Chapter 7
Selamat datang di chapter 7
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (hobi)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
______________________________________________
People should be able to say how they feel
How they really feel
Not some words that some strangers put in their mouths
—500 Days of Summer
______________________________________________
“Ms. Delillah, apa yang terjadi?” William panik dan bertanya sembari mengikuti Scarlett yang terburu-buru keluar elevator.
Wanita itu menunduk sambil berusaha mengusap kasar air matanya menggunakan punggung tangan kiri. Sungguh, ia tidak berharap bertemu siapa pun sekarang, termasuk William sekali pun. Ia hanya berencana kembali ke mobil dan menenangkan diri selama beberapa saat sebelum menjemput Jenna. Bukan untuk meladeni William. Jadi, Scarlett mempercepat langkahnya tetapi penuh kehati-hatian menuju mobilnya.
“Ms. Delillah. Tunggu sebentar,” sergah pria itu yang kini sudah menghadang jalan Scarlett.
Wanita dengan balutan pakaian serbamerah muda tersebut berusaha melangkah ke kanan dan kiri, tetapi William mengikuti gerakannya. Geram sebab tidak kunjung bisa lepas, Scarlett yang masih menunduk pun meminta, “Tolong biarkan aku lewat, Mr. Mohior.”
Astaga, betapa William ingin tertawa keras karena sudah berapa kali ia berjumpa dengan Scarlett dan dalam keadaan seperti ini pun, nyatanya wanita itu masih saja keliru memanggil nama belakangnya.
“Sudah kukatakan kau bisa memanggilku William. Tapi, bukan itu bagian pentingnya. Apa yang terjadi denganmu?” tuntut William. Kedua tangan pria itu membuka hendak menyentuh kedua bahu Scarlett. Berhubung ia membayangkan suami wanita itu sedang mengawasinya bagai ular yang mengintai katak untuk dimangsa, pemilik iris hijau zambrut tersebut jadi tidak berani malakukannya.
Setelah William pikir-pikir, kenapa ia harus menggunakan perumpamaan ular sebagai suami Scarlett dan katak sebagai dirinya? Kenapa tidak sesuatu yang lebih elegan untuk mengibaratkan sesuatu untuknya? Misalnya seperti singa yang mengintai kerbau. Ah, itu aneh. Bukan singa jantan yang berburu mangsa di savana, melainkan yang betina. Dan apa? Kerbau? Kenapa harus ia yang jadi kerbau? William jadi membayangkan kerbau yang berkubang di lumpur untuk mendinginkan badan dari panas savana seperti yang pernah ia tonton di Discovery Chanel yang menyuguhkan acara fauna. Namun, sekali lagi, bukan itu yang harus ia pikirkan sekarang.
“Menyingkirlah! Aku harus menjemput Jenna!” Rasa sakit yang semula bernaung dalam hati Scarlett sudah berganti menjadi rasa jengkel pada William.
Sedangkan pria itu malah memelotot. “Di mana kau mau menjemput Jenna? Maksudmu, dalam keadaan seperti ini?”
“Demi apa pun itu bukan urusanmu!” pekik wanita yang wajahnya kacau balau. Secakacau emosinya. Sekali lagi Scarlett memindah berat tubuh ke kiri, William pun masih rajin mengikutinya. “Ya Tuhan! Apa yang kau inginkan dariku?”
“Aku hanya ingin mengusulkan sebaiknya tenangkan dirimu dulu baru berkendara menjemput Jenna. Atau kau bisa meminta tolong suamimu kalau dia sedang tidak sibuk. Ngomong-ngomong, di mana dia sekarang? Kenapa membiarkanmu melakukan hal-hal semacam itu sendirian?”
Pertanyaan beruntun yang dilayangkan William membuat Scarlett berhenti bergerak. Kepalanya pun terangkat dan sepasang manik cokelat gelapnya menatap pria itu. Sayang sekali pandangannya harus kabur akibat air mata yang kembali tumpah. Jujur saja, pertanyaan William soal suami membuat Scarlett teringat Regis Mondru dan segala sesuatu yang diakibatkan pria itu.
Seandainya Regis tidak seperti itu dan mau bertanggung jawab, pasti sekarang mereka sudah menjadi suami istri.
Scarlett menghela napas memlalui hidung dan mulut. Ia juga mengerap untuk menghalau air mata, berikut menggigit bibir bagian dalamnya sambil menekan dadanya menggunakan kepalan tangan kanan. Ia juga tidak tahu kenapa harus menumpahkan butiran-butiran bening hasil produksi indra pengelihatannya di depan William. Seseorang yang seharusnya berada di urutan ke sekian yang ia pikir akan melihatnya dalam keadaan kacau seperti ini.
