Chapter 25
Selamat datang di chapter 25
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Siapkan hati, siapkan mental, siapkan tempat persembunyian biar bisa guling-guling salting
WARNING! MATURE CONTENT! DEDEK GEMES DILARANG BACA! HATI-HATI, MEMBACA CHAPTER INI BISA BIKIN SENYUM-SENYUM SENDIRI!
Happy reading, hopefully you’re enjoy this chapter like I did
❤️❤️❤️
____________________________________________________
“Trust is the glue of life. It’s the most essential ingredient in effective communication. It’s the foundational principle that holds all relationships.”
—Stephen R. Covey
____________________________________________________
Tidak pernah Scarlett sangka-sangka sebelumnya bila tidurnya selama lima hari berturut-turut belakangan ini menjadi jauh lebih nyenyak berkali-kali lipat dibandingkan dulu. Di mana dulu ia harus melewati tahun-tahun yang selalu dihantui mimpi buruk masa lalu kelam, sekarang mimpi indah selalu hadir.
Akibat mendapat kualitas baik dalam tidur itulah, hari-hari yang dilalui Scarlett terasa amat menyenangkan dan ringan. Setiap pagi sejak pertama kali membuka mata, perasaan Scarlett selalu membuncah karena William-lah orang yang pertama kali ia tatap. Dan untuk kesekian kalinya di waktu pagi, Scarlett kini mengalami hal serupa. Mirip déjà vu yang dapat membentangkan garis senyum di bibirnya.
Kepala pria itu berada di dada polos Scarlett—akibat rutinitas baru mereka setiap malam, mereka nyaris tak pernah berpakaian selama tidur. Dan mendengar dengkuran halus William sekarang, Scarlett mengibaratkannya bagai musik lembut yang membelai daun telinga.
“Kau terlihat seperti bayi besar.” Scarlett bermonolog. Ia tidak bersuara. Hanya gerakan bibir saja yang mengidentifikasikannya berkata demikian.
Mulanya tangan Scarlett mengusap rambut pria itu secara lembut. Lama-lama ia gemas dan mengacak-acaknya. Akibatnya, William mengernyit, mengeram, dan mengeratkan pelukan pada Scarlett. Ia lantas kembali merapikan rambut pria itu sambil cekikikan. “Sudah kuduga kau anak manja. But, sweet.”
Scarlett membubuhkan bibir di puncak kepala pria itu. “Sudah pagi pun, rambutmu masih tetap wangi seperti Pumkin. Dasar wangi!” Scarlett merutuki kekonyolannya karena bermonolog di depan wajah William. Oleh sebab itu dengan amat perlahan, ia mencoba melepaskan diri dari William.
“Jangan pergi, Darl.”
Gumaman serak William membuat gerakan Scarlett berhenti. Ia membiarkan dirinya mereka-reka apa yang akan terjadi selanjutnya, yang rupanya tidak terjadi apa pun. William masih memejam. Maka, bisa ditarik kesimpulan bahwa pria itu sedang mengigau. Kemudian Scarlett kembali berusaha membebaskan diri dari William. Kali ini usahanya membuahkan hasil.
Setelah mengenakan piyamanya yang tercecer di lantai, Scarlett pergi ke kamar sebelah untuk mengecek Jenna. Putrinya masih tidur pulas sambil memeluk boneka. Garis bibir Scarlett kembali melengkung membentuk senyuman. Ia lantas mencium kening Jenna sebelum ke dapur dan berkutat mengolah bahan makanan.
Setibanya Scarlett dan Jenna di penthouse William beberapa hari lalu, betapa terkejutnya Scarlett ketika mendapati kulkas serta pantri pria itu nyaris kosong. Hanya ada beberapa botol air mineral dan susu kemasan di kulkas. Tidak ada persediaan bahan makanan; tidak ada makanan kemasan cepat saji di pantri atau camilan-camilan; juga tidak ada daging, buah, ataupun sayur di lemari pendingin. Di dekat microwave, Scarlett hanya menemukan beberapa kotak corn flakes dengan merk berbeda dan sebotol besar protein penambah masa otot untuk pria.
William bercerita kepada Scarlett kalau tidak memasak—well, memang bukan sesuatu yang mengejutkan bagi Scarlett. Alih-alih memasak, setiap pagi pria itu hanya makan sereal corn flakes dan whey. Kadang-kadang tanpa susu, hanya dimakan layaknya makan camilan. Whey-nya pun hanya diseduh menggunakan air keran, bukan menggunakan air kemasan yang disimpan di kulkas lantaran gumpalan whey-nya lebih lama larut. Waktu itu William membela diri dengan berdalih, “Aku hanya bersikap praktis.”
