Chapter 21
Selamat datang di chapter 21
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai juga kalau ada typo
Thanks
Happy reading everybody
Hope you like and enjoy this story as well
❤️❤️❤️
____________________________________________________
Tidakkah kau berpikir itu menyiksaku?
—Scarlett Delillah
____________________________________________________
Interkom penthouse William berdering nyaring, mengguncang-guncang tidurnya supaya bangun. Mengabaikan gangguan itu dan kembali tidur memang terasa menggoda. Namun, kala menyadari benda tersebut tidak akan berhenti meraung-raung hanya dengan dibiarkan begitu saja—kecuali tamunya tahu diri untuk tidak mengganggu waktu liburnya yang sempit, William tahu ia harus bangun mengurusinya.
Ia memaksa kesadarannya bangkit. Kepalanya yang didera rasa pusing dan perutnya yang pengar membuatnya mengeram. William tidak ingat bagaimana bisa sampai rumah. Memori otaknya hangat ingat semalam minum banyak ditemani Loven sampai teler. Asumsi kuat yang jelas berkaitan dengan sahabatnya.
Interkom masih menunjukkan eksistensinya. Untuk kedua kalinya, William mengeram. Membayangkan kakaknya yang bertandang dan mengamuk bila melihat kondisinya ini. Dominic kadang bisa lebih galak—setingkat lebih rendah dibandingkan ayah mereka—ketimbang ibu mereka kalau melihat dirinya mabuk. Mengingat belum ada satu pun dari keluarganya yang ia berikan sandi penthouse barunya di Manhattan karena belum pernah ada yang mampir.
Dengan usaha tak main-main, William pun duduk. Selama sepuluh detik terdiam untuk meredakan dentuman-dentuman yang menghantam kepalanya, barulah dengan kesal ia menyingkirkan selimut yang mengumpul di pinggangnya ke samping. Lalu masih dengan mata terpejam, ia menderap ke ruang tengah untuk menekan interkom yang tertempel di dindingnya.
“Pergilah, Dom! Aku mau tidur! Jangan mengganggu liburku! Aku sudah bekerja keras seperti yang kau inginkan!” sungut William sambil menguap lebar.
Ketika mendengar wanita membalas, “Hai, Will.” Kelopak-kelopak mata William kontan terbuka lebar, pada detik berikutnya menyipit, selanjutnya mengucek-ucek mata sekilas untuk memastikan pengelihatannya masih berfungsi normal dan tidak salah menginformasikan kepada otaknya, lalu melebar lagi. Bukan Dominic rupanya.
“Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu liburmu, Will.”
“Eh! Sama sekali tidak,” jawab William cepat-cepat agar lawan bicaranya tidak salah paham.
“Benarkah?”
“Tentu benar. Sama sekali tidak mengganggu.”
“Kalau begitu, boleh aku masuk?” tanya wanita itu lagi sehingga membuat William gelagapan dan buru-buru menekan tombol membuka kunci pintu bawah.
“Tentu saja, masuklah.”
Pusing dan pengar William langsung hilang sama sekali. Selagi menunggu tamunya menaiki elevator khusus untuk bisa mencapai huniannya yang berada di lantai paling atas, ia berlari menuju wastafel kamar mandi dan buru-buru mencuci wajah. Ia membau napasnya dan nyaris muntah karena bau alkohol yang kuat serta menyengat. Yang, ia yakini ia dapatkan dari tidak menggosok gigi sebelum tidur. Namun, tak ada waktu untuk itu sekarang.
Dengan panik, William meraih obat kumur dan berkumur secepat kilat. Sambil berharap obat kumur itu supermujarab mengusir bau mulutnya, William bejalan ke pintu utama. Ia mengecek bau napasnya yang sudah wangi lalu tangannya menyugar-nyugar rambut sebelum membukakan pintu.
“Hai, Will. Em ... selamat pagi,” sapa Scarlett dengan wajah cemas. Ia melihat penampilan William. Pria itu masih mengenakan baju yang sama seperti kemarin. Dan bajunya kusut, tetapi wajahnya tampak segar meski ada guratan-guratan tanda bangun tidur. William juga bertelanjang kaki. Pasti karena buru-buru membukakan pintu untuknya. Scarlett jadi merasa tidak enak.
