letkol Arya, tapi menemukan hal berbeda yang sepertinya akan merugikan tim saya. Jadi ….”

 Tio yang menangkap sinyal emergency dari kalimat Tara hanya beberapa detik memberi jeda. Gelap mata, ia langsung merangkul pundak Tara hendak menjatuhkan lawan dan memberi ancaman. Namun kecepatan tangan Tara berhasil menangkis gerakannya.

   BAM!

  Tio jatuh terjerembab dengan posisi Tara berlutut di samping tubuhnya.

 “Ternyata, dugaanku benar,” ujar Tara mengonfirmasi insting dengan senyum miring. Mata hitam pekatnya cukup tajam menikam. Tenang, tapi mengiris lawan.

Rasa tak suka yang telah lama bersarang di hati Tio membuatnya semakin emosi. Tio yang menangkap sorot berani di netra Tara diam-diam sudah meraih T. Kardin Knives di kaki  hendak menancapkannya di perut Tara dengan gerakan senyap. Dalam pikirannya, Tara hanyalah seorang dokter. Kemampuan militernya tak seberapa dibanding mereka yang lulus lewat jalur Sekolah Akademi Militer.

Ternyata di luar dugaan. Entah bagaimana Tara menyadari gerakan senyap itu, dan sekali sentak menangkis tangan Tio yang kini berusaha keras mengerahkan kekuatan mendorong pisau itu ke perut sispack sang dokter.

  “Stop it, Man!” pekik Tara keras dengan sorot mata menindas.

  “Banyak omong!” balas Tio kasar.

Dua prajurit lainnya datang dan menarik tubuh Tara menjauh dari Tio. Ia terkunci ke dinding. Tio bangkit dan melepas tendangan ke wajah Tara hingga sepatu PDL Tio meninggalkan luka di sana. Tio berseringai senang. Belum puas, ia maju kembali hendak melepas pukulan bebas. Saat bersamaan Tara menumpukan pundaknya ke dinding, mengayunkan dua kaki, menendang keras Tio yang mendekat hingga lelaki berkulit sawo matang itu menggeram karena kembali terjerembab.

  “Njir! Dari dulu aku benci kamu, Dokter brengsek!” umpatnya disela menahan sakit di dada.

  Di hadapannya, dua prajurit tadi melepas bogeman mentah ke tubuh Tara. Namun ternyata pria itu membalas, berhasil lepas dari cengkeraman mereka dan melompat melepas tendangan bebas. Tio bangkit lagi seraya menyabetkan pisau. Tara pun kini di kelilingi mereka bertiga.

Tiga, lawan satu!

Mata Tara menyapu ketiga rival dengan koneksi otak memerintah tubuh siaga dengan kuda-kuda untuk membuat perlawanan jika mereka maju. Benar saja. Ketiga rival maju dengan masing-masing pisau di tangan. Tara melompat, mengayunkan kaki dan berhasil melepas tendangan bebas sekali putaran untuk semua lawan. Belum mau berhenti. Dengan suara teriakan, ketiga rival Tara kembali menyerang. Mata Tara menatap tajam, di dalam hati ia menghitung derap langkah rival. Dan ….

Ia melopat tinggi, rolling keluar dari lingkaran, yang mengakibatkan ketiga lawan itu saling menubruk dan melukai.

Semakin geram dan tak sabar lagi. Tio meraih satu senapan SS1-M2[4] di rak, memasang peluru dan menuju ke arah Tara yang kini hilang di balik rak-rak sambil memerintah dengan mata dua anggotanya bergerak.

  “Heh, Dokter sok pahlawan! Dasar menyebalkan! Keluar kamu!” umpat Tio panas dengan emosi yang semakin tak terkendali. “Dari dulu ingin sekali kulepas peluru ke dadamu! Hoh, mungkin ini saatnya,” katanya lagi sengau.

  Di sudut gudang, Tara menahan diri seraya mencari ponselnya. Ia tak ingin melukai siapa-siapa. Pilihannya adalah, penjahat kesatuan ini tertangkap basah atasan saat ini juga. Tara menduga, senjata tadi akan dijual ke kelompok tertentu. Bisa jadi musuh negara. Segera ia mengirim pesan pada Letda Cito.

  “Heh, Tara! Di mana kamu? Kamu takut? Ha ha ha!” ucap Tio beringas.

“Kapten Laut dr. Tara Adiwilaga. Ternyata … kau cukup beruntung juga, ya. Masuk jalur Pa PK TNI, tapi banyak dipercaya petinggi kesatuan ini. Sayangnya, kehidupan pribadimu tak semulus karirmu!” pekik Letnan Tio sarkastik guna menyulut emosi Tara agar keluar dari persembunyian.

