Chapter 27

Selamat datang di chapter 27

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Siapkan hati kelen gais

Happy reading, hopefully you’re enjoy this chapter like I did

❤️❤️❤️

____________________________________________________

“You fell first, but I fell harder.”

—Scarlett Delillah
____________________________________________________

Susunan kata membentuk beberapa kalimat yang keluar dari mulut Regis Mondru mengendap di hati dan benak Scarlett Delillah. Pagi Scarlett yang cerah, sudah menjadi gelap total gara-gara Regis. Mantan kekasihnya itu menyedot habis energi dan mengacaukan konsentrasi. Alhasil, selama bermenit-menit, tidak ada satu pun pesanan pelanggan yang dapat menyangkut di otak Scarlett. Padahal ia sudah membolak-balik catatan berulang kali dan membaca halaman yang sama lebih dari tujuh kali. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan: Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana caranya untuk memberitahu Jenna perihal Regis? Dapatkah putrinya dibujuk untuk menemui pria tersebut, mengingat waktu itu Jenna tantrum karena Regis?

Scarlett mendesah sembari meletakkan pena di meja. Ide menghubungi William memang tampak amat menggoda. Jika tidak bisa bertatap muka, setidaknya dengan mendengar suara pria itu, ia yakin akan bisa melakukan kegiatannya seperti seharusnya. Mungkin ia juga bisa meminta beberapa saran untuk menentukan langkah terbaik yang harus dilakukannya.

Jam dinding di ruangan menjadi sasaran pengelihatan Scarlett saat memegangi kening. Sudah satu setengah jam berlalu. Ia penasaran apakah William sudah selesai rapat? Jika sudah, bolehkan ia menghubungi pria itu sekarang?

Scarlett menggeleng-geleng. Demi Neptunus! Ia bukan anak kecil yang apa-apa harus mengadu ke William. Ia wanita dewasa yang diberi akal serta perasaan, yang sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Lagi pula Regis dengan tegas mengatakan tak boleh ada campur tangan William besok. Jadi, sebaiknya gagasan meminta saran pada William harus dihapus dari daftar keinginan Scarlett.

Scarlett tidak ingin mengambil risiko Regis memberitahu William soal yang dilakukannya di masa lalu. Apabila itu terjadi, bagaimana kira-kira reaksi William? Apakah pria itu akan terus bersamanya? Scarlett tidak yakin.

William pria baik, dari keluarga harmonis dengan reputasi bagus. Mana mungkin mau menerima masa lalu kelam Scarlett? Itu jelas akan mencoreng nama baik keluarga Molchior. Scarlett memiliki pengalaman pernah melakukannya pada keluarganya. Sebaiknya ia tidak membiarkan kebodohan mengambil alih pikiran logisnya agar tidak jatuh ke belenggu yang sama. Bagaimanapun, ia sedang pada tahap berangsur-angsur sembuh dari traumanya. Ia tidak bisa menanggung hal serupa atau kerusakan yang lebih parah lagi.

Lagi-lagi napas berat keluar dari hidung serta mulut Scarlett. Ia ingin bersama William. Sungguh. Sejauh ini, ketika telah mengakui jatuh cinta sepenuhnya pada William, hanya ada kebahagiaan bila bersama pria itu. Tidak hanya dirinya, melainkan juga Jenna. Oleh sebab itulah hal terakhir yang diingkan Scarlett ialah merusak momen-momen indahnya bersama Jenna dan William. Jadi, sebaiknya ia berusaha sekeras tenaga menutupi masa lalu kelamnya demi bisa bersama William. Apa pun yang diperintahkan Regis, bila itu dapat melindungi gelembung masa bahagianya bersama Jenna dan William agar tetap utuh, akan ia lakukan.

Merasa tidak ada gunanya hanya berdiam diri di ruangan dengan waktu yang terbuang sia-sia, ditambah setengah jam lagi toko harus buka, Scarlett memutuskan mengecek semuanya. Dimulai dari hal paling penting, yakni dapur. Tak lupa ia membawa catatan pesanan para pelanggan.

“Bagaimana roti-rotinya?” tanya Scarlett pada George yang sibuk mengeluarkan loyang berisi roti walnut bertabur ceri yang dipotong bentuk dadu kecil-kecil. Kedua tangan pria itu memakai oven mitt.

George menaruh loyang-loyang di meja stainless panjang agar Scarlett bisa mendekat untuk melihat bersamanya. Barulah ia menjawab, “Bagaimana menurut Anda? Aku pikir ini sempurna.”

