9

Happy reading. 💜

***

Setelah kupikir-pikir, Kak Nando ada benarnya. Mungkin aku yang terlalu egois. Hanya memedulikan perasaanku saja tanpa memikirkan dampak yang terjadi ke depannya.

Bukan salah Kak Nando kalau hubungan ini harus disembunyikan dari yang lain. Mungkin sebaiknya dulu aku mendengarkan ucapannya yang melarangku untuk masuk ke SMA Bakti. Karena ia tahu, salah satu alasanku masuk ke SMA Bakti karena Kak Nando juga bersekolah di sana. Niat awalku benar-benar buruk.

Namun, walau begitu, tetap saja aku masih belum terima Kak Nando merahasiakan hubungan ini dari teman-temannya, termasuk Kak Aldo.

Meski Kak Nando sudah berulang kali mengatakan alasannya, tapi tetap saja aku masih ingin agar cowok itu mengakui hubungan kami di hadapan teman-temannya. Daripada diejek pacaran dengan tiang bendera, lebih baik mengatakan saja yang sejujurnya kalau ia sudah punya pacar.

Kak Nando bukan termasuk golongan cowok-cowok dengan tampang yang bisa dibanggakan. Namun, bukan berarti Kak Nando termasuk golongan yang malu-maluin kalau diajak jalan. Semua orang tahu Kak Nando sangat baik. Saking baiknya sampai pernah dimanfaatkan temannya sendiri.

Kebaikan hatinya itulah yang berhasil membuatku merasakan yang berbeda saat di dekatnya.

Berbeda dengan Kak Aldo yang ogah-ogahan mengajariku pelajaran-pelajaran yang kuanggap sulit, Kak Nando malah dengan senang hati menawarkan diri untuk membantu. Sejak itulah setiap sorenya Kak Nando akan berkunjung ke rumah untuk memberikan les privat padaku.

Kak Nando memang tidak begitu tampan. Namun, kebaikan hati dan kecerdasan otaknya menjadi nilai tambah di mata cewek-cewek.

Walau tidak sepopuler Kak Hendra, aku tahu, di sekolah ada yang mengagumi Kak Nando, bahkan mengidolakannya. Sebelum pacaran denganku pun Kak Nando sering menceritakan tentang cewek-cewek yang berusaha memberikan kode-kode padanya.

Nama Kak Nando semakin dikenal semenjak dipilih menjadi ketua paskib. Membuatnya terlihat gagah dengan tugas yang harus diembannya sebagai ketua.

Aku masih ingat saat Upacara 17 Agustus kemarin. Saat Kak Nando menjadi pemimpin upacara. Hatiku langsung berdesir aneh saat mendengar suara Kak Nando yang begitu lantang. Langkahnya yang tegap semakin membuatnya terlihat gagah.

Namun, karena terlalu sering latihan di bawah terik matahari langsung, hal itu berdampak pada kulit Kak Nando. Seperti yang Nadia katakan, Kak Nando itu seperti sawo belum matang yang terbakar matahari.

Kulitnya perlahan menjadi kecoklatan karena terpanggang di bawah paparan sinar matahari langsung. Anehnya, Kak Nando malah bangga dengan kondisinya yang seperti itu.

“Ini nggak seberapa dengan perjuangan pahlawan kita dulu, Ran. Sekarang kita dengan mudah mengibarkan bendera, dulu nggak semudah itu. Ada air mata dan tetesan darah di dalamnya,” jelasnya.

Kalau Kak Nando sudah seperti itu, maka aku akan diam. Mendengarkan dengan seksama.

Lalu, meluncurlah alasannya memilih paskibra sebagai ekskul. Dia selalu bermimpi dapat menjadi pasukan paskibra yang mengibarkan bendera Merah Putih di Istana Negara. Walau mimpi itu tidak pernah terwujud karena Kak Nando tidak lulus seleksi, ia tetap bangga. Setidaknya menjadi petugas di sekolah, sudah mewujudkan impiannya.

Setujukah kalian kalau Kak Nando sangat nasionalisme sekali?


**

“Kak Aldo!”

Aku mengetuk pintu kamar Kak Aldo dengan kuat. Berkali-kali hingga menimbulkan gaduh di pagi yang tenang ini.

Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Memperlihatkan wajah Kak Aldo yang masih setengah mengantuk. Ia menguap lebar sambil mengucek matanya.

“Apaan, sih? Ganggu aja."

“Kak, temenin aku jogging yuk?”

Kak Aldo menguap sekali lagi. Mengibaskan tangannya, mengusirku.