Scarlett lantas mengejeknya, “Itu malas, bukan praktis. Dan aku yakin kau sama sekali tidak bisa memasak. Aku ingat di kelas memasakku, kau tidak bisa menyalakan kompor.”
“Memang aku tak bisa memasak sama sekali. Kalau makan siang dan malam, aku makan di luar. Kegiatanku juga lebih banyak di luar. Jadi, apa gunanya menimbun bahan makanan yang tak bisa kuolah? Makanan itu tidak bisa secara ajaib langsung jadi dengan sendirinya, Darl,” papar William logis sembari mengacungkan garpu ke arah Scarlett.
“Tapi ada yang namanya profesi chef pribadi di dunia ini, Will,” bantah Scarlett masih dengan senyum gelinya, “aku yakin kau sangat bisa merekrutnya.”
Kebanyakan orang akan menerima daftar rekomendasi menu dari chef pribadi untuk seminggu penuh. Berupa makanan berat untuk sarapan, makan siang, makan malam, camilan, jus, es krim, atau makanan penutup. Biasanya, chef yang akan berbelanja. Namun, tidak menutup kemungkinan bila sudah ada bahan-bahan yang tersedia, chef akan mengolahnya. Chef akan memasak selama berjam-jam di rumah klien untuk persediaan hingga seminggu ke depan. Masakan-masakan tersebut lalu diletakkan di lemari pendingin. Setiap makanan akan diberi catatan; nama makanan, tanggal kadaluwarsa atau tanggal basi, serta cara menghangatkannya bila akan dimakan sewaktu-waktu.
“Memang. Tapi seperti yang kubilang tadi, Darl. Aku lebih suka bersikap praktis. Omong-omong, apa aku sudah pernah bilang kau sangat seksi kalau suka membantah seperti ini?” Tatapan nakal pria itu diberikan cuma-cuma pada Scarlett. William pun meminta persetujuan dari Jenna. “Benar, kan, Pumpkin? Mom sangat seksi.”
“Itu benar,” balas Jenna yang duduk di kursi makannya di sebelah William. Padahal ia juga tak benar-benar paham dengan arti kata itu. Menurut Jenna, seksi berarti cantik; sesuatu yang indah dipandang, membuat mata berbinar-binar untuk dilihat terus-menerus, serta mengundang senyum. Intinya menciptakan rasa bahagia.
Di balik pantri, sambil berkacak pinggang menggunakan tangan satu, sebelah tangan Scarlett yang memegang spatula diarahkan ke Willian. “Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan, Will,” titahnya. “Tapi sudahlah. Cepat habiskan sarapan kalian dan kita akan ke supermarket untuk mengisi kulkas dan pantri. Mumpung hari ini libur nasional.”
“Yes, Mom!” kata William dan Jenna kompak.
♪♪♪
“Di mana saus hollandaise-ku?” gumam Scarlett sembari celingukan. Peluh membanjiri pelipisnya dan ia menyekanya menggunakan punggung tangan. Pada saat bersamaan, sasaran pandangannya mengarah pada mangkok berisi saus hollandaise.
Scarlett mengambil roti yang dibentuk mirip roti burger dan membelahnya menjadi dua bagian sebelum meletakkan roti-roti itu di tiga piring berbeda. Ia mengambil beberapa lembar bakon dan meletakkannya di atas roti-roti tersebut. Ketika ia mengambil telur rebus setengah matang, tiba-tiba tubuhnya dibalut kehangatan.
“Kau mengagetkanku,” cetus Scarlett, tetapi tidak protes saat William memeluknya dari belakang. Pria itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang kotak-kotak merah kombinasi hitam. Scarlett ingat itu celana piyama William semalam yang ia lempar entah ke mana. Ternyata William berhasil menemukannya.
Sambil masih memejam, William meletakkan kepala di pundak kiri Scarlett. “Kenapa kau sudah di dapur? Padahal aku masih ingin tidur sambil memelukmu.”
William mengikuti Scarlett berjalan ke sana-kemari untuk mengambil serta meletakkan komponen-komponen masakan lainnya. Tingkahnya mirip bocah manja dan Scarlett sama sekali tidak keberatan. Ia suka William bersikap manja padanya seperti ini. Hubungan mereka jadi terasa lebih erat. Lagipula ia sudah berjanji untuk menerima perhatian dari pria itu. Sekarang, setelah menerima perhatian-perhatian William, ia menjadi yakin, tanpa diminta pun, ia akan dengan senang hati menerima perhatian William.