Secara saksama, Scarlett memeriksa satu per satu roti tersebut. “Ya, semuanya sempurna. Tinggal dipajang di etalase depan.”

“Sebentar, akan kukeluarkan roti-roti lain supaya Anda bisa mengeceknya juga.”

“Bagaimana dengan tartlet buahnya?” Scarlett mencari-cari keberadaan kue tersebut, tetapi tidak terlihat di mana pun.

“Lima menit lalu baru dipajang Andy di etalase depan. Sudah kupastikan semuanya sempurna,” jawab George tanpa melihat Scarlett sebab sibuk mengeluarkan loyang-loyang dari oven secara hati-hati sebelum meletakkannya di meja stainless panjang. “Awas panas,” katanya.

Scarlett menepi supaya George bisa lewat. Choux au craquelin dan yang lainnya?” absennya lagi. Tatapannya diarahkan ke cromboloni yang baru saja diletakkan George di hadapannya. Meneliti pastry itu satu per satu.

“Sudah semua.”

“Pesanan-pesanan pelanggan hari ini?” Lagi-lagi Scarlett mengabsen setelah memastikan cromboloni buatkan George begitu sempurna. Tumpukan-tumpukan pastry-nya tampak begitu memesona; berwarna kuning keemasan, bila digigit terasa renyah dan garing. Ia yakin para pelanggan yang melihat serta menghidu aroma pastry ini akan tergiur untuk membeli.

Di saat yang sama, George menerangkan, “Selusin whoopie pie marshmallow aneka rasa sudah mulai kukerjakan. Harus diantar jam sebelas nanti. Tapi yang dipajang di etalase sudah ditaruh Andy. Cinnamon roll pistachio tiramisu sudah masuk oven. Sebentar lagi matang karena harus diantar.” George melihat jam dinding. “Dua puluh menit lagi,” lanjutnya, “bagel wijen isi ham, kroisan, dan lainnya juga hampir matang.”

Setelah memastikan data pesanan pelanggan yang dibeberkan George semuanya cocok, Scarlett mencentang-centang catatannya. Ia juga berkata pada George. Good job, George. Aku bangga punya pâtissier cekatan sepertimu. Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu, aku akan mengecek yang lainnya. Oh, ya, sebelum toko buka, aku ingin kita kumpul di depan untuk briefing seperti biasa.”

Baru saja Scarlett membalik badan untuk pergi ke depan, George bertanya, “Apa Anda baik-baik saja, Bos?”

Scarlett menipiskan bibir, sedikit membuang napas berat, lalu memejam sebentar, dan menoleh George. “Seperti yang kau lihat. Terima kasih sudah khawatir, George. Aku akan ke depan dulu.”

Dari segi fisik, bosnya memang tampak baik-baik saja. Tidak ada yang kurang, malah. Namun, bagaimana dengan hati Scarlett? George dan semua pegawai khawatir sebab benar-benar berkaca dari kejadian beberapa waktu lalu. Ketika Regis datang dan mengacau di Bake Me Up, bosnya jadi histeris.

Saat ayah biologis Jenna keluar dari kantor Scarlett tadi, George—yang mendapat dukungan penuh dari Hillary serta Andy—sudah ancang-ancang akan menendang Regis bila bos mereka histeris. Namun, tidak ada keributan yang terjadi. Justru sebaliknya, suasana tampak tenang-tenang saja. Wajah Regis malah seakan-akan baru memenangkan sebuah kompetisi musim panas.

George, Andy, dan Hillary jelas saling bertanya lewat pandangan sembari membiarkan pria itu lewat menuju pintu keluar. Mereka ingin mengecek keadaan Scarlett, tetapi menyadari banyak pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Pekerjaan-pekerjaan itu tentunya tidak akan rampung bila dibiarkan begitu saja. Terlebih di jam mendekati toko buka.

George kembali memusatkan pikiran pada pekerjaannya. Andy pun lewat di belakangnya sambil membawa loyang-loyang kosong, siap menampung roti-roti buatan George yang sudah matang untuk dipajang di etalase depan. Lalu tak lama kemudian, setelah pekerjaan mereka rampung, mereka berkumpul di toko bagian depan.

“Semuanya sudah berkumpul?” tanya Scarlett pada para pegawainya yang berdiri di depannya secara acak. Sedangkan ia sendiri berdiri membelakangi etalase-etalase yang memajang kue-kue buatan George.