“Nggak! Aku masih ngantuk.

Kak Aldo hendak menutup pintu kamarnya, tetapi dengan cepat aku menahannya.

“Kak, ayolah. Kan kalo hari Minggu gini enaknya jogging. Ya, Kak?” rayuku, tidak menyerah.

Kak Aldo menggeleng.

“Nggak! Udah, sana, ganggu orang tidur aja.”

“Kak, ayolah.”

Aku masih merengek. Bahkan lengan Kak Aldo kini kutarik-tarik.

“Kalau sama aku gimana?”

Aku dan Kak Aldo sontak menoleh ke asal suara. Mataku melebar saat melihat Kak Nando sudah berdiri di hadapanku.

“Kebetulan aku juga mau jogging,” tambahnya.

“Tuh, sama Nando aja. Aku masih mau tidur.”

Melihat aku yang masih melongo membuat Kak Aldo menggunakan kesempatan itu untuk menutup pintu.

“Gimana Ran? Jadi?” tanya Kak Nando.

Aku menghela napas. Karena merasa tidak ada pilihan lain, aku pun mengangguk.

“Ya udah deh, ayo."

Kak Nando tersenyum. Ia mempersilahkanku untuk berjalan di depannya.

Setelah berpamitan dengan Mama, aku pun pergi dengan Kak Nando. Untungnya spot untuk jogging tidak terlalu jauh dari rumahku. Jadi dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit, kami sudah sampai di Kambang Iwak. Tempat yang sering dijadikan untuk jogging pada hari Minggu seperti ini.

Baik aku ataupun Kak Nando tidak ada yang membuka suara.

Aku juga tidak terlalu berminat untuk bicara dengannya sekarang. Takutnya aku masih emosi dan memancing kemarahan lagi di antara kami.

“Ran, mau sarapan?” tawar Kak Nando saat aku berhenti.

Aku menoleh sekilas. Menghapus peluh yang mengalir dengan handuk kecil yang menggantung di leher.

“Sarapan bubur ayam aja yuk, Kak.”

Kak Nando mengangguk sebagai jawabannya.

“Mau bubur ayam yang di mana?”

Ditanya seperti itu membuatku mengedarkan pandang ke sekeliling. Aku tersenyum lebar saat menemukan salah satu penjual bubur ayam.

“Di sana aja, yuk."

Tanpa sadar aku mengamit tangan Kak Nando dan menariknya menuju penjual bubur ayam itu. Namun, baru beberapa langkah, kami seketika harus menghentikan langkah.

Cepat-cepat aku melepaskan genggaman tanganku. Sedikit menjauh dari Kak Nando. Pura-pura tidak mengenalnya.

Di sampingku, Kak Nando melakukan hal yang sama. Bahkan ia mendekati salah satu penjual. Pura-pura tertarik dengan dagangan yang dijajakan.

Tak jauh di dekat kami, aku melihat Kak Mirdan dengan Anisa tengah berjalan berdua. Mereka terlihat tengah tertawa karena kata-kata yang diucapkan Anisa. Entah apa yang tengah mereka bincangkan.

Mereka memang tidak melihat aku dan Kak Nando. Namun, tetap saja kami harus berlakon tidak saling mengenal agar tidak mengundang curiga dua orang itu.

Aku menahan napasku saat Kak Mirdan dan Anisa lewat di hadapanku. Kedua orang sepertinya terlalu asyik bercerita sampai tidak menyadari aku berada di dekat mereka.

Selepas kepergian mereka, aku langsung mengembuskan napas lega. Walaupun begitu, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Kutolehkan kepalaku ke arah dua orang yang masih tertawa itu.

Aku membelalakan mata saat menyadari sesuatu hal. Sepertinya Kak Nando juga menyadari hal itu karena ia langsung menoleh dan memasang ekspresi yang sama sepertiku.

“Anisa itu anak paskib kan, Kak?” tanyaku memastikan.

Melihat ekspresi terkejut Kak Nando, tahulah aku apa jawabannya.

Kalau begitu, berarti bukan aku dan Kak Nando saja yang melanggar peraturan? Namun, Kak Mirdan yang ketua ekskul pramuka juga melanggar peraturan karena berpacaran dengan Anisa yang notabene anak paskib.

Apakah ini suatu pertanda ke arah yang baik bagi hubungan kami? Atau, malah sebaliknya? Aku merasa waktu seolah berhenti berputar.

***

Bentar lagi selesai, tetap stay tune, ya.

Xoxo

Winda Zizty
12 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top