Chapter 28

Selamat datang di chapter 28

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Siapkan hati kelen gais

Happy reading, hopefully you’re enjoy this chapter like I did

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“Love is the magician that pulls man out of his own hat.”

—Ben Hech
____________________________________________________

Selain memiringkan kepala, kening Scarlett juga berkerut samar. “My Chardonnay?” tanyanya seraya membiarkan William memeluknya sekilas.

Pria itu melepaskan diri dengan mundur selangkah untuk mengamati tangan kiri Scarlett yang menenteng tas tangan. Sedangkan tangan kanan wanita itu membawa tas kertas yang mengalihkan perhatian William sehingga melupakan pertanyaan Scarlett. “Apa yang kau bawa?” tanyanya penasaran. Ia hendak meraih tas kertas tersebut, tetapi Scarlett terburu-buru menyembunyikannya di balik punggung.

“Aku akan memberitahumu setelah kau menjawab pertanyaanku tadi,” cetus Scarlett tegas.

William malah tersenyum penuh arti. “Baiklah. Kalau begitu coba telepon aku sekarang.”

Lipatan-lipatan halus di dahi Scarlett bertambah. “Kenapa?”

“Kau ingin tahu jawaban dari pertanyaanmu tadi bukan? Jadi, kemarilah. Jangan berdiam diri di sini saja. Ayo duduk sana sambil meneleponku,” ajak William seraya menggiring Scarlett supaya duduk di kursi depan meja kerjanya. Sementara William sendiri berdiri di sebelah kursi yang diduduki Scarlett. Tas kertas yang ditenteng wanita itu pun diletakkan meja.

Scarlett mengeluarkan ponsel dari tas tangan dan segera menelepon William. Gawai yang tergeletak di meja bersama berkas-berkas lain secara otomatis berdering, bergetar, sambil berkedip-kedip. William mengambil alat komunikasi tersebut kemudian memperlihatkan layarnya pada Scarlett.

“Kau menamai nomorku dengan My Chardonnay?” tanya Scarlett, tetapi belum tahu korelasi antara dirinya dengan chardonnay. Malah baru kali ini ia menjumpai seseorang menamai kontak orang lain dengan jenis minuman keras. Apa-apan?

“Ya, begitulah,” jawab William bangga, yang selanjutnya menolak panggilan Scarlett. Lalu meletakkan ponsel di meja. Ia baru saja akan meraih tas kertas di meja, tetapi lagi-lagi Scarlett terburu-buru mengamankannya dengan hati-hati.

“Tapi kenapa?” tanya Scarlett benar-benar belum menemukan jawabannya.

Because you’re addicted like chardonnay.”

Tawa kecil Scarlett mengudara. Sampai-sampai ia harus menutupi mulut. “Kenapa kau tak menamai nomorku dengan margarita, koktail, atau Carbenet Sauvignon misalnya. Kenapa harus My Chardonnay?”

“Oke, aku akan mengaku,” tutur William sembari mengangkat kedua tangan. “Aku tak tahan dengan alkohol dalam jumlah banyak. Toleransi minumku benar-benar sedikit. Dan satu-satunya yang kusukai hanya chardonnay. Jadi, bisakah kita tidak mempermasalahkannya lagi dan kembali pada pokok inti pembicaraan kita? Atau kau mau meledekku seharian?”

Tawa Scarlett semakin mengudara. “Oh My God, you’re blushing.”

“Ya, ya, ya. Memangnya kenapa kalau aku tersipu? Aku manusia normal yang punya perasaan. Selain jatuh cinta padamu, biarkan saja aku tersipu.”

Bagian pengakuan William memang melesak di hati Scarlett dan bersemayam di sana, memicu detak jantungnya berdegup dua kali lipat lebih kencang daripada normalnya. Namun, ia ingin menutupi kegugupan tersebut dengan meledek, “Dan menamai nomor ponselku dengan My Chardonnay? Oh, astaga.”