 “Hoh, ya! Aku tahu, insiden di puncak. Aku … turut prihatin, Kawan.” Menyisir ke setiap sisi rak, kaki Tio melangkah perlahan. “Mungkin kau perlu berehat sejenak, dan tak memporsir diri agar punya waktu menggunakan harta satu-satunya yang diberikan Tuhan untukmu,” kata Letnan Tio sinis. “Anggap saja ini saran dari seorang teman.”

 Tara tak habis pikir dengan lawannya kali ini. Lelaki dengan seringai khas itu menangkap, harta satu-satunya dari kalimat Tio adalah ‘harta’ dalam arti berbeda. Tentang kejantanan seorang pria tepatnya.

  “Heh, Dokter blagu! Satu hal yang belum kamu tahu.” Semakin emosi, Tio kembali memantik api. Dengan tinggi hati ingin sekali ia menusuk belati ke hati Tara yang telah lama ia benci.  “Liona ….” Tio menjeda dengan seringai jumawa.

 Mendengar nama itu disebut Tio, mata Tara menajam bersama rahang yang mengeras. Ada hawa panas yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

Kami ….” Tio terkekeh sengau. “Shecreamy vanilla taste. Ups, so—“  

Kalimat itu bagai lecutan sembilu berkali-kali. Secara tak kasat mata menusuk tepat ke ulu hati. Dada Tara bergemuruh, pertahanannya runtuh. Geram, Tara memutar pandang dan keluar dari persembunyian langsung lari menyambar kerah Tio kasar menghentikan kalimatnya. Ia tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulut pria berlidah ular itu. “Kau pikir kau pantas membicarakan DIA!“ Tara melepas pukulan keras tepat ke rahang Tio.

Tio yang hampir terpelanting menarik senyum miring di ujung bibir jumawa. Seakan puas, berhasil membuat penghinaan besar untuk Dokter Tara meski kini ada noda merah di sudut bibirnya.

SET!

Suara sabetan pisau melesat terbang bagai kilat ke arah Tara. Tio pikir, tamatlah riwayat dokter yang memergoki mereka tadi. Namun ternyata, pisau itu meleset sebab ada Letnan Pujo yang berhasil menerkam Tara menjauh lebih dulu.

“Pujo, kamu di sini?”

“Ya, Kapt!”

“Brengsek! Ke sini kau!” Tio yang semakin berang tak terkendali, mengejar Tara dan Pujo diikuti dua prajurit anggota Tio.

Dor!

Dor!

Dor!

Terjadi kejar-kejaran di gudang amunisi. Tembakan itu tak berhasil menancap ke sasaran. Tanpa Tio sadari malah menyasar ke terminal listrik di dalam gedung.

“Kemari kau!” berang Tio lagi.

Tak lama ada desisan percikan api. Tara dan Pujo menatap ke asal suara. Percikan itu dari kabel di atas mereka. Menyadari hal buruk akan terjadi.

“Jo! Keluar!” teriak Tara.

Namun detik itu, dua anggota Tio telah melesatkan pisau kembali ke arah mereka. Gerakan cepat, Tara meraih Pujo dan mereka berguling hingga menubruk rak amunisi.

“Jo! Cepat keluar lebih dulu!”

“Kapt!” Pujo mendesah ragu.

“Ceepaaat!”

Pujo berlari dilindungi Tara yang mengalihkan focus dengan melempar Heckler & Koch MP5K yang berserak di lantai ke sudut berbeda. Namun keberadaannya berhasil ditemukan Tio.

Stop, Bro! Ayo keluar, aku takut gudang ini meledak!” pekik Tara keras.

Seakan menulikan telinga, melihat sosok Tara, Tio langsung melepas tembakan. Namun lagi-lagi Tara berhasil berkelit. Lalu tiba-tiba.

DUAR!

DUARR!

BRAK!

“AAW!”

“Tiaraaap!” teriak Tara keras. Segera matanya menyisir sekitar dan mendapati Tio tertimpa rak senjata.

“Tiooo!” Tara bangkit hendak menolong lelaki yang tertangkap basah tadi.

DUAR!

“Kapt! Awas!” Pujo menyambar Tara ketika melihat api hampir melahapnya. Rupanya ia kembali masuk karena Tara tak juga menyusul keluar. Mereka terjerembab dengan posisi tubuh Pujo melindungi Tara. Jelas saja, malah ia yang terkena efek ledakan.

DUAR!

