Chapter 8

Selamat datang di chapter 8

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai juga apabila ada typo yah (Saya adalah ratu typo)

Thanks

Btw, promo terselubung dulu ya muehehe

The Billionaire's Secret H-2 PO nih, yuk buruan dipesan, daripada nanti menyesal loh kalau ketinggalan.

Cara pemesanannya gampang banget, cukup klik link ini http://toko.ly/prospecmedia

Atau kalau kelen bingung, dm saya aja, entar saya bantu pesenin.

Oh ya, untuk yang pengen jadi reseller atau dropshipper novel ini atau novel2 saya yang lain, bisa langsung dm saya ya? Ada harga khusus untuk itu 😉

Well, Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Apakah mereka tidak tahu bahwa kenyataan yang disembunyikan setengah-setengah selalu mampu memicu ketertarikan manusia untuk menguliknya hingga tuntas?

William Molchior

______________________________________________

“Dom, boleh aku bicara dengan Mia?”

Sepeninggalan Scarlett, William yang dilingkupi suasana tak nyaman pada hati serta pikirannya dan masih bertahan di mobil pun akhirnya memutuskan menelepon kakak laki-lakinya untuk bertanya tentang Scarlett pada Mia. Beruntung, Dominic cepat mengangkat teleponnya.

“Apa yang ingin kau bahas dengan istriku malam-malam seperti ini, Will?” Dominic balik bertanya dengan nada rendah. Menimbulkan decak sebal dari indra pengecap William. Rupanya, ini bukan hanya sekadar keberuntungan. Melainkan permulaan pertarungan sebelum memenangkan dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Yakni, informasi akurat perihal Scarlett.

“Ayolah, Dom. Aku hanya ingin bertanya soal Scarlett Delillah. Dan sekarang baru jam setengah sembilan malam! Belum terlalu malam untuk ukuran bayi raksasa sepertimu atau Mia!” semprot William sebab sudah sangat lelah menghadapi kakaknya yang terlalu posesif terhadap sang istri. Demi apa pun, tidak ada niatan sedikit pun bagi William untuk menggoda Mia. Dan berapa kali pun William menekankan hal itu, kakaknya masih saja tidak percaya.

“Oh! Menyejutkan, Will. Masih bahasan yang sama. Kupikir kau sudah akan ganti wanita,” sindir Dominic. “Well, batas Mia boleh berbicara di telepon dengan pria adalah jam delapan.”

“Ck. Sudahlah, Dom. Di mana Mia? Aku ingin bicara dengannya. Kalau kau takut aku menggoda istrimu, nyalakan saja pengeras suara dan dengarkan obrolan kami seperti kau mendengarkan obrolan kami beberapa saat lalu.”

Lazimnya, William akan selalu menggunakan bakal obrolan dengan candaan atau menggoda Dominic hingga kakak laki-lakinya yang dingin nan kaku itu marah dan William mendapat kepuasan tersebut. Untuk saat ini—dan tanpa ia sadari sudah kesekian kali—ia tidak sedang dan tidak ingin bercanda.

“Baiklah ..., baiklah ....”

Diam-diam William merasa lega sebab tidak lama kemudian, Dominic sudah menyerahkan ponsel pada Mia.

“Halo, Will.”

“Tidak usah basa-basi dengan adikku, Mommy.” Terdengar teriakan Dominic dari seberang sambungan.

Demi Neptunus! Ingin sekali William mengikat kakaknya di tiang penanda lubang masuknya bola golf supaya bisa bebas mengobrol dengan Mia. Apakah karena selama ia hidup terlalu banyak bercanda sehingga sekali-kalinya William sedang mode serius, alam semesta selalu mempersulitnya?

“Jangan dengarkan kakakmu, Will. Dia memang begitu,” ucap Mia.

“Aku tahu. Aku sudah mengenalnya seumur hidup. Well, Mia. Boleh aku bertanya sesuatu padamu?” Tanpa ingin memperpanjang urusannya yang berhubungan dengan Dominic, William segera masuk ke topik inti.