“Oke, itu juga boleh. Kau sudah tahu jawabannya. Boleh saja itu jadi bahan ledekanmu. Sekarang, boleh aku tahu apa yang membawamu kemari, My Chardonnay? Padahal aku baru akan menjemputmu sebentar lagi. Dan apa yang ada di tas kertas itu?”

Tiba-tiba pipi Scarlett tambah memanas. Ia menghentikan tawanya, tetapi tidak bisa mengentikan senyumnya. Ia mendongak untuk menatap pria itu. “I miss you, William Molchior,” akunya. “Dan itu kue yang kubuat untukmu sebagai alibi agar bisa menemuimu. Kau tahu, rupanya sekretarismu yang bernama Janet itu agak posesif.”

You miss me?” Dari berderet-deret kalimat jawaban Scarlett, hanya itu yang paling diminati William. Sepasang pengelihatannya memelotot karena tak percaya dengan apa yang baru didengar olehnya. Mereka memang telah berbagi kehangatan, tetapi sangat jarang Scarlett membagi perasaannya pada William. Malah hampir tak pernah jikalau tidak ada kejadian-kejadian tertentu. Sejak awal mendekati Scarlett pun, ia tidak meminta wanita itu membalas perasaannya. Scarlett hanya cukup menerima perhatiannya saja. Dan kini mendengar wanita itu mengaku merindukannya, ia merasa di atas awan. Usahanya meluluhkan Scarlett ternyata tidak sia-sia. Malah ia pikir ini suatu langkah progresif.

“Yes, I miss you, William Molchior. Karena itu aku mencari cara kemari untuk bisa menemuimu sesegera mungkin.”

Kedua sudut bibir William terangkat membentuk senyum bahagia. Ia mundur selangkah sembari menggeleng-geleng pelan lantaran benar-benar merasa di awang-awang. Mendadak kue di tas kertas itu tidak lagi menarik bagi William. Sebab ia lebih ingin menarik Scarlett supaya berdiri. Lalu ia meraih kedua sisi wajah Scarlett dan membubuhkan bibir ke bibir wanita itu. “Aku juga merindukanmu. Dan terima kasih sudah datang.”

William tahu ini benar-benar gila dan di luar nalarnya. Para sahabatnya yang terkena sindrom merah jambu ia anggap sangat berlebihan saat mengatakan selalu ingin bertemu orang yang dicintai mereka setiap waktu. Padahal William tahu mereka tinggal bersama. Kini William merasakan sendiri apa yang orang-orang jatuh cinta rasakan. Rupanya orang yang jatuh cinta tidak menggunakan logika, melainkan perasaan, bukan merupakan ungkapan semata.

Kedua tangan Scarlett pun mengalungi leher William. Tatapannya mengarah pada bibir William. Ia membasahi bibir sebelum bertanya, “Well, apa kau punya rencana sepulang kerja?”

William melingkarkan kedua tangannya di pinggul Scarlett. “Selain menjemputmu dan Jenna?” tanyanya balik.

“Ya, selain menjemputku dan Jenna, tadinya. Karena sekarang aku sudah di sini, kurasa rencana sedikit berubah, bukan?” tutur Scarlett yang sudah memindah tatapannya ke netra pria itu.

Sepasang iris hijau William mengarah langit-langit untuk pura-pura berpikir. “Kurasa aku akan menontonmu memasak makan malam, lalu kita bertiga makan malam. Setelah Jenna tidur, kurasa kita bisa bermain ski di Gunung Everest. Kupikir itu ide terjenius yang pernah terpikirkan olehku saat ini”

“Astaga ..., William ...,” rengek Scarlett. Entah kenapa suaranya bisa berubah menjadi manja seperti ini. Apakah ini salah satu efek jatuh cinta? Sehingga ia ingin bermanja-manja?