Suara ledakan kembali menggelegar. Hawa panas dengan cepat menjalar.

“Ayo keluaaaaar!”

🌹🌹🌹

  Awalnya, semua yang mendengar suara desingan peluru menyangka kalau suara itu berasal dari lapangan tembak. Namun, praduga itu terbantah saat ada asap tebal mengepul di atas gudang amunisi. Semua prajurit yang melihat pun panik dan segera menjauhi area ledakan.

 Beberapa prajurit yang baru saja tiba untuk pergantian shif jaga langsung berhambur keluar begitu ledakan itu menggelegar. Ledakan demi ledakan terasa menggetarkan tanah tempat berpijak, menggoyang pulau kecil itu bersama dentuman dahsyat. Kilatan si jago merah kini mengukir langit Galapaga. Hiruk pikuk pun mengudara. Bagai di medan perang kondisi pun kini kian mencekam.

Tak jauh dari gudang amunisi ada dua orang sipil yang tak lain adalah petugas kebersihan markas yang sedang melakukan tugas. Satria, salah satu dari mereka takjub meski terkejut menatap atmosfer hari ini. Pemandangan itu memicu adrenalinnya yang pernah bercita-cita menjadi prajurit. Bukannya takut, ia malah menyalakan ponsel dan melakukan siaran langsung lewat akun social medianya.

Kemudian, dari balik asap yang mengepul, menyembul sesosok tubuh tegap tinggi. Tara. Ia berhasil keluar dengan membopong tubuh Letnan Pujo di pundak dan lari keluar gudang. Tak henti kakinya menjauh menghindari gempuran ledakan dan peluru yang menggelegar silih berganti tak terkendali.

Batinnya nelangsa, masih ada Tio dan dua prajurit tadi di dalam. Tersengal-sengal, ia berhenti di bawah pohon lalu membaringkan Pujo ketika suara ledakan kembali mengudara.

“Jo! Bertahan, Jo!” pekik Tara kuat.

 “Dokter Tara!” teriak Yoga yang mengejar Tara ketika melihatnya barusan.

“Yoga, perlengkapan medis tadi. Segera bawa ke sini!”

“Siap!” Sigap, Yoga pun berlari pergi.

Tara gelisah ketika melihat Pujo tak sadarkan diri. Dengan segera ia melakukan RJP tepat di dadanya.

Yoga tiba. Setelah itu ia kembali berlari ketika melihat ada prajurit lain butuh bantuan. Tara meraih konsentrator oksigen portable yang dibawa Yoga dan memasangkannya ke mulut Pujo. Melihat ada banyak luka bakar di tubuh Pujo, cekatan ia membuka pakaian  pria asal Jakarta Selatan itu lalu meraih Water-Jel Burn Dressing[5] dan melekatkannya di kulit terbakar Pujo. Hati Tara cukup nyeri, berdoa agar Pujo selamat. Lelaki itu bukan hanya sekedar teman satu kesatuan Kopaska, tapi juga sahabat akrab.

Detik itu juga, Tara melihat satu orang lelaki berbalut api di sekujur badan keluar dengan terseok dari dalam gudang. Lalu tersungkur tepat di pintu dengan api dan asap mengepul dari sana. Tara terkesiap. Tanpa pikir pajang, segera ia meraih Water-Jel Burn Blanket dari perlengkapan medis yang dibawa Yoga. Tanpa peduli berlari cepat menerjang kepulan asap berapi, menyambar prajurit itu seraya membalutnya dengan blanket yang ia pegang.

Sigap, ia menarik korban menjauh dari sana sambil menepuk-nepuk dengan tangan agar api di tubuh korban padam. Sementara, padahal di tubuhnya juga dihinggapi api. Setelah itu ia berguling di tanah. Begitu api ditubuh itu padam. Tara bangkit, mendekat, dan berbaring lagi, menyelipkan tangan kanan disela dua tungkai kaki korban yang ia duga salah seorang rivalnya tadi di dalam. Sekali gerakan, tubuh dengan luka bakar itu sudah berada di atas pundaknya.

Seakan tak merasakan sakit di luka tubuhnya, Tara berlari menggendong pria itu ke tempat di mana ia meletakkan Pujo dan melakukan pertolongan yang sama.

  Tak lama, pemadam kebaran langsung mendapat intruksi beroperasi. Namun, mereka juga belum bisa banyak bertindak memadamkan api sebab bisa saja ada peluru melesat tiba-tiba tanpa arah. Sementara itu, mereka menyelamatkan prajurit di sana yang terkena paparan ledakan untuk menjauh.

