4

Happy reading. 💜

***

Mungkin seharusnya aku tidak mengisi formulir pemilihan ekskul saat hari terakhir MOS berlangsung. Atau bahkan mungkin aku memang tidak usah mendaftar saja di SMA Bakti.

Jujur saja, aku sedikit menyesal memilih ekskul pramuka. Bukan karena aku tidak menyukainya, tapi karena kakak pendampingku saat MOS ternyata salah satu anggota di ekskul pramuka. Masih ingat, 'kan, saat aku berkata ada kakak pendamping yang sering mengedipkan mata ke arahku? Nah, dia orangnya.

Namanya Dani. Orangnya agak selengean dan selalu bertingkah sok kegantengan. Sering menggoda anak cewek yang lewat di hadapannya. Siapa, sih, yang nggak ilfil dengan cowok kayak gitu? Parahnya lagi, Kak Dani ini malah satu ekskul denganku. Bisa bayangkan betapa menderitanya aku di pramuka?

Setiap sore, sepulang sekolah, memang waktu yang diperuntukkan untuk kumpul ekskul. Dan tentu saja hal ini membuatku harus bertemu dengan Kak Dani. Baru saja aku masuk kelas 10.D—yang dijadikan tempat kumpul anak pramuka—Kak Dani langsung mendekatiku. Mengekori hingga aku meletakkan tas di atas meja.

Kuhadiahi dia tatapan tajam yang malah membuatnya terkekeh senang.

Mungkin selain selengean dan sok kecakepan, otaknya juga agak bergeser sedikit. Aku tidak mengerti dan tidak mau tahu apa yang ada di otak Kak Dani.

“Gimana sekolahnya, Cantik?” tanya Kak Dani sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku memutar bola mata dengan malas saat mendengarnya. Kulihat senior yang lain hanya geleng-geleng melihat tingkah Kak Dani.

Kak Dani ini tipe orang yang nggak gampang nyerah. Terbukti dari seringkali aku mengabaikannya, ia masih saja tetap berusaha mendekat, mencari cara agar dapat menarik perhatianku. Hal yang membuatku semakin enggan melihatnya.

Pernah suatu hari ia membawakan air mineral untukku. Tentu saja aku tidak menerimanya karena saat itu aku sedang berpuasa. Air mineral itu pun akhirnya berakhir di tangan Kak Mirdan, ketua ekskul Pramuka. Ingin tertawa, tapi takut dia tersinggung. Bagaimanapun juga, aku tidak sejahat itu.

“Besok, 'kan, hari Minggu, ada waktu nggak?” tanyanya lagi. Belum menyerah melemparkan taktik pendekatan.

Bisa lihat sendiri, 'kan, betapa gigihnya Kak Dani?

“Aku banyak PR, Kak,” jawabku sesopan mungkin. Mengingat Kak Dani adalah senior, aku harus bersikap baik padanya walaupun ia sangat mengesalkan. Padahal jangankan PR, tugas lain pun aku tidak punya.

“Gimana kalau kita kerjain bareng? Aku juga ada PR,” kejarnya.

Aku tersenyum tipis dan menggeleng pelan sebagai jawaban.

“Alah, Dan, sok-sokan belajar bareng. Yang ada juga malah kamu tidur sebelum tugasnya selesai,” cibir Kak Meta yang ternyata mendengar percakapan kami. “Mending nggak usah belajar sama Dani, Ran. Apalagi kalau belajarnya di rumah kamu. Beuh, bisa-bisa makanan di rumah kamu ludes semua.”

“Eh, enak aja!” Kak Dani langsung berseru. Protes.

“Lah, mau ngelak? Kemarin aja pas kerja kelompok di rumah Ari kamu yang duluan makan dari anak-anak yang lain. Tugasnya udah selesai, eh makanannya udah habis karena kamu embat.”

Kak Dani menoleh padaku, tersenyum malu.

“Jangan buka aib di depan Rana dong,” pintanya pada Kak Meta. Aku mengulum senyum melihat wajah memelasnya.

Kak Meta seolah tak peduli. Matanya kini beralih padaku. “Dengerin, ya, Ran, nggak usah mau sama si Dani.” Diliriknya Kak Dani sekilas. “Dia itu nggak modal. Bisa-bisa pas ngajak jalan malah kamu yang bayarin.”

“Meta …,” cicit Kak Dani.

“Bisanya cuma ngegombal. Janjinya nggak bisa dipegang.”

“Meta!” Suara Kak Dani meninggi.

“Kenapa, sih?” Kak Meta mencebik kesal.

“Kok malah ngejelekin temen sendiri, sih? Di depan gebetannya pula.”

“Siapa yang ngejelekin? Emang kenyataannya gitu, ‘kan?”

“Ya, tapi, ‘kan nggak usah gitu juga.”

“Lah, harus dong. Daripada nanti Rana malah tersiksa sama kamu, mending aku peringatin dari awal,” kata Kak Meta, tak mau kalah.

Dua orang itu masih saja adu pendapat. Menyalahkan satu sama lain, bahkan membahas mantan pacar masing-masing. Aku dan anak-anak yang lain hanya bisa melongo melihat Kak Meta dan Kak Dani yang tengah adu mulut.

Sebagai informasi, Kak Meta dan Kak Dani itu sudah berteman sejak SMP. Selain satu ekstrakurikuler, mereka juga berada dalam kelas yang sama. Mereka berdua tidak pernah akur kalau bertemu. Pasti ada saja hal-hal yang akan mereka perdebatkan.

Dan kali ini, akulah yang mereka perdebatkan. Apa mereka lupa aku ada di dekat mereka?

Seharusnya Kak Dani jadian saja dengan Kak Meta. Walau seringkali adu mulut, mereka terlihat cocok kok jika menjadi sepasang kekasih. Lagian, kalau seperti itu kan Kak Dani otomatis berhenti mendekatiku.

Setuju?

***

Setuju nggak, nih, sama Rana?

Xoxo

Winda Zizty
14 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top