Bagian paling penting, William amat menyukai rengekan Scarlett karena itu merupakan sesyyanh langka. Sebagaimana yang ia ketahui, jikalau pacar teman-temannya menggunakan nada manja, artinya wanita-wanita itu nyaman dengan hubungan mereka. Tidak lagi menyembunyikan jati diri. Lebih bebas dengan penampilan karakter apa adanya. Maka dari itu, ia masih ingin bermain-main dengan Scarlett. “Mungkin kita juga bisa menanam pohon bakau.”

“William ....” Lagi-lagi Scarlett merengek.

“Aku kehabisan ide. Kenapa tidak kau saja yang memikirkan idenya?”

Scarlett tahu William hanya bercanda, tetapi ia merasa senang karenanya. “Well, actually I have an idea,” bisiknya sembari memicingkan mata, berlagak misterius. Scarlett bahkan tak segan-segan menyusurkan telunjuknya ke cambang William.

William ikut-ikutan memicingkan mata dan berbalik tanya, “What kind of idea do you have?”

“Em .... Aku sudah menitipkan Jenna pada Hillary. Karena kupikir mungkin kita bisa berkencan.”

Lagi-lagi William dibuat menganga. “Kau ingin kita berkencan?” tanyanya. Hari ini memang penuh kejutan menyenangkan. Setelah mendapatkan hadiah apresiasi dari Dominic, sekarang Scarlett mendatangi kantornya dan mengusulkan ide berkencan. What a lovely day.

“Atau kau ingin menanam pohon bakau saja?” tanya Scarlett setelah menggigit bibir bawah.

“Tentu saja! Orang idiot pun tahu jawabannya. Ayo kita kencan!” seru William semangat. “Tapi pertama-tama, aku harus menyelesaikan pekerjaanku.”

“Ya, aku akan menunggumu di sofa itu.”

“Tidak di sofa itu, Darl. Tapi di pangkuanku.”

“What—William, apa yang kau lakukan?”

William membopong Scarlett. Ia duduk lebih dulu di kursi kekuasaannya, barulah mendudukkan wanita itu di pangkuannya. “Nah, mari kita baca berkas-berkas ini bersama-sama.”

Sebelah tangan William yang tidak melingkari perut Scarlett digunakan memilih-milih berkas di meja. Sementara Scarlett menegaskan, “William, aku tak tahu pekerjaanmu sama sekali. Ini bukan bidangku.”

“Tak masalah. Baca saja. Aku tidak memintamu menyelesaikannya,” balas William sembari meletakkan wajah di pundak Scarlett. Sesekali ia menyusurkan hidung dan mulut leher wanita itu secara ringan.

Scarlett tidak pernah merasakan hubungan percintaan yang nyaman seperti ini dan tidak takut akan apa pun. Juga tidak merasa terpaksa melakukannya. Hubungan ini berjalan dengan alami. Oleh sebab itulah ia menikmati waktunya bersama William meski hanya dengan menonton. Karena jujur saja, setelah membaca sederet kalimat pada selembar berkas pekerjaan William, Scarlett langsung pusing. Bahasa yang digunakan jelas asing sekali bagi Scarlett. Baginya, pekerjaan pria itu tidak semudah menghafal resep kue yang bisa ia modifikasi dengan kreasi lain. Hingga akhirnya setelah beberapa saat, pekerjaan William pun rampung.

“Kau mau mengajakku kencan di mana?” tanya William yang begitu antusias dan membiarkan Scarlett menyetir. Sebab dirinya asyik memakan tar Portugis yang khusus dibuat Scarlett untuknya, agar bisa melewati sekretarisnya. Tar ini memiliki rasa rum kuat dengan taburan kismis, benar-benar membuat lidah William menari-nari karena bahagia dengan kelezatannya.

“Kau akan tahu nanti. Petunjuknya, ini sesuatu yang selalu ingin aku lakukan.” Scarlett mengedipkan sebelah mata sebelum fokus mengemudikan mobil William. Jalanan New York sedang agak padat, tetapi mereka tidak merasakan tekanan. Scarlett pun menyambungkan ponsel dengan perangkat monitor di mobil sebelum menelepon Hillary untuk menanyakan kabar Jenna.