“Masuklah, Darl.”
Scarlett tidak langsung masuk. Ia tertegun sesaat dan mengernyit karena bingung dengan panggilan ‘Darl’ dari William. Seingatnya, terakhir kali mereka bicara, William memanggil namanya dengan kesal. Jadi, ia mengamati William lagi dan tidak menemukan tanda-tanda seseorang sedang dirundung rasa kesal atau marah.
Tadi malam, Scarlett nyaris tidak bisa tidur dan memikirkan perkataan William. Ia menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Perasaan bersalah yang semakin kuat dan intens mengambil alih pikirannya untuk menelepon William. Scarlett ingin bertemu pria itu untuk meminta maaf dan menjelaskan bagaimana perasaannya yang sesungguhnya.
Oleh karena itu Scarlett bangun pagi-pagi, mengurus Jenna dan menitipkannya ke Hillary kemudian menelepon Mia untuk meminta alamat penthouse William dan bertekad mendapatkan itu bagaimanapun caranya.
“Apa yang kau tunggu? Mau masuk atau berdiri di sana sampai musim gugur tiba?”
“Oh!” Scarlett tersentak, tetapi cepat mengusai diri lalu melewati William yang menepi, sengaja menyediakan jalan untuknya.
Pria itu menggiring Scarlett ke ruang tengah yang luas sebelum menghambur ke pantri dapur yang menyatu dengan ruang tengah. Ada sofa-sofa selembut beledu dan empuk yang ditata tanpa sekat di depan TV superbesar. Lantai penthouse ini dilapisi bahan serupa kayu warna cokelat pucat. Sedangkan dindingnya sebagian besar terbuat dari kaca tanpa tirai sehingga Scarlett bisa melihat lanskap kota Manhattan di pagi hari dengan sinar matahari yang menembus ruangan dan menerpa wajahnya. Benar-benar hangat dan nyaman.
“Maaf, aku hanya punya jus buah beri, kalau kau tidak keberatan,” kata William sembari meletakkan segelas jus di meja rendah di sekeliling sofa-sofa itu. Lalu duduk di seberang Scarlett.
“Terima kasih, maaf sudah merepotkan,” balas Scarlett. Ia bersyukur bisa mengaliri tenggorokannya yang kering dan meredakan kegugupan yang mendera seluruh ujung-ujung sarafnya dengan jus beri pemberian William. Mengingat, berniat mengakui perasaan yang sebenarnya itu membutuhkan kekuatan super dan nyali besar.
“Mula-mula kau ke sini?”
Scarlett menghentikan gerakannya meletakkan gelas di meja selama beberapa detik lalu melihat William. “Apa kau tidak ingat? Aku menelepon semalam dan bilang akan ke sini pagi ini.”
“Be-benarkah?” tanya William tak percaya.
“Benar. Kau tidak ingat?”
William meringis sambil menyugar rambutnya. Teler sialan! hardiknya dalam hati.
“Tapi sepertinya semalam kau ... cukup mabuk, Will.”
Mulut William menganga lebar tanpa suara.
“Semalam aku memang ke bar. Maaf kau harus melihat penampilanku yang seadanya.”
Scarlett tidak langsung menjawab. Sekali lagi ia memperhatikan William. Rambut brunette pria itu memang agak berantakan, tetapi malah meninggalkan kesan seksi.
Oh Tuhan! Apa yang telah dipikirkannya?
“Begitu rupanya,” jawab Scarlett.
“Kau tidak mengajak Jenna?”
“Tidak, aku menitipkannya ke Hillary. Karena ... aku ingin bicara empat mata denganmu.”
Tiba-tiba William dilumuri rasa grogi. Memangnya, apa yang akan dikatakan Scarlett sampai-sampai harus menemuinya di penthouse prinadinya? Pasti ini sangat penting.