Pria itu tulus, tidak mencurigakan menyembunyikan hubungan dengan wanita lain layaknya dugaan Scarlett. Itu terbukti dari ponsel William yang selalu diletakkan sembarangan. Kapan pun ada pesan atau telepon masuk, William akan membalas pesan tersebut di tempat ponsel diletakkan, atau mengangkat telepon masuk, meski ada Scarlett dan Jenna. Tak jarang pria itu menghidupkan pelantang sehingga Scarlett dapat mendengar percakapan William dengan si penelepon.
Kebanyakan yang menelepon rekan kerja William. Sesekali pria bernama Levon menelepon mengajak William minum-minum di lounge, tetapi William menolak dan jujur sudah punya kekasih bernama Scarlett, yang tinggal bersama. Levon—yang kini Scarlett ketahui sebagai sahabat William—mengolok-olok pemilik iris hijau terang tersebut, tetapi bangga pada perubahan William dan bersyukur Scarlett bisa bersama William. Beruntungnya pada waktu itu Jenna tidak mendengar umpatan-umpatan Levon karena mereka sedang di kamar.
Sikap-sikap jentelmen William secara otomatis mengubah persepsi Scarlett. Memang tidak ada kewajiban untuk membalas perhatian-perhatian William, seperti yang dikatakan pria itu. Namun, Scarlett jadi berinisiatif melakukannya tanpa ada pihak-pihak yang mengintervensinya.
Dikarenakan mengingat hal itu, saat ini pipi Scarlett bersemu merah. Ia pun menjawab William. “Aku lapar, harus menyiapkan sarapan dan bekal makan siang kita juga. Kalau kau masih mengantuk, tidurlah lagi. Aku akan membangunkanmu setelah matang.” Ia melihat jam dinding. “Masih ada beberapa waktu lagi sebelum bersiap-siap kerja.”
“Beri aku ciuman dan aku akan melakukannya seperti anak baik.”
Senyum tiga jari Scarlett yang mengembang lebih lebar mengiringi gelengan kepalanya. “Dasar!” hardiknya sebelum memutar tubuh untuk membubuhkan bibir di bibir William sekilas. Ia baru akan berbalik lagi untuk kembali berkutat dengan masakannya, tetapi William menahannya.
“Hanya kecupan? Yah! Tidak seru!” protes pria itu.
Scarlett membela diri. “Kecupan juga termasuk ciuman.”
“Maksudku, setidaknya beri aku ciuman ala Prancis.”
“Mana aku tahu? Memangnya aku cenayang yang bisa membaca pikiranmu kalau kau tidak mengatakannya dengan jelas?” kelit Scarlett.
Masih dengan muka bantal dan rambut sedikit acak-acakan, William berbalik tanya untuk menantang Scarlett. “Haruskah aku mengatakannya dengan jelas? Darl, I want a french kiss. Begitu?”
Kepala Scarlett sedikit meneleng. “Dan di mana aku bisa membeli french kiss?” godanya.
William mengerang, tetapi senyum nakal kini menghiasi wajah mengantuknya. Scarlett suka melihat senyum William karena lesung pipi pria itu terlihat lebih cekung. William benar-benar manis. Scarlett sampai tak konsentrasi saat William meresponsnya dengan berkata, “Tak perlu membelinya. Aku akan memberikannya secara cuma-cuma. Bagaimana menurutmu?”
“How royal you’re. Okay, I’ll take it,” jawab Scarlett. Ia lantas lebih mendongak dan berjinjit. Tangan-tangannya praktis melingkari leher William. Ia pun memejamkan mata saat menerima ciuman pria itu dan membalasnya dengan setimpal. “Nah, sekarang kau bisa tidur lagi,” usulnya.
Bukannya jadi anak baik yang menuruti perintah Scarlett seperti yang dikatakannya tadi. Tangan William yang masih merangkul tubuh wanita itu malah makin mengerat. “Tunggu sebentar. Aku harus memberimu ciuman ala Prancis lagi untuk memastikan sesuatu.”
“Memastikan sesuatu?” tanya Scarlett yang benaknya langsung diisi dengan hal aneh-aneh. Itu pasti hanya akal-akalan William. Ia yakin sekali.