“Dia baik-baik saja. Sekarang sedang mewarnai bersama Andy,” jawab Hillary.

“Apa dia mencariku?”

Sama sekali tidak. Karena dia sibuk dengan pensil warna barunya, pemberian Andy.”

“Andy baik sekali.”

Memang. Jadi, tidak perlu khawatir. Bersenang-senanglah bersama William, Bos.”

“Terima kasih, Hill. Kami akan menjemputnya sekitar ....” Scarlett menghitung seberapa lama kira-kira waktu yang mereka habiskan untuk berkencan. “Pukul sepuluh.”

Tidak perlu buru-buru, Bos. Anda bahkan bisa menitipkan Pumkin malam ini. Besok aku dan Andy akan mengajaknya ke Bake Me Up. Tak usah khawatir. Bersenang-senanglah agar Anda bisa menghadapi hari esok, Bos.” Hillary hampir saja keceplosan jikalau Andy tidak mengingatkannya dengan dehaman kencang yang bisa didengar Scarlett. Ia lantas buru-buru menambahkan, “Akhir pekan pelanggan Bake Me Up akan membeludak seperti biasanya, Bos. Kita harus mempersiapkan mood yang superbagus untuk itu. Aku harus mengingatkan George agar menambah takaran adonan supaya stok roti kita melimpah.”

Diingatkan soal besok, debar jantung Scarlett pun bertambah kencang. “Baiklah. Telepon aku kalau Pumkin butuh sesuatu. Sekali lagi, terima kasih, Hill. Sampaikan terima kasihku pada Andy juga.”

Setelah telepon ditutup oleh Scarlett, William yang sejak tadi berwajah sumringah dan mendengar percakapan mereka pun berkata, “Pegawai-pegawaimu sungguh baik membiarkan kita berkencan. Kau harus memberi mereka bonus lembur, Darl.”

“Tentu aku akan memberikan mereka intensif lembur. Kami sudah seperti keluarga,” balas Scarlett singkat.

Beruntungnya William tidak menyadari kegundahan hati Scarlett ketika diingatkan soal besok oleh Hillary. Meski demikian, Hillary sungguh membantunya agak tenang dengan alasan masuk akal. Sedikit banyak ia juga menyetujui omongan wanita itu. Bahwa ia harus mempersiapkan diri untuk besok dengan membangun mood yang bagus. Bersama William tentunya bisa membuat mood Scarlett bagus. Oleh sebab itu ia memilih William, bukan orang lain. Ia pun tidak berbohong ketika mengatakan merindukan pria itu. Juga seberapa seriusnya ia membuat tar Portugis dengan banyak taburan cinta. Bukan semata-mata hanya untuk melewati Janet, melainkan juga ingin memberikan sesuatu yang spesial pada William.

“Omong-omong, kita sudah sampai.”

William yang sejak tadi sibuk menghabiskan tar pun memutar tubuh untuk melihat ke luar. Mulutnya kembali dibuat menganga oleh Scarlett. “Darl, kau mau berkencan denganku di wall climbing gym?”

“Tepat sekali! Ayo kita masuk!” ajak Scarlett antusias.

“Tapi kupikir kita akan makan malam di luar lalu kita bisa ke hotel.” Suara protes William memang kencang, tetapi Scarlett tidak begitu mendengarnya sebab sudah melepaskan sabuk pengaman dan turun.

William pun menggeleng-geleng sambil meringis. Biasanya ia yang mengajak wanita berkencan dengan templat sama persis. Diawali makan malam bersama dan diakhiri di ranjang hotel. Tak pernah lebih daripada itu. Sebab William bukan tipe pria yang suka hubungan jangka panjang, yang menurutnya itu amat merepotkan.