“Lalu dari mana kau tahu alamatku?” tanya William, masih ingin berbasa-basi sekaligus penasaran.
“Dulu kau pernah menunjukkan tempat tinggalmu di Manhattan. Tapi lebih spesifik lagi, aku bertanya pada Mia.”
“Oh, God,” gumam William dengan suara serak bin parau. Kalau sampai Scarlett bersusah payah menanyakan itu pada Mia, artinya pembicaraan ini akan benar-benar penting dan William tidak memiliki gagasan tentang apa yang akan dibicarakan. Semakin menambah pundi-pundi kegugupannya.
“Sebenarnya, aku ingin minta maaf untuk kejadian kemarin sore,” pungkas Scarlett pelan.
William mengernyit. Ia bahkan lupa sama sekali dengan itu. Pagi ini, mendapati Scarlett datang ke penthouse-nya lebih membuatnya bersemangat ketimbang responsnya terhadap penyebab ia pergi ke bar untuk minum-minum sampai teler. Karena Scarlett sudah menyinggung soal pertengkaran mereka, keceriaan yang William bangun berkurang drastis hingga membuat wajahnya muram.
William memandang gelas Scarlett sekilas lalu menatap wanita itu. “Seharusnya, aku yang minta maaf, bukan? Aku yang terlalu memaksamu.”
“Tidak, Will. Kau benar. Aku hanya terlalu muluk-muluk dan tidak mau mengatasi rasa traumaku. Lebih tepatnya, aku tidak berani mencoba,” bantah Scarlett. Ia membasahi bibirnya kemudian melanjutkan, “Kalau boleh jujur, setiap kali ada yang berusaha mendekatiku, aku selalu mendorong orang itu untuk menjauhiku. Aku over thinking. Takut terluka lagi. Dan tidak ada orang yang segigih dirimu untuk mendekatiku. Tapi, aku malah kembali pada mode defensif.”
Scarlett melihat William tersenyum tipis dan tampak berjarak. Entah kenapa hatinya malah semakin tidak karuan. Ia telah memberanikan diri mengutarakan maksud dan tujuannya ke sini. Berharap hubungan mereka baik kembali dan menjadi lebih progresif. Namun, entah kenapa rasanya pria itu justru seakan manarik diri. Itu membuat Scarlett resah. Apakah ia sudah terlambat?
Terlebih, ketika William menanggapi, “Em ... aku tidak tahu harus mengatakan apa.”
Mungkin otak William masih lelet untuk dipekerjakan di pagi hari. Apalagi untuk hal berat. Perkara hati itu termasuk kategori berat baginya. Oleh sebab itu ia tak pernah mau menggunakan hati bila berurusan dengan lawan jenis. Dan hanya mengandalkan ketertarikan fisik semata yang ia yakini setelah mencapainya, ketertarikan itu akan memudar. Kalau situasinya sudah rumit, pergi lebih mudah bagi William ketimbang bertahan.
Tentu saja Scarlett pengecualian untuk itu. Hanya saja, William masih belum memiliki jawaban yang bagus untuk pengakuan Scarlett. Hei, ia bukan ahli terapi! Akan tetapi, yang pasti ia tidak ingin menyakiti Scarlett. Sudah banyak rasa sakit yang harus ditanggung wanita itu. William harus sangat ekstra berhati-hati memperlakukannya.
Respons yang diberikan William malah membuat Scarlett campur aduk sampai-sampai ia harus meremas-remas tangannya untuk mengalihkan perasaannya. Berhubung takut ditolak, akhirnya ia mengambil jalan aman. “Aku hanya ingin meminta maaf dan berkata jujur. Aku tidak ingin membebanimu, Will.”
William mengangguk. Jelas sekali pengakuan Scarlett menjadi sesuatu yang harus dipikirkannya. Seperti beban tersendiri.
Berkat respons William yang sepertinya sudah tidak mau berbicara lagi, Scarlett beranjak. “Kalau begitu, aku akan pulang. Maaf sudah mengganggu waktu liburmu, Will.”