Pikiran Scarlett terbukti benar kala William menjawabnya dengan menyelinapkan indra pengecap di antara bibirnya. Namun, kenapa setelahnya alis pria itu justru terangkat seolah-olah sedang memikirkan sesuatu?
“Rasa lezat apa ini, Darl?”
Scarlett berkedip-kedip untuk mengenyahkan prasangkanya yang jelas keliru. “Maksudmu saus hollandaise?”
“Whatever is that. Rasanya benar-benar lezat. Aku ingin lagi.”
“Kau bisa mencicipi sausku di mangkok it—” Kata-kata Scarlett teredam oleh ciuman William.
Pria itu menggeleng. “No, I want you. Tapi pertama-tama, mari letakkan pisau roti ini.” William merampas pisau roti di tangan Scarlett dan meletakkan benda itu sembarangan. Sementara indra pengecapnya kembali menelisik ke bibir Scarlett, ia menggendong wanita itu dan mendudukkannya di atas pantri marmer yang tidak ada bahan-bahan makanan.
“Kau tak jadi tidur lagi?” tanya Scarlett dengan mata memejam dan jari-jarinya menelusup ke rambut William kala merasakan mulut pria itu berpindah; dari telinga ke lehernya. Scarlett juga meneguk ludah saat tangan William menyusup ke balik piyamanya, kemudian menyentuh punggungnya. Ia nyaris kehilangan napas saat pria itu mulai melepas kancing-kancing piyamanya satu per satu.
“Kau sudah membangunkanku sepenuhnya. Maaf, aku tidak jadi bocah penurut.” Jari telunjuk William kini menyelinap ke tali bra Scarlett. Dengan dorongan pelan, ia berhasil menurunkan tali itu melewati bahu kiri Scarlett.
Ketika William menyusurkan hidung dan bibir ke pundak Scarlett, lalu merambat ke tengah dada, dan kembali ke leher untuk memberi tanda, mereka mendengar suara serak bertanya, “Kenapa Will menggigit leher Mom?”
Scarlett membuka mata dan sontak mendorong dada William agar menjauh. Ia tahu pria itu protes. Meski tanpa kata, tetapi wajah William mengatakannya dengan jelas. Namun, saat Scarlett memberi kode dengan lirikan mata mengarah ke balik punggung William, William yang melihat Jenna menguap sambil mengucek mata, segera membantu Scarlett turun dari pantri dan buru-buru membenarkan bra serta mengancingkan piyama wanita itu.
“Selamat pagi, Pumpkin,” sapa Scarlett seceria mungkin. Ia gugup sekali. Tangannya sampai tidak terkoordinasi dengan baik untuk mengancingkan piyamanya. Ia pun masih harus memberi jawab Jenna. “Mom dan Will sedang ..., em ..., sedang—”
“Bermain vampir dan serigala!” William membantu Scarlett menjawab sambil mengudarakan tawa paksaan. Berbeda dengan Scarlett, William justru amat cekatan mengancingkan piyama wanita itu.
“Iya, betull. Will jadi vampirnya,” timpal Scarlett gelagapan.
“Ya, aku sedang bertarung dengan serigala dan aku hampir menang. Caranya dengan menggigit leher serigala ini untuk mengisap darahnya.” Tiba-tiba William berakting wajah galak dan siap menerkam bak vampir. “Haum .... Apa kau mau digigit vampir juga, Princess Jenna ...?”
“Tidaaakkk ...,” teriak Jenna yang secara praktis berlari karena dikejar William.
“Kemari kau serigala kecil .... Haauuumm.”
Melihat William mengejar Jenna yang berlari ke ruang tamu, Scarlett tertawa lepas dan lega. Hatinya pun menghangat karena menyadari bahwa situasi seperti inilah yang selama ini dimimpikannya; keributan di pagi hari dengan putri dan pria yang dicintainya. Lantas, bolehkah ia berharap selamanya?
♪♪♪
“Sampai jumpa, Princess. Aku dan Mom akan menjemputmu nanti. Oke?” tukas William pada Jenna.
Gadis gembul kecil itu kemudian memeluk serta memberi kecupan di pipi William sebelum gantian memeluk serta mengecup pipi ibunya. Bersama salah satu pengajar daycare, Jenna melambai-lambai saat melihat keduanya masuk mobil.
Selain sarapan bersama, rutinitas pagi William selama beberapa hari ini telah berubah. Sebelum pergi ke kantor, ia berinisiatif mengantar Jenna ke daycare, lalu mengantar Scarlett ke Bake Me Up. Ia tidak mengizinkan Scarlett menyetir sendiri. Selain khawatir terjadi sesuatu tidak menyenangkan seperti beberapa waktu lalu, ia juga mulai menikmati peran ini.