Korban-korban itu segera diungsikan ke barak yang letakknya agak jauh dari gudang amunisi. Banyak yang terluka. Combat medic yang masih di sana, segera memberikan pertolongan pertama. Latihan mereka tadi agaknya langsung diuji detik ini juga.

Lima belas menit berlalu dengan sesekali masih ada ledakan dan desingan peluru susulan. Untungnya tak ada mortir dan torpedo. Jika tidak, ledakan sudah pasti lebih parah.

Korban-korban itu lalu segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan lanjut. Karena letak markas yang berada di pulau kecil seberang Pelabuhan Sumpah Palapa evakuasi memakan waktu cukup panjang. Untuk ke rumah sakit, baik prajurit atau pun sipil harus menggunakan kapal. Lewat pintu III atau pintu V pelabuhan terbesar itu.

Untuk menyeberang biasanya memakan waktu 20 menit. Namun, untuk mengangkut korban hari ini, kapal yang digunakan tidak bisa mengangkut semua korban sekaligus. Maka, korban darurat diberangkatkan lebih dulu.

Tara menarik napas berat melepas oksigen yang dari tadi terperangkap dalam paru-parunya setelah melepas Pujo berangkat. Korban-korban itu rencananya akan dibawa ke rumah sakit tentara Dintohardjo.

Jantungnya bergetar tremor. Bagai reka ulang, otaknya memutar video kejadian di dalam gudang. Ketika Pujo menyambar tubuhnya hingga malah Pujo lah yang jadi terluka parah karena ledakan.

“Kapt! Anda terluka. Biar saya obati,” ujar Rendra yang menyadari atasannya terluka. Tara sendiri tak mengira saking fokusnya. Ya, begitulah tuntutan tugas dokter tentara di medan juang. Harus bisa tetap bertahan meski terluka dan berusaha membantu prajurit lainnya yang terluka.

Tara diminta duduk untuk diberi pengobatan. Menurut, ia terduduk sayu dengan napas teratur tapi hancur. Tara bahkan sampai tak merasai apa pun saat injeksi di luka terbukanya. Lelaki yang kulit putihnya telah terkontaminasi matahari itu menahan debar sendiri. Berdoa dan meminta pada Tuhan agar korban bisa selamat. Terutama, Pujo.

Sementara itu, di akun social media Candra Satria. Telah ramai netizen memberi komentar positif, hormat, kagum, terpana ketika menyaksikan aksi Tara dalam kejadian tadi. Petugas kebersihan itu ternyata berhasil merekam semua kejadian dari detik tubuh Tara keluar menerjang kepulan asap, heroiknya kembali menyambar api tanpa peduli bagai ia senang menantang mati. Sampai kembali sigap memberikan pertolongan medis.

Banyak yang bergidik ngeri tapi juga memuji. Apalagi melihat wajah tampan Kapten Laut bertubuh atletis itu. Tak ayal semakin menambah pesona dirinya. Di balik debar hati penonton yang ngeri menyaksikan ledakan tadi, ada terselip pemandangan heroik dari seorang Combat Doctor angkatan laut negeri yang mampu menarik perhatian beribu pasang netra anak negeri.

 🌹🌹🌹 

Kepanjangan kagak?  
Kalau kepanjangan besok part selanjutnya aku pendekin. 😬

🌹🌹🌹

Berikut catatan kaki untuk part ini.

[1] Suntikan Endorphin

[2] Tourniquet : alat untuk mengerutkan dan menekan di bagian tertentu pada tubuh manusia, contohnya tungkai atau lengan. Simpelnya adalah alat penahan aliran darah.

[3] Kapal Bantuan Rumah Sakit = adalah—dulunya—KRI Tanjung Dalpele 972 berfungsi sebagai kapal serba guna bantu angkut personel, dialih fungsi menjadi kapal bantuan rumah sakit terapung milik TNI AL. Nama dr. Soeharso diambil dari nama dokter ahli beda patah tulang yang berjasa dalam kemerdekaan Indonesia.

[4] Mengambil rancangan dari SS1-V2. Senapan SS1-M2 khusus di-design untuk memenuhi kebutuhan kalangan TNI AL dengan memberikan pengembangan coating khusus agar SS1-M2 tahan terhadap karat sehingga dapat dioperasikan secara penuh di wilayah perairan. Istilah M sendiri berangkat dari kata Marinized.

[5] Pertolongan pertama yang cepat ketika seseorang terkena luka bakar. Dressing juga direndam dalam water based / water soluable, bakteriostatik, biodegradable dan steril untuk memastikan tidak terkontaminasi udara bebas untuk perawatan emergency luka bakar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top