Dengan kekompakan seperti biasa, mereka menjawab, “Sudah.”

Sesi briefing dibuka secara resmi oleh Scarlett. Dengan gestur profesional, ia mengimbau para pegawai untuk fokus dan melakukan pekerjaan masing-masing. Ia juga menyinggung beberapa hal yang harus diperhatikan. Seperti bagaimana cara menangani pelanggan yang protes dan lain sebagainya.

“Dan terkahir, aku ingin menyampaikan sebuah permintaan. Aku tahu ini masalah pribadiku yang seharusnya tidak kubawa di tempat kerja. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Aku benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi belakangan ini. Aku juga minta maaf karena harus melibatkan kalian. Saat ini pun aku sedang mencoba memperbaikinya dengan cara meminta bantuan kalian.”

“Bantuan kita?” Orang-orang saling bersitatap dan berbisik demikian. Sedangkan George, Andy, dan Hillary hanya diam. Hillary bahkan hanya memandang bosnya dengan tatapan tak mengerti.

“Ya. Tolong jangan halangi Regis Mondru kalau dia kemari besok, setelah jam makan siang. Persilakan dia masuk dan langsung antar ke kantorku,” jawab Scarlett dengan berat hati dan dengan jantung berdebar-debar. Ia mendengar para pegawai mengobrol dengan volume rendah lagi. Jadi, ia pun melanjutkan, “Dan, aku tak ingin ada yang menghubungi polisi. George, Andy, Hillary, kalian kenal William. Tolong jangan beritahu dia soal ini. Baiklah, kurasa itu saja. Sekali lagi aku minta maaf dan terima kasih sebelumnya. Well, selamat bekerja.”

Para pegawai bubar untuk melakukan tugas masing-masing, tetapi tidak dengan Hillary. Ia malah menghampiri Scarlett yang hendak berjaga di kasir. Ia juga tak sungkan-sungkan untuk bertanya, “Kenapa dia akan ke sini lagi besok?”

Mengingat perkataan Regis dan dampak yang akan ditimbulkannya, Scarlett jelas tidak ingin menjawab pertanyaan Hillary. “Hill, kembalilah bekerja.”

Hillary belum mau mematuhi perintah bosnya lantaran khawatir. “Bos, aku serius. Kami hampir saja berhasil menendangnya keluar tadi, sebelum Anda mengajaknya bicara di kantor. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia akan datang lagi besok?”

Scarlett lebih giat menyuntikkan kata-kata Regis Mondru. Ia harus menanamkan faham keinginannya menjaga hubungan dengan William dan semua orang—yang menerimanya sekarang—agar tetap utuh, jauh lebih besar dibandingkan dengan keinginannya menceritakan percakapan antara dirinya dan Regis pada Hillary. Sehingga, dengan amat terpaksa, Scarlett hanya menjawab secara garis besarnya saja. “Karena dia ingin bertemu Jenna. Dan kami sepakat tak perlu ribut-ribut lagi. Kami tidak ingin Jenna histeris lagi. Bagaimanapun, Regis ayahnya.”

Kedua alis Hillary terangkat pertanda bingung. “Bos, kenapa dia ingin bertemu Jenna? Apa Anda tidak ingat terakhir kali dia ke sini? Jenna histeris gara-gara dia.”

Yang Hillary dan semua pegawai Bake Up tahu, Regis hanya pernah datang dua kali. Dan kedua kali itu pulalah Regis mengacau. Mereka tidak tahu pria itu pernah datang dan menghadang Scarlett masuk mobil. Lalu terjadilah kesepakatan antara dirinya dan Regis untuk besok—kesepakatan yang sebenarnya terpaksa Scarlett lalukan agar bisa segera mengusir pria itu. Jadi, Scarlett mencoba menerangkan secara logis supaya Hillary tidak bertanya-tanya lagi. Sebab ia yakin apabila tidak menjawab dengan benar nan hati-hati, Hillary akan terus mengejarnya.

“Seperti yang sudah kubilang tadi. Dia ayah kandung Jenna, Hill. Kau pernah bilang padaku untuk menceritakan Regis pada Jenna. Kau bilang Jenna berhak tahu soal Regis gara-gara di hari Ayah, Jenna menangis menanyakan kenapa ayahnya tidak pergi menonton pertunjukan baletnya. Sedangkan semua ayah temannya menonton. Jadi, besok aku akan mempertemukan mereka dengan damai. Tanpa keributan.”