Scarlett tahu, William tidak salah saat menanyakan hal tersebut karena pria itu jelas tidak tahu apa pun tentangnya. Terbukti dari raut wajah pria itu yang kebingungan.
Selain itu, William juga menyimpan beberapa pertanyaan dalam benaknya. Apakah pertanyaannya sangat membuat wanita itu tersinggung? Jangan-jangan wanita itu sedang bertengkar dengan suaminya? Jangan-jangan gara-gara ia menggoda Scarlett beberapa saat lalu? Dan ke mana Scarlett akan menjemput Jenna? Apakah Jenna sedang bersama suaminya? Dan mereka sedang memperebutkan gadis gembul berambut keriting gantung itu?
Ya Tuhan, kalau sampai benar dugaan William, ini akan menjadi sesuatu yang sangat gawat. Ia jelas tidak ingin terlibat dalam hal semacam ini. Namun, ia juga sudah terlanjur tercelup oleh persoalan itu. Ibaratnya sudah bermain air dan basah, ia pun berpikir ingin melibatkan diri dengan menyelam lebih dalam. Dan yang harus ia lakukan adalah memulainya dengan minta maaf lebih dulu.
“M-maaf aku tidak bermaksud—”
William menghentikan omongannya sebab melihat reaksi Scarlett yang menunduk. Helaian-helaian halus rambut wanita itu jatuh dan menutupi wajah cantiknya. Pria itu tahu Scarlett menangis lagi.
William mengembuskan napas berat. “Begini Ms. Delillah. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku minta maaf soal beberapa waktu lalu. Maksudku, soal aku yang menggodamu atau kurang ajar padamu. Mungkin karena itu kau jadi bertengkar dengan suamimu dan membuatmu jadi seperti ini. Tapi maaf sekali lagi, kali ini aku tidak ada maksud apa-apa, murni hanya minta maaf. Selain itu aku juga ingin membantu—”
“Aku tidak sedang bertengkar dengan suamiku.” Scarlett memotong pembicaraan William dengan suara yang jauh lebih tenang. “Sekarang, aku sudah jauh lebih baik. Jadi, bisakah kau tidak menghalangi jalanku lagi?” pinta Scarlett yang kini sudah memandang William kembali.
Wajah pria berbadan tegap itu pun semakin bingung. Mulutnya yang menganga hendak mengatakan sesuatu. Namun, tidak tahu harus mengatakan apa sehingga kata-kata mahabanyak yang bersliweran di otaknya tidak bisa keluar. Menjadikan William hanya membuka dan menutup mulutnya kembali mirip ikan yang baru saja diangkat dari air lalu berusaha bernapas dengan benar.
Setelah sepersekian detik berusaha menggetarkan pita suaranya, William berhasil. “Apa kau yakin sudah merasa baik-baik saja?”
Entah kenapa mendengar pertanyaan itu, mata Scarlett kembali memanas dan air matanya mulai muncul ke permukaan. Ia ingin berkata sudah lebih baik sekali lagi, akan tetapi gelengan kepalanya telah menjawab pertanyaan William.
Apakah karena selama ini ia selalu berhasil menyembunyikan lukanya dengan sangat baik sehingga tidak ada satu orang pun yang menanyakan apakah ia baik-baik saja? Jadi, sewaktu mendapatkan pertanyaan itu dari William, Scarlett merasa ada yang peduli dengan perasaannya?
“No, I’m not. I’m totally not.” Nah, sekarang Scarlett semakin bingung kenapa malah berkata implusif. “Bagaimana aku bisa bertengkar dengan suami yang bahkan tidak kumiliki?”
Dentuman kencang menghantam jantung William. Apa lagi kali ini? Ia semakin tidak mengerti. Bukannya senang setidaknya Scarlett tidak sedang menikah dengan seseorang dan artinya peluang untuk menggiring wanita itu ke ranjangnya menjadi lebih besar, kenapa malah ada sesuatu yang terasa tidak nyaman dalam hatinya saat melihat wanita itu tersedu-sedu?
“Sebaiknya, kita ke mobilku dulu. Agar kau bisa menenangkan diri, aku tidak ingin ada yang melihat kita,” usul pria itu kemudian.
Dan Scarlett menurut ketika pria itu merangkulnya dan memasukkannya ke mobil. William menyalakan kendaraan itu berikut pendingin udara yang disetel sejuk. Kemudian mencari tisu untuk diberikan Scarlett.