Kendatipun sangat menginginkan Scarllet tinggal lebih lama di sini—mungkin bisa ia ajak sarapan bersama, tetapi apabila Scarlett tidak menginginkannya, berkaca dari kejadian kemarin, William seharusnya tidak memaksa Scarlett. Jadi, ia ikut beranjak dan mengantar wanita itu ke pintu depan.
“Terima kasih jusnya, Will. Sampai jumpa,” kata Scarlett dengan senyum palsu.
“Hati-hati di jalan.”
Nyaris semalaman Scarlett tidak bisa tidur seperti kemarin. Banyak hal yang berseliweran di kepalanya. Terutama kejadian akhir-akhir ini. Tentang Jenna, Regis, lalu—khususnya baru-baru ini—William.
Sejak pulang dari penthouse William, pria itu sama sekali tidak menghubungi Scarlett. Sehingga menjadikannya berasumsi yang tidak-tidak. Apakah William benar-benar menarik diri darinya sekarang? Apakah ia benar-benar sudah terlambat untuk membuka hati bagi pria itu? Batin dan pikirannya amat kacau. Pun, sesuatu telah menghilang dari rutinitasnya karena tidak mendapat pesan dari William.
Scarlett ingin menghubungi William, tetapi takut tidak akan respons atau ditolak pria itu. Padahal ia sudah bertekad menerjang badai yang akan datang dan yang berkaitan dengan masa lalu. Namun, kondisi ini membuatnya bimbang dan gamang.
Scarlett menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia menuruti saran Hillary mengambil cuti selama beberapa hari untuk menenangkan diri?
Ingatan Scarlett kemudian jatuh pada tanggal peluncuran whoopie pie yang pekan lalu pertama kali pernah ia kirim ke William. Brosur-brosur sudah tersebar luas, dengan tanggal yang sudah ditentukan besok Senin. Tidak hanya berupa kertas, melainkan juga iklan-iklan di internet, di situs khusus Bake Me Up. Ia pun harus mengawasi pembuatan kue tersebut sehingga tidak mungkin mengambil cuti. Ia seorang pemilik sekaligus pemimpin. Bagaimanapun keadaannya, ia harus tetap profesional.
Scarlett tiba di Bake Me Up tepat waktu sehingga mengejutkan Hillary, Andy dan George yang datang lebih dulu.
“Boss, kukira kau cuti,” kata Hillary heran.
Sambil menyapa pegawai-pegawai lain yang sedang bersih-bersih, Scarlett menjawab pertanyaan Hillary. “Tadinya. Tapi aku ingat kita ada peluncuran whoopie pie hari ini.”
“Astaga, kau bisa memantaunya dari rumah. Serahkan saja pada kami.”
“Dan bagaimana caraku mencicipi kue itu?”
“Andy bisa mengiriminya ke rumahmu, Boss.”
“Lalu kalau tidak sesuai yang semestinya? Apakah dia harus bolak-balik mengantar tester kue ke rumahku?”
Hillary tidak bisa menjawab pertanyaan Scarlett karena tidak memiliki gagasan bagus. Bossnya menjentikkan jari dan menunjukkan Hillary sekilas sebelum menghilang ke ruangannya untuk meletakkan tas. Kemudian muncul lagi menuju dapur untuk mengecek dapur para staf lain dan menemukan George sedang bersih-bersih. Sedangkan Andy sibuk menghitung bahan-bahan yang baru diturunkan dari truk kontainer.
Hillary hanya bisa mengedikkan bahu dan mendesah lelah. Scarlett memang boss yang baik serta disiplin. Namun, dalam kondisi ini ia jengkel. Semata-mata karena mengkhawatirkan Scarlett. Kejadian Sabtu lalu itu sangat berisiko terulang kembali. Hillary tidak menginginkan itu terjadi lagi karena menyayangi Scarlett meski seandainya mereka bukan atasan atau bawahan sekalipun.