“Apa itu, Will?”

“Soal Scarlett Delillah,” ungkap William dengan nada pelan. Matanya pun memejam dengan punggung yang menempel pada sandaran kursi serta satu tangan yang bebas ia gunakan untuk memijit pangkal hidung.

“Ada apa dengan Scarlett? Bukankah aku sudah bilang padamu, Will, silakan kau permainkan wanita mana saja. Aku tidak peduli, tapi jangan Scarlett,” pinta Mia. “Mungkin kedengarannya aku terlalu ikut mencampuri urusan percintaan Scarlett. Tapi karena aku sahabatnya, aku juga yang harus melindunginya darimu, Will.”

William kembali berdecak. Besar keinginannya untuk berteriak pada Mia dan memberitahu bahwasanya ia sudah meminta maaf pada Scarlett soal sikap kurang ajar yang pernah ia lakukan pada ibu Jenna tersebut. Namun, tentu saja William tidak bisa melakukannya. Bila itu terjadi, dapat dipastikan Mia akan langsung menilainya mempermainkan Scarlett—meski mulanya ia berencana demikian—dan Mia tidak akan mungkin mau memberitahunya soal Scarlett.

“Aku hanya ingin bertanya, apa kau tahu siapa ayah kandung Jenna?”

Pertanyaan dari William jelas sangat mengejutkan bagi Mia sebab jawabnnya begitu berkaitan erat dengan dirinya. Dominic yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka pun langsung mengambil alih.

“Halo, Will. Dengarkan aku! Jangan pernah kau tanyakan hal itu lagi pada istriku! Yang harus kau tahu, pertanyaan itu sangat sensitif bagi Mia. Dan kau juga tahu Mia sedang hamil muda. Aku tidak ingin dia terbebani dengan—”

“Ayahku sudah tidak apa-apa, Daddy. Jadi, kurasa aku—”

Mommy, tidurlah. Biarkan aku bicara dengan adikku.”

William kontan membuka mata. Ia yang semula sudah bingung sekarang bertambah bigung begitu mendengar suami istri di ujung sambungan malah beradu argumen perkara pertanyaan yang seharusnya sangat sederhana dan bisa dijawab singkat saja.

Ada apa sebenarnya? Kenapa kakak iparnya juga menjadi sensitif soal pria tolol yang menghamili Scarlett? Dan apa hubungannya dengan ayah Mia yang sudah tidak apa-apa? Memangnya ada apa-apakah sebelumnya?

Sibuk mereka-reka segala kemungkinan tetapi jelas tidak ada satu pun yang mendekati kebenaran, suara Dominic menarik William dari pikirannya.

“Halo, Will. Apa kau masih mendengarku?”

“Iya, Dom. Aku menunggu kau selesai mengobrol dengan Mia,” jawab William.

“Dengar. Aku tekankan sekali lagi. Jangan pernah menanyakan hal itu pada Mia.”

“Tapi kenapa? Bukankah dia hanya perlu menjawab siapa ayah kandung Jenn—”

“Selamat malam, Will.”

Dan sambungan telepon pun disudahi Dominic.

William mengeram dan bertambah kesal. Ada apa dengan semua orang? Ada apa juga dengan dirinya? Kenapa pria tolol yang menghamili Scarlett malah menjadi beban pikirannya? Apakah karena pria itu yang mengakibatkan gagalnya rencana William unuk menggiring Scarlett ke ranjang? Ya. Pasti karena itu.

Namun, bukankah ia sudah tidak lagi memikirkan perkara penghangat ranjang setelah melihat Scarlett menangis dan mendengar pengakuan wanita itu?

Menemukan kebuntuan, William mengusap wajah secara kasar kemudian memutuskan untuk naik ke rooftop. Siapa tahu dengan berkumpul bersama teman-temannya, ia bisa menendang pikirannya tentang segala hal yang berhubungan dengan Scarlett. Entah Scarlett yang belum sempat ia tanyai kenapa bisa berada di gedung ini, atau seluruh pengakuan wanita itu yang sukses membuatnya nyaris tidak mengenali dirinya dengan sikap yang ia lakukan sekarang.