“Iya, aku ingat. Tapi itu dulu, Bos. Sebelum ada William. Bukankah sekarang Will sudah menjadi sosok ayah yang baik bagi Jenna?”

“Tidak bisa disebut begitu juga, Hill. Saat ini kami memang nyaman dengan William. Tapi, aku tidak bisa membenarkan perkataanmu.” Rasanya, Scarlett ingin sekali membenarkan perkataan Hillary. Namun, apalah daya? Ia tidak ingin menuntut lebih. William sudah banyak sekali membantunya. Ia tidak bisa memohon lebih daripada itu. Biarlah hubungan mereka berkembang secara alami.

“Menurutku sama, Bos,” bantah Hillary. “Buktinya Jenna tidak pernah merengek-rengek lagi minta ditunjukkan di mana ayahnya. Bukankah artinya tidak perlu ada sosok ayah lainnya? Kenapa Anda malah mau mempertemukan Jenna dengan Regis?” tanyanya benar-benar bingung.

Scarlett tertohok oleh pendapat Hillary. Seandainya saja bisa semudah itu ia berpikir, seandainya saja masa mudanya tak sekelam dulu, seandainya saja Regis tak datang lagi di kehidupannya yang sudah nyaris tertata sempurna, tentu ia tak akan berada di titik ini. Scarlett memang menyesali perbuatannya di masa lalu bersama Regus. Namun, satu hal yang tak ia sesali, yakni kehadiran Jenna di dunia ini yang menjadi penguatnya dalam keadaan apa pun.

Dengan tegar, Scarlett pun menerangkan, “Sudahlah, Hill. Aku sudah mengambil keputusan. Aku hanya berharap semuanya mengerti. Aku tak ingin merepotkan kalian dengan sikap kekanakanku, yang selalu histeris kalau bertemu Regis. Lalu akhirnya akan jadi ribut-ribut di toko ini seperti waktu itu dan pagi tadi. Aku ingin semuanya berjalan lancar. Aku ingin menjalani hidupku dengan normal lagi. Regis pun sudah minta maaf dan ingin berdamai denganku. Dia juga ingin membangun ikatan dengan Jenna karena menyesali perbuatannya dulu.”

“Dan Anda memaafkannya semudah itu?”

Lagi-lagi Scarlett tertohok dengan pertanyaan Hillary. “Aku ingin memberinya kesempatan.” Hillary kehilangan kata-kata. Jadi, Scarlett tersenyum, tetapi entah kenapa tampak pedih di mata Hillary. “Lagi pula aku punya kalian dan William sekarang. Rasanya aku bisa menghadapi Regis. Aku yakin akan baik-baik saja.”

Wajah bingung Hillary berubah menjadi haru. Ia tersenyum sembari merangkul bosnya dari samping. “Kenapa aku jadi ingin menangis karena terharu? Kami memang selalu ada di pihak Anda dari dulu, Bos. Will juga pastinya. Kurasa dia malah yang punya andil paling banyak untuk mengubah hidup Anda jadi lebih bahagia. Buktinya Anda tidak histeris lagi seperti waktu itu. Anda menjadi lebih tegar.”

“Ya, kau benar, Hill. William yang paling giat menguatkanku,” aku Scarlett yang tiba-tiba rikuh kala mengingat William. Pipinya memanas ketika sebuah ide tiba-tiba terlintas dalam benaknya.

“Tapi menurutku dia juga harus tahu, Bos.”

Nah, bagaimana Scarlett bisa kehilangan sosok sahabat sebaik Hillary bila wanita ini tahu ia pernah akan membunuh seseorang? Dan juga William? Scarlett tidak ingin itu terjadi. Lagi-lagi ia mencari alasan terlogis tanpa membeberkan semuanya. “Aku tahu. Tapi aku tak bisa menyakiti perasaan William dengan mempertontonkan pertemuan Jenna dan Regis.”

“Baiklah kalau Anda sudah mengambil keputusan seperti itu. Aku mengerti. Kami hanya khawatir pada Anda. Tapi ketika sudah diberikan alasannya, kami tentu akan mengerti. Omong-omong, Anda sangat jatuh cinta pada William, bukan?” goda Hillary yang sudah melepaskan rangkulannya sebab ingin melihat wajah bosnya. Ia pun kembali ke mode usil. “Oh My God! Wajah Anda benar-benar merah, Bos!”