Setelah berjam-jam semua pegawai Bake Me Up berkutat dengan whoopie pie dan menemukan rasa serta tekstur yang pas, akhirnya kue khas Amerika itu resmi dipajang di etalase. Tamu-tamu yang sudah datang sedari pagi dan mengantre sontak menyerbu menu baru tersebut sampai habis dalam hitungan menit. Jadi, Bake Me Up harus bekerja keras hari ini untuk membuatnya lagi. Tidak sedikit dari mereka yang memesannya khusus.
Pada jam makan siang, Scarlett berniat menjemput Jenna. Namun, ketika baru menekan remote kunci mobilnya, ia dikejutkan oleh kehadiran Regis Mondru.
“Selamat siang, Scarl.”
“Astaga!” pekik Scarlett sembari memegangi dadanya lantaran kaget. Ia juga mundur hingga punggungnya membentur pintu Chevrolet hitamnya. “Apa yang kau lakukan di sini?” semburnya, tak sudi memberi sambutan hangat.
Mendapatkan respons seperti dugaannya, Regis segera mengangkat kedua tangan. “Esay, Scarl. Apa kau berencana makan siang?”
“Mau apa kau?” todong Scarlett dengan kedua alis terpaut satu sama lain. Sama sekali tidak memedulikan pertanyaan pria itu.
“Tidakkah kau bisa menebaknya? Aku menyediakan waktu khusus ke sini karena menginginkan apa?”
“Pergilah! Aku tidak ada waktu untuk meladenimu!” gertak Scarlett yang lantas buru-buru membuka pintunya, tetapi tangannya ditarik Regis.
“Kau tidak bisa mengabaikanku begitu saja, Scarl.”
Dengan sentakan kuat, Scarlett berusaha melepaskannya. Sayangnya gagal. “Oh, aku sangat bisa! Lepaskan aku! Atau aku akan memanggil polisi!”
Regis mengudarakan tawa geli. “Bukankah terakhir kali kau terlibat polisi itu saat mau membunuhku? Jadi, jangan main-main denganku, Scarl. Aku hanya ingin bertemu putriku!”
Tadinya, Regis berencana meminta maaf secara baik-baik. Namun, rupanya Scarlett sangat tidak kooperatif sehingga membuatnya bertindak sebaliknya. Spontanitas yang sangat buruk sebenarnya.
“Berengek! Kenapa dari dulu kau selalu memaksaku? Tidakkah kau berpikir itu menyiksaku?” desak Scarlett dengan napas memburu karena serbuan emosi. Antara marah dan rasa takut yang tak bisa dipadamkan begitu saja, tetapi berusaha ia tutupi. Ia selalu membodohi diri sendiri dengan itu.
Kenapa traumanya akan pria ini tidak hilang-hilang? Sepertinya ia harus mengambil tindakan drastis.
“Dan apakah kau akan memberiku izin bertemu putriku kalau aku memintanya secara baik-baik?” sungut Regis. Melihat Scarlett diam sambil menatapnya nyalang, Regis kembali bersuara. “See? Tidak, bukan? Lalu bagaimana caranya, Scarl?”
Menyadari perlawanannya sia-sia belaka, Scarlett akhirnya menyerah. “Baiklah. Kau boleh menemuinya. Pekan ini setelah makan siang. Di sini. Sekarang lepaskan aku dan enyahlah!”
“Oh! Bagaimana bisa aku menjaminmu menepati janji? Berikan alamat rumahmu yang sebenarnya!” todong Regis tak mau kalah.
“Kau keterlaluan! Kau tidak berhak memperlakukanku seperti ini! Dan tenang saja, Reg! Aku pasti akan menjaminnya! Jadi, tidak perlu alamat rumahku!”
Regis menatap kedalaman sepasang iris cokelat gelap Scarlett dan menimbang-nimbang sejenak. Lalu melepaskan Scarlett. “Baiklah. Aku percaya padamu. Pekan siang, di sini. Kau akan mempertemukanku dengan putriku!”
____________________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah vote, komen atau benerin typo
Kelen luar biasa
Bonus foto
Scarlett Delillah
Kelen tim siapa?
William Molchior
Atau
Regis Mondru
Well, see you next chapter teman-temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
Minggu, 24 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top