12

Happy reading. 💜

***

Aku kira Kak Nando terlalu sibuk dengan Kak Meitha dan tidak melihat Kak Mirdan dan Anisa di taman. Nyatanya, Kak Nando langsung menarik tanganku saat aku mengembalikan buku di perpustakaan.

Raut khawatir tercetak jelas di wajahnya. Ia membawaku ke salah satu lorong sepi di antara rak-rak buku lama. Tempat yang jarang didatangi murid karena mereka sudah lebih dulu malas melihat sampul buku yang menguning dan sobek di sana-sini.

“Aku nggak tahu apa yang dipikirin Mirdan, tapi dia seperti sengaja melakukannya.” Kak Nando menatapku lekat, walau sesekali matanya menatap sekeliling. Berjaga-jaga.

“Mungkin udah saatnya permusuhan itu berakhir, Kak,” kataku, nyaris berbisik.

“Iya kalau berakhir, gimana kalau malah itu akan memperparah keadaan?” tanya Kak Nando dengan suara tak kalah pelan.

“Kak, apa salahnya, sih, ada anak paskib yang pacaran sama anak pramuka?” ujarku frustrasi.

“Ran, emang nggak salah, tapi—”

“Tapi apa, sih, Kak?” desisku. “Mereka itu egois. Seenak jidat ngelarang anak paskib buat pacaran sama anak pramuka. Emang mereka siapa?”

“Ran, dengerin aku dulu.” Kak Nando memegang kedua bahuku. Memaksaku menatapnya. “Mereka nggak egois, Ran. Mungkin emang ini demi kebaikan semua orang.”

“Kebaikan apa yang Kakak maksud?” Aku tersenyum miring.

“Ran, apa semua hal harus menjadi benar di mata kamu?” Kak Nando balik bertanya.

Aku mengernyit karena tidak mengerti maksudnya. Ku tatap Kak Nando lekat, menuntut penjelasan lebih lanjut.

“Kamu nggak ngerti, Ran. Coba bayangkan, ketua masing-masing ekskul ternyata melanggar aturan itu. Apa kamu tahu apa yang akan terjadi?” Perlahan aku menggeleng. “Akan terjadi perang antar ekskul, Ran. Oke, mungkin terlalu berlebihan kalau aku menyebutnya perang. Tapi, kamu harus tahu Ran, kalau ketuanya saja melanggar peraturan, pasti anggota yang lain akan menerima akibatnya.”

“Tapi, apa salahnya kalau kita pacaran, Kak? Itu nggak mengganggu kegiatan ekskul sama sekali,” ucapku ngotot.

Kak Nando menghela napas lelah. Mungkin ia kehabisan kata-kata untuk menjelaskan padaku. Aku menatapnya sedih. Tidak tega juga melihatnya seperti ini.

“Mungkin sedari awal kita nggak usah pacaran aja, Kak.”

“Ran, apa benar itu semua?”

Bukan Kak Nando yang menjawab ucapanku, tapi sebuah suara di belakangku lah yang menjawab.

Seketika aku menoleh. Terbelalak lebar seperti maling yang tertangkap basah tengah mencuri saat melihat Nadia berdiri tak jauh di dekatku. Ia terlihat kaget, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Yang aku denger itu, apa benar?” Nadia menatapku dan Kak Nando bergantian. “Kalian pacaran?”

Aku tak berkutik saat melihat tatapan Nadia. Aku seakan lupa kalau aku ke perpustakaan bersama Nadia.

“Kalian… pacaran?” ulangnya sekali lagi.


***


Aku tau, tertangkap basahnya aku dan Kak Nando di perpustakaan tadi tidak akan membuat Nadia membungkam mulutnya. Seperti yang sudah aku duga, Nadia langsung memberondongku dengan segala pertanyaan. Bahkan hingga jam sekolah berakhir.

“Ran, aku masih butuh penjelasan,” katanya sambil memposisikan tubuhnya untuk bersisian denganku.

Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Dengan kesal aku berbalik dan menatapnya.

“Emang wajib, ya, aku kasih tahu ke kamu?”

“Ran, ini bukan masalah wajib atau nggaknya kamu cerita ke aku. Ini demi kebaikan kamu juga.”

Aku tersenyum miring.

“Kebaikan apa lagi yang kamu maksud? Aku udah capek denger alasan yang sama. Ujung-ujungnya mereka bilang semua ini untuk kebaikan aku.”