Pagi ini agak berbeda. Biasanya William hanya minta ciuman singkat dan pelukan sebagai bayaran mengantar Scarlett. Sekarang ia ingin dibayar dengan ciuman ektra.
“Will, kau akan terlambat.” Scarlett mengingatkan William yang masih sibuk menyusurkan hidung dan mulut ke dada Scarlett.
William memberi jeda cumbuannya untuk menjawab, “Aku akan mengebut nanti.”
“Jangan. Aku ingin kau menyetir dengan hati-hati.” Tangan Scarlett menahan William, tetapi pria itu tak bisa dicegah.
“Mengebut juga bisa berhati-hati,” bantah William.
“Jangan .... Kau harus menyetir dengan kecepatan normal.”
“Sebentar lagi, lalu akan mengancingkan kemejamu dengan benar.”
“William,” panggil Scarlett sembari menahan desahan.
“Aku tak melakukannya setiap pagi, Darl.”
“Memang tidak setiap pagi. Tapi kita melakukan lebih daripada cumbuan setiap malam. Lagi pula kita sedang di mobil di depan tokoku. Pegawai-pegawaiku bisa melihat kita,” tutur Scarlett.
“Memangnya kenapa kalau mereka melihat? Kita akan membuat tontonan bagus di pagi hari.”
“William ...,” rengek Scarlett.
“Sebentar. Entah kenapa hari kau wangi sekali. Aku jadi ingin mencumbumu terus.”
“Kau boleh membawa parfumku kalau kau mau.”
William tertawa geli. “Baiklah, kau berhasil menghentikanku.” Sembari membenarkan bra dan mengancingkan kemeja Scarlett, William menciumi bibir wanita itu. Dengan amat terpaksa bin tidak rela, William membiarkan Scarlett turun mobil. Ia pun membuka kaca samping kemudi untuk berpamitan pada wanita itu sekali lagi.
“Sampai jumpa nanti. Jangan mengebut dan kabari aku kalau kau sudah tiba di kantor.”
“Yes, Mom!” jawab William yang sekarang jadi ikut-ikutan para pegawai Bake Me Up saat menerima perintah dari Scarlett. Ia pun menutup kaca dan mulai menjalankan mobil, tetapi fokusnya masih pada spion yang memantulkan sosok Scarlett. Wanita itu berdiri di sisi jalan, mengawasi mobilnya menjauh sambil melambai-lambai.
Hingga sosok Scarlett tak terlihat lagi di spion, William pun fokus ke jalan. Ia mengganti lagu anak-anak menjadi lagu dewasa yang menggugah bersemangat. Ia bersiul-siul, menggoyang-goyangkan kepala, dan mengetuk-ngetuk jari di setir. Lalu siulannya berhenti saat sebuah mobil bersisian dengan mobilnya.
“Holy fucking shit!” umpat William. “Lagi-lagi berpapasan dengan Bugatti la Voiture Noir doff edisi terbatas! Mobil impianku! Wow, kenalpotnya sangat-sangat merdu di telinga,” gumamnya yang kemudian lagi-lagi mengutuk Dominic si penyebab ia terlambat memiliki mobil tersebut.
William lantas teringat sesuatu. Berhubung hanya segelintir orang yang memiliki mobil tersebut, ia jadi ingat siapa kenalannya yang memiliki mobil itu. Salah satunya adalah Regis Mondru. Mungkinkah idolanya sedang melintas ke daerah sini? Jika mungkin, haruskah ia mengejar mobil itu? Namun, Scarlett menyuruhnya menyetir dengan hati-hati. Lagi pula jikalau itu benar Regis, pasti idolanya itu memiliki urusan.
Jadi, sebaiknya William pergi ke kantor. Ia harus ingat kalau tidak datang tepat waktu, pasti Dominic yang rajin mengecek kehadirannya itu akan marah-marah. Dan hal terakhir yang ia inginkan di pagi hari adalah mendengar omelan kakaknya.
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks banget yang masih nungguin Scarlett
Thanks juga yang udah vote, komen, dan benerin typo perusak ketampanan naskah
Pokoknya luv sekebon
Btw kelen tim siapa gaes?
Scarlett Delillah
Sama Regis Mondru
Atau
Sama William Molchior
Well, see you next chapter timin timin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Rabu, 8 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top