“Maaf, aku tidak tahu kalau kau ... ya kau tahu sendiri bagaimana maksud ucapanku.” Yang mengherankan, William berkata tulus pada Scarlett.
Ada sekelebat penyesalan dalam benak Scarlett sebab telah mengungkapkannya pada William. Namun, pria itu terlanjur tahu. Ia jelas tidak bisa melarikan diri dan lebih baik menjelaskan segalanya serta meminta William supaya tidak berbuat kurang ajar padanya lagi. Sebab ia sudah sangat lelah menghadapi ini.
“Tidak perlu minta maaf. Kau tidak salah. Kau tidak tahu apa pun. Jadi, aku akan menceritakan—”
“Kau tidak perlu bercerita padaku kalau kau tidak ingin,” potong William, “aku mengerti. Hal-hal semacam ini pasti tidak bisa diceritakan dengan mudah.”
Dari William, pandangan Scarlett berpindah pada tangannya yang menyatu di atas pangkuannya. Scarlett tahu semuanya pasti sangat sulit untuk diutarakan. Namun, untuk kali ini saja, ia akan membenarkan kata orang bahwa menceritakan kisah hidup yang pelik pada orang asing bisa mengurangi beban. Terlebih itu akan berdampak pada orang-orang terdekat yang tidak perlu ia repotkan seandainya mendengarkan keluhannya. Dan untuk masalah selanjutnya, ia akan berusaha menjauh dari William.
“Tapi, aku ingin menceritakannya.”
William jelas merasa tersanjung dan istimewa mendengar pengakuan Scarlett. “Kalau begitu, aku akan mendengarkan. Maaf, kalau kebetulan aku juga sangat penasaran.”
Scarlett melihat William yang memandangnya dengan senyum kaku, lalu menunduk lagi. Sebelum mulai bercerita, ia menyetel emosinya agar hilang sama sekali dengan cara memejamkan mata dan mengatur napas.
“Aku belum pernah menikah. Lalu bagaimana aku bisa memiliki Jenna? Yah kau pasti sudah bisa menduganya setelah tahu.”
William berargumen, “Ayolah. Aku bukan orang berpikiran sempit. Ini negara bebas. Setiap pasangan bisa saja memiliki anak dan mengurus mereka tanpa menikah sekali pun.”
“Justru itulah letak permasalahannya. Aku tidak mengurus Jenna berdua dengannya. Karena dia ingin aku menggugurkan Jenna saat tahu aku hamil.” Scarlett menceritakannya dengan duara rendah. “Aku jelas tidak ingin anak dalam kandunganku digugurkan. Karena itu aku mati-matian berjuang membesarkan Jenna sendirian. Dan alasanku menangis tadi karena aku baru saja bertemu ayah Jenna.”
Ketidaknyamanan dalam hati William rupanya bertambah. Seolah ada yang memukulnya kencang-kencang sehingga terasa nyeri mendengar pengakuan Scarlett.
“Apa yang dia lakukan padamu?” William menemukan dirinya bertanya tanpa memandang Scarlett sebab tatapannya kosong. Begitu juga dengan benaknya.
“Tidak ada. Kami hanya tidak sengaja bertemu. Tapi karena aku sangat trauma dengannya dan semua hal yang dia perbuat padaku, jadi aku berusaha kabur dan tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.”
Scarlett mengambil jeda kalimat untuk menarik serta mengeluarkan napas berat sekali lagi sebelum menambahkan, “Aku tahu mungkin kedengarannya aku terlalu percaya diri. Tapi, demi membentengi diri sendiri, aku mohon padamu .... Jangan dekati aku kalau ada sedikit saja niatmu dalam melakukannya.”
William spontan melihat Scarlett yang sedang menatapnya. Meski hanya melalui penerangan yang lamat-lamat dari lampu parkiran, tetapi ia bisa melihat kedua kantung mata wanita itu membengkak, pancaran mata redup dan lelah.
William kembali tidak bisa mengatakan apa pun. Sehingga Scarlett mengambil inisiatif bersuara lebih dulu. “Terima kasih sudah—”
“Apa aku boleh tahu siapa pria tolol itu?” Jangankan Scarlett, William juga kaget dengan pertanyaannya yang terselip nada kemarahan dan memotong perkataan wanita itu.
Scarlett menggeleng sambil tersenyum. Biasanya, William akan sangat menyukai senyum seorang wanita, terlebih hanya ditujukkan untuknya seorang. Teruntuk kali ini, ia membenci senyuman yang disuguhkan Scarlett, kendatipun itu eksklusif untuknya seorang. Senyuman Scarlett tidak sampai ke matanya sebab pancaran itu begitu memperlihatkan beban berat yang dipikulnya.