Keluarga William memang tergolong harmonis; contoh nyata hubungan percintaan sehat ala orang tuanya. Namun, William belum menemukan alasan ia harus bertahan dengan satu wanita bila bisa mendapatkan wanita lainnya. Sekarang, bisa dipastikan ia tak bisa berpaling dari Scarlett yang sudah menawan hatinya. Bersama Scarlett seperti menemukan berlian, sehingga wanita-wanita lain hanya dianggap batu kerikil oleh William. Jadi, ia tidak keberatan sama sekali bila harus memanjat dinding untuk berkencan dengan Scarlett, atau bahkan harus menanam pohon bakau bila wanita itu benar-benar ingin. Selama bersama Scarlett dan bisa menciptakan senyum di bibir wanita itu, kenapa tidak?

♪♪♪

“Bagaimana menurutmu?” tanya Scarlett pada William. Mereka kini berjalan bersisian menuju pintu keluar GP81. Mereka pun melewati beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, baik yang searah maupun yang berlawanan arah. Dikarenakan hampir menabrak seseorang, William merangkul Scarlett.

“Well, pada dasarnya aku suka berolahraga; ski, menemani ayahku bermain golf, atau berkuda. Jadi, kencan kali ini terasa sangat seru. Kapan-kapan kita bisa ke sini. Tapi apa kau tahu bagaian yang paling kusukai?”

“Yang mana?”

“Aku suka sekali melihatmu tersenyum terus, meski itu gara-gara menertawakanku yang selalu terpeleset lalu jatuh dan harus mengulangi dari bawah agar bisa sampai atas.” William membukakan pintu keluar dan mempersilakan Scarlett berjalan lebih dulu. Secara bersamaan ia mendengar wanita itu terkikik.

“Maaf, tapi kau memang benar-benar lucu.”

“Kau pikir aku badut?” tanya William yang pura-pura tersinggung.

“Hentikan, Will! Aku tak bisa membayangkanmu memakai hidung bola pingpong dan rambut keriting warna-warni!” cegah Scarlett. “Beberapa waktu lalu aku pernah membayangkan kau memakai rok tutu seperti Jenna saat menginginkan kue buatanku di kelas membuat kue.”

Setelah mendengkus pelan disertai senyum miring, William mendekatkan wajah ke telinga Scarlett lalu berbisik, “Silakan tertawa sepuasmu, Darl. Karena setelah ini aku akan membuatmu mendesahkan namaku keras-keras.”

Bisikan itu memang terasa amat mendebarkan bila direalisasikan. Sehingga, Scarlett malah menantang William. “Oh, ya? Jangan membual. Coba buktikan. Kau pikir aku takut dengan ancamanmu itu?”

William tak membalas Scarlett dengan kata-kata, melainkan langsung dengan tindakan. Mula-mula pria itu mengambil alih kemudi dan membelokkan mobil ke hotel bintang lima terdekat, lalu memesan kamar paling bagus. Scarlett menjadi begitu gugup, padahal mereka memadu kasih setiap hari. Namun, kali ini sungguh terasa amat berbeda.

Saat menaiki lift bersama beberapa orang, William tidak melepas genggamannya pada Scarlett. Lalu ketika mereka berhenti di lantai kamar pesanan mereka, William segera menarik Scarlett. Wanita itu agak tergesa-gesa karena harus mengejar langkah William yang lebar dan cepat. Setelah menempelkan kartu kunci dan berhasil membuka pintu, William segera menyambar mulut Scarlett. Tak peduli tas tangan wanita itu terjatuh di lantai. Pintu pun tertutup secara otomatis.

I want you so bad, Darl.”

William tidak hanya berbisik di depan mulut Scarlett, tetapi juga menghimpitnya. Supaya wanita itu bisa merasakan pusat gairahnya sudah sangat siap.

“So do I, William,” bisik Scarlett. Sama seperti William. Ia tidak hanya mengutarakannya, melainkan juga membuktikannya dengan cara memagut bibir William sembari menarik kemeja pria itu supaya terlepas dari celana bahannya. Tangan Scarlett pun begitu terampil dalam hal melepas dasi, dan menekuni satu per satu kancing kemeja William. Sedangkan William sendiri turut mengambil andil membantu melepas seluruh penutup tubuh Scarlett.