“Tapi ini emang untuk kebaikan kamu, Ran.”

Aku mengibaskan tangan. Memilih mengabaikan Nadia dan meneruskan langkah yang sempat terhenti.

“Rana!” Nadia berhasil mencekal tanganku. Membuatku berhenti seketika.

“Apa?”

Nadia menatap sekeliling koridor yang sepi. Matanya beralih padaku tak lama kemudian.

“Kalau ketua paskib dan pramuka sama-sama melanggar peraturan, gimana reaksi anggota yang lain?” Aku memutar bola mata, tak suka. “Maksud aku—”

“Nad, setop! Oke aku emang pacaran sama Kak Nando dan seperti yang kita lihat di kantin tadi, sepertinya Kak Mirdan juga pacaran sama Anisa. Kami sama-sama melanggar peraturan konyol itu. Apa yang salah dari semua ini?”

Nadia  hendak membuka suara, tetapi suara lain langsung membungkam mulutnya.

“Kak Mirdan pacaran sama Anisa yang anak paskib itu?”

Kak Dani terbelalak kaget, di sampingnya, Kak Meta juga menampakkan ekspresi yang sama. Lebih gawatnya lagi dari balik punggung Kak Dani aku melihat Kak Mirdan tengah berjalan ke arah kami.

“Rana, apa yang kami dengar itu benar?” Kak Meta ikut bertanya karena aku masih bungkam.

Dapat kurasakan Nadia di sampingku menegang. Tangannya yang menggenggam erat tanganku terasa begitu dingin. Rasanya seperti menggenggam es batu yang baru dikeluarkan dari lemari pendingin.

“Ada apa ini?” Kak Mirdan sudah berdiri di dekat kami.

Kami seketika menoleh. Aku merasa sangat bersalah saat melihat ekspresi kebingungan di wajah Kak Mirdan.

Kak Dani langsung memutar tubuhnya menghadap Kak Mirdan.

“Dan, kamu sama Anisa pacaran?” tembaknya langsung.

Kak Mirdan terlihat terkejut. Tak lama ia berdeham, ekspresinya langsung berubah seketika.

“Kata siapa aku pacaran dengan Anisa?” Kak Mirdan menatap kami satu persatu. “Ada yang bisa membuktikannya?”

Aku masih bergeming. Sebenarnya aku ingin meledak marah mendengar jawaban Kak Mirdan. Namun, mengingat aku juga berada di posisi yang sama dengannya, alih-alih marah aku malah memaklumi.

“Apa foto ini bisa menjadi bukti?”

Kami langsung menoleh ke asal suara.

“Aryo?” Kak Mirdan terbelalak kaget.

“Aku punya beberapa foto kebersamaan Mirdan dan Anisa.” Kak Aryo—wakil ketua ekskul pramuka—menyodorkan ponselnya yang langsung diambil Kak Meta. Pandangannya kini mengarah padaku. “Bukan hanya Mirdan dan Anisa, tapi juga foto Nando dan Rana.”

Kak Dani langsung menoleh padaku. Menatapku dengan tatapan meminta penjelasan.

Aku berdiri dengan gelisah saat ponsel itu kini berpindah tangan. Kak Meta menatapku dengan tak percaya. Ekspresi Kak Dani juga tak jauh berbeda. Bahkan ia terlihat terpukul dan terluka.

“Ran, kenapa harus Nando yang jadi pacar kamu?” Ada kegetiran yang kutangkap dari nada bicara Kak Dani.

Aku menunduk. Tidak tega menatap Kak Dani.

“Di antara banyak cowok di sekolah ini, kenapa kamu memilih dia? Kenapa harus cowok dari ekskul paskib?”

“Dani, Rana nggak salah.” Kak Meta berusaha menenangkan. “Mirdan, sebaiknya kita perlu mengadakan rapat.”

Kak Mirdan mengangguk lemah. Tahu ia tidak bisa mengelak.

“Bersama paskib.” Kak Meta menekankan kalimatnya.

Saat ini yang aku inginkan bukan rapat yang diusulkan Kak Meta, tapi pergi sejauh mungkin dari hadapan mereka. Entah kenapa, aku merasa begitu takut kali ini.

***

Bentar lagi ending, nih. Udah tahu belum endingnya gimana?
Kira-kira, gimana, ya, hasil rapat di episode selanjutnya?

Stay tune terus, ya.

Xoxo

Winda Zizty
15 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top