“Diamlah, Hill! Sana kembali bekerja!” Scarlett memang mengomeli Hillary, tetapi pipinya yang naik belum bisa turun semudah itu.

Yes, Mom! Aku akan semangat bekerja.”

“Aku menyayangimu, Hill,” teriak Scarlett ketika Hillary sudah meninggalkannya beberapa langkah.

Hillary berbalik menghadap Scarlett. “Apakah itu berarti gajiku akan naik?”

Scarlett spontan menggeleng-geleng sembari memutar bola mata. “Cobalah lain kali.”

♪♪♪

“Woho! Aku tak percaya kau mendapatnya dan memberikannya padaku, Dom!” teriak William dari balik sambungan telepon. Kalau boleh salto, ia akan salto sekarang juga. Namun, tentu tak akan ia lakukan. Seperti yang pernah ia katakan pada Bellen. Kantor bukan tempat bermain.

Tadi pagi sewaktu Dominic menelpon sebelum rapat, William merasa kesal. Namun, perasaannya berubah 180 derajat setelah mengetahui tujuan kakaknya menelepon. Rupanya ia memang tidak boleh selalu berburuk sangka pada kakaknya. Dominic memang tidak ramah pada siapa pun, kecuali pada istri dan anak pria itu. Namun, untuk beberapa hal, Dominic bisa jadi sangat perhatian pada William. Itulah bentuk kasih sayang seorang kakak.

“Ya. Seperti yang kubilang tadi, itu hadiahmu karena sudah rajin bekerja. Bahkan baru-baru ini memenangkan tender.”

Meski suara Dominic amatlah dingin nan ketus seperti biasa, tetapi William tahu kakaknya sangat menyayanginya. Sejujurnya, apresiasi dalam bentuk hadiah bukanlah yang paling utama bagi William. Bagian paling penting ialah ia dianggap mumpuni dan tidak lagi dilabeli Dominic sebagai anak manja yang gemar mengadakan pesta, menghambur-hamburkan uang, serta menganggap tempat kerja sebagai sarana berburu wanita.

“Kita akan menontonnya bersama seperti biasanya, kan?” tanya William memastikan, yang tak pernah terpengaruh pada sikap kakaknya.

“Tidak.”

“Kenapa tidak?”

“Bukan urusanmu.”

William mencemooh, “Cih! Katakan saja kau ingin berduaan dengan Mia. Padahal biasanya akhir pekan Aldrich selalu bersama kakek dan neneknya. Tapi terserahlah. Intinya, terima kasih, Dom!”

Ya. Jangan lupa makan malam besok. Kalau tidak hadir, kubuang hadiahmu.”

“Jangan konyol, Dom! Kau pikir aku anak kecil yang tak bisa membelinya sendiri?”

“Buktinya kau ketinggalan tanggal pemesanan. Apa jadinya kalau Harold tidak meneleponku untuk memastikan kita sudah membeli tiket atau belum? Dia bilang kau tak mengangkat teleponnya.”

Agen kenalan mereka yang biasanya mengurusi bagian tiket selalu menyisakan beberapa tiket untuk anak-anak keluarga Molchior. Berhubung janggal karena belum ada permintaan tiket, Harold menelepon William, tetapi tidak diangkat. Lalu akhirnya menelepon Dominic.

“Maaf, aku sibuk. Tapi bagaimanapun, terima kasih. Aku akan datang besok. Omong-omong—Dom! Hei, Dom! Aku belum selesai bicara! Dom! Sial! Dia sudah menutupnya!” umpat William yang memelototi sambil mengomeli ponsel lantaran sambungan diputus sepihak oleh Dominic tanpa ba-bi-bu. Bertepatan dengan itu, ia mendengar pintu ruangan diketuk. “Masuk,” titahnya setengah berteriak.

“Selamat sore, Mr. Molchior.”

William mengangkat wajah lalu menganga. Rasa kesalnya pada Dominic jadi hilang sama sekali. Ia tersenyum lebar, meletakkan ponsel di meja, lalu beranjak dari kursi dan merentangkan lengan-lengannya untuk menyambut tamunya. “What brings you here, My Chardonnay?”

____________________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks banget yang masih nungguin Scarlett

Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo perusak ketampanan naskah

Pokoknya luv sekebon

Btw kelen tim siapa gaes?

Scarlett Delillah

Sama Regis Mondru

Atau

Sama William Molchior

Well, see you next chapter timin timin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

Sabtu, 1 Februari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top