1
Pagi ini rasanya sangat mendebarkan. Walaupun ini sudah hari ketiga MOS diadakan, tapi tetap saja rasa deg-degan itu masih ada. Terlebih saat ekor mataku mengikuti setiap gerak tubuhnya yang tak sengaja tertangkap di pandangan.
Bukan karena aku takut pada para senior yang sekarang tengah berdiri di hadapan kami. Bukan pula karena aku tengah naksir dengan salah satu senior yang menjadi kakak pendamping kelompokku.
Euh, memikirkannya saja membuat perutku mulas. Bagaimana tidak? Salah satu senior laki-laki yang menjadi pendampingku ini seringkali mengedipkan mata ke arahku. Memangnya dia pikir aku suka digituin?
Ketahuilah, aku merasa deg-degan karena takut mereka akan memusuhiku dan menganggapku memberontak. Takut sesuatu akan berdampak buruk karena pilihan yang sudah lama aku pilih.
Apalagi setelah mendengar cerita Nadia yang sekarang berada di sisi kiriku. Aku semakin takut dan ragu dengan pilihan yang aku torehkan di atas sebuah kertas yang kini aku genggam erat-erat. Apakah semua akan baik-baik saja?
Sekali lagi, kutolehkan mata ke arahnya yang berdiri di dekat tiang bendera. Terkesiap saat mata kami bersirobok. Cepat-cepat aku menunduk. Menggigit bibir dan tanpa sadar meremas kertas yang kugenggam. Lagi, kulemparkan pandang ke arahnya. Dan ekspresinya masih sama. Datar seperti biasa dengan tangan yang bersedekap.
“Ran ….”
Aku tersentak saat Nadia menjawil lenganku. Aku menoleh seketika dan menghadiahinya kernyitan di dahi.
“Apa?”
“Kertasnya dikumpul,” bisiknya sambil menunjuk kertas di tanganku dengan gerakan mata.
“Ah, ini ..,” kataku tergagap. Aku terbelalak saat menyadari kertasku kini sudah kusut dan agak lecek. Cepat-cepat kuberikan kertas itu pada Nadia yang menggeleng melihat tingkahku.
“Ngelamunin apa sih sampe hilang fokus gini?” tanya Nadia.
“Nggak ngelamunin apa-apa kok,” kilahku.
Aku tak menggubris Nadia. Gantinya, aku kembali menatap orang itu diam-diam. Merasakan jantungku berdegup semakin kencang saat melihatnya tengah membaca kertas yang telah dikumpulkan dari kelompok yang ia dampingi.
“Ngeliatin kakak itu lagi?” Kali ini kata-kata Nadia mampu membuatku mengalihkan pandangan.
“Ngeliatin siapa?” tanyaku, pura-pura tidak tahu.
Aku sebenarnya tahu siapa yang Nadia maksud. Namun aku pura-pura saja tidak mengerti dengan maksud perkataan Nadia. Tidak mungkin juga, kan, aku mengatakan yang sejujurnya pada gadis itu?
“Pura-pura nggak tahu!” cibirnya. “Aku tahu, kamu sering banget ngeliatin Kak Nando dari awal perkenalan.”
Nadia tersenyum lebar sambil menaikkan alisnya. Seolah berkata bahwa ucapannya benar. Dan lagi-lagi aku menggeleng dan terus mengelak.
“Ih, nggak! Dasar sok tahu!” Aku mencoba tertawa. Menghalau jantungku yang semakin berdetak cepat, juga agar Nadia memercayai ucapanku.
Wajah Nadia tiba-tiba mendekat. Kedua tangannya yang sedikit gempal langsung memutar kepalaku menghadap tiang bendera. Ke arah orang itu yang masih sibuk membolak-balik kertas di tangannya.
“Kak Nando emang cool, kayak Rangga di AADC. Bedanya Rangga keriting, dia nggak. Kak Nando itu sawo belum mateng yang kebakar sinar matahari, sedangkan Rangga nggak.”
Perumpamaan yang dibuat Nadia sontak membuatku tersenyum geli.
“Kalau kamu mau deketin Kak Nando, kamu tahu, kan, harus gimana?”
Nadia menatapku lekat. Aku tahu maksud dari kata-kata Nadia.
“Emang siapa yang mau deketin Kak Nando, sih?” tanyaku. Dengan gusar aku memilin ujung kemejaku yang terlipat rapi.
“Ya, kan, aku nggak tahu siapa aja yang bakal deketin Kak Nando. Mungkin kamu salah satunya.”
“Nggaklah,” kataku pelan.
“Kamu inget, kan, sama cerita aku kemarin? Tentang anak pramuka sama anak paskib?”
Aku merutuki Nadia karena mengungkit hal ini. Tanpa ia ingatkan pun aku sudah tahu dengan cerita itu. Permusuhan antara ekskul pramuka dengan ekskul paskibra yang dimulai dari senior sebelumnya.
Salah satu faktor yang membuatku begitu takut dengan pilihanku.
“Kalau mau pacaran sama anak paskib, jangan jadi anak pramuka. Begitu juga sebaliknya.”
Oh Tuhan, kali ini aku benar-benar ingin menutup mulut Nadia dengan lakban!
“Iya, bawel ih!” cebikku kesal
.
Nadia terkekeh. Pipinya yang tembam membuatku ingin sekali mencubitinya hingga memerah.
“Cuma mengingatkan,” ucapnya sambil cengengesan.
***
Bab awal, semoga suka.
Xoxo
Winda Zizty
1 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top