“Maaf. Aku tidak bisa menceritakannya.” Scarlett kembali mengulangi aktivitas menarik napas panjang lalu mengembuskannya. “Perasaanku sudah jauh lebih baik. Terima kasih. Jadi, aku akan turun dan menjemput Jenna di kursus baletnya sekarang. Sekali lagi terima kasih.”
William yang terlalu terkejut pun tidak menanggapi Scarlett. Namun, pengelihatannya tidak lepas dari wanita itu. Mulai dari Scarlett membuka pintu mobil samping kemudi, melambai singkat dan berjalan ke arah mobilnya. Hingga Chevrolet hitam tersebut meninggalkan gedung Lexon Hill, barulah ia bisa berpikir. Katanya, perasaan wanita itu sudah jauh lebih baik. Lalu, bagaimana dengan perasaannya yang malah kacau balau?
Sekarang, apa yang harus kulakukan padamu, Miss Delillah? Apa yang harus kulakukan padamu?
***
Sementara di tempat lain pada waktu yang bersamaan, sedetik elevator yang membawa tubuh Regis Mondru ke rooftop dan bertemu Scarleet itu tertutup lalu turun, ia refleks menekan semua lantai, serta memilih satu lantai di bawah rooftop untuk keluar lalu bergegas mencari Scarlett di tangga darurat.
Jantung Regis Mondru berdegup kencang, masih kaget sekaligus akibat ia berlari untuk mencari wanita itu.Sangat disayangkan gerakan-gerakan tersebut nyatanya tidak cukup membuatnya untuk menemukan apa yang ia harapkan.
Regis menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara kasar. Ia bahkan sedikit menjambak rambutnya sebab masih belum bisa mencerna semua ini dengan benar hingga rasanya lupa pada sekelilingnya.
Bagian terpenting, Scarlett ada di sini. Di New York. Di kota yang sama dengannya dan masih sama seperti dulu. Masih cantik dan memesona. Letak perbedaannya hanya rambut wanita itu yang dulu sebahu, sekarang sudah sepanjang pinggang. Oh, ada satu lagi yang berubah. Raut wajah wanita itu ketika melihatnya.
Bila dulu Scarlett selalu berbinar-binar, setelah kkejadiandi bengkel beberapa tahun lalu dan cara Scarlett menatapnya sekarang, mantan kekasinya itu sangat kelihatan membencinya. Sesungguhnya, siapa yang harus membenci siapa? Bukankah Scarlett juga mencoba membunuhnya? Namun, sekali lagi ia selalu menekankan pada benaknya bahwa dirinyalah yang membuat Scarlett menjadi seperti itu.
Scarllet yang sekarang bukanlah Scareltt yang ceria, sepertinya Scarlett-nya dulu.
Regis Mondru tidak tahu bila kenyataannya tidak sengaja bertemu Scarlett bisa membuatnya begitu terguncang seperti ini. Padahal beberapa saat lalu ia begitu yakin ingin bertemu dengan wanita itu dan memutuskan untuk meminta maaf.
Ngomong-ngomong soal minta maaf. Ya. Sepertinya ia harus segera melakukannya. Apabila ia tidak bisa menemukan Scarlett di gedung ini, Regis akan menggunakan saran Jared untuk mencari nama wanita itu di internet.
Tidak ingin menunda apa yang Regis anggap penting sehingga ia prioritaskan, ia pun menelepon Bellen Loye.
“Maaf, aku tidak bisa datang ke pestamu.” Itulah kalimat pertama yang Regis ucapkan pada Bellen.
“Apa? Tapi kau tadi bilang sudah pulang dan mandi untuk bersiap berangkat kemari.” Regis mendengar adanya nada protes dari tunangannya.
“Tadinya aku berencana seperti itu. Tapi tertanya setelah mandi, aku sangat lelah. Kau tahu sendiri bagaimana Coach Matthew melatihku akhir-akhir ini.”
“Sudah yang keberapa kali kau seperti ini, Hun?” Nada Bellen semakin meninggi.
“Aku tahu ... aku benar-benar minta maaf.”
Kemudian, Regis menutup sambungan telepon secara sepihak.
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga buat yang udah vote, komen, komen, dan benerin typo
Kelen liar biasa guys
Btw kelen tim siapa?
Scarlett dan Singa (Regis)
Atau
Scarlett dan buaya (William)?
Bonus foto dulu ya biar semakin greget
Regis
Scarlett
KiWilliam
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©® Chacha Prima
👻👻👻
23 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top