Tiba di rooftop, Loven Loye yang kebetulan lebih dulu melihat William langsung menyapanya. “Hei, Dude. Akhirnya kau datang juga.”

Pria berambut pirang itu memberi pelukan ala lelaki sekilas kemudian melihat William celingukan.

“Di mana Bellen, Lov?”

Satu embusan napas berat keluar dari hidung serta mulut Loven. “Dia ke toilet sebentar. Kurasa dia hampir menangis karena tunangannya batal datang.”

William melebarkan mata. Sambil mengikuti Loven berjalan ke meja-meja bundar dan menduduki salah satu kursinya, ia memberi komentar candaan. “Padahal aku ingin melihat apakah ada pria yang bisa mengalahkan pesonaku di mata Bellen.”

Loven langsung mencibir sambil menyesap minumannya. “Entahlah. Bellen juga belum pernah mengajak tunangannya ke acara keluarga kami. Jadi aku belum bisa memberi penilaian.”

“Oh! Bukankah itu aneh?” Kedua alis William mengeryit.

Angin semilir menerpa rambut keduanya sehingga terlihat seperti menari. Dan Loven pun mengedikkan bahu. “Yah ... aku hanya bisa berpendapat mereka sama-sama masih kecil dan terlalu terburu-buru untuk memutuskan menikah. Kau lihat sendiri bagaimana sifat Bellen.”

William mengangguk tetapi tidak lanjut berkomentar karena pandangannya menelisik ke seluruh rooftop untuk mencari sesuatu yang bisa ditenggak. Sesuatu yang berefek keras, seperti minuman beralkohol.

Pada saat pengelihatan William menangkap seseorang yang dikenalnya tengah berdiri di dekat meja kudapan, ia mengernyit untuk memastikan gudgaannya salah atau tidak.

Loven pun mengikuti arah pandangan William lantaran mendengkus sambil tertawa. “Oh, menemukan target rupanya. Seperti biasa ya, Will. Berambut pirang? Ngomong-ngomong, namanya Hillary Fin.”

Ada suatu perasaan lega dalam diri William ketika mengetahui kenyataan itu. Setidaknya alasan kenapa Scarlett bisa berada di sini pun terjawab. Dan satu yang harus ia lakukan. Yaitu menggali informasi dari Hillary soal Scarlett. Meski pegawai toko roti Bake Me Up itu belum tentu tahu siapa ayah kandung Jenna, tetapi, bukankan mencoba bertanya dulu itu lebih baik daripada sisa-sisa memenuhi ruang kosong dalam otaknya yang terpenuhi oleh rasa penasaran terhadap Scarlett?

William lalu berpamitan pada Loven tanpa memutus tatapannya pada Hillary Fin. “Hei, Dude. Boleh aku ke meja kudapan sebentar?”

“Haha dasar!” Beruntungnya Bellen sudah putus dengan William sehingga Loven tidak perlu menyiram whiskey ke rambut sahabatnya yang play boy tersebut. Ia tidak bisa membayangkan bagaiamana bila itu terjadi. Persahabatannya sudah pasti rusak akibat membela adiknya yang tersakiti oleh sikap William.

Sementara Loven sibuk menyesap minumannya sambil memutuskan untuk bergabung dengan temannya yang lain, kedua kaki William menderap ke arah meja kudapan. Masih ada beberapa orang yang ada si sana untuk mencicipi kue-kue pesta dan bertanya pada Hillary. Untuk sejumlah waktu yang singkat, akhirnya William bisa mendekati pegawai Bake Me Up tersebut setelah ditinggalkan sendirian.

“Halo, Miss Fin?” sapa William dengan jurus senyuman maut yang memperlihatkan lengsung pipinya pada Hillary.