Kemudian terjadilah pembuktian ancaman William yang menyebabkan suara desahan Scarlett tiada putus seraya mengumandangkan nama pria itu saat mencapai puncak badai gairah. William sedang dalam mode tidak memberi pengampunan. Ditandai dengan situasi belum sempat ia beristirahat, William sudah mengisi dan mengosongkan dirinya lagi.

“Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu, Darl,” tutur William dengan mata berkilat penuh gairah dan napas memburu bak berlari maraton. Pria itu menjulang di atas Scarlett sembari terus bergerak seduktif. Dengan kedua tangan memegangi pinggul agar bisa mendesak dan membenamkan diri sedalam mungkin.

“Oh .... I know, I know, My Chardonnay.” Scarlett menjawabnya pun dengan napas memburu. Ia baru akan protes ketika tiba-tiba William memelankan gerakan sampai berhenti total. Namun, ia lebih dulu mendengar pertanyaan pria itu.

“Apa aku menyakitimu, Darl?”

“Pertanyaan macam apa itu? Kau sama sekali tidak menyakitiku, My Chardonnay. Justru sebaliknya. Aku sangat menikmatinya. So keep going,” balas Scarlett sembari memegang kedua sisi wajah William yang berada sejengkal di depan wajahnya.

“Benarkah?”

“Ya, kau sangat hebat.”

Senyum William melekuk dan kepercayaan dirinya pun meningkat. Setelah memagut bibir wanita itu, ia berbangga diri sambil mengisi Scarlett lebih dalam, lebih keras, dan bergerak lebih cepat hingga akhirnya mereka mencapai puncak kenikmatan bersama-sama.

“Apa kita akan menjemput Jenna setelah ini?” tanya William sembari membasuh pundak Scarlett menggunakan air hangat di bathtub yang mereka rendami. Scarlett telah memberi garam mandi aroma mawar yang disediakan hotel.

Scarlett sendiri duduk menyandarkan punggung ke William. Ia menelengkan kepala dan mendongak sedikit agar bisa menatap pria itu. “Apa aku akan dicap sebagai ibu yang buruk karena tidak ingin menjemput Jenna dan lebih memilih ingin berduaan denganmu sampai pagi?”

“Tentu saja tidak, Darl. Kau ibu yang sangat hebat bagi Jenna. Don’t ever say that again,” bantah William. Bukan karena pengakuan Scarlett, tetapi ia berkata yang sebenarnya. “Aku juga ingin berduaan denganmu sampai pagi. Bukan berarti aku tidak sayang Jenna atau mencoba mengusir gadis gembul itu. Tapi karena besok aku harus pulang. Jadi, aku ingin quality time denganmu.”

“Apa semuanya baik-baik saja? Kenapa mendadak sekali?”

“Tidak. Hanya makan malam rutin bersama keluarga.”

“Oh ....”

Scarlett kembali ke posisinya. Karena membicarakan topik tentang keluarga membuat hati Scarlett merasa tertusuk. Sudah berapa lama ia tidak makan malam bersama keluarganya? Kadang-kadang ia penasaran kabar mereka. Sesekali ia bahkan mencari tahu kabar ayahnya dari media. Setelah insiden itu, sama seperti Regis. Ayahnya vakum melatih. Di tahun kedua ayahnya kembali, Scarlett merasa ayahnya telah banyak berubah. Wajah ayahnya tidak sekeras dulu, tetapi lebih tampak murung dengan uban merata.

“Jangan sedih, Darl. Kau bisa mengambil cuti besok dan aku akan mengajakmu makan malam bersama keluargaku. Dan Jenna juga.”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks banget yang masih nungguin Scarlett

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo perusak ketampanan naskah

Pokoknya luv sekebon

Btw kelen tim siapa gaes?

Scarlett Delillah

Sama Regis Mondru

Atau

Sama William Molchior

Well, see you next chapter timin timin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 8 Februari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top