Wanita itu lantas mendongak dan balas menyapa William dengan senyum cerah setelah berhasil mengatasi rasa kegetnya ketika mendapati pria itu berada di sini. “Halo juga, Mr. Molchior, apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku diundang Loven Loye,” jawab William sambil menunjuk Loven yang tengah mengobrol dengan seseorang.

Hillary mmebuka mulutnya membentuk huruf O tanpa menyuarakannya begitu melihat Love Loye lalu mendengar pria di hadapannya berdeham sekali.

Well, kurasa Bake Me Up sangat sibuk. Apakah benar begitu?”

“Ya ... tapi Boss Scarlett sangat pantas menggaji karyawan.”

Pria bermata hijau zambrut itu kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Begitu rupanya.” Sekali lagi William berdeham. Entah kenapa ia menjadi gugup seperti ini hanya karena akan bertanya, “Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Miss Fin?”

“Apa itu?” tanya Hillary yang mulai antusias.

“Ini soal Miss Delillah,” ungkap William setelah sempat berpikir selama beberapa detik untuk yakin bertanya soal ini atau tidak.

Hillary pun terpaksa menarik kedua sudut bibirnya ke atas untuk mengukir senyum palsu. Bukan karena tersinggung, melainkan karena berusaha menduga-duga jenis pertanyaan apa yang akan terucap oleh bibir William. Apabila perihal toko roti, tentu William bisa langsung bertanya padanya. Kalau tidak, ia harus menahan diri supaya tidak keceplosan membocorkan segala sesutatu tentang Scarlett pada orang lain.

“Apa yang ingin kau tanyakan soal Bossku?” Hillary bertanya secara hati-hati.

Entah kenapa tenggorokan William menjadi kering sehingga mengharuskannya menelan ludah dengan susah payah dan berdeham. “Sebenarnya ini soal Jenna.”

Jantung keduanya pun sama-sama mengentak-entak. Hillary yang takut dan memutuskan untuk menunggu William bicara. Sedangkan pria itu mati-matian mengesampingkan kegugupannya untuk merangkai beberapa kata yang membentuk kalimat tanya. “S-siapa sebenarnya ayah kandung Jenna?”

Senyum palsu di wajah Hillary kontan luntur seketika. “Apa alasanmu bertanya soal itu?”

“Bukankah pertanyaanku sangat sederhana, Miss Fin? Kenapa malah berbalik tanya?” canda William dengan tawa kecil yang berusaha ia bentuk sealami mungkin.

“Maaf, aku tidak bisa membocorkan informasi yang bersfat pribadi, Mr. Molchior.” Hillary menghela napas lega sebab tidak keceplosan.

William menarik oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida secara kasar sambil memandang sekeliling sebelum fokus kembali ke Hillary.

Kenapa semua orang seakan bekerja sama dalam menyembunyikan identitas ayah kandung Jenna? Apakah mereka tidak tahu bahwa kenyataan yang disembunyikan setengah-setengah selalu mampu memicu ketertarikan manusia untuk menguliknya hingga tuntas? William Molchior merupakan salah satu manusia yang memiliki sifat itu—khusus dalam hal ini.

Setelah dipikir-pikir, kenapa pula William sangat penasaran siapa ayah kandung Jenna? Kalau sudah tahu, lalu apa yang akan ia lalukan? Menghajar atau merontokkan gigi-gigi pria tolol itu sampai ompong melompong?

“Aku baru saja bertemu dengan Bossmu yang sedang menangis Di basement. Saat aku menanyakan penyebabnya, dia bercerita soal ayah kandung Jenna dan kejadian yang menimpanya,” papar William secara singkat dengan suara pelan tetapi penuh penekanan untuk mengisyaratkan bahwa ia sangat serius dan membutuhkan jawaban itu sekarang.

“Bossku menangis dan menceritakan hal itu padamu?” tanya Hillary yang melotot karena begitu kaget mendengar hal itu. “Kau yakin?”

“A billion percent sure. So, you gonna tell me or not?”

“Sulit dipercaya. Padahal Boss tidak pernah menangis di hadapan siapa pun atau menceritakan itu pada siapun dan melarangku untuk memberitahu siapa pun tentang hal itu.”

Lagi pula, tanpa dilarang Scarlett sekalipun, sebagai sahabat, Hillary pasti tidak akan menceritakan itu pada siapa pun termasuk pegawai Bake Me Up yang lain. Sedangkan Andy dan George memang sudah tahu tetapi mereka juga sudah diwanti-wanti supaya tidak membocorkan hal ini.

“Kenapa Bossku bisa menangis?” imbuh Hillary.

“Dia baru saja bertemu dengan ayah kandung Jenna,” aku William.

Tanpa jeda, Hillary tercengang. Jadi, Regis Mondru ada di gedung ini juga?,Astaga, padahal ia tadi baru saja membicarakannya drngan Scarlett. Tidak heran kalau Bossnya itu bisa sampai menangis.

“Jadi, siapa ayah kandung Jenna?”

Pertanyaan William yang berusaha menahan diri untuk tidak berteriak kesal membuyarkan acara tercengangnya Hillary. Beruntungnya ia tidak keceplosan menyebut nama Regis.

Hillary tampak berpikir sebentar. Selama ini beberapa orang memang tertarik pada Scarlett dan selalu berusaha mendekati Bossnya memalui dirinya, Andy dan George. Namun, setelah tahu Scarlett memiliki Jenna, semua pria itu mundur. Tidak ada kejadian di mana  ada seorang pria yang tahu soal kejadian Scarlett apalagi Scarlett sendiri yang memberitahunya. Pikiran Hillary pun menyimpulkan bahwasanya Scarlett pasti mempercayai atau tertarik pada William. Jadi, untuk memastikan, ia pun bertanya, “Apa kau tertarik pada Bossku sehingga menanyakan itu untuk mendekatinya?”

“Pertanyaanmu tidak adil, Miss Fin. Lagi pula siapa yang tidak tertarik dengan Miss Delillah dan juga kau? Kalian sama-sama memiliki pesona yang kuat.”

Makan saja bualanku, lanjut William dalam hati. Namun, ia tidak tahu bila Hillary yang tersenyum lebar bukan karena termakan bualannya, melainkan karena merasa William sangat lucu ketika menutupi perasaannya. Yang harus Hillary lakukan hanyalah bersikap biasa supaya tidak membocorkan hal tersebut.

“Eh, padahal aku baru akan berpikir untuk memberitahumu soal—”

“Oke. Aku tertarik pada Bossmu. Jadi, bisa kau membetitahuku soal ayah kandung Jenna?” todong William yang sudah gemas setengah mati.

Hilalry buru-buru menahan tawanya agar tidak meledak. “Mr. Molchior, maaf soal itu aku tidak berhak memberitahunya selain Bossku.” Hillary mengangkat tangan kiri sejajar wajah untuk memberi isyarat pada William supaya menyimpan protesnya dulu. “Sebagai gantinya, aku akan memberitahu sesuatu yang menguntungkanmu untuk mendekati Bossku. Dengan satu syarat.”

“Apa itu? Katakan saja. Pasti akan kupenuhi syaratnya.” Tanpa pikir panjang, William segera menyanggupi.

“Tidak akan sulit, malah menurutku sangat mudah. Aku hanya memintamu untuk tidak mempermainkan perasaannya. Kau tahu, aku hanya berharap Bossku mendapatkan pria yang tepat.”

“Itu mudah. Jadi, apa yang akan kau beritahu padaku soal Scarlett?”

“Besok lusa, datang saja ke Clinton St. Baking Company jam empat sore.”

______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah vote, komen, atau pun benerin typo

Kelen luar biasa

Btw tim kelen tim mana?

Tim Buaya Bang Kiwill?

Atau tim singa Bang Regis?

Well, bonus foto Scarlett dan Jenna (Anggep aja, matanya Jenna kayak regis ya)

See you next time teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

28 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top